Anda di halaman 1dari 10

ANALISIS JUMLAH DAN KERAGAMAN TELUR CACING SOIL TRANSSMITED

HELMINTH (STH) MENGGUNAKAN METODE SEDIMENTASI REAGENSIA NaOH


0,2% DAN NaCl 0,9%
KATA PENGANTAR

Assalamua’laikum Wr.Wb

Alhamdulillahi rabbil’alamin, dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan


puji dan syuku kehadirat Allah SWT, karna atas izin rahmat serta hidayahNya penulisan proposal
yang berjudul “Analisis Jumlah Dan Keragaman Telur Cacing Soil Transmitted Helminth
(STH) Menggunakan Metode Sedimentasi Reagensia NaOH 0,2% Dan NaCl 0,9%” dapat
diselesaikan.

Penulisan proposal ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat untuk
menyelesaikan pendidikan program studi DIV analis kesehatan di Universitas Perintis padang.

Dalam penyajian proposal ini penulis menyadari masih belum mendekati


kesempurnaah, oleh karna itu penulis sangat mengharapkan koreksi dan saran yang sifatnya
membangun sebagai bahan masukan yang bermanfaat demi perbaikan dan peningkatan diri
dalam bidang ilmu pengetahuan.

Dalam pembuatan proposal penelitian ini saya menyadari banyak mendapatkan


bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kecacingan termasuk salah satu penyakit yang masih sering jumpai di seluruh daerah
di dunia, terutama di daerah yang tingkat kebersihanya masih sangat kurang terjaga, yang
sering menginfeksi manusia adalah ascaris lumbricoides, trichuris thrichiura dan juga
hookworm. Diseluruh dunia ascaris lumbricoides di perkirakan sudah menginfeksi 807 juta
manusia, sedangkan trikuriasis sudah menginfeksi 604 juta manusia, dan juga hookworm
(A.duodenale dan N. americanus) sudah menginfeksi manusia di seluruh dunia sekitar 576
juta. Di Negara Indonesia jumlah orang yang paling banyak terinfeksi soil transmitted
helminths banyak ditemukan di papua dan sumatera utara pravelansinya diantara 50% sampai
. 80% (Ramayanti Staf Departemen Parasitologi dan Mikrobiologi Fakultas Kedokteran,
2018)
Infeksi cacing usus ditularkan melalui tanah yang sudah tercemari oleh telur cacing,
kebersihan lingkungan dan juga tempat tinggal yang tidak bersih adalah salah satu
penyebabnya. diantara cacing usus yang bisa menjadi masalah pada kesehatan yaitu
Kelompok “Soil Transmitted Helminth (STH)” atau penyakit kecacingan yang penularannya
melalui tanah, seperti Trichuris trichiura, Ascaris lumbricoides, dan juga Ancylostoma sp
(cacing tambang). Penyebab terjadinya transmisi telur cacing adalah pencemaran tanah dari
tanah ke manusia melalui kuku atau pada tangan yang mengandung telur cacing, dan masuk
melewati mulut bersama dengan makanan (sihite, 2019).
Pada umumnya terdapat dua cara nematoda usus menginfeksi tubuh manusia, yaitu
bisa melalui kulit dan juga pada mulut. Ketika kita tidak bersih dalam mencuci, sayuran yang
tidak di masak sedangkan larva nematoda usus kemungkinan bisa melalui air yang
terkontaminasi, penularan ke hospes baru tergantung tertelannya telur matang yang infektif
atau larva. Larva menembus ke dalam selaput lendir atau ke dalam kulit.larva di dalam telur
juga sering tertelan bersama makanan (Yahyadi, 2018).
Kecacingan bisa menimbulkan kerugian yang sangat besar, kecacingan bisa
mempengaruhi pencernaan (digestif), pemasukan (intake), penyerapan (absorbsi) dan juga
metabolisme makanan. Kecacingan bisa menimbulkan kerugian pada zat gizi yang berupa
protein dan juga kalori serta kehilangan darah. Selain itu kecacingan juga bisa menghambat
perkembangan fisik pada tubuh manusia, kecerdasan dan juga produktivitas dalam pekerjaan,
kecacingan juga bisa membuat ketahanan tubuh menurun sehingga menyebabkan tubuh
mudah terkena penyakit lainnya (Annida, 2019).
Penggunaan metode pemeriksaan tinja yang mempunyai tingkat spesifisitas dan
sensitifitas tinggi sangat penting untuk bisa mendapatkan status kecacingan yang akurat.
Status kecacingan pada seseorang bisa dipastikan dengan cara menemukan telur cacing pada
pemeriksaan laboratorium tinja. Pemeriksaan tinja terdiri dari pemeriksaan mikroskopik dan
juga pemeriksaan makroskopik (Regina, 2018).
Pemeriksaan mikroskopis terbagi menjadi dua yaitu pemeriksaan kualititatif dan
kuantitatif. Pada pemeriksaan kualititatif bisa dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya
pemeriksaan lansung (direct slide) yang merupakan pemeriksaan rutin dilakukan dengan
metode selotip, flotasi, metode sedimentasi dan teknik sediaan tebal (Regina, 2018).
Metode naïf (direct slide) adalah gold standar pemeriksaan kualitatif tinja karna
murah, mudah pengerjaanya cepat akan tetapi tidak efektif pada infeksi ringan. Metode lain
yang sering digunakan pada pemeriksaan kualitatif tinja adalah metode sedimentasi dengan
dengan NaCl 0,9% (Regina, 2018).
Metode sedimentasi yaitu metode menggunakan larutan dengan berat jenis yang
lebih rendah dari organisme parasite dan memanfaatkan gaya sentrifugal, hingga parasit bisa
mengendap di bawah. Yang sering digunakan pada metode sedimentasi berdasarkan
reagensia yaitu metode sedimentasi dengan NaOH 0,2% dan metode sedimentasi NaCl 0,9%
(sihite, 2019)

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum

Adapun tujuan penelitian adalah menganalisis manakah yang lebih baik dalam
mengidentifikasi telur STH dari metode sedimentasi yang menggunakan reagensia NaOH 0,2%
dan NaCl 0,9%.

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Mengetahui jumlah telur STH dengan menggunakan reagensia NaOH 0,2% dan NaCl
0,9% pada pemeriksaan telur STH
2. Untuk mengetahui keragaman telur STH menggunakan reagensia NaOH 0,2% dan
NaCl 0,9%
1.4 Manfaat Penelitian
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Soil transmitted helminths


Soil transmitted helminths (STH) merupakan nematoda usus yang proses
pematangannya membutuhkan tanah sehinnga timbul perubahan dari non-infektif
menjadi stadium infektif. Ada beberapa kelompok yang termasuk ke dalam nematoda
ini yaitu ascaris lumbricoides menumbulkan ascariasis, Trichuris trichiura
menimbulkan tricuriasis, cacing tambang ada 2 spesies, yaitu Necator americanus
menimbulkan necatoariasis dan Ancylostoma duodenale menimbulkan
ancylostomiasis, serta strongyloides stercolaris menimbulkan strongyloidiasis
(munasari, 2018)

2.2 Ascaris lumbricoides (cacing gelang)


2.2.1 Klasifikasi ascarris lumbricoides
Kerajaan : Animalia
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Ordo : Ascoridids
Family : Ascoridcidae
Genus : Ascaris
Spesies : Ascaris lumbricoides (putra hariyadi, 2021)
2.2.2 Hopes dan nama penyakit
Hospes definitifnya hanya manusia, tidak mempunyai hospes perantara,
penyakit yang disebabkan disebut askariasis. Ada banyak infeksi cacing yang
terjadi di dunia, terlebih pada Negara yang beriklim tropik, dan di daerah atau
lingkungannya yang sanitasinya kurang baik (Dewi, 2020)
2.2.3 Morfologi Ascaris lumbricoides
Cacing nematoda ini mempunyai ukuran yang besar, warnanya kuning
pucat atau putih kecoklatan. Pada cacing jantan berukuran 10-1 cm,
sedangkan pada cacing betina memiliki ukuran panjang badannya 22-35 cm.
kurtikula yang halus bergaris-garis, menutuh seluruh permukaan badan cacing
ascaris lumbricoides mempunyai mulut dengan tiga buah bibir, dua bibirnya
terletak di subventral sedangkan satu bibir lainnya terletak pada sebelah
bagian dorsal (sihite, 2019)
Ascaris lumbricoides memiliki 2 jenis telur yang terdiri dari fertilized eggs
(yang sudah di buahi) dan ifertilized eggs (telur ysng belum di buahi).
Fertilized eggs memiliki bentuk yang lonjong, ukurannya 45-70 mikron x 35-
50 mikron, kulit telurnya tidak mempunyai warna, bagian luar kulit telur
tertutupi dengan lapisan albumin yang permukaannya bergerigi (mamillation)
berwarna coklat karna menyerap zat empedu. Di dalam bagian kulit terdapat
selubung vitelin yang tipis, tetapi kuat sehingga membuat ascaris bisa
bertahan di dalam tanah . Fertilized eggs mengandung sel (ovum) yang tidak
bersegmen sedangkan di kedua kutub telur terdapat rongga udara yang tampak
sebagai daerah yang terang bentuknya bulan sabit (sihite, 2019).
2.2.4 Siklus hidup ascaris lumbricoides
Bila tertelan oleh manusia akan menetas kemudian menjadi larva pada
usus halus, larva tersebut menembus dinding usus menuju saluran limfa atau
pembuluh darah dan dialirkan ke jantung, kemudian mengikuti aliran darah
menuju paru-paru menembus dinding pembuluh darah, lalu melalui dinding
alveolus, masuk rongga alveolus, lalu naik ke trakea melalui bronkeolus dan
bronkus, dari trakea larva kemudian menuju ke faring, dan akan menimbulkan
ransangan yaitu batu, dan akhirnya tertelan masuk ke esophagus, lalu menuju
ke usus halus dan akan tumbuh menjadi cacing dewasa, proses tersebut
memerlukan waktu sekitar dua bulan sejak tertelan sampai menjadi cacing
dewasa (sihite, 2019).
2.2.5 Gejala klinik ascaris lombricoides
Gejalanya ascaris lombricoides sangat bervariasi , seperti ada gangguan
ebdomen, gangguan pulmonal yang berat maupun ringan bahkan bisa juga
menyebabkan kematian. Gejala yang akan timbul sesuai dengan organ yang
dilaluioleh larva atau cacing dewasa. Pada umumnya gejala klinis asciarisis
yang ditimbulkan yaitu pneumonitis, obstruksi intestinal, obstruksi biliaris,
obstruksi pancreas, dan malnutrisi. Sindroma klinis akibat adanya larva dalam
parenkim paru dan reaksi hipersensitivitas yang ditimbulkannya disebut
Loeffler’s syndrome dengan infiltrat paru yang bersifat semenyara (ER
Pasaribu, 2005).
2.2.6 Diagnosis ascaris lombricoides
Ada beberapa metode untuk menegakkan diagnosis penyakit
ascariasis,antara lain dengan cara ditegakkan melalui pemeriksaan kualitatif
telur cacing pada sediaan tinja agar (ER Pasaribu, 2005).
2.2.7 Pencegahan ascaris lumbricoides
Untuk mencegah penularan penyakit yang di sebabkan bisa ascaris
lumbricoides bisa dilakukan dengan membiasakan berdefekasi di jamban,
sebelum melakukan persiapan makan dan hendak makan, biasakan mencuci
tangan dulu dengan baik dan benar (sihite, 2019).
2.2.8 Pengobatan ascaris lumbricoides
Pengobatan terhadap infeksi ascaris lumbricoides bisa dilakukan secara
individu maupun masal, pengobatan secara masal biasanya menggunakan obat
mebendasol atau pyrantel pamoat. Obat pyrantel pamoat pemberiannya lebih
praktis yaitu dosis tunggal, pyrantel pamoat bisa membunuh cacing dewasa,
menghambat perkembangan telur cacing, dan bisa menyebabkan perubahan
pada morfologi telur cacing. Keberhasilan obat ini menurunkan prevalensi
telur cacing ascaris lombricoides sebesar 85%-100% semenyara (ER Pasaribu,
2005).

2.3 Trichuris trichiura


2.3.1 Klasifikasi trichuris trichiura
Kingdom : Animalia
Filum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Subkelas : Aphasmidia
Ordo : Enoplida
Sub-ordo : Trichurata
Superfamily : Trichuroidea
Familia : Trichuridae
Genus : Trichuris
Spesies : Trichuris trichiura (wahab, 2016).
2.3.2 Morfologi
Cacing dewasa bentuknya seperti cambuk, itulah kenapa di sebut cacing
cambuk.tiga per-lima bagian anterior tubuh halus sama seperti benang, pada
ujungnya terdapat kepala, esophagus sempit berdinding tipis terdiri dari satu lapis
sel, tidak mempunyai bulbus esophagus, bagian anterior yang halus akan
menancap pada mukosa usus. 2/5 bagian posterior lebih tebal, berisi usus dan
perangkat alat kelamin (wahab, 2016).
Cacing jantan mempunyai panjang 30-45 mm, bagian posterior
melengkung ke depan hingga membentuk satu lingkaran penuh. Di bagian
posterior ada satu spikulum yang menonjol keluar melalui selaput retraksi.
Cacing betina memiliki panjang 30-50 mm.pada ujung posterior tubuhnya
membulat tumpul, organ kelamin tidak berpasangan (simpleks) dan berakhir di
vulva yang terletak pada tempat tubuhnya yang mulai menebal (wahab, 2016).
2.3.3 siklus hidup
siklus hidup Trichuris trichiura dimulai dari keluarnya tinja yang sudah
mengandung Trichuris trichiura. Telurnya akan matang pada tanah yang lembab
dan juga pada tempat teduh. Proses pematangan pada telur Trichuris trichiura
butuh waktu 3-5 minggu. Telur yang matang sifatnya infektif, telur infektif
mempunyai kemampuan menginfeksi hospes melalui perantara mekanik, bisa
juga melalui benda yang sudah terkontaminasi, dan telur akan menetas di usus,
setelah itu larva akan mengalami eksidesis sebanyak empat kali sampai menjadi
stadium muda, dan akan berkembang menjadi cacing dewasa. Prosesnhya
membutuhkan waktu 7-10 minggu (wahab, 2016).
2.3.4 Patologi dan gejala klinis
Pada manusia trichuris trichiura hidup di sekum, tetapi bisa juga di
temukan pada kolon asendans. Pada infeksi berat terutama pada anak. Cacing ini
tersebar diseluruh rectum dan kolon. Terkadang terlihat pada mukosa rektum
yang mengalami prolapsus, itu terjadi akibat dari mengejannya penderita pada
waktu defekasi (wahab, 2016).
Cacing ini akan memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus, sehingga
terjadilah trauma yang mengakibatkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Di
tempat dia melekat bisa mengakibatkan pendarahan, cacing ini juga menghisap
hospesnya sehingga mengakibatkan anemia (wahab, 2016).
2.3.5 Diagnosis
Diagnosis trichuris trichiura bisa di tegakkan dengan menemukan telur
cacing trichuris trichiura di dalam tinja, atau pada anus di temukan cacing dewasa
atau prolapse rekti (wahab, 2016).
2.3.6 Pencegahan
Untuk mencegah penularan Trichuris selain mengobati penderita juga
harus melakukan pengobatan masal untuk mencegah terjadinya reinfeksi pada
daerah endemis. Hygiene sanitasi lingkungan dan perorangan harus dilakukan
untuk mencegah terjadinya pencemaran linkungan oleh tinja penderita (sihite,
2019).
2.3.7 Pengobatan
Cacing dewasa membenamkan kepalanya di usus, karena itu pengobatan
terhadap cacing ini sukar dilakukan dalam waktu yang cepat. Untuk membrantas
cacing trichuris trichiura baiknya diberikan kombinasi dua obat cacing secara
bersamaan yaitu kombinasi pirantel pamoate dan oksantel pamoat (sihite, 2019).

Anda mungkin juga menyukai