BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kecacingan merupakan suatu penyakit yang ditimbulkan oleh
berbagai jenis cacing yang berada di dalam usus yang dapat mengakibatkan
terjadinya infeksi dalam tubuh manusia. Berdasarkan data dari Word Health
Organization (WHO) tahun 2012 mengatakan bahwa kejadian penyakit
cacingan di dunia masih tinggi yaitu lebih dari 1,5 miliar orang atau 24%
dari populasi dunia terinfeksi cacing, khususnya usia anak sekolah sebesar
600 juta anak-anak di Indonesia. Prevalensi kecacingan masih relatif tinggi
sebesar 32,6% yaitu cacing Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura,
Enterobius vermicularis, Ancylostoma doudunale dan Necator americanus.
(WHO, 2012).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Nematoda usus
Nematoda berasal dari bahasa Yunani, Nema artinya benang dan toda
silinder, tidak bersegmen dan tubuhnya bilateral simetrik, panjang cacing ini
dalam organ usus, jaringan dan sistem peredaraan darah, keberadaan cacing
helminths”. Empat jenis Soil Transmitted Helmints (STH) yang paling sering
2007).
5
1. Klasifikasi
Menurut Irianto (2013), klasifikasi Ascaris lumbricoides adalah
sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filium : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Ordo : Rhabdidata
Famaili : Ascarididae
Genus : Ascaris
Spesies : Ascaris lumbricoides
2. Morfologi
Cacing dewasa Ascaris lumbricoides berwarna putih, kuning
Bagian ekornya relatif lurus dan runcing memiliki cincin. Telur cacing
Lapisan luar yang tebal dari bahan albuminoid, Lapisan tengah dari
bahan hialin (lapisan ini yang memberi bentuk telur) dan Lapisan paling
melainkan tampak halus. Pada telur ini lapisan hialin menjadi lapisan
yang paling luar. Telur fertile yang di buahi inilah yang dapat
pada telur fertile, berbentuk bulat lonjong atau tidak teratur, lebih
3. Epidemiologi
Ascaris lumbricoides merupakan parasit yang kosmopolit yaitu
panas dan lembab. Semua umur dapat terinfeksi namun anak kecil yang
tinja manusia tidak terisolasi dan larva mudah menyebar. Hal ini juga
4. Siklus Hidup
Telur cacing yang terinfektif bila tertelan manusia menetes
trakea dan bronkus. Dari trakea larva ini menuju ke faring, selanjutnya
larva akan masuk ke saluran pencernaa dan di usus halus larva berubah
bertelur. Telur cacing akan bercampur dengan feses dan berada di alam
(tanah) untuk menjadi matang. Telur matang akan tertelan oleh manusia
5. Gejala
6. Preventif
Hygiene perorangan, sanitasi lingkungan, menghindari makanan
yang tidak higenis, menghindari air yang diperoleh dari sumber yang
terkontaminasi.
7. Cara penularan
Cacing dapat menularkan sebagai akibat dari adanya interaksi
antara agent, proses, transmisi, host, dan dipengaruhi oleh lingkungan.
Cacing dewasa hidup di usus kecil, bertelurdan telurnya akan keluar
bersama feses. Telur yang berada diluar tubuh (±3 minggu) akan tahan
terhadap cuaca dan menjadi matang pada tanah yang lembab.
Kebiasaan buang air besar disembarang tempat seperti di tanah
pekarangan, di kebun atau tidak pada jamban yang memenuhi syarat
akan mengakibatkan telut menyebar di tanah, apabila ditiup angin,telur
dapat menyebar dalam debu (Depkes RI, 2006).
10
Kingdom : Animalia
Filum : Nematoda
Class : Secernentea
Ordo : Stongiloidae
Family : Ancylostoma, Necator
Genus : Ancylostoma, Necator
Spesies : Ancylostoma duodenale
2. Morfologi
1. Morfologi Cacing
Cacing Ancylostoma duodenale berwarna putih keabu-abuan, bentuk
badan cacing deawasa seperti huruf C, memiliki panjang 1 cm,
dibagian mulutnya terdapat 2 pasang gigi. Cacing betina memiliki
ekor runcing sedangkan cacing jantan memiliki bursa kopulatriks
pada bagian ekornya. Cacing dewasa dapat bertelur antara 10.000 –
20.000 telur perhari.
11
2. Morfologi Telur
Telur cacing berukuran 70 x 45 ul, berbentuk bulat lonjong
dan berdinding tipis. Larva pada stadium rhabditifrom memiliki
panjang 250 ul, ekor runcing dan mulut terbuka. Larva pada stadium
filarifrom (Infective larvae) panjang 500 ul mulut tertutup ekor
runcing dan panjang esophagus 1/3 dari panjang badan (Sandjaja,
2007).
3. Epidemiologi
Infeksi cacing tambang banyak terdapat didaerah tropis dan
subtropis contoh Indonesia sering ditemukan pada penduduk yang
12
5. Gejala
6. Cara penularan
Telur yang keluar bersama tinja, setelah 2-3 hari akan
menetas dan keluarlah larva rhabditifrom. Setelah 2 hari larvaini
akan berubah menjadi filarifrom (infektif) yang tahan terhadap
perubahan iklim dan dapat hidup selama 7-8 minggu di tanah
lembab. Larva filarifrom akan menembus kulit dan apabila terhirup
oleh udara dan mencapai paru mengakibatkan batuk pneumonitis.
Penyebaran pada host juga melalui tanah atau makanan (mulut) dan
pernafasan (Natadisastra dkk, 2009).
1. Klasifikasi
Menurut Irianto (2013), klasifikasi Necator americanus:
Kingdom : Animalia
Filum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Ordo : Rhabditida
Family : Ancylostomatidae
Genus : Necator
Spesies : Necator americanus
2. Morfologi
a. Menurut sadjaja (2007). Morfologi cacing Necator americanus
berbentuk silinder/selindrik, berwarna putih keabuan, lekukan kepala
berlawanan dengan lekukan tubuh seprti huruf “S” mempunyai dua
pasang cutting plates. Cacing jantan berukuran 5-9 x 0,3 mm, ekor
melebar (bursa kopulatriks) mempunyai 2 spikula. Cacing betina
berukuran 9-10 x 0,35 mm, ekor lancip, reproduksi telur 9.000/ hari.
3. Siklus hidup
Telur berubah menjadi larva pada tanah yang lembab dan hangat
serta cukup oksigen dalam waktu 24-48 jam. Larva ini adalah
rgabditifrom yang mempunyai esogfagus lonjong dan globuler dengan
ekornya yang runcing dan berukuran 250 mikron. Dalam waktu tiga
hari pengalihan perubahan yang pertama kali ukurannya sekarang 500
mikron disertai perubahan esofagusnya menjadi larva filarifrom.Setelah
dua minggu larva menjadi aktif. Larva filafifrom ini mempunyai
esophagus yang silindris, yang mudah sekali mati karena pengaruh
dingin, sinar matahari langsung atau bahan kimia tertentu, dapat hidup
juga pada permukaan tanah yang lembab. Bila menginfeksi manusia,
larva akan menembus kulit, migrasi ke pembulu darah atau pembulu
limfe, sampai ke jantung dan paru-paru. Setelah 4-5 hari kemudian
terjadi dalam duodenum dimana sekarang ia mempunyai rongga mulut
sederhana dengan 4 gigi kecil (Depkes RI 2004).
16
4. Gejala
Gejala klinis dapat ditimbulkan oleh adanya larva dan cacing
dewasa. Waktu larva menembus kulit, dapat menimbulkan rasa gatal
yang sangat dan dermatitis pada tempat masuknya. Keadaan ini disebut
“ground itch” dan biasanya ditemukan di antara sela jari kaki. Demam,
batuk, dan bunyi napas mengi (bengek) dapat terjadi akibat
berpindahnya larva melalui paru-paru. Cacing dewasa sering
menyebabkan nyeri di perut bagian atas.(Sumanto, 2010).
5. Cara penularan
1. Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Nemahelmintes
Class : Nematoda
Ordo : Enoplida
Family : Trichuridae
Genus : Trichuris
Spesies : Trichuris trichiura
2. Morfologi Trichuris trichiura
a. Morfologi Cacing
Cacing betina mempunyai ukuran yang lebih besar dari pada
cacing jantan. Ukuran panjang tubuh cacing betina mencapai kurang
lebih 5 cm dan bagian anterior halis seperti cambuk serta bagian
ekornya lurus berujung tumpul, sedangkan cacing jantan mempunyai
panjang kurang lebih 4 cm dan bagian anterior halus seperti cambuk
serta bagian ekornya melingkar.
18
b. Morfologi Telur
Telur Trichuris trichiura berbentuk seperti temapaya,
terdapat tonjolan yang jernih pada kedua kutubnya. Kulit telur
bagian luar berwarna kekuning-kuningan sedangkan bagian
dalamnya jernih dan berdinding tebal. Telur Trichuris trichiura
berukuran 50 x ul (Tjahaya, 1994).
3. Epidemiologi
4. Siklus hidup
5. Gejala
Hospes dapat menimbulkan iritasi yang disebabkan oleh cacing
Trichuris trichuira memasukkan kepalanya dalam tubuh mukosa usus,
selesai itu terjadi mengakibatkan pendarahan dan terjadi anemia.
Anemia terjadi karena cacing mengisap darah hospes. Sehingga
kehilangan darah sekitar 0,5 ml setiap harinya. Infeksi ringan tidak
menyebabkan gejala klinis yang khas. Untuk penderita pada anak-anak
dengan infeksi Trikuriasis yang berat dan menahan menunjukkan gejala
seperti diare yang dapat diselinggi dengan anemia berat, nyeri hati,
berat badan menurun, malnutrisi dan appenditis yang menyebabkan
cacing melekat pada mukosa dan membuat jalan masuk untuk kuman
patogen yang dapat menyebabkan peradangan usus buntu (apendistis).
3. Siklus hidup
Cacing Enterobius vermicularis dewasa hidup di lumen colon
dan caecum manusia. Pada lumen usus, cacing dewasa mendapatkan
kebutuhan makanan dengan mudah dan dapat berkopulasi untuk
berkembang biak. Kopulasi cacing jantan dan betina terjadi di caecum.
Cacing jantan akan mati setelah kopulasi, sedangkan cacing betina akan
mati setelah bertelur. Cacing betina dapat mengandung 11.000-15.000
butir telur dan akan bermigrasi ke daerah perianal untuk bertelur. Telur
akan matang dalam waktu kira-kira 6 jam setelah dikeluarkan oleh
cacing betina disekitar daerah perianal. Telur yang tanpa sengaja
tertelan melalui menghisap jari atau kontaminasi makanan dan
minuman,akan mengikuti jalur pencernaan manusia dan akan menetas
di duodenum dan akan tumbuh dewasa di jejunum dan ileum. Telur
yang menetas di daerah perianal akan bermigrasi kembali ke usus besar
melalui anus. (Gandahusada, 2000)
23
4. Gejala klinis
5. Preventif
Hygiene perorangan, sanitasi lingkungan, menghindari makanan
yang tidak jelas kebersihannya, menghindari air yang diperoleh dari
sumber yang terkontaminasi.
6. Cara penularan
Enterobius vermicularis sering disebut juga dengan Oxyuris
vermicularis yang hidup dalam rongga caecum, colom assenden, dan
dapat juga di appendix. Cacing betina dewasa yang gravid pada malam
hari akan menuju ke anus untuk bertelur di kulit perianal. Telur yang
menempel pada kulit perianal akan mnyebabkan gatal-gatal. Sehingga
ketika menggaruk telur akan menempel pada jari/kuku tangan, yang
kemudian dapat tertelan bersama makanan. Telur yang tertelan
kemudian pecah dan menjadi larva hingga dewasa. Sebagian telur yang
melekat pada sprei atau alas tidur akan terhirup melalui hidung dan
24
4. Gejala klinis
Taeniasis saginata umumnya tanpa gejala berarti, kadang-kadang
mengeluh gangguan bagian usus atau gejala obtruksi intestinal akut.
Proglotid dapat menyumbat appediks menimbulkan apendisitis, diare,
berat badan menurun. Sering kali penderita datang berobat karena
proglotid bergerak sendiri menuju ke anus. Hal ini biasaterjadi pada
siang hari.Patogenesis kerugian yang ditimbulkan oleh cacing dewasa
berlainan pada berbagi spesies. Ukuran dan jumlah cacing menentukan
efek sistemik dan luasnya iritasi pada usus. Tempat perlekatan skoleks
merupakan jalan untuk invasi bakteri dan strobila dapat menimbulkan
obstruksi usus yang bersifat sementara (Natadisastra dan Agoes, 2009).
5. Penularan
Penularan melalui daging hewan yang dikonsumsi sehari-hari
seperti daging sapi, kerbau dan babi. Ketiga hewan tersebut memang
terbukti mengandung larva cacing pita atau sistisekus, Makanan,
minuman dan lingkungan yang tidak bersih dan memungkinkan
tercemar oleh telur cacing pita tersebut, Penularan terhadap penderita
27
dimana tinjanya yang mengandung telur cacing pita atau segmen tubuh
(prolglotid) (Estuningsih, 2009).
pencemaran tanah dan lingkungan oleh feses yang mengandung telur cacing
serta ketersediaan sumber air bersih (Soemirat J. 2005)
sinar matahari langsung. Keadaan ini sangat baik untuk berkembangnya telur
menjadi bentuk infektif prevalensi cacing tambang biasanya lebih tinggi pada
golongan umur dewasa (Depkes RI. 2004.)
Tingginya prevalensi dipengaruhi oleh aktivitas pekerjaan seperti yang
bekerja di perkebunan dan di pertambangan dengan mengolah tanah tanpa
rnemakai alat pelindung seperti sepatu boot atau sarung tangan. Cacing
tambang umumnya memerlukan tanah pasir yang gembur, dan bercampur
humus serta terlindung dari sinar matahari langsung untuk perkembangan
telurnya sehingga menjadi infektif. Infeksi akibat cacing tersebut dapat
mengakibatkan terjadinya anemia, gangguan gizi, pertumbuhan dan
kecerdasan. Apabila terjadi infeksi terus menerus akan menurunkan kualitas
sumber daya manusia. lnfeksi dapat terjadi pada semua umur, baik pada balita,
anak-anak ataupun orang dewasa. Infeksi paling banyak terjadi pada anak
sekolah dasar karena anak pada usia tersebut paling banyak kontak dengan
tanah (Merit 2001, Depkes 2006).
Definisi Oprasional Dalam Penelitian Ini Di Tunjukan Pada Tabel 2.1, Yaitu :
BAB III
METODE PENELITIAN
a. Alat
Alat yang digunakan dalam pemeriksaan feses antara lain
Mikroskop, Objek glass, Cover glass, Pipet tetes, Lidi/Tusuk gigi, Label
dan Tempat penampung feses.
b. Bahan
Bahan yang digunakan dalam pemeriksaan feses antara lain,
Handskun, Masker, Tisu, Kapas alkohol, aquadest, NaCl, dan Sampel
Feses.
3.7 Prosedur Kerja
Menurut Setya (2004), Prosedur kerja pemeriksaan telur cacing
dengan metode langsung (Direct slide) adalah sebagai berikut:
a. Pra Analitik
Pot feses dibagikan kepada responden sehari sebelum dilakukan
pemeriksaan, kemudian pagi harinya dikumpulkan kembali lalu feses dibawa
ke laboratorium. Metode yang digunakan untuk menentukan seseorang
terinfeksi kecacingan atau tidak digunakan metode apung dengan sampel
feses. Berdasarkan WHO (2011).
Disiapkan Alat dan Bahan yang akan digunakan.
b. Analitik
37
Metode Flotasi
Hasil
Analisis Data
Pembahasan
Kesimpulan
Data yang diperoleh dibuat dalam bentuk tabel dan dianalisa serta
dinarasikan dengan teori-teori yang ada.
40
DAFTAR PUSTAKA
Alvy Nur Laila. 2010. Pengantar Metode Penelitian. Gahlia Indonesia : Jakarta
Andan. 2011.Prosedur Penelitian suatu Pendekatan praktik. Rineka Cipta : Jakrta
Andi Febriyadi. 2015 “prevalensi Soil Transmitted Helminth: Ascaris
lumbricoides dan Necator americanus”. Jurnal Fakultas kedokteran Untan
3(1) :193942
Andrauni, Adisti. 2012. Gambaran Faktor-Faktor Penyebab Infeksi Cacingan
Pada Anak. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjajaran: Bandung
Arsanti 2011. Infeksi Cacing (Penyakit Kecacingan), BBTKL PPM. Jurnal Media
Informasi Kegiatan : Yogyakarta
Bethony, J., Brooker, S., Albonico, M., Geiger, SM, Loukas, A., Diemert, D.,
Hotez, PJ. 2006. Soil-transmitted Helminth Infections: Ascariasis,
Trichuriasis, and Hookworm. Lancet 367.pp.1521-1532.
Bethony J., Brooker 2006. Soil Transmitted Helminth infections : Ascariasis,
Tricuriasis, and hookwoarm. Lancer, Vol 360, p.1521-1532.
CDC.2009. Ascariasis, Hookworm, Trichuriasis : biology, Atlanta : Pusat
Pengendalian dan Pencegahan Penyakit. Diunduh dari:
http://www.cdc.gov/parasites/hookworm/biology.htlm:diakses 10 Ferbuari
2021.
Chandra, budiman. 2007. Pengantar kesehatan lingkungan Jakarta Penerbit
buku kedokteran EGC
Depkes RI. 2004. Profil kesehatan Indonesia 2002: Menuju Indonesia sehat 2010:
Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Profil Kesehatan Indonesia.
2007. Profil Kesehatan Indonesia 2008. Departemen Kesehatan: Jakarta,
Departemen Kesehatan Republic Indonesia. 2004. Pedoman Umum Program
Nasional Pemberantasan Cacingan Di Era Desentralisasi. Lampiran
Keputusan Menteri Kesehatan RI: Jakarta.
Dwi Aprilia Anggriani, Norma Farisah Fahmi, Ridiyatus Solihah, Yogi Abror.
“Identifikasi Telur nematoda Usus (soil Transmitted Healminth) Pada
41