Anda di halaman 1dari 11

Laporan Praktikum Parasitologi

Pemeriksaan Feses






Nama : Ratna Juwita
NIM : G1B011015






DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT
PURWOKERTO

2012
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Cacingan adalah suatu penyakit yang ditimbulkan oleh berbagai
cacing yang menyebabkan terjadinya infeksi dalam tubuh manusia. Cacing
yang hidup dalam rongga usus adalah kelas nematoda usus. Kebanyakan dari
nematoda usus . memerlukan tanah untuk pertumbuhan telurnya menjadi
bentuk infektif, dimana tanah menjadi hospes perantara yang disebut Soil
Transmitted Helminthes (STH). Spesies cacing yang penularannnya melalui
STH antara lain, Ascaris lumbricoides (cacing gelang), Trichuris Trichiura
(cacing cambak), Ancylostoma duodenale dan Necator Americanus (cacing
tambang) (Soedarto, 1991).
Banyak faktor yang mempengaruhi tingginya prevalensi cacingan
disuatu daerah, salah satu diantaranya adalah sanitasi lingkungan yang kurang
baik, pengetahuan yang kurang , serta perilaku yang tidak higienis. Kasus
infeksi cacing dapat dicegah dengan perilaku hidup sehat, seperti cuci tangan
menggunakan sabun sebelum makan dan sehabis buang air besar (Adam,
1978).
Cara untuk mengetahui adanya infeksi cacing pada manusia yaitu
dengan melakukan pemeriksaan feses. Pemeriksaan feses berujuan untuk
mengetahui ada tidaknya telur cacing ataupun larva yang infektif serta untuk
mendiagnosa tingkat infeksi cacing parasit usus pada sampel feses yang
diperiksa(Gandahusada.dkk,2000).
Pemeriksaan feses dapat dilakukan dengan metode kualitatif dan
kuantitatif, secara kualitatif yaitu dengan metode natif , metode apung,
metode selotip, metode konsernirasi, metode sediaan tebal, metode sdimentasi
formol ether. Metode ini digunakan untuk mengetahui jenis parasit usus.
Metode kualitatif dapat dilakukan dengan metode kato katz dan metode stoll.

B. Tujuan
1. Mendiagnosa adanya infeksi cacing parasit pada orang yang diperiksa
fesesnya.
2. Mengetahui tingkat infeksi cacing yang diderita orang yang diperiksa
fecesnya.
3. Mengetahui bentuk-bentuk dari cacing parasit, bentuk telur maupun larva agar
kita mudah untuk mengenali dan melakukan tindakan efektif baik untuk
pencegahan maupun pengobatan terhadap infeksi caing parasit kepada pasien
yang diperiksa.




















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Pemeriksaan feses ( tinja ) adalah salah satu pemeriksaan laboratorium
yang telah lama dikenal untuk membantu klinisi menegakkan diagnosis suatu
penyakit. Meskipun saat ini telah berkembang berbagai pemeriksaan laboratorium
yang modern, dalam beberapa kasus pemeriksaan feses masih diperlukan dan tidak
dapat digantikan oleh pemeriksaan lain. Pengetahuan mengenai berbagai macam
penyakit yang memerlukan pemeriksaan feses, cara pengumpulan sampel yang benar
serta pemeriksan dan interpretasi yang benar akan menentukan ketepatan diagnosis
yang dilakukan oleh klinisi.
Penularan penyakit parasit disebabkan oleh tiga faktor yaitu sumber
infeksi, cara penularan dan adanya hospes yang ditulari. Efek gabungan dari faktor ini
menentukan penyebaran dan menetapnya parasit pada waktu dan tempat tertentu.
Penyakit yang disebabkan oleh parasit dapat bersifat menahun disertai dengan sedikit
atau tanpa gejala. (Noble, 1961).
Pemeriksaan telur-telur cacing dari tinja terdiri dari dua macam cara
pemeriksaan, yaitu :
1. Pemeriksaan Kualitatif
a. Metode Natif
Metode ini dipergunakan untuk pemeriksaan secara cepat dan baik
untuk infeksi berat, tetapi untuk infeksi yang ringan sulit ditemukan telur-
telurnya. Cara pemeriksaan ini menggunakan larutan NaCl fisiologis (0,9%)
atau eosin 2%. Penggunaa eosin 2% dimaksudkan untuk lebih jelas
membedakan telur-telur cacing dengan kotoran disekitarnya. Dasar teori
metode ini adalah eosin memberikan latar belakang merah terhadap telur yang
berwarna kekuning-kuningan dan untuk lebih jelas memisahkan feces dengan
kotoran yang ada.
b. Metode Apung
Metode ini digunakan larutan NaCl jenuh atau larutan gula atau larutan
gula jenuh yang didasarkan atas BJ (Berat Jenis) telur sehingga telur akan
mengapung dan mudah diamati. Metode ini digunakan untuk pemeriksaan feses
yang mengandung sedikit telur. Cara kerjanya didasarkan atas berat jenis
larutan yang digunakan, sehingga telur-telur terapung dipermukaan dan juga
untuk memisahkan partikel-partikel yang besar yang terdapat dalam tinja.
Pemeriksaan ini hanya berhasil untuk telur-telur Nematoda, Schistostoma,
Dibothriosephalus, telur yang berpori-pori dari famili Taenidae, telur-telur
Achantocephala ataupun telur Ascaris yang infertil.
c. Metode selotip
Metode ini dilakukan untuk pemeriksaan telur Enterobius
vermicularis. Pemeriksaan dilakukan pada anak yang berumur 1 10 tahun dan
pada waktu pagi hari sebelum anak kontak dengan air. Cara melakukan
pemeriksaan dengan menggunakan plester plastik yang tipis dan bening.
d. Metode Konsentrasi
Metode ini praktis dan sederhana untuk pemeriksaan telur pada tinja.
Dalam metode ini menggunakan alat sentrifugasi dan kemudian diambil
endapan (sedimen) untuk diamati dengan mikroskop.
e. Metode Sediaan tebal
Metode ini lebih banyak telur cacing dapat diperiksa sebab digunakan
lebih banyak tinja. Metode ini dianjurkan juga untuk pemeriksaan tinja secara
masal karena lebih sederhana dan murah. Morfologi cacing cukup jelas untuk
membuat diagnosa.
f. Metode Sedimentasi Formol Ether
Metode ini merupakan metode yang cukup baik bagi tinja yang
diambil beberapa hari yang lalu, misalnya kiriman dari daerah yang jauh dari
laboratorium.

2. Pemeriksaan Kuantitatif
a. Metode Kato Katz
Metode ini menggunakan rumus :
Jumlah telut tiap gram tinja = 1000 x N
30
b. Metode Stoll
Metode ini menggunakan larutan NaOH 0,1 N sebagai pelarut tinja.
Metode ini sangat baik untuk infeksi berat dan sedang. Metode ini
menggunakan rumus :
Jumlah telur dalam 1 gram tinja = jumlah telur yang terlihat (mikroskopik) x
100






















BAB II
Metodologi
A. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam pemeriksaan feses menggunakan metode apung
yaitu: lidi/tusuk sate, saringan teh, beker glass, tabung reaksi, rak tabung
reaksi, cover glass, object glass, tatakan/ baki
Bahan yang digunakan dalam pemeriksaan feses menggunakan metode apung
yaitu: 5gram tinja dan laruran NaCl (33%)
B. Cara Kerja
1. Ambil 2gram dengan menggunakan lidi/tusuk sate feses dilarutkan
kedalam NaCl (33%) 40cc kemudian dia
2. Saring Larutan tersebut menggunakan saringan teh untuk memisahkan
partikel-partikel besar.
3. Pindahkan ke tabung reaksi sampai permukaan cembung
4. Diamkan 10 menit
5. Sentuhkan cover glass pada permukaan tabung reaksi kemudian letakkan
pada object glass
6. Amati dengan mikroskop.










BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
Identitas pemberi feses :
Nama : Isnaeni
Jenis Kelamin : Perempuan
Nama Orangtua: Syarifudin
Alamat : Desa Ciberem Rt05/04 Kec.Sumbang
Sekolah : SD Negeri ciberem

Setelah melakukan pemeriksaan feses dengan menggunakan metode
apung, dengan mennggunakan mikroskop cahaya ditemukan telur cacing
Ascaris lumbricoides yang infertil . Dengan ini dapat didiagnosis bahwa anak
ini menderita penyakit infeksi ringan Askariasis


B. Pembahasan
Ascaris lumbricoides adalah cacing parasit penyebab penyakit askaris.
Penyakit ini biasanya banyak tejadi pada anak-anak karena penyebarannya
melalui perantara Soil Transmitted Helminthes (STH). Prevalensi kasus tinggi
dengan frekuensi antara 50% - 80%.
Cacing Ascaris lumbricoides menginfeksi manusia pada saat telur
yang dibuahi, berada dilingkungan tepat sehingga dalam waktu 3 minggu
dapat berubah menjadi bentuk infektif
Gejala yang timbul pada penderita dapat disebebkan cacing dewasa
dan larva, biasanya terjadi pada saat berada diparu-paru. Gangguan yang
disebabkan cacing dewasa biasanya ringan. Kadang-kadang penderita
mengalami gejala gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang,
diare atau konstipasi (Gandahusada,2000).
Efek yang serius terjadi bila cacing menggumpal dalam usus sehingga
terjadi obstruksi usus (ileus). Pada keadaan tertentu cacing dewasa
mengembara ke saluran empedu, apendiks atau ke bronkus. Efek dari migrasi
larva dapat menyebabkan sindrom Loffler dengan gejala pneumosistis, gejala
batuk, demam, eosinofilia dan sesak napas. Selain itu dapat menyebabkan
defisiensi gizi dan melaabsorbsi (Gandahusada.dkk, 2000).
Pengobatan askariasis dengan piperazine, pirantel pamoat,
mebendazol, dan albendazol. Apabila dilakukan pengobatan massal obat
tersebut harus memenuhi syarat yaitu : obat mudah diterima oleh masyarakat,
aturan pemakaian sederhana, mempunyai efek samping yang minim dan
bersifat polivalen (Brown,1979).
Pencegahan yang dapat dilakukan antara lain:
1. Memperbaiki cara dan sarana pembuangan tinja (WC)
2. Pemeliharaan kebersihan perorangan dan lingkungan
3. Peneragan melalui berbagai lembaga tentang kecacingan
4. Memasak sayuran dan mencucinya sebelum dimasak
5. Menghindari pemakaian tinja sebagai pupuk
6. Mengobati penderita
Prevalensi Ascariasis di Indonesia cukup tinggi, terutama pada anak-anak,
frekuensinya antara 60%-90%. TelurAcaris lumbricoides berkembang sangat baik
pada tanah liat yang memiliki kelembaban tinggi pada suhu 25-30C. Pada kondisi
ini telut tumbuh menjadi efektif dalam waktu 2-3 minggu(Zaman.dkk,1988).

BAB IIII
PENUTUP

A. Kesimpulan
Setelah melakukan uji feses dengan metode apung dapat diketahui
hasil bahwa sampel tersebut mengandung telur cacing ascaris lumbricoides
yang inferti, dengan hasil ini diketahui bahwa Esnaeni sebagai anak yang diuji
fesesnya terindikasi infeksi ringan. Pengobatan askariasis dapat dilakukan
dengan piperazine, pirantel pamoat, mebendazol, dan albendazol. Melakukan
pencegahan-pencegahan untuk mengurangi kasus cacingan.

B. Saran
Perlu adanya penanganan secara menyeluruh pada daerah endemik.
Melakukan pencegahan-pencegahan yang dapat dilakukan seperti perbaikan
sanitasi dan memperbaiki hygiene perorangan. Meberikan penyuluhan tentang
penyakit-penyakit cacingan pada daerah yang endemik.













Daftar Pustaka

Adam.S.1979. Higiene Perseorangan Edisi Ketiga. Bandung : Bharat Karya
Aksara
Brown,H.W.1979.Dasar Patologi Klinik Edisi Ketiga. Jakarta: PT.Gramedia
Gandahusada S, Hallahude HHD, Pribadi. 200.Parasitologi Kedokteran Edisi
Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Soedarto. 1991. Helmintogi Kedokteran Edisi Pertama.Jakarta : EGC
Zaman, keong LA, dkk. 1988. Buku Penuntun Parasitologi Kedokteran Edisi
Ketiga. Bandung: Percetakan Bina Cipta

Anda mungkin juga menyukai