Anda di halaman 1dari 17

Laporan Praktikum ke-5 Hari, tanggal : Kamis, 8 Maret 2018

Teknik Dasar Nekropsi Dosen :Dr. drh. Eva Harlina MSi


Hewan Drh.HeryudiantoVibowo
Drh Vetnizah Juniantitio MSi

Sistem Urogenital pada Babi dan Kelainan


Kelompok 2/P2

Nama NIM Ttd


Arnold Scropsky Muntu J3P1160 1.
Isfahdi Kanha Semidang J3P116034 2.
Natasya Amalia Agustine J3P116047 3.
Zayyin Thoyyibatul M J3P116073 4.
Nur Istiqomah J3P216109 5.
Azalia Devara J3P216075 6.
Rizky Yasodiputra J3P216 108 7.
Muhamad Satriadi J3P216086 8.
Rhonas Febrion J3P2160 9.

PROGRAM KEAHLIAN PARAMEDIK VETERINER


PROGRAM DIPLOMA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2018
1. PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Sistem urogenital terdiri dari sistem urinaria dan sistem reproduksi.


Sistem urinaria terdiri atas sepasang ginjal, ureter, kandung kemih dan
uretra. Sistem reproduksi pria terdiri dari sepasang tetstis, aluran reproduksi
berupa vas deferens, epididimis, vas everen dan uretra tunggal. Pada pria
dilengkapi penis sebagai organ kopulatoris dan kelenjar asesoris.
Sedangkan sisem reproduksi wanita terdiri dari sepasang ovarium, saluran
reproduksi berupa sepasang tuba falopii serta uterus dan vagina tunggal.
Pada wanita juga terdapat organ genitalia eksternae dan kelenjar mammae
(Susilowati dkk. 2003).

Pada uretra terdapat dua buah sfingter yaitu sfingter uretra eksterna
dan interna di mana sfingter uretra interna bekerja di bawah sadar sedangkan
sfingter uretra eksterna tidak. Maka ketika proses miksi, sfingter uretra
interna inilah yang berfungsi untuk menahan keluarnya urin. Uretra terdiri
atas uretra posterior dan uretra anterior. Uretra posterior pada pria terdiri
atas uretra pars prostatika yang dilingkupi oleh kelenjar prostat dan uretra
pars membranasea. Pada uretra anterior dibungkus oleh korpus spongiosum
penis, terdiri atas pars bulbosa, pars pendularis, fossa navikularis dan
meatus uretra eksterna. (Purnomo, 2008)

Pada bagian inferior buli-buli di depan rectum dan membungkus


uretra posterior terdapat suatu kelenjar yang dinamakan kelenjar prostat. Di
bagian skrotum pada pria terdapat sebuah organ genitalia terdapat testis
yang dibungkus oleh jaringan tunika albugenia. Epididimis pada organ
genitalia pria terdiri atas caput, corpus dan cauda epididimis. Sedangkan
deferens berbentuk tabung kecil bermula dari kauda epidimis dan berakhir
pada duktus ejakulatorius di uretra posterior. Di dasar buli-buli dan di
sebelah cranial kelenjar prostat terdapat vesikula seminalis. Penis terdiri
atas tiga buah corpora berbentuk silindris yaitu 2 buah corpora cavernosa
dan sebuah corpus spongiosum dan di bagian proksimal terpisah menjadi
dua sebagai crus penis. Setiap crus penis dibungkus oleh ishio-kavernosus
yang kemudian menempel pada rami osis ischii. (Purnomo, 2008)Tujuan

Praktikum kali ini bertujuan untuk mengetahui sistem urogenitalia pada


babi jantan dan betina sertaa kelainannya.
2. METODOLOGI

2.1 Waktu dan Tempat Praktikum

Metode yang digunakan pada praktikum ini adalah dengan metode


menulis dan mencatat, selain itu kami juga menggunakan studi literature dengan
menggunakan internet.

3. PEMBAHASAN

 Sistem Urogenital pada Babi Jantan

Organ reproduksi jantan terdiri dari testes, scrotum, corda spermaticus,


kelenjar tambahan (glandula accessories), penis, preputium, dan system saluran
reproduksi jantan. System saluran ini terdiri dari vasa, efferentia yang berlokasi
didalam testis, epididymis, vas defferns,dan urethra external yang bersambung ke
penis. Pada masa embrio, testis berasal dari corda genetalia primer, sedangkan
system saluran reproduksi berasal dari ductus wolffii.

Alat reproduksi jantan dibagi menjadi tiga yaitu : alat kelamin primer berupa
testis, alat kelamin sekunder yaitu vas deverent,epididimis, penis dan urethra,
sedangkan kelenjar aksesoria yaitu kelenjar vesikulaseminalis, kelenjar prostat dan
kelenjar cowper.

A.Alat kelamin primer


Testis adalah organ reproduksi primer pada hewan jantan, karena berfungsi
menghasilkan gamet jantan (spermatozoa) dan hormon androgen. Testes terletak
dekat dengan daerah inguinalis dan tekanan intra-abdominal membantu
testesmelalui canalis inguinalis masuk scrotum.Hormon yang mengatur turunnya
testes adalah gonadotrophin dan androgen.
Testis ditutupi oleh tunika vaginalis, sebuah jaringan serous yang merupakan
perluasan dari peritoneum. Lapisan ini diperoleh ketika testis turun masuk kedalam
scrotum dari tempat aslnya dalam ruang abdominal yang melekat sepanjang garis
epdidimis. Lapisan luar testis adalah tunika albugenia testis, merupakan membran
jaringan ikat elastis berwarna putih.

Hormon Testosterone pada reproduksi hewan juga berfungsi untuk


mengontrol aktivitas kelenjar-kelenjar tambahan, produksi spermatozoa dan
pemeliharaan system saluran reproduksi jantan.Sedangkan perannya dalam diri
hewan sendiri adalah membantu mempertahankan kondisi optimum pada
spermatogenesis, transportasi spermatozoa dan deposisi spermatozoa kedalam
saluran reproduksi betina.

B.Alat Reproduksi sekunder


a) Vas deverent dan Urethra
Vas deverent merupakan sebuah saluran dengan satu ujung berawal
dari bagian ujung distal dari cauda epididimis.
Urethra merupakan sebuah saluran tunggal yang membentang dari
persambungan dengan ampula sampai kepangkal penis. Fungsi urethra adalah
sebagai saluran kencing dan semen.
b) Penis
Penis merupakan organ kopulasi pada hewan jantan, membentang
dari titik urethra keluar dari ruang pelvis dibagian dorsal sampai dengan pada
orificium urethra eksternal pada ujung bebas dari penis.Menurut tipenya penis
dibagi menjadi dua macam, yaitu :
1. Tipe muskulokavernosus yang terdapat pada golongan anjing,kuda, dan sebagainya.
2. Tipe fibroelastis terdapat pada sapi, domba, kambing, dan rusa.

Penis mempunyai fungsi sebagai alat kopulasi dan jalan keluar air mani pada waktu
ejakulasi dan mendeposisikan air mani pada alat kelamin betina.

c) Skrotum

skrotum adalah sebuah kantung dengan dua lobus pembungkus testes. Fungsi
skrotum adalah melindungi testis dari gangguan luar, berupa pukulan, panas,dingin,
dan gangguan-gangguan mekanis lainya. Fungsi terpenting adalah mencegah
menurunnya suhu testis sampai beberapa derajat di bawah suhu tubuh sehingga
memungkinkan terjadinya proses spermatogenesis secara sempurna.

d) Epididimis

Merupakan saluran eksterna pertama yang keluar dari testes di bagian apeks
testis menurun longitudinal pada permukaan testes. Di bungkus oleh tunica
vaginalis propria (visceralis) dan tunica albuginea. Epididimis dari caput, corpus,
dan cauda epididimis. Cauda epididimis berakhir di ductus deferens (vas deferens).
Berfungsi caput dan corpus epididimis sebagai penyalur dan tempat permatangan
spermatozoa (maturasi), cauda epididimis sebagai penyalur dan penyimpan
spermatozoa.

C. Kelenjar-kelenjar tambahan
Kelenjar-kelenjar tambahan (accessory glands) berada di sepanjang bagian
uretra yang terletak di daerah pelvis, mempunyai saluran-saluran yang
mengeluarkan sekresi-sekresinya kedalam uretra. Kelenjar-kelenjar tambahan ini
terdiri dari kelenjar-kelenjar tambahan ini terdiri atas kelenjar vesicular, prostat,
bulbourethrole. Kelenjar-kelenjar ini mempunyai sumbangan besar bagi volume
cairan semen. Lebih lanjut diketahui bahwa sekresi kelenjar-kelenjar tambahan ini
mengadung sebuah larutan buffers, zat-zat makanan dan substansi lain.

Gambar 1. Anatomi Urogenitalia Babi Jantan

 Sistem Urogenital Betina pada Babi


Organ kelamin betina pada dasarnya dibagi menjadi dua bagian yaitu organ
kelamin dalam dan organ kelamin luar. Organ kelamin dalam terdiri dari ovarium,
oviduct, cornu uteri, corpus uteri, cervix, dan vagina, sedang organ kelamin luar
terdiri dari vulva, clitoris, vestibulum vaginae, dan kelenjar vestibulae. Organ
kelamin dalam, kebagian dorsal digantung oleh beberapa penggantung. Ovarium
digantung oleh alat penggantung mesovarium dan ligamentum utero ovarika.
Oviduct digantung oleh mesosalpinc, sedangkan uterus, cervix, dan sebagian vagina
digantung oleh mesometrium atau sering disebut ligamentum lata (Blakely and
Bade, 1998).
Ovarium
Ovarium adalah tempat sintesis hormon steroid seksual, gametogenesis, dan
perkembangan serta pemasakan kuning telur (folikel) (Yuwanta, 2004). Ovarium
juga memiliki fungsi sebagai kelenjar endokrin yang menghasilkan hormon
kelamin betina, yakni estrogen dan progesteron. Estrogen terutama dihasilkan oleh
sel-sel teka interna menjadi estrogen. Progesteron terutama dihasilkan oleh sel-sel
lutein besar selama metestrus, diestrus dam kebuntingan, di samping dihasilkan
pula oleh plasenta (Dellman and Brown, 1992). Ovarium adalah organ primer (atau
esensial) reproduksi pada betina seperti halnya testis pada hewan jantan. Ovarium
dapat dianggap bersifat endokrin atau sitogenik (menghasilkan sel), karena mampu
menghasilkan hormon yang akan diserap langsung ke dalam peradaran darah, dan
juga ovum (jamaknya ova), yang dapat dilepaskan dari kelenjar (Frandson, 1992).
Ovarium digantung atau disokong oleh suatu ligamentum yang luas (broad
ligamentum) yang banyak terdapat syaraf-syaraf dan pembuluh darah (berfungsi
memberi suplai zat-zat makanan yang diperlukan oleh ovarium dan saluran
reproduksi). Ligamentum yang menggantung ovarium disebut mesovarium
(Widayati et al., 2008). Ovarium terletak di dalam bursa ovari yang terbuka pada
babi ia agak menutupi ovarium(Feradis, 2010). Pada golongan hewan babi yang
melahirkan beberapa anak dalam satu kebuntingan (polytocous), ovariumnya
berbentuk seperti buah murbei.

Oviduct (Tuba fallopi)


Tuba fallopi juga dikenal dengan istilah oviduct (saluran telur) dan kadang-
kadang disebut tuba uterina. Saluran ini terdapat pada setiap sisi uterus dan
membentang dari cornu uteri ke arah dinding lateral pelvis (Farrer, 1996). Oviduct
bersifat bilateral, strukturnya berliku-liku yang menjulur dari daerah ovarium ke
cornu uteri dan menyalurkan ovum, spermatozoa dan zigot. Tiga segmen tuba
uterina dapat dibedakan, yakni infundibulum (berbentuk corong besar),
ampulla(bagian berdinding tipis yang mengarah ke belakang dari infundibulum, dan
isthmus (segmen berotot yang berhubungan langsung dengan uterus (Dellman and
Brown, 1992). Muara infundibulum, ostium abdominale, dikelilingi oleh
penonjolan-penonjolan ireguler pada tepi ujung oviduct, fimbriae. Fimbriaetidak
bertaut dengan ovarium kecuali pada kutub atas organ tersebut terakhir. Hal ini
menjamin pendeatan fimbriae ke permukaan ovarium. Ampulla oviductmerupakan
setengah dari panjang oviduct dan bersambung dengan daerah oviduct yang sempit,
isthmus. Isthmus dihubungkan secara langsung ke cornua uteri (pada kuda ia
memasuki cornu dalam bentuk suatu papila kecil). Tidak ada otot sphincter dalamm
arti kata yang sebenarnya pada daerah pertemuan utero-tubal. Pada babi, pertemuan
ini dilengkapi dengan penonjolan-penonjolan mucosa panjang berbentuk jari yang
berasal dari oviduct memasuki lumen uterus sebagai lipatan-lipatan yang cukup
baik pemberian darahnya.

Uterus
Uterus adalah organ yang tebal, berotot, berbentuk buah pir, terletak di
dalam pelvis, antara rektum di belakang dan kandung kencing di depan (Pearce,
1995). Uterus merupakan tempat implantasi konseptus (zigot yang telah
berkembang menjadi embrio). Uterus mengalami serangkaian perubahan selama
berahi (estrus) dan daur reproduksi. Pada kebanyakan spesies, uterus terdiri dari
kornua bilateral yang dihubungkan dengan tuba uterina, corpus dan cervix yang
berhubungan dengan vagina (Dellman and Brown, 1992). Uterus babi tergolong
uterus bicornus dengan cornu yang sangat panjang tetapi corpus yang sangat
pendek. Hal ini merupakan suatu penyesuaian anatomik untuk keberhasilan
produksi anak dalam jumlah banyak. Menurut Widayati et al. (2008), uterus
bicornus adalah cornu uterus sangat panjang tetapi corpus sangat pendek, contoh
pada babi. Uterus bipartitusterdapat satu dinding penyekat yang memisahkan kedua
cornu dan corpus uteri cukup panjang.
Plasenta diffusa hampir seluruh permukaan chorion dan endometrium
uterus bersama-sama membentuk plasenta, kecuali bagian-bagian apek chorion
yang berbatasan dengan chorion dari fetus babi di sebelahnya.

Cervix
Cervix atau leher uterus berdinding tebal karena berotot dan banyak
mengandung serabut elastik. Mukosa-submukosa membentuk lipatan primer tinggi
dan berlanjut dengan lipatan sekunder dan tersier. Kelenjar uterus tidak menjulur
dalam cervix pada kebanyakan spesies, dan elemen kelenjar yang terdapat pada
cervix kebanyakan bersifat musigen (Dellmann and Brown, 1992). Penonjolan ini
terdapat dalam bentuk lereng-lereng transversal dan saling menyilang, disebut
cincin-cincin anuler yang berkembang sampai derajat yang berbeda pada berbagai
spesies, cincin pada babi tersebut tersusun dalam bentuk sekrup pembuka botol
yang disesuaikan dengan perputaran spiralis jung penis babi jantan (Feradis, 2010).
Cervix berfungsi sebagai otot penutup uterus pada hewan betina yang
sedang bunting. Pada permukaan dalam cervix terdapat saluran yang disebut canalis
cervicalis. Pada bagian depan terdapat mulut sebelah dalam (orificium uteri
internum), sedang pada bagian belakangnya terdapat mulut sebelah luar (orificium
uteri externum) atau sering juga disebut sebagai mulut vagina (orificium vaginae)
karena bekerja sebagai pintu ke vagina disebut portio vaginalis uteri. Cairan lendir
yang bening dikeluarkan pada waktu birahi, atau waktu melahirkan dan setelahnya,
menyebabkan saluran cervix menjadi lebih licin dan terbuka. Sebaliknya, pada
waktu di luar masa birahi atau pada waktu bunting, cervix menghasilkan lendir yang
kental, menutup salurannya sehingga membuat cervix tertutup rapat. Pelebaran
saluran cervixs diwaktu birahi dan melahirkan merupakan proses kompleks yang
terjadi karena dirangsang secara neuro hormonal, sebagian berlangsung pasif dan
sebagian yang lain aktif (Hardjopranjoto, 1995). Cervix berfungsi untuk mencegah
benda-benda asing atau mikroorganisme memasuki lumen uterus. Cervix tertutup
rapat kecuali selama estrus, pada waktu dimana terjadi relaksasi dan sperma
dimungkinkan memasuki utrerus. Mucus dilepaskan dari cervix dan dikeluarkan
melalui vulva. Selama kebuntingan sejumlah besar mucus tebal disekresikan oleh
sel-sel goblet cervix yang menutup atau menyumbat mati canalis cervicalis
sehingga menghambat pemasukan materi infectious. Waktu lain dimana cervix
terbuka adalah sesaat sebelum partus. Pada waktu ini penyumbat cervix mencair
dan cervix mengembang (dilatasi) untuk memungkinkan pengeluaran fetus dan
selaput-selaputnya (Feradis, 2010).

Vagina
Vagina merupakan buluh berotot yang menjulur dari cervix sampai vestibulum.
Lipatan memanjang rendah dari mukosa-submukosa terentang sepanjang vagina
(Dellmann and Brown, 1992). Vagina adalah organ kelamin betina dengan struktur
selubung muskuler yang terletak di dalam rongga pelvis dorsal dari vesica urinaria
dan berfungsi sebagai alat kopulatoris dan sebagai tempat berlalu bagi fetus
sewaktu partus (Feradis, 2010). Vagina memiliki fungsi sebagai alat kopulasi dan
tempat semen dideposisikan (pada ruminansia), saluran keluar dari cervix, uterus,
dan oviduct, dan jalan peranakan selama proses beranak (Widayati et al., 2008).
Vagina terletak di bagian belakang dari rongga pelvis sebelah atas dari kantong
kencing. Pada waktu melahirkan rongga vagina dapat meluas dan membesar sesuai
dengan besar fetus yang akan dilahirkan (Hardjopranjoto, 1995). Vagina berbentuk
pipa, berdinding tipis dan elastis. Lapisan luar berupa tunika serosa yang diikuti
oleh lapisan otot polos yang mengandung serabut otot longitudinal dan sirkular.
Lapisan mukosa umumnya terbentuk dari stratified squamous epithelial cells. Sel
epitel ini berubah menjadi sel yang tanpa nukleus karena pengaruh estrogen.
Membran mukosa vagina terdiri dari sel kelenjar dan sel bersilia. Sel kelenjarnya
sangat sedikit yaitu hanya pada bagian depan. Sel kelenjar ini menghasilkan lendir
yang berfungsi sebagai lubrikasi dan melindungi terjadinya aberasi pada saat
kopulasi (Widayati et al., 2008). Vagina terdiri dari dua bagian, yaitu portio
vaginalis cervices(bagian yang dekat cervix) dan vestibulum. Bagian depan dari
vagina mencakup portio vaginalis uteri dan permuaraan luar uterus dinamakan
fornix vaginae. Dindingnya tipis terdiri dari otot licin, lumennya diseliputi oleh
selaput mukosa yang berlipat-lipat, tanpa kelenjar, di mana lapisan mukosanya
memperlihatkan berbagai keadaan yang secara fungsional tergantung kepada fase
dari siklus birahinya (Hardjopranjoto, 1995). Pada babi tidak ada legokan yang
dibentuk oleh penonjolan cervix ke dalam vagina disebut fornix.

Vulva
Vulva merupakan organ genitalia eksterna, yang terdiri dari vestibulum dan
labia. Vestibulum merupakan bagian dari saluran kelamin betina yang berfungsi
sebagai saluran reproduksi dan urinaria. Vestibulum bergabung dengan vaginapada
external urethal orifice. Vulva dapat menjadi tegang karena bertambahnya volume
darah yang mengalir ke dalamnya. Labia terdiri atas labia mayora(lipatan luar
vulva) dan labia minora (lipatan dalam vulva). Labia minorahomolog dengan
praeputium pada hewan jantan dan tidak menyolok pada hewan ternak. Labia
mayora homolog dengan skrotum pada hewan jantan (Widayati et.al., 2008).

Clitoris
Clitoris mengandung erectile tissue sehingga berereksi dan banyak
mengandung ujung syaraf perasa. Syaraf ini memegang peranan penting pada
waktu kopulasi. Clitoris bereaksi pada hewan yang sedang estrus, tetapi hal ini tidak
cukup untuk dijadikan sebagai pendeteksi estrus pada spesies (Widayati et
al.,2008). Clitoris terdiri dari jaringan erektil yang diselubungi oleh epitel skuamus
bersusun dan mengandung cukup banyak ujung-ujung syaraf sensoris. Clitoris pada
babi berbentuk panjang dan berkelok berakhir pada suatu titik atau puncak kecil
(Feradis, 2010).

Hewan betina tidak saja menghasilkan sel-sel kelamin betina yang penting
untuk membentuk suatu individu baru, tetapi juga menyediakan lingkungan dimana
individu tersebut terbentuk, diberi makan dan berkembang selama masa-masa
permulaan hidupnya. Fungsi-fungsi ini dijalankan oleh organ-organ reproduksi
primer dan sekunder. Organ reproduksi primer, ovarium, menghasilkan ova (sel
telur) dan hormon-hormon kelamin betina. Organ-organ reproduksi sekunder atau
saluran reproduksi terdiri dari tuba fallopii (oviduct), uterus, cervix, vagina, dan
vulva. Fungsi organ-organ reproduksi sekunder adalah menerima dan menyalurkan
sel-sel kelamin jantan dan betina, memberi makan dan melahirkan individu baru.
Kelenjar air susu dapat dianggap sebagai suatu organ kelamin pelengkap, karena
sangat erat berhubungan dengan proses-proses reproduksi dan esensial untuk
pemberian makanan bagi individu yang baru lahir (Feradis, 2010).
Gambar 2. Anatomi urogenitalia Betina Babi
 Kelainan pada Sistem Urogenitalia Babi

a. Hog Cholera pada Babi


Hog cholera (HC) merupakan penyakit viral menular terpenting pada babi,
berlangsung subakut, akut atau kronik, dengan proses penyakit yang tidak menciri
atau bahkan kadang tidak tampak sama sekali. Kerugian ekonomi yang disebabkan
oleh penyakit ini cukup besar karena morbiditas dan mortalitas tinggi, hilangnya
devisa akibat larangan ekspor khususnya ternak babi dan hasil olahannya serta
dampak yang lebih luas yaitu hilangnya kepercayaan atau minat peternak untuk
mengembangkan peternakan babi.
Agen penyebab hog cholera adalah virus single stranded Ribonucleic Acid
(ssRNA) dari genus Pestivirus termasuk famili Flaviviridae. Virus HC berada
dalam genus yang sama dengan virus bovine viral diarrhea (BVD). Virus berbentuk
bulat helikal atau tidak teratur dan berukuran antara 40-50 nm dengan nukleokapsid
berukuran 29 nm. Materi genetik virus tersusun dari RNA beruntai tunggal (ss-
RNA) berukuran panjang 12,5 kb. Virus HC memiliki amplop yang pada
permukaannya terdapat peplomer berukuran 6- 8 nm. Struktur amplop tersebut
tersusun atas glikoprotein.
Virus HC sangat peka terhadap panas. Infektivitas virus menurun pada
pemanasan 56°C selama 60 menit, 60°C selama 10 menit atau 710C selama 1 menit.
Dalam daging beku dapat bertahan selama 4,5 tahun, dalam organ yang telah
membusuk tahan selama 3-4 hari, dari dalam darah atau sumsum tulang yang telah
membusuk tahan selama 15 hari. Virus juga sangat peka terhadap pelarut lemak ,
seperti eter, kloroform atau deoksikolat. Larutan NaOH 2% sangat efektif untuk
tujuan desinfeksi alat dan kandang babi. Virus stabil pada pH 5- 10. Dalam larutan
5% fenol dan HCl yang mengandung 1,66 % klorin dapat merusak virus dalam
waktu 15 menit. Virus dapat dibiakkan pada kultur sel ginjal dan limfosit babi yang
ditandai dengan timbulnya cytopathogenic effect (CPE). Virus HC dapat
ditumbuhkan secara in vitro pada biakan sel. Berbagai jenis kultur sel pernah
dicoba, seperti sel paru, testes babi, ginjal sapi, makrofag alveolar babi atau sel fi
broblas embrio ayam. Namun yang paling banyak digunakan adalah sel ginjal babi.
Virus HC juga dapat dibiakkan pada hewan coba. (Edwards 1990)
Hog Cholera ditularkan melalui kontak langsung dengan babi terinfeksi,
atau secara tidak langsung melalui ekskresi dan sekresi babi yang terinfeksi.
Masuknya penyakit ke suatu daerah karena adanya babi pembawa virus (carrier),
produk asal babi atau bahan dan makanan tercemar, limbah dari tempat pemotongan
hewan atau sisa hotel yang mengandung daging babi yang tidak dimasak. Penularan
tidak langsung dapat terjadi melalui alat transportasi, sepatu dan pakaian petugas,
serta alat suntik yang dipakai berulang. Penularan vertikal terjadi dari induk kepada
anak babi. Penularan transplasental terjadi pada kebuntingan 68 dan 88 hari ditandai
dengan viremia pada anak yang dilahirkan dan mati setelah 1-8 minggu. (Ketut
1996)
Penyakit bersifat endemik. Babi yang terserang virus HC virulen, tingkat
morbiditas dan mortalitasnya tinggi dapat mencapai 100%. Saat wabah yang terjadi
di Bali menunjukkan tingkat morbiditas rata-rata 60,15% dan ortalitas 37,86% atau
case fatality rate (CFR) 62,94%. Kasus HC tertinggi terjadi pada anak babi yang
berumur kurang dari 2 bulan dengan tingkat morbiditas 88,15% dan mortalitas
78,88% atau CFR 87,21% dan tingkat mortalitas harian 27,03%.
Penyakit dapat berjalan perakut, akut, subakut, kronis atau tidak tipikal.
Bentuk klasik HC merupakan infeksi akut yang disertai demam tinggi, kelesuan,
penurunan nafsu makan dan konjungtivitis. Gejala muncul setelah masa inkubasi
2-4 hari, diikuti adanya muntah, diare dan atau konstipasi, pneumonia, paresis,
paralisis, letargi, tremor, berputar dan konvulsi. Pada bentuk akut ditandai dengan
anoreksia, depresi, suhu meningkat sampai 41-42º C berlangsung selama 6 hari.
Jumlah leukosit menurun (leukopenia) dari 9.000 menjadi 3.000/ml darah. Pada
awal sakit hewan mengalami konjungtivitis, dengan air mata berlebihan. Sekresi
mata berlebihan bersifat mucous atau mukopurulen. Demam tinggi diikuti
konstipasi dan radang saluran gastrointestinal menyebabkan diare encer, berlendir,
warna abu kekuningan dan babi terlihat kedinginan.
Pada kasus subakut yang kurang tipikal, masa inkubasi menjadi panjang dan
kelangsungan penyakit klinis yang lebih lama dengan kematian yang terjadi setelah
berminggu atau berbulan-bulan. Pada kasus kronis dilaporkan ada 3 fase yakni fase
permulaan yang ditandai dengan gejala anorexia, depresi, suhu tubuh naik dan
lekopenia. Setelah beberapa minggu nafsu makan dan keadaan umum terlihat
membaik dan suhu tubuh turun ke suhu normal atau sedikit di atas normal. Fase
kedua ditandai dengan leukopenia yang persisten. Pada fase ketiga, terlihat gejala
nafsu makan menurun, depresi, suhu tubuh meningkat sampai terjadi kematian.
Babi menunjukkan pertumbuhan yang terhambat, mempunyai lesi pada kulit dan
berdiri dengan punggung terlihat melengkung (opistotonus) dan babi dapat bertahan
hidup lebih dari 100 hari. Pada hewan bunting ditandai dengan kematian fetus,
mumifi kasi, lahir prematur, anomali, lahir dalam keadaan lemah dan tremor. Anak
babi terinfeksi in utero yang mati setelah lahir sering menunjukkan perdarahan
berupa ptekie pada kulit dan organ dalam.
Pada kasus per akut mungkin tidak terjadi perubahan umum yang dapat
diamati pada bedah bangkai. Pada kasus akut terjadi perdarahan ptekie pada
submukosa dan subserosa pada kapsula ginjal, serosa usus dan korteks limpa.
Ditemukan adanya pembendungan dan infark pada limpa, hati, sumsum tulang dan
paru. Lesi ini disebabkan oleh infeksi virus pada endotel pembuluh darah yang
sangat kecil. Pada kasus subakut atau kronis, terjadi ulserasi nekrotik pada mukosa
usus besar, adanya pneumonia dan entritis. Sindrom ini berkaitan dengan tingginya
kejadian abortus, kematian dan mumifi kasi fetus, serta kelainan bawaan. Anak babi
yang lahir hidup, baik sehat atau cacat, akan mengalami infeksi secara menetap,
toleran secara imunologis dan mengeluarkan virus selama hidupnya. (Leforban
1992)

Tindakan yang paling efektif untuk mencegah atau mengendalikan penyakit


adalah melakukan vaksinasi dengan menggunakan vaksin 40 Manual Penyakit
Hewan Mamalia aktif yang sudah diatenuasi. Keberhasilan program vaksinasi
sangat tergantung dari strain, dosis dan aplikasi vaksin serta status kesehatan hewan
yang divaksinasi. Pengendalian dapat dilakukan dengan melalui tindakan karantina.
Tindakan penutupan sementara dilakukan terhadap farm tertular. Semua babi yang
pernah kontak dan tertular HC dilakukan isolasi, stamping out atau tindakan
pemotongan bersyarat. Lalu lintas ternak babi dan hasil olahannya dari daerah
tertular dilarang keluar atau diperjual belikan. dan di lokasi kasus dicantumkan
tanda larangan “Awas Penyakit Menular”. Sesuai dengan peraturan International
Terrestial Animal Health Code (OIE) dan European Community (EC) negara
pengekspor babi dan hasil olahannya ke negara bebas HC harus menunjukkan
pernyataan bebas swine fever berdasarkan investigasi serologis. Hewan yang
menderita HC tidak dianjurkan untuk dipotong, tetapi dimusnahkan. (Wirz 1993)

b. Brucellosis pada Babi


Brucellosis atau penyakit keluron menular merupakan salah satu penyakit
hewan menular strategis karena penularannya yang relatif cepat antar daerah dan
lintas batas serta memerlukan pengaturan lalu lintas ternak yang ketat (Ditjennak
1998). Penyakit ini disebabkan oleh bakteri genus Brucella dan dikategorikan
sebagai zoonosis serta diklasifikasikan sebagai mikroorganisme kelompok BSL III
(Biosafety level 3) (OIE 2004).
Bakteri dari genus Brucella, berbentuk kokobasili dengan panjang 0,6-1,5
µm dan lebar 0,5-0,7 µm, ditemukan secara tunggal dan terkadang berpasangan
dengan morfologi yang konstan, bersifat Gram negatif, non-motil, tidak berkapsul,
tidak membentuk spora dan anaerobik fakultatif. Dalam media biakan, koloni
berbentuk seperti setetes madu bulat, halus, permukaan cembung dan licin,
mengkilap serta tembus cahaya dengan diameter 1 – 2 mm. Secara biokimia dapat
mereduksi nitrat, menghidrolisis urea, dan tidak membentuk sitrat tetapi
membentuk H2S. Pertumbuhan kuman memerlukan temperatur 20 – 400C dengan
penambahan karbondioksida (CO2) 5 - 10 % (Sulaiman dan Pormadjaya 2004).
Klasifikasi Brucella sp menurut Todar (2008) adalah sebagai berikut:
Gambar 2. Bakteri Brucella sp.
Kelas : Alpha Proteobacteria
Ordo : Rhizobiales
Famili : Brucellaceae
Genus : Brucella

Brucella sp terdiri atas 6 genus yaitu B.abortus, B.suis, B.canis, B.ovis,


B.melitensis dan B. neotomae. Tidak semua genus menimbulkan penyakit, hanya 5
jenis dari genus ini yang potensial menimbulkan penyakit pada hewan dan manusia
yaitu B.abortus pada sapi, B.suis pada babi, B.canis pada anjing, B.ovis pada domba
jantan dan B melitensis pada kambing dan domba (Acha dan Boris 2003). Bakteri
ini adalah parasit intraseluler atau parasit obligat karena berduplikasi di dalam sel
dan berkemampuan untuk menginvasi semua jaringan hewan sehingga dapat
menyebabkan bermacam-macam infeksi (Todar 2008). Brucella apabila masuk
kedalam sel epitel akan dimakan oleh neutrofil dan sel makrofag masuk ke
limfoglandula. Bakteriemia muncul 1 – 3 minggu setelah infeksi apabila sistem
tubuh tidak mampu mengatasi. Biasanya Brucella terlokalisir pada sistem
reticuloendothelial seperti hati, limpa dan sumsum tulang belakang dan membentuk
granuloma (Noor 2006). Bakteri ini memiliki 5-guanosin monofosfat yang
berfungsi menghambat efek bakterisidal dalam neutrofil, sehingga Brucella ini
mampu hidup dan berkembang biak di neutrofil (Canning et al. 1986). Komponen
dinding sel Brucella baik pada strain halus (smooth) seperti B. melitensis, B.
abortus dan B. suis maupun strain kasar (rough) seperti B. canis terdiri dari
peptidoglikan, protein dan membran luar yang terdiri dari lipoprotein dan
lipopolisakarida (LPS). LPS inilah yang bertanggung jawab terhadap efek
bakterisidal dalam sel makrofag dan menjadi penentu virulensi bakteri. Brucella
strain kasar mempunyai virulensi yang lebih rendah pada manusia (Noor 2006).
Bakteri ini dapat bertahan hidup diluar tubuh induk semang pada berbagai kondisi
lingkungan dalam jangka waktu tertentu. Kemampuan daya tahan hidup kuman
Brucella pada tanah kering adalah 4 hari, tanah lembab 66 hari dan tanah becek
151-185 hari (Crawford et al. 1990). Pada kotoran atau limbah kandang bagian
bawah dengan suhu yang relatif tinggi bertahan selama 2 hari, pada air minum
ternak bertahan selama 5 – 114 hari dan pada air limbah selama 30 – 150 hari (Noor
2006). Dalam bahan organik (kotoran, tanah) Brucella sp juga tahan terhadap
pengeringan (Madiha 2011). Pada susu bakteri Brucella sp dapat bertahan selama
beberapa hari di dalam susu dan beberapa minggu atau bulan dalam produk susu
(Acha dan Boris 2003).
Sumber penularan penyakit ini pada hewan lain yaitu Brucella sp. terdapat
pada fetus, plasenta, dan lendir vagina (dapat ditemukan pada minggu ke-4 sampai
minggu ke-6 setelah abortus), semen, urin, air liur, cairan dari rongga hidung dan
mata, susu serta feses. Pada sapi, kambing, domba dan babi penularannya terjadi
per oral dan melalui perkawinan. Dapat ditularkan melalui fetus, selaput fetal
setelah aborsi dan stillbirth (lahir dalam keadaan mati), serta melalui veneral
transmission (hubungan kelamin). Brucella masuk kedalam tubuh melalui mulut,
saluran reproduksi, oronasal, mukosa konjunctiva, luka terbuka dan melalui
transfuse darah. Hewan yang mengalami keguguran oleh brucellosis mengeluarkan
bakteri B. abortus dalam jumlah besar melalui membran fetus, cairan reproduksi,
urine dan feses. Bahan-bahan tersebut akan mencemari rumput dan air minum
sehingga memungkinkan penularan antar hewan (Arut dkk. 2010).
Brucellosis menyebabkan orchitis, epididimitis dan gangguan pada glandula
asesoria seperti vesikula seminalis serta dapat pula terjadi ampulitis. Orchitis adalah
radang pada testis, yang kasusnya termasuk jarang terjadi pada hewan jantan.
Biasanya radang ini timbul karena adanya infeksi mikroorganisme pada bagian di
sekitar testis seperti keradangan pada selaput pembungkus testis(skrotum) atau
saluran urogenital, khususnya penularan penyakit kelamin menular karena
perkawinan alam dengan hewan betina penderita penyakit kelamin tersebut. Gejala
pada hewan jantan yang terkena penyakit ini adalah demam yang tinggi berjalan 1-
14 hari dan penurunan nafsu makan, palpasi pada skrotum terasa sakit dan ada
pembengkakan. Libido menurun sampai menghilang. Pada yang sudah kronis, testis
mengecil, konsistensi agak keras, bentuknya tidak teratrur, dan timbul kemajiran.
Pada hewan jantan, infeksi Brucella akan diikuti oleh orkhitis yang kronis dan
perlekatan antara tunika vaginalis testis, sel mani abnormal dan fibriosis yang
kronis dari jaringan interstitial. Terjadi pengumpulan makrofag dan limfosit pada
jaringan testis. Ampula dan vas deferent, terjadi nekrosa jaringan ikatnya. Orchitis
akut terlihat pada infeksi Brucella abortus. Biasanya kedua testis terlipat, walaupun
radang hanya pada satu testis dapat terjadi. Testis membengkak dan tearasa sedikit
padat karena sel – sel dan cairan radang. Di sekitar testis terdapat edema, fibrin dan
perdarahan – perdarahan karena orchitis (Hardjopranjoto 1995).

Gambar 3. Orchitis pada testikel babi dan preputial diverticulum ulcer

4. PENUTUP

4.1 Simpulan

Sistem urogenitalia babi jantan dan betina memiliki anatomi yang


berbeda. Pada babi jantan, anatomi urogenitaliannya adalah ginjal, vesika
urinaria, testis, tubulus semiferus, rete testis, saluran deferens, epidydimis, vas
deverens, kelenjar prostat, kelenjar cowper’s, uretra dan penis. Sedangkan pada
babji betina yaitu, ginjal, vesika urinaria, ovarium, oviduct, uterus, serviks,
vagina dan vulva. Kelainan pada system urogenital babi yaitu salah satunya Hog
Cholera pada babi dan Brucellosis pada babi.
Daftar pustaka

Bosilkovski Mile, Ljiljana Krteva, Sonja Caparoska, Nikola Labacevski and Mile
Petrovski. Childhood brucellosis: Review of 317 cases. Asian Pacific Journal
of Tropical Medicine. 2015; 8(12): 1027–32.
Chin J. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Cetakan II. Edisi 17. Infomedika.
Jakarta. 2006.
Edwards S and JJ Sands 1990. Antigenic comparisons of hog cholera virus isolates
from Europe, America and Asia using monoclonal antibodies. Disch.Tiererztl
Wochenschr 97:79-81.
Hardjopranjoto, H. S. 1995. Ilmu Kemajiran pada Ternak. Airlangga University
Press. Surabaya
Ketut Santhia AP, N Dibia, Nj Pumatha, N Sutami 1996. Epidemiologi penyakit
hog cholera di Bali. BPPH VI Denpasar 1-10. Ketut Santhia, A. P, D. M.
N.IDharma, N. Dibia, K. E. Supartika, N. Purnatha dan N. Sutami (1996)
Infeksi percobaan swine fever. I. Gejala Klinis dan perubahan patologis. BPPH
VI Denpasat 1-10.
Leforban Y and R Cariolat 1992. Characterization and pathogenicity for pigs of
hog cholera virus strainlisolatedd from wild boars. Ann.Rech.Vet 23(1): 93
100.
Muflinah Hanah, et al. Brucellosis seroprevalence in Balicattle with reproductive
failure in South Sulawesi and Brucella abortus biovar 1 genotypes in the
eastern Indonesia archipelago. BMC Veterinary research. 2013; 9: 233.
Purnomo. 2008. Biologi Umum. Surakarta: Tiga Serangkai.
Rahman A.K.M. Anisur. Epidemiology of Brucellosis in Human and Domestic
Animals in Bangladesh[thesis]. Fakulty of Veterinary Medicine. University of
Liege. Belgium; 2014.
Sudibyo, A. Studi epidemiologi Brucellosis dan dampaknya terhadap reproduksi
sapi perah di DKI Jakarta. JITV. 1995;1:31-36.
Susilowati dkk. 2003. Petunjuk Praktikum Biologi Umum. Malang; UM.
Wirz B, JD Tratchin, HK Muller and DB Mitchell 1993. Detection of hoc cholera
virus and differentiation from other by polyinerase chain reaction. J.Din.
Microbiol 31 (S):1148-II54.

Anda mungkin juga menyukai