Anda di halaman 1dari 14

TUGAS HIGIENE DAN SANITASI MAKANAN

LITERATUR REVIEW TENTANG FOODBORNE DISEASE


CEMARAN STAPHYLOCOCCUS AUREUS PADA DAGING AYAM

Dosen Pengampu : Balgis, dr., MSc, CM, FM

Nama Anggota :

1. Duantika Anindhalia (R0217038)


2. Firdaus Ferdiansyah (R0217044)
3. Hanifah Fuadatul M (R0217048)
4. Katrin Pragesta (R0217058)
5. Norista Wijayanti (R0217072)
6. Retno Rahdiya N (R0217088)
7. Unfari’ah (R0217102)
8. Wildan Fuadi (R0217106)
Kelas B

PROGRAM STUDI D4 KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2018
FOODBORNE DISEASE CEMARAN STAPHYLOCOCCUS AUREUS PADA
DAGING AYAM

ABSTRAK

Penyakit asal pangan (foodborne disease) telah menjadi perhatian utama di


seluruh dunia dan dua pertiga dari letupan penyakit yang terjadi disebabkan oleh
agen bakteri. Diantara bakteri yang sering disebut sebagai penyebab terjadinya
penyakit adalah Staphylococcus aureus, merupakan penyebab utama dari
gastroenteritis akibat mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi. Keracunan
makanan akibat staphylococcal ini disebabkan oleh terserapnya enterotoksin tahan
panas yang dihasilkan oleh bakteri tersebut dalam makanan. Makanan yang sering
dikaitkan dengan keracunan asal staphilococcal termasuk diantaranya daging dan
produk olahannya. Tingginya proporsi jumlah S. Aureus yang melebihi batas
cemaran mengindikasikan buruknya sanitasi RPU maupun kurangnya kebersihan
karyawan dalam menangani daging ayam baik saat pemrosesan maupun saat
penndistribusian. Suatu studi tentang cemaran bakteri S. aureus pada daging ayam
dan olahannya telah dilakukan dengan tujuan untuk memberikan informasi tingkat
cemarannya. Sehingga konsumen akan lebih teliti dalam memilih daging ayam
yang ada di pasaran dan pedagang agar lebih berhati-hati dalam menangani
dagangannya.
Kata kunci: S. aureus, daging ayam, foodborne disease

PENDAHULUAN

Foodborne disease adalah penyakit yang disebabkan karena


mengkonsumsi makanan atau minuman yang tercemar. Foodborne disease
disebabkan oleh mikroorganisme atau mikroba patogen yang mengkontaminasi
makanan. Selain itu, zat kimia beracun, atau zat berbahaya lain yang terdapat
dalam makanan. Makanan yang berasal baik dari hewan maupun tumbuhan dapat
berperan sebagai media pembawa mikroorganisme penyebab penyakit pada
manusia (Deptan RI, 2007).
Daging ayam adalah pangan asal hewan yang banyak dikonsumsi
masyarakat. Pangan asal hewan segar termasuk kategori pangan yang mudah rusak
dan dikenal sebagai pangan yang berpotensi berbahaya bagi kesehatan konsumen
(potentially hazardous food). Centers for Disease Control and Prevention (CDC)
melaporkan bahwa sekitar 50% penyebab dan media penular wabah foodborne
disease yang berhasil ditelusuri adalah pangan asal hewan.
Keberadaan S. aureus penghasil enterotoksin dalam makanan merupakan
ancaman terhadap kesehatan masyarakat karena kemampuan bakteri tersebut untuk
menimbulkan gejala klinis. S. aureus penghasil enterotoksin biasanya ditemukan
pada daging, daging unggas dan produknya. Laporan tahun 1988 menunjukkan
bahwa terdapat 175 wabah intoksikasi makanan yang disebabkan oleh S. aureus,
9% diantaranya terkait dengan daging kalkun dan 8% terkait dengan hidangan dari
daging ayam (chicken dishes). Setiap tahun di Amerika Serikat tercatat sebanyak
400000 pasien rumah sakit keracunan oleh S. aureus.
S. aureus adalah bakteri yang bersifat gram positif dan tidak motil, hidup di
kulit dan membran mukosa dari hewan berdarah panas. Manusia adalah salah satu
pembawa utama bakteri ini, yang memiliki habitat di membran hidung karena
hangat dan basah. S. aureus sering ditemukan pula di ayam hidup dan kalkun.
Hanya sekitar 30% dari galur S. aureus dapat menghasilkan enterotoksin, yang
dilepaskan ke makanan sehingga berisiko menyebabkan keracunan makanan (food
intoxication) pada konsumen. Enterotoksin yang dihasilkan oleh S. aureus
memiliki sifat resisten terhadap panas (heat resistant). Jumlah S. aureus penghasil
enterotoksin yang dapat menyebabkan keracunan makanan diduga jika melebihi 1
juta per gram, yang diperkirakan menghasilkan enterotoksin sebanyak 1 µg.
Jumlah tersebut cukup untuk menyebabkan gejala klinis pada orang dewasa,
sedangkan pada anak-anak cukup dibutuhkan 0.2 µg.
Makanan yang terkontaminasi oleh S. aureus akan menimbulkan gejala klinis
dalam rentang waktu 1 sampai 6 jam atau rata-rata sekitar 3 jam pada saluran
pencernaan. Gejala klinis utamanya adalah muntah yang didahului oleh rasa mual.
Frekuensi muntah dapat meningkat sesuai dengan rasa mual yang muncul. Gejala
klinis lain yang muncul biasanya adalah kram perut dan diare.
Perlunya observasi untuk mengetahui keberadaan dan jumlah S. aureus pada
daging ayam. Diharapkan literaur review ini, berdasarkan informasi yang diambil
dari beberapa jurnal dapat memberikan gambaran tentang kondisi higiene
penjualan daging ayam dan cemaran S. aureus pada daging ayam sebagai
masukan dalam rangka pembinaan dan pengawasan pangan asal hewan.

METODOLOGI

Artikel ini berisi penelitian yang dilakukan dengan cara literatur review
mengenai ulasan dan rangkuman dari beberapa sumber pustaka (artikel,
buku, slide, informasi dari internet, dan lain-lain) maupun dari pemikiran penulis.
Merangkumkan menjadi kajian lepas atau literature review, penggelompokan
(kategorikan) semua penelitian yang mirip dan dapat pula membandingkan secara
bersama contohnya maklumat yang sama atau berbeda tentang foodborne disease
terhadap cemaran Staphylococcus aureus pada daging ayam.

PEMBAHASAN

A. Foodborne disease
Penyakit yang ditularkan melalui makanan (foodborne disease),
biasanya bersifat toksik maupun infeksius, disebabkan oleh agens penyakit
yang masuk ke dalam tubuh melalui konsumsi makanan yang terkontaminasi.
Kadang-kadang penyakit ini disebut “keracunan makanan” (food poisoning)
walaupun istilah ini tidak tepat. Penyakit yang ditularkan melalui makanan
mencakup lingkup penyakit yang etiologinya bersifat kimiawi maupun
biologis, termasuk penyakit kolera dan diare, sekaligus beberapa penyakit
parasit.
Penyakit yang ditularkan melalui makanan (foodborne disease) yang
segera terjadi setelah mengkonsumsi makanan, umumnya disebut dengan
keracunan. Makanan dapat menjadi beracun karena telah terkontaminasi oleh
bakteri patogen yang kemudian dapat tumbuh dan berkembang biak selama
penyimpanan, sehingga mampu memproduksi toksin yang dapat
membahayakan manusia. Pada kasus foodborne disease mikroorganisme
masuk bersama makanan yang kemudian dicerna dan diserap oleh tubuh
manusia.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba dalam
makanan meliputi:
1. Faktor intrinsik, merupakan sifat fisik, kimia dan struktur yang
dimiliki oleh bahan pangan tersebut, seperti kandungan nutrisi dan pH
bagi mikroba.
2. Faktor ekstrinsik, yaitu kondisi lingkungan pada penanganan dan
penyimpanan bahan pangan seperti suhu, kelembaban, susunan gas di
atmosfer.
3. Faktor implisit, merupakan sifat-sifat yang dimiliki oleh mikroba itu
sendiri.
4. Faktor pengolahan, karena perubahan mikroba awal sebagai akibat
pengolahan bahan pangan, misalnya pemanasan, pendinginan, radiasi,
dan penambahan pengawet

B. Karakteristik Staphylococcus aureus


Bakteri Staphylococcus pertama kali ditemukan oleh ahli bedah
berkebangsaan Skotlandia sebagai akibat banyaknya infeksi piogenik
(terbentuknya pus) pada manusia. Staphylococcus aureus adalah salah satu
spesies dari 32 spesies dalam genus Staphylococcus. Spesies yang lain pada
umumya tidak menginfeksi manusia tetapi hanya ditemukan di mamalia.
Nama Staphylococcus sendiri berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari
kata “staphyle” dan “kokkos”, yang berarti seperti kelompok anggur dan
berbentuk kokus atau bulat, sedangkan nama aureus berasal dari bahasa Latin
yaitu “gold” yang berarti bakteri ini tumbuh dalam koloni besar yang
berwarna kuning.
Staphylococcus aureus adalah bakteri yang bersifat Gram positif dan
tidak motil, hidup di kulit dan membran mukosa dari hewan berdarah panas.
Manusia adalah salah satu pembawa utama bakteri ini, yang memiliki habitat
di membran hidung karena hangat dan basah. S. aureus dapat ditemukan di
hidung pada 10-40% manusia dewasa.Selain itu S. aureus juga ditemukan
pada habitat lain, seperti di dalam air, bahan yang busuk, dan di berbagai
permukaaan.
Bakteri S. aureus sering juga ditemukan di ayam hidup dan kalkun.
Bakteri ini masuk ke kulit atau lubang hidung berbagai burung dan sesudah
itu dapat ditemukan pada seluruh bagian tubuh dengan jumlah yang sedikit.
Bersifat aerob atau anaerob fakultatif serta memiliki metabolisme melalui
respirasi atau fermentasi. S. aureus memiliki sifat katalase positif dan mampu
memecah sebagian besar karbohidrat.
Bakteri S. aureus tumbuh optimum pada suhu sekitar 37 °C dan
mampu bertahan pada suhu rendah di bawah 8 °C, sehingga digolongkan
menjadi bakteri mesofilik. Derajat keasaman (pH) yang memungkinkan
bakteri ini tumbuh adalah pada interval antara 4.5 dan 9.3, dengan pH
optimum antara 7.0 dan 7.5 (Martin dan Landolo 1999). S. aureus adalah
bakteri yang dapat tumbuh dengan aktivitas air (aw) yang rendah, yaitu
minimum 0.86 (ICMSF 1980; Reichart dan Fung 1976 yang dikutip oleh
Forsythe dan Hayes 1998). Selain itu, S. aureus dapat tumbuh pada
konsentrasi garam yang tinggi sehingga disebut osmotoleran.
Hanya sekitar 30% dari galur S. aureus dapat menghasilkan
enterotoksin, yang dilepaskan ke makanan sehingga berisiko menyebabkan
keracunan makanan (food intoxication) pada konsumen. Enterotoksin yang
dihasilkan oleh S. aureus memiliki sifat resisten terhadap panas atau heat
resistant. Keberadaan sejumlah besar S. aureus dalam makanan tidak berarti
bahwa enterotoksin dihasilkan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian keracunan makanan oleh


enterotoksin S. aureus adalah:
1. Galur S. aureus penghasil enterotoksin berada pada makanan selama
produksi, pengolahan, atau penyiapan makanan;
2. Bakteri dipindahkan dari sumber ke makanan;
3. Makanan harus tercemar dengan jumlah ribuan S. aureus per gram
atau biasanya lebih dan makanan sudah dipanaskan sebelum tercemar
S. aureus, atau makanan mengandung banyak garam atau gula;
4. Bakteri harus dapat bertahan hidup di makanan, tidak tumbuh
berlebihan atau dihambat oleh mikroorganisme lain, atau dimatikan
oleh pemanasan, pH rendah, atau kondisi yang tidak buruk sebelum S.
aureus menghasilkan enterotoksin;
5. Makanan, setelah tercemar oleh S. aureus, kondisi makanan
mendukung pertumbuhan bakteri tersebut;
6. Makanan yang tercemar disimpan pada rentang suhu yang sesuai
untuk pertumbuhan dan perbanyakan S. aureus sampai menghasilkan
cukup enterotoksin;
7. Jumlah enterotoksin dalam makanan yang dikonsumsi harus melebihi
ambang batas individu sehingga menghasilkan keracunan makanan.

Tabel Pertumbuhan Staphylococcus aureus dan produksi enterotoksin


(Pawsey 2002)

Suhu °
Aktivitas air
Karakteristik C pH (aw) Atmosfer

Optimum untuk
37 6-7 0.98 Aerobik
pertumbuhan

Rentang (range)
0.83 - >0.99
pertumbuhan (di (aerobik) Anaerobik-
7-48 4-10
bawah 0.90 - >0.99 aerobik
kondisi optimum) (anaerobik)

Aerobik (5-
20%
Optimum untuk
40-45 7-8 0.98 dissolved
produksi toksin oxygen)

0.87 - >0.99
Rentang produksi
4.5-9.6 Anaerobik-
10-48 (aerobik)
toksin (di bawah
(aerobik) aerobik
0.92 - >0.99
kondisi optimum)
(anaerobik)
Penelitian berikut dilaksanakan dengan metode literatur review
dengan mengambil data dari sumber internet dengan membandingkan
kualitas daging ayam di beberapa tempat. Berdasarkan referensi, pasar yang
mempunyai kriteria yang paling baik dari aspek higiene adalah Pasar
Modern. Hasil pengujian laboratorium menunjukkan bahwa jumlah S.
aureus pada daging ayam berturut-turut dari yang tertinggi adalah Pasar
Modern 1116.0 + 1461.0 cfu/gram, Pasar Bukit 618.2 + 1045.8 cfu/gram
dan Pasar Jombang 433.3 + 665.8 cfu/gram, dengan rataan yaitu 802.5 +
1194.2 cfu/gram. Dibandingkan dengan batas maksimum cemaran mikroba
(BMCM) yang ditetapkan dalam SNI Nomor 7388 Tahun 2009, maka
sampel daging ayam yang tidak memenuhi BMCM paling tinggi diperoleh
dari Pasar Modern (80.0%), kemudian diikuti Pasar Bukit (54.5%) dan Pasar
Jombang (66.7%). Tingginya jumlah S. aureus ini berkaitan dengan praktik
higiene personal dan tidak adanya penerapan rantai dingin dari rumah
potong unggas sampai di pasar. Hal ini perlu mendapat perhatian mengingat
keberadaan S. aureus pada daging ayam yang dapat menghasilkan toksin
yang tahan panas dapat berisiko menyebabkan keracunan makanan pada
konsumen.

C. Pencemaran dan Intoksikasi Makanan oleh Staphylococcus aureus


Mikroorganisme patogen yang sering menimbulkan wabah
foodborne disease tidak menyebabkan perubahan fisik pada pangan,
sehingga tidak mudah dikenali secara sensoris, melainkan memerlukan
pengujian laboratorium. Mikroorganisme patogen itu dapat menyebabkan
infeksi pangan (food infection), toksiko-infeksi pangan (food-toxico
infection), dan intoksikasi pangan (food intoxication) (Lukman 2009). S.
aureus merupakan penyebab foodborne illness terpenting ketiga di dunia.
Keberadaan S. aureus dalam makanan harus diinterpretasikan secara
hati-hati. Adanya bakteri tersebut dalam jumlah besar di makanan tidak
cukup untuk menjadikan makanan tersebut sebagai wahana keracunan
makanan karena tidak semua galur S. aureus memproduksi enterotoksin.
Potensi intoksikasi oleh S. aureus tidak dapat dipastikan tanpa pengujian
enterotoksigenisitas dari isolat S. aureus atau membuktikan keberadaan
enterotoksin S. aureus dalam makanan. Ketidak-beradaan S. aureus dan/atau
jumlah S. aureus yang sedikit menjamin makanan aman (Lancette dan
Bennet 2001).
S. aureus merupakan agen foodborne disease yang diisolasi dari
rumah potong unggas (RPU), yang juga penyebab masalah penyakit yang
signifikan pada ayam dan kalkun, walaupun galur yang terlibat biasanya
berbeda. Dalam survei pada 8 RPU yang mengambil sekitar 2500 sampel
hati diperoleh 22 dari 35 galur S. aureus koagulase-positif dan 2 dari 122
galur S. aureus koagulase-negatif yang merupakan phagetype manusia. Dari
14 galur S.aureus koagulasi-positif, 7 galur bersifat enterotoksigenik. Hanya
1.6% dari sampel hati unggas mengandung galur S. aureus koagulase-
negatif (Genigeorgis dan Sadler 1966 yang dikutip oleh Cunningham 1988).
Di Turki terdapat penelitian membuktikan bahwa dari 1070 sampel
makanan ditemukan 147 galur (13.8%) S. aureus, yang mana 92 galur
(62.6%) diisolasi dari daging (13/13), produk olahan daging (6/6), susu
segar (31/63), perusahaan susu (36/54), perusahaan roti (5/9), dan makanan
siap saji (1/2).
Penelitian Crago et al. (2012) di Alberta, Kanada dari tahun 2007
sampai 2010 mendapatkan bahwa dari 693 sampel makanan ditemukan 73
sampel (10.5%) yang positif terkontaminasi S. aureus, yang mana (29/73)
sampel berasal dari daging (dimasak atau tidak dimasak; daging unggas n=9,
daging sapi n=7, daging babi n=6, dan tidak diketahui 5), (20/73) sampel
dari makanan yang mengandung daging (daging sapi n=8, daging unggas
n=4, seafood n=3, daging babi n=1, dan tidak diketahui 4), (11/73) diisolasi
dari makanan yang tidak mengandung daging, (10/73) diisolasi dari
perusahaan susu (susu n=8, keju n=1, es krim n=1), dan tiga makanan
olahan. Pada penelitian ini ditemukan 81% (59/73) sampel positif
terkontaminasi S. aureus yang mana berasal dari daging, makanan yang
berasal dari daging, dan perusahaan susu.
Tabel Prevalensi Staphylococcus aureus pada berbagai makanan

Jumlah
sampel
Jumlah Jumlah dari % positif
Produk terkontaminas
sampel S. aureus cfu/g terhadap SE
i
(%)

Daging
babi 135 57.7 TD 34.6
mentah
Daging
139 2.8 TD 7.8
mentah

Susu
714 7.9 TD 31.8
mentah

Daging
1090 30 <100 TD
sapi

Daging
50 6 >10 TD
kalkun

Udang
46 23.9 >3 26
beku

Karkas
1155 28.7 <10 TD
daging sapi

SE = Staphylococcal enterotoxin
TD = tidak dapat ditentukan

Tahap-tahap berpotensi terjadinya pencemaran silang mikroba pada


pemrosesan karkas ayam di RPU dapat terjadi saat penerimaan dan
penggantungan ayam, penyembelihan, scalding dan pencabutan bulu,
pengeluaran jerohan, pendinginan, grading dan pemotongan. Namun pada
tahap scalding peluang pencemaran silang lebih kecil dibandingkan tahap-
tahap berikutnya. Hal ini terjadi karena adanya aliran penggantian air
scalding dan suhu yang terjaga tetap tinggi sesuai dengan kebutuhan untuk
mencegah akumulasi bakteri pada air dan peralatan scalding. Demikian pula
tahap pendinginan dapat menekan pencemaran.
D. Batas Maksimum Cemaran S. aureus pada Daging Ayam
Berdasarkan SNI 01-07388-2009 Tentang Batas Maksimum Cemaran
Mikroba dalam pangan menyebutkan bahwa jumlah maksimum S. aureus
pada daging ayam adalah 1x102 cfu/g. Tingginya jumlah S. aureus yang
terkandung pada daging ayam dapat berasal dari ayam itu sendiri selagi hidup
maupun dari pekerja yang menangani proses pemotongan ayam hingga
menjadi karkas di RPU. Tingginya proporsi jumlah S. aureus yang melebihi
batas cemaran juga mengindikasikan buruknya sanitasi RPU. Selain itu,
tingginya cemaran dapat diakibatkan kurangnya kebersihan karyawan dalam
menangani daging ayam baik saat pemrosesan maupun saat penndistribusian.
Jumlah S. aureus juga dapat menjadi indikator untuk mempertimbangkan
kualitas daging ayam. Semakin banyak kandungan S. aureus pada daging
ayam, maka kualitasnya daging tersebut buruk atau kurang baik untuk
dikonsumsi, dan sebaliknya.

E. Bahaya kontaminasi S. Aureus pada Daging Ayam


Kontaminasi S. aureus pada karkas/daging berasal dari kulit hewan,
bulu, dan kulit yang berasal dari lesio atau kerusakan jaringan. Kontaminasi S.
aureus dari kulit pada karkas sering tidak dapat dihindarkan. Jumlah S.
aureus penghasil enterotoksin yang dapat menyebabkan keracunan makanan
diduga jika melebihi 1 juta per gram, yang diperkirakan menghasilkan
enterotoksin sebanyak 1 µg. Jumlah 1 µg enterotoksin cukup untuk
menyebabkan gejala klinis pada orang dewasa, sedangkan pada anak-anak
cukup dibutuhkan 0.2 µg.
Masalah utama dalam mengidentifikasi enterotoksin pada makanan
adalah kadar enterotoksin pada makanan yang sangat kecil. Enterotoksin
dapat teridentifikasi di dalam makanan apabila jumlah Staphylococcus >106
sel/g. Jumlah S. aureus harus sudah mencapai minimum 1000 cfu/g atau ml
untuk menyebabkan keracunan pada manusia.
Makanan yang terkontaminasi oleh toksin S. aureus akan
menimbulkan gejala klinis pada orang yang mengonsumsi makanan tersebut
dalam rentang waktu antara 1 dan 6 jam atau rata-rata sekitar 3 jam. Gejala
klinis utamanya adalah muntah yang didahului oleh rasa mual. Gejala klinis
lain yang muncul biasanya adalah kram perut dan diare. Respon muntah
terjadi karena adanya enterotoksin dari S. aureus yang sering dikategorikan
ke dalam neurotoksin berbahaya. Enterotoksin tersebut dapat menimbulkan
respon muntah karena dapat mengaktifkan reseptor yang ada di usus yang
akan menstimulasi pusat muntah di otak melalui nervus vagus dan simpatis
Pada manusia S. aureus menyebabkan berbagai infeksi yang sebagian
besarnya terdapat di kulit, namun tidak menyebabkan kematian. Bakteri ini
membuat lesio di permukaan kulit, seperti infeksi pada folikel rambut,
jerawat, sties atau peradangan kelenjar di kelopak mata, serta menyebabkan
abses di kulit dan di dasar jaringan. Pada kondisi lain, S. aureus juga dapat
menimbulkan penyakit swimmer’s ear, infeksi di bagian tengah telinga, dan
gangguan di saluran kemih. S. aureus juga dapat mengakibatkan peradangan
yang serius, seperti pneumonia. Selain itu, bakteri ini dapat menyebabkan
meningitis (peradangan pada meningen dan medulla spinalis), artritis,
osteomielitis, dan endokarditis.

F. Pencegahan Cemaran S. Aureus pada Daging Ayam


Untuk menekan tingginya jumlah S. Aureus pada daging ayam harus
dilakukan sejak dari rantai proses yaitu sejak dari peternakan hingga siap saji.
Tindakan yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan sanitasi dan
higiene dalam menghasilkan produk. Sesampainya di RPU maka pemeriksaan
antemortem harus dilakukan, untuk mengetahui ayam sehat atau sakit, dan
dilakukan tindakan yang perlu untuk menjamin bahan baku aman dan sehat
untuk proses selanjutnya.
Pada proses penyembelihan, seluruh peralatan sejak ayam digantung
sampai dikemas harus benar-benar bersih. Hal ini harus dapat dievaluasi dan
dikoreksi sehingga peluang pencemaran melalui peralatan dapat dihindarkan.
Selain itu, bahan pendukung, seperti : air, es, bahan pengemas, dan bahan
lainnya juga harus senantiasa dikontrol. Karyawan yang menderita infeksi
oleh S. Aureus, miusalnya bisul dan sinusitis, sebaiknya dilarang ikut serta
dalam proses penanganan ayam.
KESIMPULAN

Foodborne disease adalah penyakit yang disebabkan karena


mengkonsumsi makanan atau minuman yang tercemar. Potensi intoksikasi oleh S.
aureus tidak dapat dipastikan tanpa pengujian enterotoksigenisitas dari isolat S.
aureus atau membuktikan keberadaan enterotoksin S. aureus dalam makanan.
Ketidak-beradaan S. aureus dan/atau jumlah S. aureus yang sedikit menjamin
makanan aman. Enterotoksin dapat teridentifikasi di dalam makanan apabila
jumlah Staphylococcus >106 sel/g. Jumlah S. aureus harus sudah mencapai
minimum 1000 cfu/g atau ml untuk menyebabkan keracunan pada manusia.
Tingginya proporsi jumlah S. aureus yang melebihi batas cemaran
mengindikasikan buruknya sanitasi RPU maupun faktor higiene yang diterapkan
oleh karyawan masih buruk dalam menangani daging ayam baik saat pemrosesan
maupun saat penndistribusian.

SARAN

1. Diharapkan Dinas Peternakan dan Perikanan melakukan pengawasan dan


pembinaan terhadap pedagang-pedagang tentang pentingnya menerapkan
higiene sanitasi pada tempat pejualan, peralatan, dan pekerja.
2. Penerapan Program Monitoring dan Surveilans Residu dan Cemaran Mikroba
(PMSR) merencanakan besaran sampel yang memadai dan mengembangkan
kuesioner untuk mengidentifikasi faktor-faktor resiko.
3. Perlu dilakukan studi pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), dan praktik
(practices) atau studi KAP tentang higiene dan keamanan pangan pada
pedagang daging ayam untuk dapat dirancang program pembinaan dalam
rangka mewujudkan produk hewan aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH)
REFERENSI

Chotiah, S. (2009). Cemaran Staphylococcus aureus pada Daging Ayam dan


Olahannya. In Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner (Vol.
7, No. 4, p. 2)
http://peternakan.litbang.pertanian.go.id/fullteks/semnas/pro09-101.pdf
Gustiani, E. (2009). Pengendalian cemaran mikroba pada bahan pangan asal
ternak (daging dan susu) mulai dari peternakan sampai dihidangkan. Jurnal
Litbang Pertanian, 28(3), 96-100. Diakses pada
lamanhttp://www.mhcs.health.nsw.gov.au/publicationsandresources/pdf/pub
lication-pdfs/diseases-and-conditions/7120/doh-7120-ind.pdf

Indonesia, S. N. (2009). Batas maksimum cemaran mikroba dalam


pangan. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional. Diakses pada laman
http://blog.ub.ac.id/cdrhprimasanti90/files/2012/05/batas_maksimum_cemar
an_mikroba_dalam_pangan_sni_7388-2009_-1.pdf

Palupi, K. T., Adiningsih, M. W., Sunartatie, T., Afifi, U., & Purnawarman, T.
(2010).Pengujian staphylococus aureus pada daging ayam beku yang
dilalulintaskan melalui pelabuhan penyeberangan merak.Hemera
Zoa, 2(1).Diakses:http://jurnal.ipb.ac.id/index.php/hemera/article/view/4622

Putra, D. P. Cemaran Staphylococcus aureus pada Daging Ayam yang Dijual di


Pasar-Pasar di Tangerang Selatan. Diakses pada laman
https://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/57647/B12dpp.pdf
?sequence=2&isAllowed=y

http://digilib.unila.ac.id/5660/12/Bab%202.pdf diakses 8 Oktober 2018

https://www.academia.edu/11041773/FOOD_BORNE_DISEASE diakses 9
Oktober 2018

https://www.academia.edu/8646187/Bahaya2018bahaya_penyakit_yang_disebabk
an_makanan_foodborne_illness_ diakses 9 Oktober 2018

Anda mungkin juga menyukai