Anda di halaman 1dari 42

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kecacingan merupakan suatu penyakit yang ditimbulkan oleh
berbagai jenis cacing yang berada di dalam usus yang dapat mengakibatkan
terjadinya infeksi dalam tubuh manusia. Berdasarkan data dari Word Health
Organization (WHO) tahun 2012 mengatakan bahwa kejadian penyakit
cacingan di dunia masih tinggi yaitu lebih dari 1,5 miliar orang atau 24%
dari populasi dunia terinfeksi cacing, khususnya usia anak sekolah sebesar
600 juta anak-anak di Indonesia. Prevalensi kecacingan masih relatif tinggi
sebesar 32,6% yaitu cacing Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura,
Enterobius vermicularis, Ancylostoma doudunale dan Necator americanus.
(WHO, 2012).

Di Indonesia sendiri angka kesakitan karena terinfeksi cacing usus


cukup tinggi prevalensi tertinggi mencapai 76,67%. Di daerah Papua dengan
prevalensi berkisaran 50%, tercatat sebagai daerah yang memiliki prevalensi
kecacingan masih tinggi di Indonesia. (Depkes, 2006).

Usia anak-anak merupakan kelompok beresiko terinfeksi kecacingan


ini karena aktivitas bermain anak-anak lebih banyak ditanah dan sungai
sehingga dapat kontak dengan tanah yang terkontaminasi larva dan telur
cacing. Sanitasi lingkungan yang buruk, sosial ekonomi yang rendah,
kepadatan penduduk dan perilaku hygiene perorangan yang kurang baik akan
menyebabkan peningkatan infeksi kecacingan yang ditularkan melalui tanah
(Susanto ddk 2015).

Menurut Haerani, dkk (2014) bahwa kecenderungan prevalensi


kecacingan lebih tinggi pada anak umur 6-10 tahun dapat dihubungkan
dengan faktor kebiasaan bermain. Umumnya anak-anak pada usia tersebut
lebih banyak bermain diluar rumah dan kontak langsung dengan tanah yang
merupakan media penularan cacing. Kecacingan dapat menyebabkan banyak
kerugian serta dampak yang ditimbulkan dalam jangka panjang seperti
2

menurunnya kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan serta produktivitas.


Walaupun demikian penyakit kecacingan ini sering terjadi tanpa adanya
gejala, sehigga penyakit ini di anggap bukan lah penyakit yang berbahaya dan
masuk dalam golongan penyakit yang terabaikan.

1.2 Batasan masalah


Batasan masalah dalam penelitian ini adalah pemeriksaan telur
Nematoda Usus penyebab kecacingan Pada Anak Sekolah Dasar Negeri Vim
II Kotaraja

1.3 Rumusan Masalah


Rumusan masalah dalam penelitian adalah bagaimana hasil
pemeriksaan telur Nematoda Usus penyebab kecacingan Pada Anak Sekolah
Dasar Negeri Vim II Kotaraja
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian adalah untuk mengetahui hasil pemeriksaan
telur Nematoda Usus penyebab kecacingan Pada Anak Sekolah Dasar Negeri
Vim II Kotaraja
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Bagi Civitas Akademika
Sebagai bahan informasi dan referensi bagi Universitas Sains dan
Teknologi Jayapura, khususnya bagi Mahasiswa Prodi Analis Kesehatan
pada bidang parasitologi
b. Bagi Masyarakat
Sebagai sumber pengetahuan dan informasi mengenai dampak infeksi
kecacingan pada anak Sekolah Dasar Negeri Vim II Kotaraja agar
memiliki pola hidup yang lebih baik dari sebelumnya sehingga terhindar
dari penyakit kecacingan
c. Bagi Peneliti
3

Sebagai penambahan pengetahuan dan wawasan bagi peneliti


dalam bidang parasitologi, serta memenuhi syarat akademi untuk
memperoleh gelar Ahli Madya D-III Analis Kesehatan.

1.6 Keaslian Penelitian


Adapun tabel keaslian penelitian dibawah ini adalah sebagai berikut:
Tabel 1.1 keaslian penelitian

No Peneliti Jenis Penelitian Metode Variable Analisa


Penelitian penelitian penelitian
1. Anggraini Identifikasi Telur Deskriptif Nematoda Deskriptif
(2020) Nematoda Usus Usus
(Soil Transmitted
Helmints) Pada kuku
jari tangan pekerja
tempat penitipan
Hewan (flotasi)
menggunakan NaCl.
2 Irawati Analisis factor Kuantitati Nematoda Deskriptif
(2017) penyebab kejadian f Usus
kecacingan pada
anak sekolah dasar
di wilayah kerja
puskesmas lubuk
buaya padang tahun
2017.

3 Ershandi Prevalansi Deskriptif Nematoda Deskriptif


(2014) Nematode usus Usus
golongan (Soil
Transmitted
Helmithes) pada
peternakan di
lingkungan Gatep
Kelurahan Ampenan
Selatan.

Sedangkan peneliti sendiri tertarik mengambil judul “Pemeriksaan


Telur Nematoda usus penyebab kecacingan Pada Anak Sekolah Dasar
Negeri Vim II Kotaraja yang membedakan dengan peneliti sebelumnya
adalah terletak pada tempat dan waktu serta variabel.
4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Nematoda usus
Nematoda berasal dari bahasa Yunani, Nema artinya benang dan toda

yang artinya cacing Nematoda adalah cacing yang bentuknya panjang,

silinder, tidak bersegmen dan tubuhnya bilateral simetrik, panjang cacing ini

mulai dari 2 mm sampai 1 m. Nematoda yang hidup di usus manusia disebut

dengan Nematoda usus. Nematoda yang ditemukan pada manusia terdapat

dalam organ usus, jaringan dan sistem peredaraan darah, keberadaan cacing

ini menimbulkan manifestasi klinik yang berbeda-beda tergantung pada

spesiesnya dan organ yang diserang (Sandjaja,2007).

Di antara nematoda usus ini yang paling sering menginfeksi manusia

adalah yang ditularkan melalui tanah atau disebut “soil transmitted

helminths”. Empat jenis Soil Transmitted Helmints (STH) yang paling sering

menginfeksi adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk

(Trichuris trichiura), cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator

americanus). STH yang hanya di bantu transmisinya oleh pedagang makanan

(food handler) melalui kontaminasi tangan adalah cacing gelang (Ascaris

lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura). (Chandra dan budiman.

2007).
5

Menurut Bethony, 2006 Jenis dari Nematoda usus adalah :

a. Ascaris lumbricoides (Cacing gelang)

Ascaris lumbricoides merupakan cacing perut atau cacing gelang

yang paling banyak dijumpai disaluran cerna manusia, berhabitat di usus

halus dan penyakit yang ditimbulkannya disebut Askariasis cacing ini

pada umumnya ditularkan melalui tanah. Prevelensi Askariasis di

Indonesia termasuk dalam kategori tinggi yaitu memiliki frekuensi antara

60 -90%. Ascaris lumbricoides disebut juga ( cacing gelang ), umumnya

sebagai parasit dalam usus manusia. Bersifat kosmopolit, terutama daerah

tropis. Ascaris menyebabkan penyakit yang dikenal dengan Ascariasi.

1. Klasifikasi
Menurut Irianto (2013), klasifikasi Ascaris lumbricoides adalah
sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filium : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Ordo : Rhabdidata
Famaili : Ascarididae
Genus : Ascaris
Spesies : Ascaris lumbricoides
2. Morfologi
Cacing dewasa Ascaris lumbricoides berwarna putih, kuning

kemerahan. Cacing ini dapat dibedakan jenis kelaminnya. Biasanya

jenis betina memiliki ukuran yang relatif lebih besar dibandingkan

jantan. Jenis kelamin cacing jantan memiliki ukuran panjang

berkisar antara 10 – 30 cm, pada bagian posterior ekornya melingkar


6

dan memiliki 2 spikula atau bagian seperti untaian rambut. Sedangkan

jenis kelamin betina panjang badannya berkisar antara 20-35 cm.

Bagian ekornya relatif lurus dan runcing memiliki cincin. Telur cacing

Ascaris lumbricoides memiliki 2 bentuk telur yaitu telur fertile

(dibuahi) dan telur infertile (tidak dibuahi). Telur cacing berukuran 60 x

45 ul, berbentuk oval berbanding tebal terdiri dari 3 lapis yaitu :

Lapisan luar yang tebal dari bahan albuminoid, Lapisan tengah dari

bahan hialin (lapisan ini yang memberi bentuk telur) dan Lapisan paling

dalam dari bahan vitelline (Pelapisan sel telurnya) (Sandjaja, 2007).

Gambar 2.1 Cacing Ascaris Lumbricoides Fertil (CDC, 2009)

Telur fertile yang belum berkembang biasanya tidak memiliki

rongga udara, tetapi yang telah mengalami pematangan kadangkala

mengalami pengelupasan dinding telur yang paling luar sehingga

penampakan telurnya tidak lagi berbenjol-benjol (mammilated), kasar

melainkan tampak halus. Pada telur ini lapisan hialin menjadi lapisan

yang paling luar. Telur fertile yang di buahi inilah yang dapat

menginfeksi manusia. Telur fertile berukuran 90 x 40 ul lebih besar dari


7

pada telur fertile, berbentuk bulat lonjong atau tidak teratur, lebih

memanjang, berisi protoplasma yang mati sehingga tampak lebih

transparent (Pusarawati dkk, 2009).

Gambar 2.2 Telur Cacing Ascaris lumbricoides (Widoyono, 2011)

3. Epidemiologi
Ascaris lumbricoides merupakan parasit yang kosmopolit yaitu

tersebar diseluruh dunia, terutama didaerah tropis dengan beriklim

panas dan lembab. Semua umur dapat terinfeksi namun anak kecil yang

sering bermain dengan tanah akan berpeluang besar untuk

terkontambinasi oleh telur cacing. Penularan Askariasis dapat terjadi

musiman atau sepanjang tahun. Di pedesaan kasus ini lebih tinggi

prevelensinya mencapai 60 – 90 %. Hal ini terjadi karena buruknya

sistem sanitasi lingkungan di pedesaan, tidak adanya jembatan sehingga

tinja manusia tidak terisolasi dan larva mudah menyebar. Hal ini juga

terjadi pada golongan masyarakat yang memiliki tingkat sosial ekonomi


8

yang rendah, sehingga memiliki kebiasaan membuang hajat (defekasi)

ditanah, yang kemudian tanah akan terkontambinasi dengan telur cacing

yang infektif (Sandjaja,2007).

4. Siklus Hidup
Telur cacing yang terinfektif bila tertelan manusia menetes

menjadi larva, larva akan menembus dinding usus halus menuju

pembuluh darah atau saluran limfa, lalu dialirkan ke jantung, kemudia

mengikuti aliran darah ke paru-paru. Larva yang ada di paru menembus

dinding pembuluh darah, masuk rongga alveolus, kemudian naik ke

trakea dan bronkus. Dari trakea larva ini menuju ke faring, selanjutnya

larva akan masuk ke saluran pencernaa dan di usus halus larva berubah

menjadi cacing dewasa. Kemudian cacing dewasa berkopulasi dan

bertelur. Telur cacing akan bercampur dengan feses dan berada di alam

(tanah) untuk menjadi matang. Telur matang akan tertelan oleh manusia

melalui makanan yang terkontambinasi telur (Sandjaja, 2007).

Gambar 2.3 Siklus Hidup Ascaris lumbricoides (CDC, 2009)


9

5. Gejala

Gejala cacing Ascaris lumbricoides menimbulkan penyakit


yang di sebabkan yaitu terbagi atas :

a. Telur dan Larva : Menimbulkan kerusakan pada paru-paru dan


menyebabkan “Loeffer Syndrome” dengan gejala : demam, batuk,
diare, leukositosis, anemia, nyeri perut dan eosinofilia.
b. Cacing dewasa: Penderita dengan infeksi sedang dan ringan biasanya
menjalani gejala gangguan usus ringan seperti : mual, nafsu makan
berkurang, diare, anemia dan konstipasi. Pada infeksi berat pada
anak dapat terjadi malabsorpsi sehingga memperbesar keadaan
malnutrisi. Dalam sehari seekor cacing dapat menghisap 0,14 gram
karbohidrat dalam usus halus penderita (Sandjaja, 2007).

6. Preventif
Hygiene perorangan, sanitasi lingkungan, menghindari makanan
yang tidak higenis, menghindari air yang diperoleh dari sumber yang
terkontaminasi.

7. Cara penularan
Cacing dapat menularkan sebagai akibat dari adanya interaksi
antara agent, proses, transmisi, host, dan dipengaruhi oleh lingkungan.
Cacing dewasa hidup di usus kecil, bertelurdan telurnya akan keluar
bersama feses. Telur yang berada diluar tubuh (±3 minggu) akan tahan
terhadap cuaca dan menjadi matang pada tanah yang lembab.
Kebiasaan buang air besar disembarang tempat seperti di tanah
pekarangan, di kebun atau tidak pada jamban yang memenuhi syarat
akan mengakibatkan telut menyebar di tanah, apabila ditiup angin,telur
dapat menyebar dalam debu (Depkes RI, 2006).
10

b. Ancylostoma duodenale (Cacing Tambang)


Ancylostoma duodenale disebut juga cacing tambang yang
merupakan parasit (nematoda) yang hidup pada usus halus. Penyakit yang
disebabkan oleh cacing tambang di sebut Ankilostomiasis. Kebiasaan
defekasi ditanah dan pemakaian tinja sebagai pupuk kebun yang sangat
penting dalam penyebaran infeksi penyakit ini. Tanah yang baik untuk
pertumbuhan larva adalah tanah gembur, tanah pasir, tanah humus, tanah
liat dengan suhu 32oC (Pusarawati, 2014).
1. Klasifikasi

Menurut Sandjaja (2007), Klasifikasi Ancylostoma duodenale adalah


sebagai berikut :

Kingdom : Animalia
Filum : Nematoda
Class : Secernentea
Ordo : Stongiloidae
Family : Ancylostoma, Necator
Genus : Ancylostoma, Necator
Spesies : Ancylostoma duodenale
2. Morfologi
1. Morfologi Cacing
Cacing Ancylostoma duodenale berwarna putih keabu-abuan, bentuk
badan cacing deawasa seperti huruf C, memiliki panjang 1 cm,
dibagian mulutnya terdapat 2 pasang gigi. Cacing betina memiliki
ekor runcing sedangkan cacing jantan memiliki bursa kopulatriks
pada bagian ekornya. Cacing dewasa dapat bertelur antara 10.000 –
20.000 telur perhari.
11

Gambar 2.4 Cacing Ancylostoma duodenale (CDC, 2009)

2. Morfologi Telur
Telur cacing berukuran 70 x 45 ul, berbentuk bulat lonjong
dan berdinding tipis. Larva pada stadium rhabditifrom memiliki
panjang 250 ul, ekor runcing dan mulut terbuka. Larva pada stadium
filarifrom (Infective larvae) panjang 500 ul mulut tertutup ekor
runcing dan panjang esophagus 1/3 dari panjang badan (Sandjaja,
2007).

Gambar 2.5 Telur Cacing Ancylostoma


duodenale (CDC, 2009)

3. Epidemiologi
Infeksi cacing tambang banyak terdapat didaerah tropis dan
subtropis contoh Indonesia sering ditemukan pada penduduk yang
12

bertempat tinggal di pegunungan, terutama di daerah pedesaan,


khususnya di perkebunan, tempat rawan banjir. Cacing ini
menghisap darah hanya sedikit namun luka-luka gigitan yang
berdarah akan berlangsung lama, setelah buang air ditanah dan
pemakaian tinja sebagai pupuk kebun sangat penting dalam
penyebaran penyakit ini (Sandjaja, 2007).
4. Siklus hidup
Telur ini akan bertahan lama ditanah yang lembab, biasanya terdapat
didaerah perkebunan. Telur cacing tambang yang dikeluarkan akan
menetes dalam waktu 1 – 2 hari dan kemudian akan menjadi larva
“Rabditifrom” , akan berubah menjadi larva “filarifrom”dalam
waktu 3 – 7 hari. Dalam bentuk ini dapat hidup di tanah selama 8
minggu. Dalam waktu kisaran tersebut akan terinjak kaki dan akan
menembus kulit lalu menuju pembuluh darah. Selanjutnya larva ini
mengikuti peredaraan darah sampai di alveoli paru dan tinggal disitu
selama seminggu. Setelah itu bermigrasi menuju bronkus trakea.
Dengan adanya refleks batuk, larva ini tertelan, masuk ke esophagus
dan akhirnya sampai diusus halus, di usus halus inilah berkembang
menjadi cacing dewasa dan dapat hidup sampai satu tahun (Sandjaja,
2007).

Gambar 2.6 Siklus Hidup Ancylostoma


duodenale (CDC, 2009)
13

5. Gejala

Gejala penyakit ini awal mulanya tak spesifik seperti mual,


muntah, tidak adanya nafsu makan. Sakit perut, badan kurus.Bentuk
cacing dewasa menempel di dinding usus halus penderita dengan
menggunakan giginya. Akibat adanya gigitan ini menyebabkan
pembuluh darah dinding usus mengalami pendarahan. Sebagian
darah dihisap oleh cacing dewasa dan sebagian keluar dari usus
sehingga pada feses ditemukan darah. Gejala lain dapat ditemukan
antara lain, cacing dewasa sering kali menyebabkan nyeri diperut,
demam, batuk, dan bunyi nafas mengi (bengek) bisa terjadi akibat
berpindah larva melalui paru-paru (Hoters PJ ddk, 2004).

6. Cara penularan
Telur yang keluar bersama tinja, setelah 2-3 hari akan
menetas dan keluarlah larva rhabditifrom. Setelah 2 hari larvaini
akan berubah menjadi filarifrom (infektif) yang tahan terhadap
perubahan iklim dan dapat hidup selama 7-8 minggu di tanah
lembab. Larva filarifrom akan menembus kulit dan apabila terhirup
oleh udara dan mencapai paru mengakibatkan batuk pneumonitis.
Penyebaran pada host juga melalui tanah atau makanan (mulut) dan
pernafasan (Natadisastra dkk, 2009).

c. Necator americanus (Cacing Tambang)


Necator americanus cacing dewasa hidup didalam rongga
duodenum dan mulutya melekat pada mukosa untuk melukai dan
menghisap darah sebagai makanannya. Bila cacing ini melepas mulutnya
atau berpindah tempat maka luka bekas isapannya akan terus
mengeluarkan darah dalam waktu yang agak lama (Irianto,2013).
14

1. Klasifikasi
Menurut Irianto (2013), klasifikasi Necator americanus:
 Kingdom : Animalia
 Filum : Nemathelminthes
 Class : Nematoda
 Ordo : Rhabditida
 Family : Ancylostomatidae
 Genus : Necator
 Spesies : Necator americanus

2. Morfologi
a. Menurut sadjaja (2007). Morfologi cacing Necator americanus
berbentuk silinder/selindrik, berwarna putih keabuan, lekukan kepala
berlawanan dengan lekukan tubuh seprti huruf “S” mempunyai dua
pasang cutting plates. Cacing jantan berukuran 5-9 x 0,3 mm, ekor
melebar (bursa kopulatriks) mempunyai 2 spikula. Cacing betina
berukuran 9-10 x 0,35 mm, ekor lancip, reproduksi telur 9.000/ hari.

Gambar 2.7 Cacing Necator


americanus (Sandjaja,
2007)

b. Morfologi Telur Bentuk bulat lonjong, tidak tahan dalam kondisi


kering, kulit relative tipis terdiri dari hyaline.
15

Gambar 2.8 Telur Necator


americanus (Sandjaja, 2007)

3. Siklus hidup
Telur berubah menjadi larva pada tanah yang lembab dan hangat
serta cukup oksigen dalam waktu 24-48 jam. Larva ini adalah
rgabditifrom yang mempunyai esogfagus lonjong dan globuler dengan
ekornya yang runcing dan berukuran 250 mikron. Dalam waktu tiga
hari pengalihan perubahan yang pertama kali ukurannya sekarang 500
mikron disertai perubahan esofagusnya menjadi larva filarifrom.Setelah
dua minggu larva menjadi aktif. Larva filafifrom ini mempunyai
esophagus yang silindris, yang mudah sekali mati karena pengaruh
dingin, sinar matahari langsung atau bahan kimia tertentu, dapat hidup
juga pada permukaan tanah yang lembab. Bila menginfeksi manusia,
larva akan menembus kulit, migrasi ke pembulu darah atau pembulu
limfe, sampai ke jantung dan paru-paru. Setelah 4-5 hari kemudian
terjadi dalam duodenum dimana sekarang ia mempunyai rongga mulut
sederhana dengan 4 gigi kecil (Depkes RI 2004).
16

Gambar 2.9 Siklus Hidup Necator americanus (CDC, 2009)

4. Gejala
Gejala klinis dapat ditimbulkan oleh adanya larva dan cacing
dewasa. Waktu larva menembus kulit, dapat menimbulkan rasa gatal
yang sangat dan dermatitis pada tempat masuknya. Keadaan ini disebut
“ground itch” dan biasanya ditemukan di antara sela jari kaki. Demam,
batuk, dan bunyi napas mengi (bengek) dapat terjadi akibat
berpindahnya larva melalui paru-paru. Cacing dewasa sering
menyebabkan nyeri di perut bagian atas.(Sumanto, 2010).

5. Cara penularan

Telur yang keluarbersama tinja, setelah 2-3 hari akan menetas


dan keluarlah larva rhabditifrom. Setelah 2 hari larvaini akan berubah
menjadi filarifrom (infektif) yang tahan terhadap perubahan iklim dan
dapat hidup selama 7-8 minggu di tanah lembab. Larva filarifrom akan
menembus kulit dan apabila terhirup oleh udara dan mencapai
parumengakibatkan batuk pneumonitis. Penyebaran pada host juga
melalui tanah atau makanan (mulut) dan pernafasan (Depkes RI, 2006).
17

d. Trichuris trichiura (Cacing cambuk)


Trichuris trichiura disebut juga cacing cambuk. Nama penyakit
yang ditimbulkan disebut Trikuriasis. Trichuris trichiura adalah salah satu
penyakit cacing yang banyak terdapat pada manusia setelah cacing
Ascaris. Di perkirakan sekitar 900 juta orang yang pernah terinfeksi
(Alfred, 2005).

1. Klasifikasi

Menurut Sandjaja (2007), Klasifikasi Trichuris trichiura adalah


sebagai berikut :

Kingdom : Animalia
Filum : Nemahelmintes
Class : Nematoda
Ordo : Enoplida
Family : Trichuridae
Genus : Trichuris
Spesies : Trichuris trichiura
2. Morfologi Trichuris trichiura
a. Morfologi Cacing
Cacing betina mempunyai ukuran yang lebih besar dari pada
cacing jantan. Ukuran panjang tubuh cacing betina mencapai kurang
lebih 5 cm dan bagian anterior halis seperti cambuk serta bagian
ekornya lurus berujung tumpul, sedangkan cacing jantan mempunyai
panjang kurang lebih 4 cm dan bagian anterior halus seperti cambuk
serta bagian ekornya melingkar.
18

Gambar 2.10 Cacing Trichuris


trichuira (Widoyono, 2011).

b. Morfologi Telur
Telur Trichuris trichiura berbentuk seperti temapaya,
terdapat tonjolan yang jernih pada kedua kutubnya. Kulit telur
bagian luar berwarna kekuning-kuningan sedangkan bagian
dalamnya jernih dan berdinding tebal. Telur Trichuris trichiura
berukuran 50 x ul (Tjahaya, 1994).

Gambar 2.11 Telur Cacing Trichuris trichuira (Widoyono,


2011)
19

3. Epidemiologi

Faktor lingkungan mempunyai pengaruh yang paling penting


dalam proses transmisi, iklim tropis Indonesia, sangatlah
menguntungkan terhadap perkembangan Trichuris trichuira. Data dari
berbagai survei di berbagai tempat di Indonesia menunjukkan bahwa
infeksi Trichuris trichuira merupakan masalah di Indonesia dengan
prevalensi 35% - 75%.Infeksi Trichuris trichuira didasari dengan
sanitasi yang buruk dan populasi padat, umum dijumpai di daerah
kumuh namun terdapat juga di perkotaan dengan tingkat sosial ekonomi
yang rendah. Perbedaan prevalensi Trichuris trichuira di daerah
perkotaan dan pedesaan menggambarkan perbedaan sanitasi atau
densitas populasi , tingkat pendidikan, serta perbedaan sosial ekonomi
yang juga berperan penting. Anak usia sekolah mempunyai prevalensi
yang tinggi terhadap infeksi Trichuris trichuira (Ideham, 2009).

Berdasarkan data epidemiologi, anak dengan tempat tinggi dan


sanitasi yang buruk dan higenitas yang rendah mempunyai risiko
terinfeksi yang lebih tinggi. Pendidikan higenitas yang rendah juga
mendukung tingginya infeksi tersebut. Tumpukkan sampah dan
penyediaan makanan jajanan di lingkungan sekolah juga menjelaskan
tinggi prevalensi (Sandjaja, 2007).

4. Siklus hidup

Infeksi Trichuris trichuira terjadi jikaa telur matang tertelan


oleh manusia. Telur matang adalah telur yang berisi larva dan
merupakan bentuk infektif. Telur yang tertelan tersebut akan menetas
kemudian larva keluar dari dalam dan menuju usus halus bagian
proksimal, menembus mukosa serta menetap disana selama kurang
lebih 3 – 10 hari. Setelah dewasa cacing turun ke usus bagian distal,
terutama caecum. Pada caecum dan kolon, cacing dewasa memasukkan
kepalanya yang halus dan panjang pada mukosa. Waktu yang
20

dibutuhkan untuk pertumbuhan dari telur yang mulai tertelan sampai


cacing dewasa betina meletakkan telur antar 30 – 90 hari. Seekor cacing
betina diperkirakan akan menghasilkan telur setiap harinya 3000 –
10.000 butir telur (Depkes RI 2004).

Gambar 2.12 Siklus Hidup Trichuris trichuira (CDC, 2009)

5. Gejala
Hospes dapat menimbulkan iritasi yang disebabkan oleh cacing
Trichuris trichuira memasukkan kepalanya dalam tubuh mukosa usus,
selesai itu terjadi mengakibatkan pendarahan dan terjadi anemia.
Anemia terjadi karena cacing mengisap darah hospes. Sehingga
kehilangan darah sekitar 0,5 ml setiap harinya. Infeksi ringan tidak
menyebabkan gejala klinis yang khas. Untuk penderita pada anak-anak
dengan infeksi Trikuriasis yang berat dan menahan menunjukkan gejala
seperti diare yang dapat diselinggi dengan anemia berat, nyeri hati,
berat badan menurun, malnutrisi dan appenditis yang menyebabkan
cacing melekat pada mukosa dan membuat jalan masuk untuk kuman
patogen yang dapat menyebabkan peradangan usus buntu (apendistis).

e. Enterobius vermikula atau oxyuris vermicularis (Cacing kremi)


Enterobius vermikula (oxyuris vermicularis) hidup dalam usus
besar, cacing betina menuju anus untuk memperoleh oksigen yang
diperlukan larva untuk pertumbuhan. Gerakan cacing ini menyebabkab
rasa gatal bagian anus. Bila digaruk, maka telur akan melekat di kuku.
21

Makanan yang dipegang oleh tangan yang mengandung telur cacing


menyebabkan telur cacing ikut tertelan, terutama terjadi pada anak-anak
(Onggowaluyo, 2016 )
1. Klasifikasi
Menurut Irianto (2013), klasifikasi Enterobius Vermicularis
(oxyuris vermicularis) sebagai berikut :
 Kelas : Nematoda
 Subkelas : Phismidia
 Ordo : Rhabditida
 Superfamilia : Oxyuroidea
 Familia : Oxyuroidea
 Genus : Oxyuris
 Spesies : Enterobius vermikularis atau oxyuris
Vermicularis
 Nama penyakit : Oxiuriasis atau Enterobiasis
2. Morfologi
a. Morfologi cacing Enterobius vermikularis. Cacing jantan
berukuran : 2-5 mm x 0,1-0,2mm, Cacing betina berukuran : 8-13
mm x 0,3-0,5 mm. Bentuk khas, mulut simple dengan tiga bibir
mengelilinginya Oesophagus berakhir dengan bulatan (bulbus) besar
yang membatasi oesophagus dan bagian anterior dan usus, ujung
anterior dan posterior runcing (lancip), disebelah lateral mulut
terdapat 3 pasang kutikulr chepalis alao.

Gambar 2.13 Cacing Enterobius Vermicularis (Sandjaja,2007)


22

b. Morfologi Telur Asimetris, ukuran 50-60 x 20-36 micron, Kulit


terdiri dari : Luar : lapisan albuminous, lipiodal. Dalam : membrane,
terdiri dari lemak di dalamnya terdapat bentuk larvanya, matang
setelah 6 jam di keluarkan. Cacing betina mati setelah bertelur.

Gambar 2.14 Telur Enterobius vermicularis (Sandjaja, 2007)

3. Siklus hidup
Cacing Enterobius vermicularis dewasa hidup di lumen colon
dan caecum manusia. Pada lumen usus, cacing dewasa mendapatkan
kebutuhan makanan dengan mudah dan dapat berkopulasi untuk
berkembang biak. Kopulasi cacing jantan dan betina terjadi di caecum.
Cacing jantan akan mati setelah kopulasi, sedangkan cacing betina akan
mati setelah bertelur. Cacing betina dapat mengandung 11.000-15.000
butir telur dan akan bermigrasi ke daerah perianal untuk bertelur. Telur
akan matang dalam waktu kira-kira 6 jam setelah dikeluarkan oleh
cacing betina disekitar daerah perianal. Telur yang tanpa sengaja
tertelan melalui menghisap jari atau kontaminasi makanan dan
minuman,akan mengikuti jalur pencernaan manusia dan akan menetas
di duodenum dan akan tumbuh dewasa di jejunum dan ileum. Telur
yang menetas di daerah perianal akan bermigrasi kembali ke usus besar
melalui anus. (Gandahusada, 2000)
23

Gambar 2.15 Siklus Hidup Enterobius vermicularis(Sumber:CDC)

4. Gejala klinis

Demam, batuk, mual, eosinifilia, nafsu makan menurun, diare,


konstipasi, sakit perut, gizi buruk, abses hati, pankreastisis, radang usus
buntu, radang selaput perut, dan Keluar cacing dari usus.

5. Preventif
Hygiene perorangan, sanitasi lingkungan, menghindari makanan
yang tidak jelas kebersihannya, menghindari air yang diperoleh dari
sumber yang terkontaminasi.
6. Cara penularan
Enterobius vermicularis sering disebut juga dengan Oxyuris
vermicularis yang hidup dalam rongga caecum, colom assenden, dan
dapat juga di appendix. Cacing betina dewasa yang gravid pada malam
hari akan menuju ke anus untuk bertelur di kulit perianal. Telur yang
menempel pada kulit perianal akan mnyebabkan gatal-gatal. Sehingga
ketika menggaruk telur akan menempel pada jari/kuku tangan, yang
kemudian dapat tertelan bersama makanan. Telur yang tertelan
kemudian pecah dan menjadi larva hingga dewasa. Sebagian telur yang
melekat pada sprei atau alas tidur akan terhirup melalui hidung dan
24

mulut oleh penderita sendiri maupun host barudan masuk ke usus


hingga tumbuh menjadi dewasa (Natadisastra dkk, 2009).

f. Taenia Saginata (Cacing Pita)


Cacing pita Taenia saginata adalah salah satu cacing pita yang
berukuran besar dan panjang yang terdiri atas kepala/skoleks.Leher dan
stobila yang terdiri atas susunan proglotid. Taenia solium merupakan
cacing pita babi yang paling berbahaya yang menginfeksi manusia karena
infeksi disebabkan oleh cysticersus (Hendra, 2013).
1. Klasifikasi
 Kindom :Animalia
 Filum :Platyhelminthes
 Kelas :Cestoidea
 Ordo : Cyclophyllidea
 Family :Taeniidae
 Genus :Taenia
 Spesies :Saginata
2. Morfologi
a. Morfologi cacing
Morfologi cacing dewasa berwarna putih, tembus sinar, dan
panjangnya dapat mencapai 4-25 meter, walaupun kebanyakan 5
meter atau kurang. Mereka dapat hidup 5 sampai dengan 20 tahun,
bahkan lebih (CFSPH, 2005). Skoleks berbentuk segiempat, dengan
garis tengah 1-2 milimeter, dan mempunyai 4 alat isap (sucker).
Tidak ada rostelum maupun kait pada skoleks. Leher Taenia saginata
berbentuk sempit memanjang, dengan lebar sekitar 0,5 mm (Handojo
dan Margono, 2008).
25

Gambar 2.16 Cacing Taenia saginata (Tjahaya, 2006)


b. Morfologi Telur
Telur cacing berbentuk bulat, berukuran 30-40 x 20-30 mikron,
memiliki dinding tebal bergaris radier dan berisi embrio
heksakan.Sedangkan skoleks berukuran 1-2 milimeter dan memiliki
4 batil isap.Pada cacing dewasa panjang badan dapat mencapai 4-12
meter, jumlah proglotid antara 1000-2000 buah, terdiri atas proglotid
immature-mature dan gravid (Sutanto, 2008).

Gambar 2.17 Telur Taenia saginata (Tjahaya, 2006)


3. Siklus hidup
Telur cacing pita ini melekat pada rumput bersama dengan
tinja, bila orang berdeteksi padang rumput atau karena tinja yang
hanyut dari sungai di waktu banjir. Ternak yang memakan rumput yang
terkontaminasi dihinggapi cacing gelembung, oleh karena telur yang
tertelan dicerna dan embrio heksakan menetas. Embrio heksakan di
saluran pencernaan ternak menembus dinding usus, masuk kesaluran
getah bening atau darah dan ikut dengan aliran darah masuk kejaringan
ikat sela-sela otot untuk tumbuh menjadi cacing gelembung, disebut
sisterkus bovis, merupakan larva Taenia saginata. Peristiwa ini terjadi
setelah 12 –15 minggu. Bila cacing gelembung yang terdapat did aging
26

sapi yang di masak kurang matang termakan oleh manusia. Skoleknya


keluar dari cacing gelembung evaginasi dan melekat pada mukosa usus
halus seperti jejunum. Cacing gelembung akan menjadi dewasa dalam
waktu 8 –10 minggu (Soedarato, 2016).

Gambar 2.18 Siklus Hidup Taenia Saginata (Tjahaya, 2006)

4. Gejala klinis
Taeniasis saginata umumnya tanpa gejala berarti, kadang-kadang
mengeluh gangguan bagian usus atau gejala obtruksi intestinal akut.
Proglotid dapat menyumbat appediks menimbulkan apendisitis, diare,
berat badan menurun. Sering kali penderita datang berobat karena
proglotid bergerak sendiri menuju ke anus. Hal ini biasaterjadi pada
siang hari.Patogenesis kerugian yang ditimbulkan oleh cacing dewasa
berlainan pada berbagi spesies. Ukuran dan jumlah cacing menentukan
efek sistemik dan luasnya iritasi pada usus. Tempat perlekatan skoleks
merupakan jalan untuk invasi bakteri dan strobila dapat menimbulkan
obstruksi usus yang bersifat sementara (Natadisastra dan Agoes, 2009).
5. Penularan
Penularan melalui daging hewan yang dikonsumsi sehari-hari
seperti daging sapi, kerbau dan babi. Ketiga hewan tersebut memang
terbukti mengandung larva cacing pita atau sistisekus, Makanan,
minuman dan lingkungan yang tidak bersih dan memungkinkan
tercemar oleh telur cacing pita tersebut, Penularan terhadap penderita
27

dimana tinjanya yang mengandung telur cacing pita atau segmen tubuh
(prolglotid) (Estuningsih, 2009).

2.2 Nematoda Usus Penyebab Kecacingan


Kecacingan ialah suatu penyakit yang ditimbulkan oleh berbagai jenis
cacing yang berada di dalam rongga usus yang dapat mengakibatkan
terjadinya infeksi dalam tubuh manusia. Cacing yang hidup di dalam rongga
usus adalah kelas nematode usus. Nematode usus mempunyai jumlah spesies
yang terbesar antara cacing-cacing yang hidup sebagai parasit. Nematode usus
terbesar adalah Ascaris lumbricoides yang bersama-sama dengan Trichuiris
trichiura, dan Hookworm yang sering menginfeksi manusia karena telur
cacing tersebut semuanya mengalami pemasakan ditanah dan cara
penularannya lewat tanah yang terkontaminasi (Depkes, 2006).

Infeksi kecacingan tergolong penyakit neglected disease yaitu infeksi


yang kurang diperhatikan dan penyakitnya bersifat kronis tanpa menimbulkan
gejala klinis yang jelas dan dampak yang ditimbulkannya baru terlihat dalam
jangka panjang seperti kekurangan gizi, gangguan tumbuh kembang dan
gangguan kognitif pada anak. Selain itu infeksi kecacingan dapat
meningkatkan kerentanan terhadap penyakit penting lainnya seperti malaria,
TBC, diare dan anemia. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian
kecacingan antara lain: faktor sosial ekonomi, status gizi, penataan kesehatan
lingkungan, higenitas, sanitasi serta pendidikan dan perilaku individu. Pada
suatu penelitian di Ethiopia sosial ekonomi yang rendah dan sanitasi yang
jelek merupakan penyebab utama infeksi cacing usus (Andrauni, Adisti.
2012).

Faktor sanitasi yang berperan tinggi terhadap infeksi cacing contohnya


adalah rendahnya tingkat sanitasi pribadi (perilaku hidup bersih sehat) seperti
kebiasaan cuci tangan sebelum makan dan setelah buang air besar (BAB),
kebersihan kuku, perilaku jajan di sembarang tempat yang kebersihannya
tidak dapat dikontrol, perilaku BAB tidak di WC yang menyebabkan
28

pencemaran tanah dan lingkungan oleh feses yang mengandung telur cacing
serta ketersediaan sumber air bersih (Soemirat J. 2005)

2.3 Hubungan Kecacingan Pada Anak

Penyakit kecacingan merupakan salah satu penyakit yang banyak


dialami oleh masyarakat di Indonesia yang berhubungan erat dengan sanitasi
lingkungan dan perilaku. Salah satu penyakit kecacingan adalah penyakit
cacing usus yang penularannya melalui tanah atau disebut juga dengan Soil
Transmitt Helminths (STH). Jenis cacing yang dimaksud adalah cacing gelang
(Ascaris lumbricoides), cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator
americanus), cacing cambuk (Trichuris trichiura) dan Strongyloides
stercoralis. Faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit ini erat
hubungannya dengan hygiene dan sanitasi, hasil bebarapa penelitian antara
lain kebersihan diri seperti mencuci tangan dengan sabun, memakai alas kaki,
kebiasaan memotong kuku merupakan cara yang terbaik dalam mencegah
penularan dari kecacingan. Selain itu sanitasi merupakan salah satu faktor
resiko terjadinya kecacingan Ascaris lumbricoides seperti pemakaian jamban
yang tidak layak akan menimbulkan pencemaran pada tanah dengan tinja di
sekitar halaman rumah, ketersediaan tempat pembuangan sampah dan
ketersediaan air bersih (Depkes RI. 2004) .
Menurut WHO tahun 2011 lebih dari 1,5 miliar orang atau 24% dari
populasi dunia mengalami kecacingan STH dan lebih dari 870 juta anak
hidup di lingkungan yang penularannya sangat intensif dan membutuhkan
pengobatan akibat parasit ini. Prevalensi ini masih menjadi perhatian karena
prevalensinya cukup tinggi pada anak tidak terkecuali pada anak usia 8-12
tahun. Kecacingan pada anak lebih banyak pada anak usia sekolah baik
presentasi maupun factor-faktor yang berhubungan dengannya di bandingkan
pada anak usia dibawahnya, Tingginya angka kecacingan tersebut pada usia
anak sekolah dikarenakan mereka sering bermain atau kontak tanah yang
merupakan tempat tubuh dan berkembangnya cacing-cacing perut. Meskipun
29

angka kecacingan masih tergolong tinggi, namun pencegahan dan


pemberantasan terhadap infeksi penyakit tersebut belum juga dapat
dilakukan secara maksimal. Hal disebabkan infeksi cacing ini biasanya
kurang dapat perhatian yang cukup, terutama dari pihak orang tua, karena
akibat yang ditimbulkan infeksi cacing tersebut secara langsung tidak dapat
terlihat. Kecacingan dapat berdampak negatif bagi pertumbuhan anak, karena
dapat menurunkan produktivitas yang ada pada akhirnya dapar
mempengaruhi kualitas anak ini masa yang akan dating. Secara umum
faktof-faktor mempengaruhi kecacingan, antara lain kondisi iklim yang
sesuai untuk pertumbuhannya, kondisi senitas lingkungan dan hygiene
perorangan yang buruk serta keadaan social ekonomi dan pendidikan yang
rendah (Samad H,2009).

2.4 Dampak Kecacingan Terhadap Anak

Manusia merupakan hospes beberapa spesies nematoda usus, sebagian


besar dari nematoda tersebut menyebabkan masalah kesehatan masyarakat di
Indonesia. Diantara spesies yang ditularkan melalui tanah (Soil transmitted
helminths) yang terpenting bagi manusia adalah Ascaris lumbricoides,
Trichuris trichiura, Necator americanus dan ancylostoma doudenale. Dampak
infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah pada masyarakat perlu dipelajari
untuk dapat menentukan cara-cara pencegahan. Di daerah endemis dengan
incident Ascaris dan Trichuris tinggi, terjadi penularan secara terus menerus.
Transmisi ini dipengaruhi oleh berbagai hal yang menguntungkan parasit,
seperti keadaan tanah dan iklim yang sesuai (Bethony. 2006)
Di Indonesia prevalensi Ascariasis dan Trichuriasis tinggi, terutama
pada anak-anak, dengan frekuensi antara 60-90%. Hal ini dikarenakan
kurangnya pemakaian jamban keluarga menimbulkan pencemaran tanah
dengan tinja di sekitar rumah, di bawah pohon, di tempat mencuci dan di
tempat pembuangan sampah. Telur yang dikeluarkan bersama tinja akan
berkembang baik pada jenis tanah liat, kelembaban tinggi, dan terlindung dari
30

sinar matahari langsung. Keadaan ini sangat baik untuk berkembangnya telur
menjadi bentuk infektif prevalensi cacing tambang biasanya lebih tinggi pada
golongan umur dewasa (Depkes RI. 2004.)
Tingginya prevalensi dipengaruhi oleh aktivitas pekerjaan seperti yang
bekerja di perkebunan dan di pertambangan dengan mengolah tanah tanpa
rnemakai alat pelindung seperti sepatu boot atau sarung tangan. Cacing
tambang umumnya memerlukan tanah pasir yang gembur, dan bercampur
humus serta terlindung dari sinar matahari langsung untuk perkembangan
telurnya sehingga menjadi infektif. Infeksi akibat cacing tersebut dapat
mengakibatkan terjadinya anemia, gangguan gizi, pertumbuhan dan
kecerdasan. Apabila terjadi infeksi terus menerus akan menurunkan kualitas
sumber daya manusia. lnfeksi dapat terjadi pada semua umur, baik pada balita,
anak-anak ataupun orang dewasa. Infeksi paling banyak terjadi pada anak
sekolah dasar karena anak pada usia tersebut paling banyak kontak dengan
tanah (Merit 2001, Depkes 2006).

Angka kejadian kecacingan sangat erat kaitannya dengan kebersihan


pribadi dan sanitasi lingkungan, bahwa terdapat hubungan antara sanitasi dan
personal hygiene dengan infeksi STH. Kebersihan pribadi yang sangat perlu
diperhatikan pada anak-anak adalah kebersihan kuku jari tangan. Kuku
panjang adalah tempat tersering terselipnya telur cacing saat anak bermain
tanah. Apabila anak tidak mencuci tangan dengan bersih sebelum makan,
maka akan memperbesar kemungkinan masuknya telur cacing ke dalam
tubuh. Oleh karena itu, pemeriksaan telur cacing di dalam kuku juga
memiliki peranan dalam mendeteksi dan mencegah kecacingan (Sireger,
2006).
31

2.5 Pemeriksaan Telur Nematoda Usus pada Feses

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan


metode apung. Metode flotasi bertujuan untuk mengetahui sensitivitas
pemeriksaan feses dengan metode apung. Prinsip kerjanya adanya telur
cacinng atau cacing dalam feses dapat diketahui dengan pemeriksaan secara
mikroskopis dengan menggunakan NaCl jenuh dan diamkan dalam tabung
reaksi yang telah ditutup dengan menggunakan cover gelas sehingga telur
cacing menempel pada cover gelas lalu diamati pada mikroskop dengan
pembesaran 10x dan 40x.
Berdasarkan penelitian Alvy Nur Laila (2010), metode langsung
(direct slide) mempunyai kelemahan yaitu jika bahan untuk membuat sediaan
secara langsung terlalu banyak, maka preparat menjadi tebal sehingga telur
menjadi tertutup oleh unsur lain. Unsur lain ini yang menyebabkan telur sulit
ditemukan dan apabila preparat terlalu tipis, preparat cepat kering sehingga
telur mengalami kerusakan.

Berdasarkan penelitian Adnan (2011), metode langsung (direct slide)


ini cepat dan baik untuk infeksi berat, tetapi untuk infeksi yang ringan sulit
ditemukan telur-telurnya. Penggunaan eosin pada peneiltian ini dimaksudkan
untuk lebih jelas membedakan telur-telur cacing dengan kotoran disekitarnya.

2.6 Kerangka Konsep

Kecacingan merupakan suatu penyakit yang ditimbulkan oleh


berbagai jenis cacing yang berada di dalam usus yang dapat mengakibatkan
terjadinya infeksi dalam tubuh. Penyakit kecacingan ini banyak menyarang
anak-anak usia 6-10 tahun, dikarenakan mereka sering bermain atau kontak
tanah yang merupakan tempat tubuh dan berkembangnya cacing-cacing perut.
Hal ini disebabkan infeksi cacing ini biasanya kurang dapat perhatian yang
cukup terutama dari pihak orang tua, sehingga memberikan dampak yang
32

kurang baik,antara lain: dapat menyebabkan anemia (kurang darah),


lemah,mengantuk, males belajar, IQ menurun, prestasi dan produktivitas
menurun, terganggunya perkembangan fisik dan mental serta kekurangan
gizi. Sampel dalam penelitian ini adalah sampel feses anak Sekolah Dasar
Negeri Inpres Vim II Kotaraja.
Kecacingan merupakan salah satu penyakit berbasis lingkungan yang
menjadi masalah bagi kesehatan masyarakat. Kecacingan dapat disebabkan
oleh sejumlah cacing perut yang ditularkan melalui tanah disebut Soil
Transmitted Helminths (STH) seperti cacing gelang (Ascaris lumbricoides),
cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) dan
cacing cambuk (Trichuris trichiura). Higiene perorangan dan sanitasi
lingkungan yang kurang baik pada anak-anak merupakan faktor yang
memudahkan penularan kecacingan.Tujuan penelitian ini untuk mengetahui
hubungan higiene perorangan dengan kejadian kecacingan pada murid SD
Negeri Abe Pantai Jayapura. Jenis penelitian yang digunakan adalah
deskriptif analitik, dengan rancangan potong lintang. Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh murid SD Negeri yang berjumlah 384 orang.
Sampel yang terkumpul sebanyak 70 orang yang diambil secara
stratified random sampling. Cara pemeriksaan tinja secara kualitatif
dengan metode langsung (direct) menggunakan larutan lugol. Analisa
data menggunakan uji statistik chi-square. Hasil penelitian diperoleh murid
yang positif kecacingan sebanyak 50%, infeksi kecacingan terbanyak
adalah Ascaris lumbricoides 48,5%, Trichuris trichiura 28,6%, Cacing
Tambang 14,3%, dan infeksi campuran yang disebabkan oleh dua spesies
atau lebih sebanyak 8,6%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan higiene perorangan dengan kejadian kecacingan pada
murid SD Negeri Abe Pantai Jayapura (Martila ddk, 2015)
Metode Flotasi metode ini menggunakan larutan NaCl jenuh sebagai
alat untuk mengapungkan telur. Metode ini deipakai terutama untuk
pemeriksaan tinja yang mengandung sedikit telur. Cara kerja dari metode ini
berdasarkan Berat Jenis (BJ) telur-telur yang ringan daripada BJ larutan yang
digunakan sehingga telur-telur terapung di permukaan, dan juga untuk
33

memisahkan partikel-partikel yang besaar yang terdapat didalam tinja


(Natadisastra, 2009).
Nematoda usus yang paling banyak ditemukan pada anak-anak
menurut Sumiati dkk (2018), infeksi nematoda usus merupakan penyebab
kecacingan terbanyak di dunia, dikarenakan aktivitas bermain anak-anak
lebih banyak ditanah dan sungai sehingga dapat kontak dengan tanah yang
terkontaminasi larva dan telur cacing. Di antara nematoda usus yang paling
banyak menginfeksi adalah cacing (Ascaris lumbricoides), cacing tambang
(Necator americanus) dan cacing cambuk (Trichuris trichiura). Penelitian
Pemeriksaan nematode usus menggunakan sampel feses dengan
menggunakan metode apung (NaCl jenuh) Hasil pemeriksaan kecacingan
adalah positif jika ditemukan telur cacing dan negatif tidak ditemukan telur
cacing.

Tabel 1.2 Kerangka Konsep


Feses Anak SD Negeri Inpres Vim II
Kotaraja.

Pemeriksaan Telur Nematoda


Usus Metode Flotasi

Hasil Pemeriksaan Nematoda


Usus telur cacing (Positif /
Negatif).

Gambar 2.19 Skema Kerangka Konsep Penelitian


34

2.7 Definisi Operasional

Definisi Oprasional Dalam Penelitian Ini Di Tunjukan Pada Tabel 2.1, Yaitu :

Tabel 1.3 Definisi Operasional

No Variable Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala


1 Feses anak Semua zat yang tidak Nominal Positif (+) Nominal
SD Negeri dipakai lagi oleh tubuh Negatif (-)
Inpres yang dikeluarkan dari
Vim II dalam tubuh melalui
Kotaraja anus.

2 Telur Infeksi Nematoda usus Nominal Positif (+) Nominal


cacing penyebab penyakit di temuan
kecacingan yang paling telur
banayak ditemukan cacing
telur cacing, terutama pada
spesies cacing gelang sampel
(Ascaris lumbricoides), feses.
cacing tambang ( Negatif (+)
Necator americanus dan tidak
Anylostoma ditemukan
duuodenale), dan cacing telur
cambuk ( Trichuris cacing
trichiura ). pada
sampel
feses
3 Metode Pemeriksaan Nematoda Nominal Positif (+) -
Flotasi usus pada feses dengan Negatif (-)
melihat ada tidaknya
telur cacing pada
anak Sekolah Dasar
Negeri Inpres Vim II
Kotaraja
35

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan uji
laboratorium, yaitu untuk mengetahui Telur Nematoda Usus Pada Anak
Sekolah Dasar Negeri Inpres Vim II Kotaraja

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Pengambilan sampel dilakukan di Sekolah Dasar Negeri Inpres Vim


II Kotaraja. Penelitian di lakukan di laboratorium Universitas Sains Dan
Teknolonogi Jayapura. Waktu penelitian dilakukan selama 1 bulan.

3.3. Populasi dan Sampel


a. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua Anak Sekolah Dasar
Negeri Inpres Vim II Kotaraja
b. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah semua feses Sekolah Dasar
Negeri Inpres Vim II Kotaraja dalam pengambilan sampel dengan jumlah
32.

3.4 Kriteria Sampel

a. Kriteria inklusi sebagai berikut :


1. Anak-anak usia 5-10 tahun yang bersedia mengumpulkan feses
(bersedia menjadi sampel)
2. Anak-anak yang 6 bulan terakhir tidak minum obat cacing
b. Kriteri ekslusi sebagai berikut :
36

1. Sampel feses yang telah telah bercampur dengan darah


2. Feses yang disimpan terlalu lama

3.5 Teknik Pengambilan Sampel

Populasi anak-anak dan Sampel data penelitian ini adalah semua


Anak Sekolah Dasar Negeri Inpres Vim II Kotaraja dalam pengambilan
sampel dengan jumlah 32 orang.

3.6 Alat dan Bahan

a. Alat
Alat yang digunakan dalam pemeriksaan feses antara lain
Mikroskop, Objek glass, Cover glass, Pipet tetes, Lidi/Tusuk gigi, Label
dan Tempat penampung feses.
b. Bahan
Bahan yang digunakan dalam pemeriksaan feses antara lain,
Handskun, Masker, Tisu, Kapas alkohol, aquadest, NaCl, dan Sampel
Feses.
3.7 Prosedur Kerja
Menurut Setya (2004), Prosedur kerja pemeriksaan telur cacing
dengan metode langsung (Direct slide) adalah sebagai berikut:
a. Pra Analitik
Pot feses dibagikan kepada responden sehari sebelum dilakukan
pemeriksaan, kemudian pagi harinya dikumpulkan kembali lalu feses dibawa
ke laboratorium. Metode yang digunakan untuk menentukan seseorang
terinfeksi kecacingan atau tidak digunakan metode apung dengan sampel
feses. Berdasarkan WHO (2011).
Disiapkan Alat dan Bahan yang akan digunakan.
b. Analitik
37

1. Larutan NaCl jenuh dibuat dengan menggunakan garam yang telah di


campur dengan aquadest sedikit demi sedikit sampai garam tidak bisa
larut.
2. Ambil sedikit feses dengan menggunakan lidi lalu campurkan degan
larutan NaCl jenuh pada gelas beaker 250 mL
3. Objek glass ditutupi dengan cover glass usahakan tidak terbentuk
gelembung udara.
4. Sampel feses diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran lensa
objektif 10x dan 40x.
5. Sampel diamati pada seluruh lapang pandang pada sediaan.
6. Pengamatan dilakukan 2x setiap sampel
c. Pasca Analitik (Interprestasi hasil).
Interpretasi Hasil Antara Lain Sebagai Berikut :
Laporan hasil pemeriksaan telur nematoda usus pada anak Sekolah
Dasar Negeri Inpres Vim II Kotaraja
a) Positif bila ditemukan telur cacing ascaris lumbricoides, trichuris
trichiuria, necator americanus, ancilostoma duodenale, entrobius
vermucularis, tinea saginata.
b) Negatif tidak ditemukan telur cacing pada sampel
38

3.8 Alur Penelitian

Alur penelitian adalah sebagai berikut :

Anak Sekolah Dasar Negeri Inpres Vim II Kotaraja


sebanyak 32 orang

Pengambilan Sampel Feses

Pemeriksaan telur Neematoda usus

Metode Flotasi

Hasil

Analisis Data

Pembahasan

Kesimpulan

Gambar 3.1 Alur Penelitian.


39

3.9 Teknik Pengumpulan Data


Dalam pengumpulan data yang diambil dalam penelitian ini adalah
dengan menggunakan data primer yaitu Berdasarkan survei di Sekolah Dasar
Negeri Inpres Vim II Kotaraja Distrik Kecamatan Abepura Kota Jayapura
belum pernah dilakukan pemeriksaan kecacingan untuk mengetahui anak-anak
yang terinfeksi kecacingan. Pada anak-anak yang berusia 5-10 tahun memiliki
prevalensi tingkat infeksi kecacingan Berkisaran 10-15 % yang di curigai
terinfeksi kecacingan dengan melihat ciri-cirinya.

3.10 Analisa Data

Data yang diperoleh dibuat dalam bentuk tabel dan dianalisa serta
dinarasikan dengan teori-teori yang ada.
40

DAFTAR PUSTAKA
Alvy Nur Laila. 2010. Pengantar Metode Penelitian. Gahlia Indonesia : Jakarta
Andan. 2011.Prosedur Penelitian suatu Pendekatan praktik. Rineka Cipta : Jakrta
Andi Febriyadi. 2015 “prevalensi Soil Transmitted Helminth: Ascaris
lumbricoides dan Necator americanus”. Jurnal Fakultas kedokteran Untan
3(1) :193942
Andrauni, Adisti. 2012. Gambaran Faktor-Faktor Penyebab Infeksi Cacingan
Pada Anak. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjajaran: Bandung
Arsanti 2011. Infeksi Cacing (Penyakit Kecacingan), BBTKL PPM. Jurnal Media
Informasi Kegiatan : Yogyakarta
Bethony, J., Brooker, S., Albonico, M., Geiger, SM, Loukas, A., Diemert, D.,
Hotez, PJ. 2006. Soil-transmitted Helminth Infections: Ascariasis,
Trichuriasis, and Hookworm. Lancet 367.pp.1521-1532.
Bethony J., Brooker 2006. Soil Transmitted Helminth infections : Ascariasis,
Tricuriasis, and hookwoarm. Lancer, Vol 360, p.1521-1532.
CDC.2009. Ascariasis, Hookworm, Trichuriasis : biology, Atlanta : Pusat
Pengendalian dan Pencegahan Penyakit. Diunduh dari:
http://www.cdc.gov/parasites/hookworm/biology.htlm:diakses 10 Ferbuari
2021.
Chandra, budiman. 2007. Pengantar kesehatan lingkungan Jakarta Penerbit
buku kedokteran EGC
Depkes RI. 2004. Profil kesehatan Indonesia 2002: Menuju Indonesia sehat 2010:
Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Profil Kesehatan Indonesia.
2007. Profil Kesehatan Indonesia 2008. Departemen Kesehatan: Jakarta,
Departemen Kesehatan Republic Indonesia. 2004. Pedoman Umum Program
Nasional Pemberantasan Cacingan Di Era Desentralisasi. Lampiran
Keputusan Menteri Kesehatan RI: Jakarta.
Dwi Aprilia Anggriani, Norma Farisah Fahmi, Ridiyatus Solihah, Yogi Abror.
“Identifikasi Telur nematoda Usus (soil Transmitted Healminth) Pada
41

Kuku Jari Tangan Pekerja di tempat penitipan Hewan menggunakan


Metode Pengapungan (Flotasi) menggunakan NaCl Jurnal Kesehatan
Bakti Husada,Vol. 11 No. 2 Agustus 2021
Eti Meirina Brahmana. 2015 “Jenis-jenis Cacing Nematoda usus yang
menginfeksi Siswa Madrasah ibtidaiyah Darul Ikhsaniah (MI) Muaran
Musu Kecematan Rambah Hilir Kabupaten Rokan hulu”. Jurnal Sains :8
(16), ISSN : 2087-0725
Estuningsih, S.E, 2009. Taeniasis dan Sistiserkosis merupakan penyakit Zoonosis
Parasiter. Vol 19 No 2 Hal 9 – 92.
Gandahusada S. 2000. Parasitologi Kedokteran. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia : Jakarta
Endang Suriani, Nurulia Irawati, Yuniar Lestari. Analisis Faktor Penyebab
Terjadinya Kecacingan Pada Anak Di Desa Lubuk Buaya
Hendra. 2013. Helmintologi Kedokteran. Airlangga University Press : Surabaya
Ideham, Bariah. 2009. Atlas Parasitologi Kedokteran. ISBN 978-979-044-4263.
Penerbit Buku Atlas Kedokteran EGC : Jakarta
Irianto, Koes. 2013. Parasitologi Medis Berbagai Penyakit yang Mempengaruhi
Kesehatan Manusia.CV Yrama Widya : Bandung
Margono S. 2008. Nematoda Usus Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. FK UI, 6-
20: Jakarta.
Martila, Samuel Sandi, Nopita Paemboran. 2015 Hubungan Higene Perorangan
Dengan Kejadian Kecacingan Pada Murid SD Negeri Abe Pante Jayapura.
Maryunani, A 2013. Prilaku Hidup Bersih Dan Sehat (PHBS). Tans Info
Media: Jakarta.
Maulidiyah, S. 2013. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Positif Telur
Cacing Soil Transmitted Helminths (STH) Pada Petani Pengguna Pupuk
Kandang Di Desa Rasau Jaya Umum: Kalimantan Barat
Natadisastra Djaenudin. 2009. Parasitologi Kedokteran. Penerbit Buku
Kedokteran EGC : Jakarta
Notoatmodjo, 2012. Besar Sampel Dan Cara Pengambilan Sampel Dalam
Penelitian Kedikteran Dan Kesehatan. Selamba Media: Jakarta.
42

Nuzulia Irawati., Yuniar Lestari. 2017 “Upaya Pencegahan Terjadinya Kecacigan


Pada Anak Sekolah Dasar” . Jurnal Kesehatan 10 (1) : 32-29,
ISSN : ,1979-7621
Onggowuliyo., Josep S. 2016. Infeksi Parasit Usus Pada Anak Sekolah Dasar.
Jurnal E-Biomedik, 4.(1):8-24
Pusarawati, Suhintam., Ideham, Bariah., Kusmartisnawati., Tantular, Indah S.,
Basuki, Sukmawati. 2014. Atlas Parasitologi Kedokteran. Jakarta : EGC.
Prasetyo, R.H. 2002. Pengantar Praktikum Helmintologi Kedoketeran. Airlangga
Unversity Press : Jakarta.
Prianto Y, Tjahaya, Darwanto. 2006. Parasitologi Kedokteran. TP Gramedia
Pustaka Utama : Jakarta

Anda mungkin juga menyukai