Anda di halaman 1dari 11

Laporan Praktikum ke-1 Tanggal : 15 September 2018

Teknik Karantina Hewan Dosen : Drh Apris Beniawan

Drh Ika Suharti

Drh Tetty Barunawati S, MSi

Asisten : Nadia Aulia Putri, AMd

Paratuberkulosis
Kelompok 1/P1

Nama NIM Ttd

Adam Dwi Pangestu J3P116001

Natasya Amalia Agustine J3P116047

Nurul Oktaviani J3P116053

Trian Gustiana Nuriman J3P116067

Ramadanti Putri Herlambang J3P216107

Rizky Yasodiputra J3P216108

PROGRAM STUDI PARAMEDIK VETERINER


SEKOLAH VOKASI
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2018
27

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Seiring dengan bertumbuhnya kebutuhan masyarakat antar daerah maupun


negara, lalulintas perdagangan terhadap semua jenis media pembawa atau
komoditas perdagangan termasuk komoditas hewan dan produk-produk asal
hewan juga semakin berkembang. Kondisi inilah yang dapat mengakibatkan
banyak terjadi pelanggaran terhadap pengeluaran dan pemasukan hewan dan
produk hewan antar negara maupun antar area atau wilayah dan dapat berdampak
pada penyebaran penyakit hewan menjadi lebih mudah dan lebih cepat. Oleh
karena itu diperlukan pengawasan teknis dalam pengangkutan (transportasi)
terhadap pemasukan dan pengeluaran komoditas perdagangan termasuk
komoditas hewan dan produk-produk asal hewan. Karantina merupakan tindakan
cegah tangkal dan menyebarnya media pembawa, organisme pengganggu tanaman
karantina, hama penyakit hewan karantina, hama penyakit ikan karantina, dan
hama penyakit tumbuhan karantina ke dalam dan antarwilayah Indonesia.
Tujuannya adalah untuk mencegah penularan hama penyakit tersebut, baik kepada
manusia, hewan, ikan, dan tumbuhan. Untuk mencegah masuknya hama dan
penyakit hewan, ikan, dan organisme pengganggu tumbuhan baru ke wilayah
Indonesia dan mencegah penyebarannya dari satu area ke area lain, serta
mencegah keluarnya hama dan penyakit hewan tertentu dari wilayah Indonesia,
telah diundangkan Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina
Hewan, Ikan dan Tumbuhan.
Paratuberkulosis merupakan salah satu penyakit yang menyerang saluran
pencernaan ruminanasia. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Mycobacterium
avium subspecies paratuberculosis (MAP). Mycobacterium avium subspesies
paratuberculosis (MAP) merupakan bakteri gram positif yang dapat ditemui di
alam atau lingkungan. Penyakit ini merupakan salah satu permasalahan yang
penting dalam industri peternakan sapi perah hampir di seluruh dunia. Penyakit
ini sangat merugikan secara ekonomi bagi peternak akibat produktivitas yang
sangat menurun pada hewan penderita meskipun konsumsi pakannya tetap dan
dalam jangka panjang hewan mengalami kekurusan hingga kematian. Selain itu
keberadaan penyakit ini dikaitkan dengan penyakit Crohns disease (CD) yaitu
penyakit dengan penyebab yang sama namun menyerang manusia. Menurut
Tarmudji (2008), penyakit ini juga penting berdasarkan aspek Kesehatan
Masyarakat Veteriner (Kesmavet) karena dapat menularkan patogen melalui
produk ternak seperti susu. Oleh karena itu, pengetahuan mengenai penyakit
paratuberculosis, agen penyebab, patogenesa serta gejala klinis sangat diperlukan
sehingga dapat diketahui bagaimana pengobatan dan pencegahan yang perlu
dilakukan.

1.2 Tujuan
Tujuan dari laporan praktikum ini adalah mengetahui penyakit
paratuberkulosis ditinjau dari agen penyebab, dan dibahas mengenai deskripsi
penyakit, patogenesa, gejala klinis dan pengobatan serta pencegahannya.
26

2 METODOLOGI

2.1 Waktu dan Tempat Praktikum

Praktikum ini dilakukan di Klinik Hewan IPB. Waktu praktikum yaitu hari
Sabtu, 15 September 2018 pukul 08.00 – 12.00 WIB.

3 PEMBAHASAN

3.1 Paratuberkulosis

Paratuberkulosis atau Johne’s Disease merupakan penyakit yang disebabkan


oleh bakteri gram positif Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis
(MAP) (Harris & Barletta 2001). M. paratuberculosis berbentuk batang dengan
ukuran 0,2 - 0,7 x 1,0 - 2 µm bersifat non motil, tahan asam dan alkohol, suhu
pertumbuhannya antara 25 - 43 °C dan optimal pada suhu 39 °C (Griffiths 2003
dalam Nugroho et al. 2008).

Gambar 1 Electron Microscopy of Mycobacterium avium ss. paratuberculosis

M. paratuberculosis dapat bertahan hidup di air, feses, tanah dan lumpur


kandang hingga ± 250 hari, tergantung dari kondisi lingkungan tersebut (Grewal
et al. 2006). Kemampuan hidup M. paratuberculosis akan lebih pendek jika
kondisnya kering, terkena sinar matahari secara langsung, pH tinggi dan
rendahnya kadar zat besi (Collins & Manning 2004). M. paratuberculosis bukan
merupakan bakteri yang dapat tumbuh dan berkembang di lingkungan (free-
living), hal ini karena bakteri ini tidak mempunyai kemampuan menghasilkan
mycobactin yang cukup untuk pertumbuhannya. Mikroorganisme ini hanya dapat
tumbuh dan bermultiplikasi di dalam sel, tempat bakteri ini dapat mengambil zat
besi dari sel inang (makrofag), sehingga bakteri ini dikategorikan sebagai obligat
patogen (Harris & Barletta 2001). Bakteri ini dapat menginfeksi hewan
ruminansia baik domestik maupun liar, antara lain: sapi, kambing, domba, rusa,
unta, antelope dan bison. Paratuberkulosis juga dapat ditemukan pada hewan
nonruminansia (kuda, babi, ayam, kelinci, srigala), primata dan juga manusia
(Whittington et al. 2000).
27

Secara alami penyakit terjadi apabila bakteri M. paratuberculosis yang


mengkontaminasi lingkungan (air, pakan, susu dan padang rumput atau
pengembalaan) tertelan masuk ke dalam tubuh. Beberapa minggu kemudian
bakteri ini akan mengalami germinasi, multiplikasi dan kolonisasi pada dinding
usus halus. Lesi awal akan terjadi pada dinding usus halus dan berlanjut pada
limfo nodul mesenterika. Pemyakit ini akan berkembang dengan terjadinya
kerusakan pada ileum, jejenum, ujung dari usus halus, sekum, kolon dan pada
limfo nodul mesenterika, hal inilah yang akan menyebabkan terjadinya protein
malabsorbtion syndrome, sehingga akan terjadi defisiensi protein (OIE 2004).
Masa inkubasi penyakit pada umumnya terjadi antara 2 sampai 4 tahun. Kejadian
penyakit bisa bersifat klinis maupun subklinis, sedangkan gejala klinis yang
timbul akibat penyakit ini pada umumnya terjadi pada sapi yang mulai dewasa
antara lain, diare, penurunan berat badan dan produksi susu, anemia, oedema dan
dapat menyebabkan kemajiran (Collins & Manning 2004). Pada sapi perah, awal
gejala klinis dapat muncul pada umur 2 tahun, paling lambat umur 12 tahun dan
paling sering muncul pada umur 2 tahun, paling lambat umur 12 tahun dn paling
sering muncul pada umur 5 tahun, atau secara umum pada masa laktasi ke-2, ke-3
atau ke-4 (Wu et al. 2007). Kejadian pre-klinis atau sub-klinis ditandai dengan
belum adanya gejala klinis yang muncul, walaupun sebenarnya sapi tersebut
terinfeksi. Fase ini dapat terjadi antara 1 sampai 10 tahun (Collins & Manning
2004).

3.2 Gejala Penyakit

Micobacterium avium subspesies paratuberculosis menyebabkan Johne’s


disease (JD) yaitu penyakit radang granulomatosa usus yang bersifat kronis dan
sulit disembuhkan pada hewan. Gejala yang terlihat adalah diare dan turunnya
berat badan yang ekstrim dan dapat menimbulkan kematian (Griffiths 2003).
Gejala klinis MAP pada kambing adalah kekurusan dan kurang nafsu makan, bulu
kering dan kasar, tidak ada diare sedangkan pada sapi terkadang ditemukan diare
kronis, dan produksi susu turun. Lesi yang ditimbulkan berupa radang
granulomatosa pada usus sapi dan domba, terkadang dapat pula terjadi pada
primata non-manusia. Perubahan histopatologi lainnya pada mammalia adalah
lymphadenitis dan radang granulomatosa pada beberapa organ dalam (Acha dan
Szyfres 2003; Kruze et al 2006). Penderita JD selain mengalami perubahan klinis,
patologis dan mengeluarkan MAP melalui feses, dapat pula mencemari susu
melalui saluran getah bening meskipun kejadiannya lebih sering melalui feses
(Sweeney et al 1992). Keberadaan bakteri MAP dalam susu ini seringkali
dikaitkan dengan kasus Crohn’s disease (CD) yaitu penyakit pada manusia yang
ditandai adanya radang granulomatosa kronis saluran pencernaan bagian bawah.
Sifat tahan panas menjadikan bakteri MAP sangat berpotensi menjadi milk-borne
disease dan dapat merugikan kesehatan masyarakat..
Menurut Tarmudji (2008), berdasarkan tingkat gejala klinik JD terdapat
empat stadia, yakni:
1. Stadium I, tipe ”silent”, sub-klinik infeksi tidak dapat terdeteksi, meskipun
hewan sudah terinfeksi MAP (dalam dosis kecil) dan terjadi pada anak
sapi dan sapi dara.
28

2. Stadium II, tipe penyebaran subklinik (sub-clinical shedders), terjadi pada


sapi dara yang lebih tua atau sapi dewasa. Hewan tampak sehat, tetapi
sebenarnya mereka adalah karier yang sewaktu-waktu dapat menularkan
atau menyebarkan banyak MAP pada kotorannya yang dapat dideteksi
melalui kultur dari fesesnya. Terjadi pencemaran lingkungan dengan
bakteri MAP.
3. Stadium III, sapi memperlihatkan gejala klinik berupa diare encer (seperti
cairan) yang akut atau intermittent dan kotorannya berbau busuk,
penurunan berat badan dan produksi susu. Dengan uji serologi, positip
mengandung antibodi terhadap paratuberkulosis. Munculnya gejala klinik
biasanya dipicu oleh adanya stres.
4. Stadium IV, merupakan stadium akhir paratuberkulosis, hewan menjadi
sangat kurus (emasiasi) dengan diare cair dan terlihat adanya edema pada
rahang bawah (bottle jaw) dan dapat berakibat fatal.

Gambar 2 Lesi granulomaltosa pada usus sapi

Gambar 3 Lesi granulomaltosa pada limpa sapi


27

Gambar 4 Bottle Jaw pada sapi perah

3.3 Penularan Penyakit

Tempat infeksi dari bakteri M. paratuberculosis adalah usus (ileum-secum),


sehingga hewan yang terinfeksi akan mengeluarkan bakteri ini melalui feses. Di
dalam kotoran ini merupakan sumber infeksi bagi ternak yang lain, terutama
ternak-ternak yang masih muda (Michel et al. 2005). Susu dari induk yang
terinfeksi merupakan sumber infeksi yang kedua, tempat M. paratuberculosis
akan semakin banyak disekresikan seiring dengan tingkat keparahan penyakit atau
dapat juga melalui puting yang tercemar feses yang mengandung bakteri ini,
sehingga ternak yang menyusu akan terinfeksi (Lombard et al. 2006). Padang
pengembalaan atau padang rumput juga bisa tercemar dan dapat sebagai sumber
infeksi, hal ini bisa terjadi jika dialiri dengan air yang telah tercampur dan
terkontaminasi oleh feses hewan terinfeksi (Collins & Manning 2004).
Penularan penyakit paratuberkulosis pada umumnya bersifat horisontal, yaitu
dari hewan terinfeksi (umumnya hewan dewasa) ke hewan lainnya (umumnya
hewan muda) melalui susu, air atau pakan yang tercemar oleh bakteri M.
paratuberculosis, dengan estimasi dosis infeksi 103 cfu/hewan (Wu et al. 2007).
Ternak dewasa (umur diatas 2 tahun) lebih resisten dibandingkan dengan ternak
muda (0 - 6 bulan), karena itu biasanya ternak terinfeksi pada waktu pedet dan
penyakit akan muncul pada umur 2 tahun ke atas, hal ini karena perjalan penyakit
bersifat bersifat kronis. Penularan penyakit dilaporkan juga bisa bersifat vertikal
melalui uterus (transuterine) (Harris & Barletta 2001).

3.4 Diagnosis

Diagnosis penyakit paratuberkulosis pada umumnya berdasarkan pemeriksaan


laboratorium. Uji untuk penyakit ini dibedakan daalam 3 kategori, yaitu: (1)
identifikasi M. paratuberculosis, yang meliputi : nekropsi, mikroskopik, kultur,
DNA probe dan PCR (2) uji serologi, yang meliputi : Complement Fixtian Test
(CFT), Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dan Asgar Gel
Immunodiffusion Test (AGID) dan (3) uji Cell-Mediated Immunity (CMI), yang
meliputi : Gamma Interferon Assay dan Delayed Type Hypersensitivity (OIE
2004).
30

Gambar 5 A. Perbandingan Mycobacterium sp. Isolat, B. MAP referensi


dengan pewarnaan Ziehl Neelsen (perbesaran 4000x). Ket: Tanda panah
menunjukkan bakteri yang dimaksud

Johne’s Disease dilaporkan terjadi di semua belahan dunia, yaitu dari benua
Amerika, Eropa, Afrika, Asia dan Australia. Penyakit ini lebih sering terjadi pada
sapi perah dibandingkan dengan hewan ruminanisa lain, sedangkan pada
ruminansia kecil di beberapa negara lebih sering terjadi pada kambing dan domba
(Collins & Manning 2004). Pada kelompok sapi perah, prevalensi penyakit ini di
Amerika dilaporkan mencapai 22%, Australia (Victoria) mencapai 14 - 17%, New
Zealand 60%, Belanda 55%, Austria 7%, Belgia 22%, Inggris 17%, Denmark
47% dan Jerman mencapai 10 - 30% (Collins & Manning 2004).

3.5 Pengendalian Penyakit

Pengobatan penyakit paratuberkulosis pada sapi terinfeksi mungkin dapat


dilakukan, tetapi tidak efektif dan ekonomis (Jones 1999). Beberapa antibiotik
dapat digunakan untuk pengobatan, tetapi memerlukan waktu yng cukup lama.
Pemberian antibiotik ini hanya menghilangkan gejala klinik, tetapi tidak dapat
mengeliminasi penyakit, sehingga pengobatan pada sapi akan memerlukan biaya
yang cukup tinggi (1000 - 2000 USD/ekor/6 bulan) dan tidak memberikan hasil
yang memuaskan (Collins & Manning 2004).

Tabel 1 Daftar antibotik yang peka terhadap M. paratuberculosis (Collins 2003)


Golongan antibiotik Antibiotik yang diuji Hasil uji (in vitro)
Antibiotik untuk M. Rifampicin, Ethambutol, Resisten
paratuberculosis Isoniazid, Pyrazinamide
Aminoglikosida Amikacin Peka
Fluoroquinolon Ofloxacin, Ciprofloxacin, Resisten
Sparfloxacin Peka
Macrolida Clarithromycin Peka
27

Vaksinasi untuk paratuberkulosis mungkin dapat dilakukan, tetap cara ini


tidak mengeliminasi penyakit dari peternakan, walaupun dapat menurunkan gejala
klinik dan mengurangi jumlah bakteri M. paratuberculosis yang dikeluarkan
melalui feses. Program ini hanya membantu dalam mengurangi kerugian ekonomi
akibat penyakit paratuberkulosis (Jones 1999). Pengendalian penyakit
paratuberkulosis dapat dilakukan pada peternakan yang telah terinfeksi. Pada
umumnya pengendalian penyakit ini membutuhkan waktu yang relatif cukup
lama, yaitu lebih dari lima tahun. Program pengendalian mungkin juga dapat
dilakukan dalam jangka waktu yang lebih singkat, tetapi memerlukan biaya yang
cukup tinggi. Prosedur dasar yang perlu dilakukan untuk mengendalikan penyakit
paratuberkulosis di peternakan adalah sebagai berikut: (1) Pencegahan infeksi
baru pada pedet, dengan melakukan penanganan yang baik dan benar terhadap
kotoran sapi. Hal ini sangat penting karena jumlah M. paratuberculosis dalam
feses yang dikeluarkan dari sapi terinfeksi sangat banyak. Pedet harus
ditempatkan pada tempat dan lingkungan yang kering serta terhindar dari
kontaminasi feses ternak yang terinfeksi. Selain itu, dilakukan penanganan susu
pada peternakan yang telah terinfeksi , hal ini karena banyak ternak sakit yang
akan mensekresikan M. paratuberculosis melalui susuanya terutama pada kasus
yang klinis. Pemberian formula susu pengganti yang bebas bakteri ini mungkin
juga dapat dilakukan atau susu yang akan diberikan pada pedet sebaiknya
dilakukan pasteurisasi terlebih dahulu. Kolostrum yang akan diberikan pada pedet
sebaiknya berasal dari sapi yang bebas paratuberkulosis (Collins & Manning
2004). (2) Identifikasi dan mengeluarkan sapi terinfeksi dari peternakan. Prosedur
ini dilakukan dengan cara uji dan afkir, melakukan desinfeksi dan jika
memungkinkan melakukan vaksinasi (Collins dan Manning 2004).

4 PENUTUP

4.1 Simpulan

Paratuberkulosis atau Johne’s Disease merupakan penyakit yang


disebabkan oleh bakteri gram positif Mycobacterium avium subspesies
paratuberculosis (MAP). Menginfeksi hewan ruminansia baik domestik maupun
liar, antara lain; sapi, kambing, domba, rusa, unta, antelope dan bison.
Paratuberkulosis juga dapat ditemukan pada hewan nonruminansia (kuda, babi,
ayam, kelinci, srigala), primata dan manusia. Gejala klinis berupa diare encer
(seperti cairan) yang akut atau intermittent dan kotorannya berbau busuk,
penurunan berat badan dan produksi susu, pada stadium akhir paratuberkulosis,
hewan menjadi sangat kurus (emasiasi) dengan diare cair dan terlihat adanya
edema pada rahang bawah (bottlejaw) Penularan penyakit paratuberkulosis pada
umumnya bersifat horisontal melalui susu, air atau pakan yang tercemar oleh
bakteri M. paratuberculosis juga dapat bisa bersifat vertikal melalui uterus
(transuterine). Pencegahan yang dapat dilakukan yaitu dengan penanganan
kotoran dengan baik dan benar, pemberian susu pengganti yang bebas bakteri atau
susu yang akan diberikan pada pedet dipasteurisasi terlebih dahulu, melakukan
32

desinfeksi dan jika memungkinkan dilakukan vaksinasi. Pengobatan dapat


dilakukan dengan pemberian antibiotik tertentu.

DAFTAR PUSTAKA
[OIE]. Office International des Epizooties. 2004. Manual of Diagnostic Tests and
Vaccines Manual of Diagnostic for Terrestrial Animals. Paris: Office
International des Epizooties.
Acha, P.N. and B. SZYFRES. 2003. Zoonoses and Communicable Diseases
Common to Man and Animals.Vol I. 3rd ed. Pan America Health
OrganizationWashington. pp. 283-297.
Collins MT dan Manning E. 2004. Paratuberculosis in Dairy Cattle. School of
Veterinary Medicine. Madison: University of Winconsin.
Ebert, M.N.; Kraft, S.A.; Grant, I.R.; Donaghy, J.; Rowe, M.T.; Seyboldt, C.
2000. Isolation of Mycobacterium avium subsp. paratuberculosis from
Bovine Colostrum by Immunomagnetic Separation. Research Center for
Medical Technology and Biotechnology (fzmb e.V.). Department of
Veterinary Diagnostic. Erfurt. Germany
Griffiths M. 2003. Mycobacterium paratuberculosis. Di dalam: Blackburn CW,
McClure PJ, editor. Food-borne Pathogeneses, Ed ke-1. Boca Raton,
Florida: CRC Pr. Hlm, 489-500.
Grewal SK, Rajeev S, Sreevatsa S, Michel Jr. FC. 2006. Persistence of
Mycobacterium avium subsp. Paratuberculosis and other zoonotic
pathogens during simulated composting, manure packing, and liquid
storage of dairy manure. Appl Environ Microbiol 72:565-574
Harris NB dan Barletta RG. 2001. Mycobacterium avium subsp. Paratuberculosis
in Veterinary Medicine. Clin Microbio Rev 14:489-512.
Jones HP. 1999. Living with Johne’s Disease. Holstein J. 1:61-62
Lombard JE, Garry FB, McCluskey BJ, Wagner BA. 2005. Risk of removal and
effects on milk production associated with paratuberculosis status in dairy
cows. J Am Vet Med Assoc. ;227:1975–1981. doi: 10.2460
Nugroho WS et al. 2008. Deteksi Mycobacterium avium subspesies
paratuberculosis pada suhu formula lanjutan di Bogor. J Teknol Industri
Pangan 9:19-24.
Tarmudji. 2008. Johne’s disease pada sapi. Balai Besar Penelitian Veteriner:
Tabloid Sinar Tani.
Wu J, Li J, Yang X, Wang D, Wang J dan Liu X. 2007. The seroprevalence
of Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis in dairy cattle in
Xinjiang, Northwest China doi: 10.1186/s13620-016-0079-0
Whittington RJ, Hope AF, Marshall DJ, Taragel CA, Marsh I. 2000. Molecular
epidemiology of Mycobacterium avium subsp. Paratuberculosis IS900
restriction fragment length polymorphism and IS1311 polymorphism
analyses of isolates from animals and human in Australia. J Clin Microbiol
38:3240-3248.
Harris NB. and Barletta RG. 2001. Mycobacterium avium subsp.
paratuberculosis in veterinary medicine. Clin. Microbiol. Rev. 14: 489-
512.
27

Buergelt CD, Layton AW, Ginn PE, Taylor M, King JM, Habecker PL,
Mauldin E, Whittlock R, Rositter C, dan Collins MT. 2000. The
pathology of spontaneous Paratuberculosis ini North American Bison
(Bison bison). Vet. Pathol. 37: 428-438.
Motiwala AS, Amosin A, Stroher M, Banning EJB, Kapur V dan Sreevatsan..
2004. Moleculer epidemiology of Mycobacterium avium
subsp.paratuberculosis isolates recovered from wild animal species. J.
Clin. Microbiol. 42: 2703-1712.
Sweeney RW, Whitlock RH dan Rosenberger AE. 1992. Mycobacterium
paratuberculosis cultured from milk and supramammary lymph nodes. of
Infected asymptomatic cows. J. Clin. Microbiol. 30: 66-171.
Kruzee J, Salgado M, Paredes E, Mella A dan Collins MT. 2006. Goat
paratuberculosis in Chile: first isolation and confirmation of
Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis infection in a dairy
goat. J.Vet. Diagn. Invest. 18: 476-479.

Anda mungkin juga menyukai