Anda di halaman 1dari 42

1

BAB I

PENDAHLUAN

A. Latar Belakang

World Health Organization (WHO,2016) menjelaskan bahwa

cacing adalah infeksi parasit usus dari golongan Nematoda usus tang

ditularkan melalui tanah, atau disebut Soil Transmitted Helmints (STH).

(Dhia Irfan Hanif, DKK, 2017).

Sumanto (2010) menjelaskan jika penyakit cacing adalah contoh

lain dari penyakit parasit yang mulai terabaikan atau Neglacted Tropical

Desease (NTD). Kasus infeksi oleh STH terjadi karena tertelannya telur

cacing dari tanah atau tertelannya larva aktif yang ada di tanah melalui

kulit (WHO, 2016). Umar (2008) mengatakan penyakit cacing

menimbulkan dampak yang besar pada manusia karena mempengaruhi

pemasuka (intake). Pencernaan (digestif), penyerapan (absorbs), dan

metabolisme makanan. Akibat yang ditimbulkan dari infeksi cacing

berupa kerugian zat gizi karbohidrat dan protein (Umar, 2008). Masalah

lain yang ditimbulkan adalah kekurangan darah, menghambat

perkembangan fisik, perkembangan mental, kemudian intelektual, dan

menurunkan imunitas tubuh pada anak-anak (DEPKES RI, 2004). (Dhia

Irfan Hanif, DKK, 2017).

Diagnosis infeksi STH salah satunya dengan melakukan

pemeriksaan kualitatif dan kuantitatif. Pemeriksaan mikroskopis banyak

digunakan untuk memeriksa infeksi STH melalui temuan telur STH

1
2

pada tinja dengan menggunakan berbagai macam metode

pemeriksaan yang dipakai di berbagai lembaga di dunia (Michael et al.,

2010). Kecacingan mengakibatkan menurunnnya kondisi kesehatan,

status gizi, tingkat kecerdasan dan produktifitas penderitanya sehingga

menyebabkan keruguan secara ekonomi. Perlu dilakukan upaya

pencegahan, salah satunya dengan deteksi dini infeksi STH pada

kelompok yang berisiko, penggunaan metode pemeriksaan tinja yang

memiliki tingkat sensitifitas dan spesifisitas tinggi sangat penting guna

mendapatkan status kecacingan yang akurat.

Status kecacingan seseorang dapat dipastikan dengan

menemukan telur cacing pada pemeriksaan laboratorium tinja.

Pemeriksaan tinja terdiri dari pemeriksaan mikroskopik dan

makroskopik. Pemeriksaan mikroskopik terdiri dari dua pemeriksaan

yaitu pemeriksaan kualitatif dan kuantitatif. Pemeriksaan kualitatif dapat

dilakukan dengan berbagai cara seperti pemeriksaan langsung (direct

slide) yang merupakan pemeriksaan rutin yang dilakukan, metode

flotasi/pengapungan, metode selotip, teknik sediaan tebal dan metode

sedimentasi. Pemeriksaan kuantitatif dikenal dengan beberapa metode

yaitu metode Stoll, flotasi Kuantitatif dan metode Kato;Katz. Metode lain

yang sering digunakan untuk pemeriksaan kualitatif tinja adalah metode

sedomentasi. Metode sedimentasi menggunakan dengan berat jenis

yang lebih rendah dari organisme parasit, sehingga parasit dapat

mengendap di bawah. Metode ini terdiri dari metode sedimentasi biasa


3

yang hanya memanfaatkan gaya gravitasi, dan metode sedimentasi

Formol-Ether (Ritchie) yang menggunakan gaya sentrifugal dan larutal

formalin-eter pada cara kerjanya.

Metode natif (direct slilde) merupakan gold standart pemeriksaan

kualitatif tinja karena sensitive, murah, mudah dan pengerjaan cepat,

namun kurang sensitive pada infeksi ringan. Metode lain yang sering

digunakan untuk pemeriksaan kualitatif tinja adalah metode

sedimentasi (Marieta Puspa Regina, 2018).

Metode sedimentasi adalah metode dengan menggunakan berat

jenis yang lebih rendah dari organisme parasit dan memanfaatkan gaya

sentrifuge, sehingga parasit dapat mengendap di bawah. Metode

sedimentasi yang sering digunakan berdasarkan reagensia adalah

metode sedimentasi dengan NaOH 0.2%, dan metode sedimentasi

dengan NaCL 0,9%.

Pada pemeriksaan identifikasi telur cacing metode pengendapan

menggunakan larutan NaCL 0,9%. Dapat juga menggunakan larutan

NaOH 0,2%. Metode ini didasarkan pada berat jenis telur sehingga telur

akan mengendap dan mudah diamati.

Pada tahun 2015, World Health Organization (WHO) melaporkan

lebih dari 24% populasi dunia terinfeksi kecacingan dan 60%

diantaranya adalah anak-anak. Di Indonesia di beberapa provinsi

menunjukkan prevalesi kecacingan untuk semua umur di Indonesia

berkisar antara 40%-60%. Sedangkan prevalensi kecacingan pada


4

anak di seluruh Indonesia pada usia 1-6 tahun atau usia 7-12 tahun

berada di tingkat yang tinggi, yakni 30%-90% (Depkes RI, 2015).

Berdasarkan masalah diatas peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian dengan judul “Identifikasi Telur Cacing Nematoda Usus

Menggunakan Metode Sedimentasi Pada Feses anak usia 7-12

tahun di RT 011 RW 09 Desa Batu Merah Kecamatan Sirimau”.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yaitu apakah terdapat telur cacing

nematode usus pada feses anak usia 7-12 tahun di RT 011, RW 09

Desa Batu Merah Kecamatan Sirimau Kota Ambon.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengidentifikasi keberadaan telur cacing nematode usus pada

feses anak usia 7-12 tahun di RT 011 RW 09 Desa Batu Merah

Kecamatan Sirimau Kota Ambon.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk melakukan pemeriksaan feses pada anak usia 7-12 tahun

di RT 011 RW 09 Desa Batu Merah Kecamatan Sirimau Kota

Ambon.

b. Untuk mengidentifikasi adanya telur cacing nematode usus pada

feses anak usia 7-12 tahun di RT 011 RW 09 Desa Batu Merah

Kecamatan Sirimau Kota Ambon


5

c. Untuk mengetahui jenis dan bentuk telur cacing nematode usus

pada feses anak usia 7-12 tahun di RT 011 RW 09 Desa Batu

Merah Kecamatan Sirimau Kota Ambon

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Institusi

Dapat digunakan sebagai informasi bagi Jurusan Analis

Kesehatan tentang “Identifikasi Telur Cacing Nematoda Usus

Menggunakan Metode Sedimentasi Pada Feses anak usia 7-12

tahun di RT 011 RW 09 Desa Batu Merah Kecamatan Sirimau”

dan dapat digunakan sebagai bahan penelitian selanjutnya.

2. Bagi Pemerintah

Sebagai informasi agar lebih meningkatkan kebijakan

pelayanan kesehatan dalam hal pencegahan penyakit cacingan.

3. Bagi Peneliti

Sebagai tambahan ilmu pengetahuan, pengalaman, pegenalan,

dan pemahaman pada bidang Parasitologi dan dapat

mengaplikasikan ke dalam dunia kerja nantinya.


6

BAB II

TINJAU PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Nematode Usus

1. Definisi

Nematoda usus merupakan kelompok yang sangat penting bagi

masyarakat indinesia karena banyak yang mengidap cacing ini

sehubungan dengan banyaknya faktor yang menunjang untuk hidup

suburnya cacing parasit ini.

Infeksi STH sering ditemukan pada daerah dengan iklim hangat

dan lembab dengan sanitasi dan kebersihan individu yang buruk.

Cacing yang ditularkan melalui tanah akan hidup di usus manusia

dan telur-telurnya dikeluarkan bersama tinja individu yang terinfeksi.

Kontaminasi tanah oleh telur STH terjadi jika orang yang terinfeksi

STH buang air besar sembarangan. Telur cacing gelang dan cacing

cambuk menjadi infektif setelah telur matur di tanah, seseorang akan

terinfeksi cacing gelang dan cacing cambuk ketika telur cacing

termakan. Infeksi dapat terjadi ketika tangan atau jari yang

mengandung telur cacing diletakkan di mulut lalu telur cacing

termakan atau saat mengonsumsi sayuran dan buah-buahan dicuci

dan dikupas dengan hati-hati. Pada cacing kait, telur cacing akan

terlebih dahulu menetas di tanah, lalu melepaskan larva (cacing

imatur) lalu matur menjadi bentuk yang dapat menembus tubuh

6
7

manusia. Infeksi cacing kait ditularkan dengan berjalan tanpa alas

kaki di tanah yang terkontaminasi.

2. Jenis-Jenis Nematode Usus

a. Cacing Gelang ( Ascaris Lumbricoides )

Cacing dewasa hidup di dalam rongga usus halus manusia.

Panjang cacing betina 20-40 cm dan cacinng jantan 15-31 cm.

cacing dewasa berwarna agak kemerahan atau putih kekuningan,

bentuknya silinder memanjang, ujung anterior tumpul memipih dan

ujung posteriornya agak meruncing, bagian kepala dilengkapi

dengan 3 buah bibir yaitu 1 di bagian mediodorsal dan 2 lagi

berpasangan di bagian latero ventral. Untuk membedakan cacing

betina dan jantan dapat dilihat pada ekornya (ujung posterior),

dimana jantan ujung ekornya melengkung kearah ventral (Irianto,

2009).

Telur Ascaris Lumbricoides (cacing gelang) mempunyai ciri-

ciri : bentuk bulat atau oval, ukuran 60 x 45 mkron, warna

kecoklatan, dinding telur yang kuat terdiri dari bagian luar

(dibentuk dari lapisan selaput albumin dengan permukaan berupa

tonjolan-tonjolan atau bergerigi yang berwarna kecoklatan karena

pigmen empedu) dan bagian dalam dinding telur terdiri :dari

vitelin yang liat, sehingga telur dapat tetap tahan lama sampai 1

tahun ( Irianto, 2009 : 29)


8

A B

Gambar 1 : Telur Cacing Ascaris Lumbricoides

Gambar A Telur Cacing yang dibuahi, B yang tidak di buahi

(sumber : www.dpd.cdc.gov/)

A B

Gambar 2 : Cacing Dewasa Ascaris Lumbricoides

Gambar A Cacing betina dewasa, B cacing jantan dewasa

(sumber : www.dpd.cdc.gov/).

1) Klasifikasi Ascaris Lumbricoides

Klasifikasi Ascaris Lumbricoides

Phylum : Nemathelmithes
9

Class : Nematode

Ordo : Oscoridida

Family : Ascoridciidea

Genus : Ascaris

Spesies : Ascaris Lumbricoides

2) Morfologi Ascaris Lumbricoides

Gambar 3 : Telur Cacing Ascaris Lubricoides

Cacing nematode ini adalah cacing berukuran besar,

berwarna putih kecoklatan atau kuning pucat, cacing jantan

berukuran antara 101 cm, sedangkan cacing betina panjang

badannya anatara 22-35 cm, kurtikula yang halus bergaris-garis

tipis, menutupi seluruh permukaan badan cacing. Ascaris

Lumbricoides memiliki mulut dengan tiga buah bibir yang

terletak disebelah bagian dorsal dan dua bibir lainnya terletak

pada subventral (Ni Nyoman, 2018).

3) Siklus hidup Ascaris Lumbricoides

Bentuk infektif bila tertelan manusia akan menetas larva

di usus halus, larva tersebut menembus dinding usus menuju

pembuluh darah atau saluran limfa dan dialirkan ke jantung,


10

lalu melalui dinding alveolus, masuk rongga alveolus, kemudian

naik ke trakea melalui bronkeolus dan bronkus. Dari trakea

larva menuju ke faring sehingga menimbulkan rangsangan

batuk, kemudian tertelan masuk ke asophagus, lalu menuju ke

usus halus tumbuh menjadi cacing dewasa. Proses tersebut

memerlukan waktu yang lebih dari dua bula sejak tertelan

sampai menjadi cacing dewasa (Ni Nyoman, 2018).

Gambar 4 : Siklus Hidup Ascaris Lumbricoides

Dikutip : Buku Medical Parasitology (Satoskar, 2009)

4) Patologi dan Gejala Klinis Ascaris Lumbricoides

Gejala klinis yang timbul dari Ascaris Lumbricoides dari

berat infeksi, keadaan umum penderita, daya tahan, dan

kerentanan penderita terhadap infeksi cacing ini (Natadisastra,

2012). Penderita Ascaris Lumbricoides tidak akan merasa gejala

dari infeksi ini (asimptomatik) apabila jumlah cacing sekitar 10-20

ekor di dalam tubuh manusia sehingga baru dapat diketahui jika


11

ada pemeriksaan tinja rutin ataupun keluarnya cacingn dewasa

bersama dengan tinja. Gejala klinis yang timbul bervariasi, bias

dimulai dari gejala yang ringan seperti batuk sampai dengan

yang berat seperti sesak napas dan pendarahan. Dejala yang

timbul pada penderita Ascaris Lumbricoides berdasarkan migrasi

larva dan perkembangbiakan cacing dewasa, yaitu :

a) Gejala akibat migrasi larva Ascaris Lumbricoides

Selama fase migrasi, larva Ascaris Lumbricoides di paru

penderita akan membuat pendarahan kecil di dinding

alveolus dan timbul gangguan batuk dan demam. Pada foto

thorak penderita Ascaris akan tampak infiltrate yaitu tanda

terjadi pneumonia dan eosinophilia di daerah perifer yang

disebut sebagai sindrom Loeffler. Gambaran tersebut akan

menghilang dalam waktu 3 minggu (Southwick dkk, 2007).

b) Gejala akibat Cacing Dewasa

Selama fase didalam saluran pencernaan, gejala utamanya

berasal dari dalam usus atau migrasi ke dalam lumen usus

yang lain atau perforasi ke dalam peritoneum (Rampengan,

2008). Cacing dewasa yang tinggal dilipatan mukosa usus

halus dapat menyebabkan iritasi dengan gejala mual,

muntah, dan sakit perut.


12

5) Diagnosis Ascaris Lumbricoides

Cara menegakkan diagnosis Ascaris biasanya melalui

pemeriksaan Laboratorium karena gejala klinis dari penyakit ini

tidak spesifik. Secara garis besar Ascaris dapat ditegakkan

berdasarkan kriteria sebagai berikut :

a) Ditemukannya telur Ascaris Lumbricoides, fertilized,

unfertilized, maupun dekortikasi di tinja seseorang.

b) Ditemukannya larva Ascaris Lumbricoides di dalam sputum

seseorang.

c) Ditemukannya cacing dewasa keluar melalui anus ataupun

bersama dengan muntah (Gillespie dkk, 2001: Rampengan,

2008).

6) Cara penularan Ascaris Lumbricoides

Cara penularan Ascaris terjadi melalui beberapa jalan

yakni telur infektif Ascaris Lumbricoides yang masuk ke dalam

mulut bersamaan dengan makanan dan minuman yang

terkontaminasi, melalui tangan yang kotor tercemar terutama

pada anak-anak, atau telur infektif yang terhirup udara

bersamaan dengan debu. Pada keadaan telur infektif yang

terhirup oleh pernapasan, telur tersebut akan menetes di mukosa

alat pernapasan bagian atas dan larva akan segera menembus

pembuluh darah dan beredar bersama aliran darah (Soedarto,

2009). Cara penularan Ascaris Lumb ricoides juga dapat terjadi


13

melalui sayuran dan buah karena tinja yang dijadikan pupuk

untuk tanaman sayur-mayur dan buah-buahan (Sutanto dkk.,

2008).

7) Pencegahan Ascaris Lumbricoides

Untuk mencegah penularan penyakit yang di sebabkan

oleh Ascaris dapat di lakukan dengan membiasakan berdefekasi

dijamban, sebelum melakukan persiapan makan dan hendak

makan, tangan dicuci terlebih dahulu dengan baik dan benar.

8) Pengobatan Ascaris Lumbricoides

Pengobatan dapat dilakukan secara perorangan atau

secara masal pada masyarakat. Untuk perorangan dapat

digunakan bermacam-macam obat misalnya piperasin dosis

tunggal untuk orang dewasa 3-4 gram, untuk anak-anak 25

mg/kgBB selama 3 hai atau 500 mg dosis tunggal 10 mg/kgBB

mabedazol dosis tunggal 400 mg.

b. Cacing Cambuk (Trichuris Trichiura)

Cacing dewasa Trichuris Trichiura mempunyai bentuk

tubuh mirip seperti cambuk, sehingga dalam kesehaian cacing ini

lebih di kenal sebagai cacing cambuk. Bagian arterior yang

merupakan 3/5 bagian dari tubuh cacing cambuk berbentuk

langsung mirip benang, sedangkan 2/5 bagian tubuh yang lain

merupakan bagian posterior, tampak lebih gemuk. Sehingga

apabila dikaitkan dengan bentuk cambuk, maka bagian posterior


14

merupakan bagian pegangan dari cambuk, dan bagian anterior

merupakan bagian cambuknya. Cacing jantan Trichuris Trichiura

lebih kecil dan lebih pendek dibandingkan cacaing Trichuris

Trichiura betina, panjang cacing jantan sekitar 3-4cm, sedangkan

panjang cacing betina sekitar 4-5 cm (Prasetyo, 2013).

Telur cacing cambuk (Trichuris Trichiura) mempunyai cirri-

ciri: ukuran 50 x 25 mikron, warna kecoklatan, bentuk seperti tong

atau guci, terdapat operculum dikedua kutub, mengandung ovum

yang fertile (Irianto, 2009 : 30).

Gambar 5 : Telur Cacing Trichuris Trichiura


(Sumber: http://www.dpd.cdc.gov/dpdxHTML/Image_Library.htm)

Gambar 6 : Cacing Dewasa Trichuris Trichiura


15

(sumber : http://www.dpd.cdc.gov)

1) Klasifikasi Trichuris Trichiura

Klasifikasi Trichuris Trichiura


Phylum : Nemathelmithes
Class : Nematoda
Ordo : Enoplida
Family : Trichinelloidea
Genus : Trichuris
Spesies : Trichuris Trichiura
2) Morfologi Trichuris Trichiura

Cacing betina panjangnya kira-kira 5 cm, sedangkan

cacing jantan 4 cm, bagan anteriornya langsing seperti cambuk,

panjangnya ¾ dari panjang seluruh tubuh. Bagian posterior

bentuknya lebih gemuk, pada cacing betina bentuknya

membulat tumpul dan pada cacing jantan melingkar dan

terdapat satu spikulum.

Telur cacing Trichuris Trichiura memilki ukurn 50-54 mikron

x 32 mikron berbentuk tempayan dengan semacam penonjolan

yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar berwarna

kekuningan-kuningan dan bagian dalamnya jernih.

3) Siklus Hidup Trichuris Trichiura

Telur ini mengalami pematangan dan menjadi infektif di

tanah dalam waktu 3-4 minggu lamanya. Jika manusia tertelan

telur cacing yang infektif maka di dalam usus halus dinding telur
16

pecah dan larva keluar menuju sekum dan berkembang

menjadi cacing dewasa. Dalam waktu satu bulan sejak sejak

masuknya telur infektif ke dalam mulut, cacing telah menjadi

dewasa cacing betina sudah mulai mampu bertelur Trichuris

Trichiura dewasa dapat hidup beberapa tahun lamanya di

dalam usus manusia (Ni Nyoman, 2018).

Gambar 7: Siklus Hidup Trichuris Trichiura

4) Gejala Klinik Trichuris Trichiura

Bagian anterior cacing dewasa Trichuris Trichiura akan

menembus mukosa usus besar, akan merusak pembuluh darah

dan akan mengakibatkan pendarahan. Darah yang keluar akan

di hisap sebagai bahan makanan bagi cacing dan sebagaian

menyebabkan feses berdrah sehingga Nampak seperti gejala

disentril. Pada infeksi berat maka dapat terjadi anemia, bahkan

dapat merusak pesyarafan di submukosa usus besar yang

berakibat menjadi kelumpuhan sehingga pada saat penderita


17

mengejan dapat menyebabkan dinding usus besar terdorong

keluar (Ni Nyoman, 2018).

5) Diagnosis Trichuris Trichiura

Diagnosis pasti Trichuris Trichiura di tegakkan dengan

melakukan pemeriksaan tinja untuk telur cacing yang khas

bentuknya, pada infeksi ini yang berat pemeriksaan proktoskopi

dapat menunjukkan adanya yang berbentuk cambuk yang

melekat pada rectum penderita.

6) Pencegahan Trichuris Trichiura

Untuk mencegah penularan Trichuris Trichiura selain

dengan mengobati penderita juga harus dilakukan pengobatan

masal unutk mencegah terjadinya infeksi di darah endemis.

Hygiene sanitasi perorangan dan lingkungan harus dilakukan

unutk mencegah terjadinya percemaran lingkungan oleh tinja

penderita, misalnya dengan membuat WC atau jamban yang

baik di setiap rumah makanan dan minuman harus di masak

denga baik untuk dapat membunuh telur infektif Trichuris

Trichiura.

7) Pengobatan Trichirus Trichiura

Karena cacing dewasa membenangkan kepalanya di

dalam dinding usus maka pengobatan terhadap infeksi cacing

ini sukar di lakukan dengan cepat. Untuk memberantas cacing

Trichuris Trichiura sebaiknya di berikan kombinasi dua obat


18

cacing secara bersama-sama yaitu kombinasi Pirantel Pamoate

dan Oksantel Pamoat. Pada penderita yang anemia di obati

dengan preparat besi di sertai dengan perbaikan gizi penderita.

B. Tinjauan Umum Tentang Metode Pemeriksaan Telur Cacing

1. Metode Sedimentasi

Status kecacingan seseorang dapat dipastikan dengan

menemukan telur cacing pada pemeriksaan Laboratorium tinja.

Pemeriksaan tinja terdiri dari pemeriksaan Mikroskopik dan

Makroskopik. Pemeriksaan Mikroskopik terdiri dari dua

pemeriksaan yaitu pemeriksaan Kualitatif dan Kuantitatif. Metode

yang sering digunakan untuk pemeriksaan Kualitatif tinja adalah

metode sedimentasi. Metode sedimentasi menggunakan larutan

dengan berat jenis yang lebih rendah dari organisme parasit,

sehingga parasit dapat mengendap di bawah. Metode ini terdiri

dari metode sedimentasi biasa yang hanya memanfaatkan gaya

gravitasi, dan metode sedimentasi Formol-Ether (Ritchie) yang

menggunakan gaya sentrifugal dan larutan formalin-eter pada

cara kerjanya. Metode sedimentasi biasa menggunakan

reagensia:

a. NaOH 0,2%

b. NaCL 0,9%

Adapun kekurangan dan kelebihan dari metode ini yaitu :

a. Kekurangan :
19

1) Penggunaan feses yang terlalu banyak dan memerlukan

waktu yang lama.

2) Perlu ketelitian tinggi agar telur tidak larut kembali ke atas

larutan.

b. Kelebihan :

1) Dapat digunakan untuk infeksi ringan dan berat.

2) Tel ur dapat terlihat jelas.

2. Metode Natif

Metode ini dipergunakan untuk pemeriksaan secara cepat dan

baik untuk infeksi berat, tetapi untuk infeksi yang ringan sulit

ditemukan telur-telurnya. Cara pemeriksaan ini menggunakan

larutan NaCl fisiologis 0,9% atau eosin 2%. Penggunaan eosin 2%

dimaksudkan untuk lebih jelas membedakan telur-telur cacing

dengan kotoran disekitarnya.

Kelebihan metode ini adalah mudah dan cepat dalam

pemeriksaan telur cacing semua spesies, biaya yang diperlukan

sedikit, serta peralatan yang digunakan juga sedikit. Sedangkan

kekurangan metode ini adalah dilakukannya hanya untuk infeksi

berat, infeksi ringan sulit dideteksi. Metode natif dilakukan dengan

cara mencampur feses dengan sedikit air dan meletakkannya di

atas gelas obyek yang ditutup dengan deckglass dan memeriksa

di bawah mikroskop.
20

3. Metode Apung

Metode ini menggunakan larutan NaCl jenuh atau larutan gula

yang memiliki BJ (berat jenis) yang lebih besar dari telur cacing.

Metode ini dilakukan dengan cara 2 gram feses yang akan

diperiksa ditaruh dalam mortir, dan ditambahkan sedikit air ke

dalamnya kemudian diaduk sampai larut. Larutan ini dituangkan

ke dalam tabung sampai ¾ tabung dan disentrifuse selama 5

menit. Hasil dari proses sentrifuse adalah cairan jernih dan

endapan. Cairan jernih diatas endapan tersebut dibuang dan

sebagai gantinya dituangkan NaCl jenuh di atas endapan sampai

¾ tabung. Larutan ini diaduk sampai merata dan disentrifuse lagi

selama 5 menit. Setelah disentrifuse tabung tersebut diletakkan

diatas rak dengan posisi tegak dan ditambahkan lagi NaCl jenuh

sampai permukaan cairan menjadi cembung, diamkan selama 3

menit. Untuk 8 mendapatkan telur cacing, obyek gelas diletakkan

pada permukaan yang cembung dan dibalik dengan hati-hati,

kemudian ditutup dengan deckglass dan periksa dibawah

mikroskop dengan perbesaran 10×10.

Macam Larutan Pengapung.

a.Larutan (Garam (NaCl) Jenuh, Magnesium sulfat (MgSO4) dan

Gula Jenuh), dapat mengapungkan telur cacing kelas Nematoda

(kecuali Metastrongylus sp), Kestoda serta Ookista dan Kista dari

Protozoa.
21

b.Larutan (Potassium Mercuri Iodide, Seng Chlorida , dapat

mengapungkan telur cacing kelas Nematoda, Kestoda dan

Trematoda.

c. Larutan NaCl jenuh BJ 1,20

d. Larutan gula jenuh BJ 1,12-1,30

e. Larutan ZnSo4 33% BJ 1.18

f. Larutan MgSO4 35% BJ 1,28

C. Kerangka Konsep

Anak
usia
7-12
tahun

Feses

Pemeriksaan telur cacing


Metode sedimentasi

Positif (+) jika Negatf (-) jika tidak


ditemukan telur cacing ditemukan telur cacing
Ascaris Lumbrocoides Ascaris Lumbricoides
dan trichuris trichiura dan Trichuris Trichiura

BAB III
22

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah Observasi. Yang ditunjang

dengan pemeriksaan Laboratorium dengan menggunakan Metode

Sedimentasi untuk mengidentifikasi adanya Telur Cacing Nematode

Usus pada feses anak usia 7-12 tahun di RT 011 RW 09 Desa Batu

Merah Kecamatan Sirimau Kota Ambon (Notoatmodjo, 2010).

B. Waktu dan Lokasi Penelitian

1. Waktu Penelitian

Waktu penelitian dimulai pada bulan Mei Tahun 2021

2. Lokasi Penelitian

Lokasi pengambilan sampel dilakukan di RT 011, RW 09 Desa Batu

Merah Kecamatan Sirimau Kota Ambon. Dan lokasi pemeriksaan

sampel dilakukan di Balai Laboratorium Kesehatan dan Kalibrasi Alat

Kesehatan Provinsi Maluku.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan objek penelitian

atau objek yang diteliti (Notoamodjo, 2010). Populasi dalam

penelitian ini berjumlah 110 orang anak usia 7-12 tahun di RT 011,

RW 09 Desa Batu Merah Kec. Sirimau Kota Ambon.

2. Sampel 22
23

Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian dari jumlah dan

karakteristik yang dimiliki oleh populasi yang secara nyata diteliti dan

ditarik kesimpulan (Masturoh dan Anggita, 2018). Menurut Arikunto

(2012) mengatakan bahwa apabila subjek kurang dari 100 lebih baik

di ambil semua sehingga penelitiannya merupakan penelitian

populasi, sedangkan jika subjeknya lebih dari 100 dapat diambil

antara 10-15% atau 20-25%. Dalam penelitian ini sampel berjumlah

11 orang yang merupakan 10% dari jumlah populasi 110 orang anak

usia 7-12 tahun di RT 011, RW 09 Desa Batu Merah Kecamatan

Sirimau Kota Ambon.

D. Variable dan Definisi Operasional

Tabel 1.1 Defenisi Operasional


Variabel Defenisi Cara Ukur Alat ukur Hasil Ukur Skala
No
Operasional
identifika Suatu Uji Observasi Positif (bila Nominal
siTelur kegiatan Laboratoriu Laboratoriu ditemukan
Cacing memeriksa m metode m telur cacing)
Nematod Telur Cacing sedimenta -Mikroskop Negatif (bila
a Usus Nematoda si tidak
pada usus ditemukan
feses Menggunaka telur cacing)
anak- n Metode
anak Sedimentasi
pada feses
anak di RT
011,RW 09

E. Teknik Pengumpulan Data

1. Data Primer

Data yang diperoleh langsung menggunakan analisa, pemeriksaan

telur cacing yang dilakukan penulis.

2. Data Sekunder
24

Data yang diperoleh dari buku-buku, jurnal atau hasil penelitian

sebelumnya serta sumber-sumber lain yang relevan.

F. Bahan/Instrumen Penelitian

1. Alat

a. Pot glass

b. Pipet tetes

c. Tabung reaksi

d. Objek glass

e. Kaca penutup

f. Label/spidol

g. Ose

h. Mikroskop

i. Sentrifuge

2. Bahan

a. Feses/Tinja

b. Tissue

c. NaOH 0,2%

d. NaCL 0,9%

3. Prosedur Kerja

a. Prosedur Pengambilan Sampel

1) Siapkan alat dan bahan untuk pengambilan sampel feses,

seperti pot sampel, lidi steril, handscoon.


25

2) Pembagian wadah sampel dan memberikan penjelasan

tentang pengambilan sampel pada respond yaitu : feses tidak

boleh tercampur air kloset maupun urin dan menggunakan lidi

dan handscoon saat pengambilan feses, feses diambil kurang

lebih 2-5 gr. Selanjutnya pengambilan sampel yang di dapat di

beri label identitas (Nama, Kode sampel). Masukkan wadah

sampel kedalam box.

b. Prosedur penanganan sampel

1) Spesimen feses harus segera di bawah ke Laboratorium

(kurang dari 2 jam setelah pengambilan).

2) Bila lebih dari 2 jam specimen dimasukkan ke dalam media

transport Carry dan Blair dan di simpan dalam suhu ruang.

3) Bila tidak ada media transport, feses disimpan dala suhu 2-

8oC.

c. Prosedur pemeriksaan

1) Cara Kerja NaOH 0,2%

Pemeriksaan telur cacinng dilakukan dengan metode

pengendapan NaOH. Prosedur kerja dari pemeriksaan parasit

tersebut adalah sebagai berikut :

a) Menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.

b) Ambil 3-4 tetes konsentrat tinja menggunakan ose, masukkan

ke dalam tabung reaksi dan tambahkan larutan NaOH 0,2%

hingga ¾ tabung, kemudian di tutup dengan kapas.


26

c) Sentrifuge dengan kecepatan 2000 rpm selama 10 menit.

d) Terbentuk 2 lapisan yakni lapisan jernih dan endapan, dibuang

bagian yang jernih dengan cara menuangkan tabung reaksi

secara cepat dan endapan di periksa.

e) Ambil endapan 1 tetes letakkan di atas objek glaas, tutup

dengan kaca penutup.

f) Kemudian diperiksa dibawah mikroskop dengan pembesaran

10x dan 40x.

Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila salah satu

atau kedua sediaan ditemukan telur cacing dan hasil negatif

apabila kedua sediaan tidak ditemukan adanya telur cacing.

2) Cara Kerja NaCL 0,9%

Pemeriksaan telur cacing dilakukan dengan metode

pengendapan NaCL. Prosedur kerja dari pemeriksaa parasit

adalah sebagai berikut:

a) Menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.

b) Ambil 3-4 tetes konsentrat tinja menggunakan ose, masukkan ke

dalam tabung reaksi dan tambahkan larutan NaCL 0,9% hingga

¾ tabung, kemudian di tutup dengan kapas.

c) Sentrifuge dengan kecepatan 2000rpm selama 10 menit.

d) Terbentuk 2 lapisan yakni lapisan jernih dan endapan, dibuang

bagian yang jernih dengan cara menuangkan tabung reaksi

secara cepat dan endapan di periksa.


27

e) Ambil endapan 1 tetes letakkan di atas objek glass, tutup

dengan kaca penutup.

f) Kemudian diperiksa dibawah mikroskop dengan pembesaran

10x dan 40x.

Hasil pemeriksaan dinyatakn positif apabila salah saru atau

kedua sediaan ditemukan telur cacing dan hasil negatif apabila

kedua sediaan tidak ditemukan adanya telur cacing.

G. Pengolahan dan Analisis Data

1. Pengolahan Data

Pengolahan data adalah cara perbuatan mengolah semua

keterangan untuk keperluan penelitian yang bersifat teratur

(sistematis) dan terencena (Al-Hafizh, 2008). Setelah

mengumpulan data, maka dilakukan pengolahan data.

2. Analisis Data

Analisa data adalah kegiatan pengolahan data setelah data

didapatkan dari hasil pengumpulan data (Notoatmodjo, 2010 h.

173). Analisa yang digunakan adalah analisa deskriptif dimana

hasil pemeriksaan laboratorium di masukkan dalam tabel-tabel

yang bertujuan untuk mengetahui adanya telur cacing nematode

usus pada feses anak usia 7-12 tahun di RT 011 RW 09 Desa Batu

Merah Kecamatan Sirimau Kota Ambon.


28

H. Penyajian Data

Data yang diperoleh dari penelitian akan disajikan dalam

bentuk tabel dan diuraikan dalam bentuk narasi (tekstular).


29

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. HASIL PENELITIAN

1. Data Umum

Penelitian ini dilakukan pada tanggal 6-10 Mei 2021 di Balai

Laboratorium Kesehatan Dan Kalibrasi Alat Kesehatan Provinsi

Maluku. Tempat pengambilan sampel ini dilakukan di Desa Batu

Merah Kecemata Sirimau RT 011/RW 09. Desa batu merah

kecamatan sirimau secara geografis memiliki batas-batas wilayah

sebagai berikut :

a. Sebelah Utara berbatasan dengan Teluk Ambon

b. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Leitimur Selatan

c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Teluk Ambon

Baguala

d. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Nusaniwe

2. Data Khusus

Hasil pemeriksaan yang diperoleh dari Balai Laboratorium

Kesehatan Dan Kalibrasi Alat Kesehatan Provinsi Maluku tentang

Identifikasi Telur Cacing Nematode Usus Menggunakan Metode

Sedimentasi Pada Feses Anak Usia 7-12 Tahun Di Rt 011 Rw 09

Desa Batu Merah Kecamatan Sirimau Kota Ambon dengan Jumlah

sebanyak 11 sampel feses pada anak usia 7-12 tahun dapat dilihat

sebagai berikut:

29
30

Tabel 2. Hasil Pemeriksaan Telur Cacing STH

N NaCL 0,9% NaOH 0,2%


Sampel
O Al Tt Al Tt
1 001 - - - -
2 002 - - - -
3 003 + - - -
4 004 - - - -
5 005 - - - -
6 006 - - - -
7 007 - - - -
8 008 - - - -
9 009 - - - -
10 010 - - - -
11 011 - - - -
Sumber Data Primer, 2021
KETERANGAN
Al = Ascaris Lumbricoides
Tt = Trichuris Trichiura

Dan dari hasil pemeriksaan pada 11 sampe feses pada anak usia 7-
12 tahun di RT 011/RW 09 Desa Batu Merah Kecamatan Sirimau Kota
Ambon diperoleh hasil seperti gambar pada tabel di bawah ini :

Tabel 3. Distribusi Hasil Pemeriksaan Telur Cacing STH


NO Hasil frekuensi Presentase (%)
1 Positif 1 9
2 Negatif 10 91
Jumlah 11 100
31

Sumber Data Primer, 2021


KETERANGAN
Positif =1
Negatif = 10
Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa dari 11 sampel feses

yang di ambil dari anak usia 7-12 tahun ditemukan 1 sampel positif

dengan presentase 9% dan 10 sampel negatif dengan presentase 91%

dengan total sampel 11 dengan presentase 100%.

B. PEMBAHASAN

Pemeriksaan feses pada anak usia 7-12 tahun di desa batu merah

RT 011/RW 09 kecamatan sirimau kota ambon sebanyak 11 sampel

yang dilaksanakan di Balai Laboratorium Kesehatan Dan Kalibrasi Alat

Kesehatan Provinsi Maluku adalah pemeriksaan mikroskopis dengan

metode sedimentasi menggunakan reagensia Nacl 0,9% dan NaOH

0,2%.

Pengambilan sampel dilakukan di Desa Batu Merah RT 011/RW

09 Kecamatan Sirimau Kota Ambon, prosedur pemeriksaan

menggunakan metode sedimentasi. Berdasarkan Tabel 4.1. diketahui

dari 11 sampel terdapat 1 sampel positif cacing Ascaris Lumbricoides

dengan menggunakan reagensia NaCl 0,9%. Sementara pada

pemeriksaan telur cacing menggunakan reagensia NaOH 0,2% tidak

terdapat telur cacing dengan sampel positif yang menggunakan

reagensia NaCl 0,9%. Hal ini disebabkan karena NaOH 0,2% bersifat

sangat korosif terhadap kulit. Istilah yang paling sering digunakan


32

dalam industri yaitu soda kaustik. Soda kaustik apabila dilarutkan dalam

air akan menimbulkan reaksi eksotermis (Glory Riama, dkk, 2012).

Dengan adanya sifat korosif dan bila dilarutkan dalam air akan

menimbulkan reaksi eksotermis dapat membantu penghancuran feses

dan melepaskan beberapa telur cacing yang menempel pada feses

yang keras, hancurnya feses mengubah bentuk feces yang semula

keras menjadi butiran halus hingga sulit mengendap dan membutuhkan

waktu tambahan 15 menit untuk mengendapkan telur cacing. Hal ini

juga yang menyebabkan telur cacing Ascaris Lumbricoides ikut hancur

pada saat menunggu telur mengendap. Sedangkan untuk reagensia

NaCl 0,9% tidak memiliki sifat pelepasan panas bila dilarutkan dalam

air dan tidak memiliki sifat korosif, hal ini terjadi saat dilihat pada sedian

feses dimana sisa makanan masih mempertahankan beberapa bentuk

aslinya, karenanya hasil yang menggunakan reagensia NaCl 0,9% lebih

jernih dan bersih. Selain itu reagensia NaCl 0,9% dapat digunakan

pada metode sedimentasi dan metode apung. Berdasarkan

pemeriksaan melalui berbagai metode tersebut diketahui bahwa

masing-masing metode memiliki efektivitas tersendiri untuk

menemukan jenis cacing yang berbeda morfologi dan fisiologinya (M.

Rofiq Nezar ,Dkk., 2014).


33

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN
34

Dari penelitian yang dilakukan pada pemeriksaan telur cacing


nematode usus menggunakan metode sedimentasi pada feses anak
usia 7-12 tahun di RT 011/RW 09 Desa Batu Merah Kecamatan
Sirimau Kota Ambon dapat diambil kesimpulan penggunaan reagensia
NaCl 0,9% lebih baik dari pada reagensia NaOH 0,2% karena dari
hasil penelitian ditemukan 1 sampel positif terdapat cacing Ascaris
Lumbricoides dengan menggunakan reagensia NaCL 0,9%.

B. SARAN

Cacing Ascaris Lumbricoides menginfeksi manusia melalui

makanan dan tanah yang mengandung telur cacing nematoda usus,

cacing ini juga menginfeksi manusia melalui personal hygiene dan

sanitasi yang kurang baik. Untuk mencegah penularan cacing ini perlu

dilakukan beberapa hal sebagai berikut :

Bagi masyarakat

1. Menjaga hygiene dan sanitasi diri

a. Membiasakan memakai alas kaki ketika kontak langsung

dengan tanah.

b. Membiasakan diri untuk mencuci tangan sebelum dan

sesudah makan.

c. Melakukan pemeriksaan secara teratur untuk mengetahui

terinfeksi cacing atau tidak.


34
d. Meminum obat cacing secara teratur 6 bulan sekali.

e. Tidak buang air besar di sembarangan tempat.


35

2. Menjaga hygiene dan sanitasi lingkungan

a. Membersihkan dan merawat lingkungan tempat tinggal

setiap hari.

b. Membuat kandang untuk hewan ternak.

c. Di sarankan untuk membuat jamban bersih, serta tempat

sampah.

d. Tidak membuang sampah di lingkungan sekitar atau

sekitaran sungai.

Bagi dinas kesehatan :

Di upayakan untuk mengadakan pemeriksaan setiap enam bulan

sekali kepada masyarakat terutama bagi anak usia 7-12 tahun

serta pemberian atau pengadaan obat cacing melalui puskesmas

yang terdapat di desa tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. (2012). “Prosedur Penelitian’’.Jakarta:n Rineka Cipta.


Gibson et al, 1997, “Manajemen, Proses dab Struktur’’, ahli bahasa
Agus Dharma, Erlangga, Jakarta.
36

Buku medical parasitology (Satoskar, 2009)

Buku Panduan Penyusunan Karya Tulis Ilmiah Edisi Revisi. Program Studi
Teknologi Laboratorium Medis.Politeknik Kesehatan Kemenkes
Maluku. (2018/2019).

DEPKES RI, 2015. Sistem Kesehatan Nasional. http://


www.depkes.go.id.Accesed at : 25 Juni 2019.

Dhia Irfan Hanif DKK, 2017, Gambaran Pengetahuan Penyakit Cacingan


(Helminthiasis) Pada Wali Murid Sdn 1, 2, 3, Dan 4 mulyoagung
Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur,Jjurnal Preventia

Glory Riama, Dkk, 2012, Pengaruh H2O2, Konsentrasi NaOH dan Waktu
Terhadap Derajat Putih Pulp dari Mahkota Nanas, Jurnal Tekni
Kimia, No.3, Vol 18,Hlm 26

Irianto, 2009. Parasitologi Medis. Bandung: Penerbit Alfabeta.

Marieta Puspa Regina, 2018, Perbandingan Pemeriksaan Tinja Antara


Metode Sedimentasi Biasa dan Metode Sedimentasi Formal Ether
dalam Mendeteksi Soil Transmitted Helminth, Jurnal Kedokteran
Dipenogoro, Vol: 7 Hlm: 527-529,533

M. Rofiq Nezar ,Dkk., 2014, Jenis Cacing Pada Feses Sapi Di Tpa
Jatibarang Dan Ktt Sidomulyo Desa Nongkosawit Semarang,
Unnes Journal of Life Science, Vol :3 No: 2, Hlm : 99-100

Ni Nyoman, 2018, Identifikasi Telur Cacing Soil Transmitted Helminth


(STH) Pada Anak Sekolah Dasar SDN 9 Baruga Kota Kendari
Sulawesi Tenggara, Hlm: 5-17

Notoatmodjo S. 2010. Metodelogi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka


cipta.
37

Sumber :http://dpd,cdc.gov/dpdx/HTML/Image_Library.htm

Sumber : http://www.dpd.cdc.gov

Sumber :www.dpd.cdc.gov/

Sutanto, 2008. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran Jakarta Balai Penerbit


FK UI.p6-32.

World Healt organization (WHO, 2016). Soil Transmitted Helminth


infections. Retrieved November, 2016, from http//www.who
.int/mediacentre/factsheets/fs366/en/

DOKUMENTASI PENELITIAN
38

Gambar 1. Sampel Feses Gambar 2. Proses Penelitian

Gambar 3. Tahap ke-2 Gambar 4. Tahap ke-3


39

Gambar 5. Pengamatan Gambar 6. Telur cacing Ascaris


Lumbricoides
Pembesaran 10X, 40X
40
41
42

Anda mungkin juga menyukai