Anda di halaman 1dari 5

MAKALAH

MANAJEMEN KESEHATAN HEWAN EKSOTIK DAN SATWA LIAR

“Scabies pada Kelinci”

oleh
Putrie Ochtobella Hancybie (15/377772/KH/08495)
Ratih Kurnia Dewi (15/377773/KH/08496)
Ryan Hadi Permana (15/377775/KH/08498)
Salsabila Nadia Raihana (15/377776/KH/08499)
Sofi Muri Dewi (15/377778/KH/08501)
Sri Wening Kurniajati (15/377779/KH/08502)
Vivin Wirawati (15/377782/KH/08505)

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2018
I. Nama Penyakit
Scabies

II. Etiologi dan Karakteristik


Sarcoptes scabiei merupakan ektoparasit pada kulit yang berasal
dari ordo Sarcoptiformes, dan family Sarcoptidae, serta genus Sarcoptes.
Pada hewan betina ditemukan pada epidermis kulit, sedangkan pada kelinci
jantan larva dan nimfanya ditemukan di permukaan kulit (Brown,1979).
Tungau ini memiliki morfogi yang lonjong, convex di bagian dorsal
dan pipih di bagian ventral, tidak bermata, tungau jantan berukuran 200-250
mikron sementara tungau betina berukuran 330-450 mikron. Natotorax
anterior mempunyai dua pasang kaki yang pertama dan natogestes bagian
posterior mempunyai dua pasang kaki yang kedua. Sepasang kaki yang
pertama berakhir dengan bentuk yang menyerupai tabung panjang, masing-
masing dengan sebuah alat penghisap yang berbentuk menyerupai bel,
begitu juga dengan sepasang kaki belakang. pada permukaan dorsal terdapat
garis-garis yang transversal yang mempunyai duri, sisik dan bulu keras.
bagian mulut memiliki chelicerae yang bergigi, pedipalp berbentuk kerucut
yang bersegmen tiga, dan pada bibir yang menjadi satu dengan hipostoma
(Brown,1979).

III. Epidemiologi
Wabah scabies timbul dalam bulan – bulan dengan curah hujan,
temperature, lembab nisbi renda serta persediaan pakan kurang. Wabah
scabies terjadi di bali dan sumatera barat itu terbukti berupa letupan
penyakit endemis dan meluas karena kontak langsung. Timbulnya kasus
scabies karena transport hewan atau pendatang baru tidak jelas. Namun
demikian hewan-hewan reservoir pembawa tungau tersebut pasti
merupakan sumber penularan di daerah yang sebelumnya bebas scabies.
Dalam laporan kedinasan scabies tidak masuk prioritas, walaupun
prevalensi cukup tinggi, dan diketahui adanya kematian penderita muda
akibat kudis (Brotowidjoyo, 1987).
Masalah scabies masih banyak ditemukan diseluruh dunia, terutama pada
negara berkembang dan industri tingkat higiene, sanitasi dan sosial ekonomi
yang relatif rendah menjadi faktor pemicu terjangkitnya penyakit ini . Di
samping itu, kondisi kekurangan air atau tidak adanya sarana pembersih
tubuh, kekurangan makan dan hidup berdesakan semakin mempermudah
penularan penyakit scabies dari penderita kepada hewan yang sehat.
Berbeda dengan pernyataandi atas menyebutkan bahwa skabies dapat
menyerang semua golongan social ekonomis. Lalu lintas perdagangan
hewan dan produknya keseluruh wilayah Indonesia atau internasional
membuka pintu penyebaran penyakit menular semakin luas. Penularan
scabies yang relatif cepat menjadi tantangan bagi dunia peternakan dan
kesehatan manusia (Wardhana et al, 2006)
IV. Patogenesis
Siklus hidup dari telur hingga menjadi tungau dewasa memerlukan
waktu 10 - 14 hari sedangkan tungau betina mampu hidup pada induk
semang hingga 30 hari atau durasi siklus hidup S. scabiei berkisar 30 - 60
hari. Tungau betina mengeluarkan telur sebanyak 40 – 50 butir dalam
bentuk kelompok-kelompok, yaitu dua-dua atau empat-empat. Telur akan
menetas dalam waktu tiga sampai empat hari dan hidup sebagai larva di
lorong-lorong lapisan tanduk kulit. Larva akan meninggalkan lorong,
bergerak ke lapisan permukaan kulit, membuat saluran-saluran lateral dan
bersembunyi di dalam folikel rambut. Larva berganti kulit dalam waktu dua
sampai tiga hari menjadi protonimpa dan tritonimpa yang selanjutnya
menjadi dewasa dalam waktu tiga sampai enam hari (Wardhana, dkk., 2006)

V. Cara Diagnosis
Beberapa cara untuk menemukan tungau:
1. Kerokan kulit/ Skin Scrapping
2. Mengambil tungau dengan jarum
3. Tes tinta pada terowongan (burrow ink test)
4. Membuat biopsi irisan (epidermal shave biopsy)
5. Biopsi irisan dengan pewarnaan HE.

VI. Terapi
Pengobatan kudis dapat dilakukan dengan dua langkah terapi yaitu
Injeksi dan Topikal. Pengobatan pada kelinci yang terinfeksi scabies
dilakukan dengan mengisolasi kelinci terlebih dahulu supaya tidak
menular kepada kelinci lainnya. Kemudian diobati dengan menggunakan
salep Asuntol 2%, Neguvon 3%, atau Lindane 1% atau dengan
memberikan campuran belerang + kapur 5:3 atau pirantel pamoat (Canex)
+ vaseline dan diberikan Ivermectin dengan dosis 0,2mg/kg BB secara
subcutan dengan selang waktu 7 hari selain itu dapat di dukung dengan
memberikan Insektisida berupa Coumaphus (Asuntol) 0,1%, Trichlorphom
(Neguvon) 0,15% dan lindane 0,05% dalam air.
Metode lain yang lebih sederhana yaitu dengan membersihkan
kotoran kudis dan memberikan air rebusan irisan lemon yang sudah
diringankan lalu didiamkan semalaman.

VII. Pencegahan
Dalam melakukan pencegahan dan pengendalian penyakit skabies
perlu diperhatikan pola hidup, sanitasi, pemindahan hewan, karantina, dan
pengobatan. Pola dan kebiasaan hidup yang kurang bersih dan kurang benar
memungkinkan berlangsungnya siklus hidup S. skabiei dengan baik.
Sanitasi termasuk kualitas penyediaan air yang kurang dan ternak yang
terlalu padat perlu dihindari (Sarjono et al., 1997). Pemindahan hewan dari
satu tempat ke tempat lain perlu penanganan yang serius. Perlu diperhatikan
Surat Keputusan Menteri Pertanian no. 422/kpts/LB-.720/6/1988 yaitu
peraturan karantina tentang penyakit kudis yang menyatakan bahwa
penyakit kudis, skabies, mange, dan demodekosis termasuk penyakit
golongan 2 nomor 51. Setiap hewan tersangka skabies harus diisolasi dan
diobati.
Jika ada hewan terkena skabies, sebelum memulai terapi sebaiknya
peternak atau pemilik hewan diberi penjelasan yang lengkap mengenai
penyakit dan cara pengobatan, sehingga dapat meningkatkan keberhasilan
terapi. Mengingat masa inkubasi yang lama, maka semua ternak yang
berkontak dengan hewan penderita perlu diobati meskipun tidak ada gejala
klinis atau hewan penderita diisolasi. Hewan penderita yang berada di
tengah keluarga sulit untuk diisolasi. Pakaian yang dicurigai harus dicuci
dengan air panas atau disetrika, alat rumah tangga dan kandang juga harus
dibersihkan, meskipun tungau tidak lama bertahan hidup di luar kulit
manusia maupun hewan (Hartadi, 1988; Sungkar, 1991; Soedarto, 1994;
Tarigan, 1999).
Populasi ternak yang terlalu padat dalam suatu kandang dan sanitasi
yang buruk harus dihindari untuk mencegah penularan antara ternak .
Kandang bekas penderita skabies dianjurkan untuk dicat dengan kapur dan
dikosongkan beberapa waktu, kemudian dapat diisi lagi dengan ternak yang
baru. Penyuluhan tentang penyakit skabies dan tata cara serta tindakan
pengobatan skabies perlu lebih digiatkan. Umumnya peternak kurang
menyadari akan bahaya skabies bagi dirinya sendiri mapun ternaknya,
membuktikan bahwa pengobatan skabies yang dilakukan petemak
pascapenyuluhan menunjukkan hasil yang nyata dibandingkan tanpa
penyuluhan.
VIII. Daftar Pustaka
Brotowidjoyo,M.D. 1987. Scabies pada Hewan dan Permasalahannya.
Bulletin FKH-UGM 1987, VII(2)
Brown, H.W.1979. Dasar Parasitologi Klinis.Jakarta: Gramedia
Hartadi, S. 1988. Penyakit Zoonosis pada Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. FK UNDIP. Semarang. hal 8-23.
Sardjono, T.W., S. Poeranto, L. Hakim, P. Sanjoto, dan Soebaktiningsih.
1998. Faktor-faktor terhadap keberhasilan Penanggulangan
skabies di Pondok Pesantren. Maj. Parasitol. Ind., 11: 33-42.
Soedarto, M. 1994. Skabies. Dexa Media. 7: 4-6.
Sungkar, S. 1991. Cara pemeriksaan kerokan kulit untuk menegakkan
diagnosis skabies. Maj. Parasitol. Ind. 61-64.
Tarigan, S. 1999. Metode Pengembangbiakan dan pemanenan tungau
Sarcoptes scabiei. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan
Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.
Departemen Pertanian. Jilid 2. hal. 1009-1017.
Taylor, S.M. 2016. Small Animal Clinical Techniques. China : Elsevier.
Wardhana,A.P.,Manurung, J.,Iskandar, T. 2006. Skabies: Tantangan
Penyakit Zoonosis Masa Kini dan Masa Datang. IVARTAZOA
Vol. 16 No. I Th . 2006

Anda mungkin juga menyukai