Anda di halaman 1dari 8

Metode Harada Mori

Metode ini digunakan untuk menentukan dan mengidentifikasi larva cacing


Ancylostoma Duodenale, Necator Americanus, Srongyloides Stercolaris dan
Trichostronngilus yang didapatkan dari feses yang diperiksa. Teknin ini
memungkinkan telur cacing dapat berkembang menjadi larva infektif pada kertas
saring basah selama kurang lebih 7 hari, kemudian larva ini akan ditemukan didalam
air yang terdapat pada ujung kantong plastik.
Maksud : Mengidentifikasi larva cacing Ancylostoma Duodenale, Necator
Americanus, Srongyloides Stercolaris dan Trichostronngilus spatau mencari larva
cacing-cacing parasit usus yang menetas diluar tubuh hospes
Tujuan : Mengetahuia adanya infeksi cacing tambang
Dasar teori : Hanya cacing-cacing yang menetas di luar tubuh hospes akan menetas 7
hari menjadi larva dengan kelembaban yang cukup.
Kekurangan : Dilakukan hanya untuk identifikasi infeksi cacing tambang, waktu
yang dibutuhkan lama dan memerlukan peralatan yang banyak.
Kelebihan : lebih mudah dilakukan karena hanya umtuk mengidentifikasi larva
infektif mengingat bentuik larva jauh lebih besar di bandingkan dengan telur.

Metode Harada Mori

Alat

1. Kantong plastik ukuran 30x200mm

2. Kertas saring ukuran 3x15cm

3. Lidi bambu

4. Penjepit

5. Mikroskop
Bahan

? Tinja
? Aquades steril

Cara kerja

1. Plastik di isi aquades steril kurang lebih 5ml.

2. Dengan lidi bambu, tinja di oleskan pada kertas saring sampai mengisi
sepertiga bagiannya tengahnya.

3. Kertas saring di masukkan ke dalam plastik tersebut diatas. Cara memasukkan


kertas saring dilipat membujur dengan ujung kertas menyentuh permukaan
aquades dan tinja jangan sampai terkena aquades.

4. Nama penderita, tangggal penamaan, tempat penderita, dan nama mahasiswa.


Tabung di tutup plastik/dijepret.

5. Simpan selama 3-7 hari.

6. Disentrifuge dan dimbil dengan pipet tetes kemudian diamati dibawah


mikroskop.

PEMBAHASAN
Identifikasi parasit tergantung dari persiapan bahan yang baik untuk memeriksa
dengan mikroskop, baik dalam keadaan hidup maupun sebagai sediaan yang telah
dipulas. Hal yang menguntungkan adalah untuk mengetahui kira-kira ukuran dari
bermacam-macam parasit tetapi perbedaan individual tidak memungkinkan
membedakan spesies hanya dengan melihat besarnya. Tinja sebagai bahan pemeriksa
harus dikumpulkan didalam suatu tempat yang bersih dan kering bebas dari urine.
Identifikasi terhadap kebanyakan telur cacing dapat dilakukan dalam beberapa hari
setelah tinja dikeluarkan. (Kurt, 1999)
Hasil pemeriksaan tinja yang telah dilakukan dengan metode natif, metode apung,
metode harada mori dan metode kato menunjukkan hasil yang negatif yang artinya
bahwa tidak ditemukan telur ataupun larva dalam tinja yang telah diperiksa. Hasil
negatif pada semua metode yang dilaksanakan dapat disebabkan antara lain:

1. Sampel atau feces diperoleh dari orang yang dehat (tidak terinfeksi cacing
parasit usus)
2. Kurang ketelitian dan kecerobohan praktikan dalam melakukan praktikum.
Misalnya pada metode natif pada saat menusuk-menusukkan lidi bambu pada
feces telur yang terdapat pada feces tidak menempel pada lidi. Pada metode
apung, pada saat larutan feces didiamkan pada tabung reaksi, tabung reaksi
goyang sehingga telur yang sudah terapung mengendap lagi.

3. Kurangnya pemahaman praktikan pada bentuk morfologi telur cacing parasit


maupun larvanya.

4. Praktikan kurang paham tentang urutan kerja pada masing-masing metode.

5. Pada saat diambil fecesnya, cacing belum bertelur sehingga tidak ditemukkan
telur pada feces.

Pemeriksaan feces pada dasrnya dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan secara
kualitatif dan pemeriksaan secara kuantitatif. Pemeriksaan feces secara kualitatif,
yaitu pemeriksaan yang didasarkan pada ditemukkan telur pada masing-masing
metode pemeriksaan tanpa dihitung jumlahnya. Pemeriksaan feces secara kuantitatif
yaitu pemeriksaan feces yang didasarkan pada penemuan telur pada tiap gram feces.
(Gandahusada,2000)
Telur fertile bentuknya yaitu, telur oval lebar, mempunyai tiga lapis dinding yang
terluar bergerigi, terdapat rongga udara. Telur infertile bentuknya yaitu, telur lebih
besar daripada yang fertile, dengan ovum yang atrofi, tidak terdapat rongga udara.
Metode yang digunakan pada pemeriksaan feces masing-masing memiliki kelebihan
dan kekurangan. Kelebihan masing-masing metode antara lain:
1. Metode natif : Murah, mudah dan cepat.
2. Metode apung : Baik untuk semua jenis telur baik untuk infeksi berat dan
ringan. Telur yang ditemukan terpisah dari kotoran.

3. Metode harada mori : Baik sekali untuk melihat infeksi cacing tambang
dimana larvanya jauh lebih besar dari telurnya.

4. Metode kato : Bila digunakkan dalam penelitian lapangan tidak membutuhkan


cover glass, cover glass bisa diganti dengan cellophane tape, lebih murah.
Dengan teknik lebih banyak telur cacing dapat diperiksa sebab digunakkan
lebih banyak tinja. Teknik ini disa digunakkan untuk pemeriksaan tinja secara
masal karena lebih sederhana dan murah. Morfologi telur cacing cukup jelas
untuk membuat diagnosis.

Kelebihan masing-masing metode yang digunakan antara lain:

1. Metode natif : Sedikitnya feces yang digunakkan untuk infeksi ringan hanya
untuk pemeriksaan infeksi berat.
2. Metode apung : membutuhkan waktu lebih lama, pada waktu pengambilan
telur, telur yang mengapung tidak terambil. Pada waktu menunggu baki atau
tabung reaksi tersenggol sehingga tidak mengapung dan hasilnya negatif.

3. Metode harada mori : Membutuhkan waktu dan alat yang lebih lama.

4. Metode kato : Pada metode kato kuantitatif, karena banyak telur yang dihitung
bisa menyebabkan jumlah telur pada feces hasilnya tidak akurat.

Pemeriksaan dengan metode natif, slide dengan pewarnaan permanen untuk bentuk
tropozoid harus dipersiapkan sebelum pemekatan. Slide dengan pewarnaan tambahan
untuk melihat kista dan ovum dapat dibuat dari hasil pemekatan tersebut. Dalam
banyak keadaan, khususnya dalam membedakkan Entamoeba histolytica dengan jenis
amoeba lainnya, identifikasi sebagai tindakkan sementara. Sediaan apus dengan
pewarnaan permanen memungkinkan penelitian terhadap detail selular.
Teknik Flotasi pada metode apung untuk konsentrasi kista dan telur berdasarkan
perbedaan berat jenis antara larutan kimia tertentu (1120 sampai 1210) dan telur larva
cacing serta kista protozoa (1050 sampai 1150). Terutama yang dipakai adalah larutan
gula, NaCl atau ZnSO4. Telur dan Kista mengapumg dipermukkaan larutan yang lebih
berat, sedangkan tinja tenggelam perlahan-lahan ke dasar. Flotasi lebih baik dari pada
sedimentasi pada pembuatan konsentrasi kista dan telur, kecuali telur beroperkulum,
telur Schistoma dan telur Ascaris yang tidak dibuahi. Flotasi ZnSO 4 biasanya sering
dipergunakkan dan lebih baik dari flotasi gula, NaCl atau larutan garam jenuh
(Brine).
Cara pengapungan feces dicampur dengan larutan garam denagn berat jenis 1200
gram/cc, sehingga telur cacing dan kista akan mengapung ke permukaan kemudian
diambil sebagai bahan pemeriksaan. Larutan dengan berat jenis 1200 gram/cc ini
telur cacing Necator americanus, Ancylostoma dupdenale, Ascaris lumbricoides,
Trichuris trichiura tidak mengalami kerusakan, tetapi larva dari Schistosoma sp,
Strongyodes sp, Necator americanus, Ancylostoma duodenale dan kista protozoa
menjadi sangat menciut. Sebaliknya, telur Opisthorchis sp dan Clonorchis sinensis
berat jenisnya lebih besar dari 1200 gram/cc sehingga mengendap.
Cara menghitung telur pada pemeriksaan dengan metode kato kuantitatif.
Penyelidikkan mengenai penduduk yang terkena infeksi, diharapkan dapat
menentukkan berat infeksi dengan mendapatkan jumlah telur yang diperkirakan.
Telur yang dikeluarkan setiap harinya berbeda-beda, maka diperlukan perhitungan
atas beberapa bahan, terdapat siklus dalam pembentukan telur, pengaruh dari
kepadatan tinja, makanan, pencernaan yang salah dan faktor-faktor lain yang
diketahui, dan pengeluaran telur tiap cacing mungkin berbeda untuk hospes yang
berbeda. Jumlah telur yang dikeluarkan tiap harinya lebih dapat dipercaya dari pada
jumlah telur dalam tiap gram tinja. Menghitung jumlah telur sebelum pengobatan
dapat menentukan pengobatan yang diperlukan dan menghitung jumlahnya setelah
pengobatan dapatmenentukkan hasilnya. (Brown, 1969)
Empat kriteria untuk infeksi oleh cacing parasit (Darwin Karyadi):

Infeksi sangat ringan : 1-9 (15-149 butir telur)


Infeksi ringan : 10-24 (150-375 butir telur)

Infeksi sedang : 25-49 (375-749 butir telur)

Infeksi berat : > 50 (750 butir telur lebih)

Pemeriksaan kuantitatif Kato yang dilakukan hanya berdasarkan perkiraan yang


ditentukkan praktikan. Perhitungan yang dilakukan didapatkan hasil yaitu:

Infeksi pada orang dewasa termasuk infeksi ringan dengan 90 telur yang
ditemukkan pada 0,5 gram tinja.
Infeksi pada anak-anak termasuk infeksi ringan dengan 60 butir telur pada 0,5
tinja.

Infeksi oleh parasit berlangsung tanpa gejala atau menimbulkan gejala ringan.
Diagnosis yang berdasarkan gejala klinik saja kurang dapat dipastikkan, segingga
harus dengan bantuan pemeriksaan labolatorium. Bahan yang akan diperiksa
tergantung dari jenis parasit, untuk cacing atau protozoa usus maka bahan yang
diperiksa adalah tinja. Identifikasi terhadap kebanyakkan telur cacing dapat dilakukan
dalam bebrapa hari setelah tinja dikeluarkan.
V.KESIMPULAN DAN SARAN
A.KESIMPULAN

1. Pemeriksaan dengan metode natif, metode apung dan metode kato (kualitatif)
adalah mengatui infeksi cacing parasit pada orang yang diperiksa.
2. Pemeriksaan kuantitatif dengan metode kato bertujuan untuk menentukan
jumlah telur yang terdapat dalam tinja yang diperiksa.
3. Pemeriksaan dengan metode harada mori bertujuan untuk menentukkan dan
mengidentifikasi larva infektif dari cacing tambang dan mengetahui adanya
infeksi cacing parasit usus.

4. Hasil yang didapat dari pemeriksaan adalah negatif yang artinya bahwa tidak
ditemukkan telur dalam tinja yang diperiksa.

B.SARAN

1. Meningkatkan pengetahuan tentang penyakit parasit agar masyarakat dapat


terhindar dari zoonosis

1. Membuang faeces pada tempatnya, untuk mencegah terjadinya infeksi cacing


parasit usus.

2. Menghindari makanan, air, tanah yang terkontaminasi oleh tinja yang


mengandung telur atau larva parasit

3. Menjaga kebersihan diri dan tempat tinggal agat terhindar dari infeksi parasit.

DAFTAR PUSTAKA
Brown, H. W. 1969. Dasar Parasitologi Klinis. Gramedia, Jakarta.

Entjang, I. 2003. Mikrobiologi dan Parasitologi untuk Akademi Keperawatan dan


Sekolah Menengah Tenaga Kesehatan yang Sederajat. Citra Aditya Bakti,

Bandung.

Gandahusada,S.W .Pribadi dan D.I. Heryy.2000. Parasitologi Kedokteran.Fakultas


kedokteran UI, Jakarta.

Kadarsan,S. Binatang Parasit. Lembaga Biologi Nasional-LIPI, Bogor.


Kurt. 1999. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Volume 2. Penerbit Buku

Kedokteran EGC, jakarta

Neva, F.A. and H.W.Brown. 1994. Basic Clinical Parasitology. Appleton and

Lange, New York.

Noble, R.N. 1961. An Illustrated Laboratory Manual of parasitology. Burgess


publishing, Minnesota.

Tierney, L. M., S. J. McPhee, M. A. Papadakis. 2002. Current Medical Diagnosis


and Treatment. Mc Graw Hill Company, New York.

Anda mungkin juga menyukai