Anda di halaman 1dari 6

PARASIT GASTROINTESTINAL EXOTC ANIMAL

Disusun Oleh:
Kelompok C1 PPDH Semester 1 2021/2022

Ocha Tri Hani, SKH B9404211014

Dosen Pembimbing:
Prof. Dr drh. Hj Umi Cahyaningsih, MS.

LABORATORIUM DIAGNOSTIK
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2021
Balantidium sp
Etiologi

Klasifikasi (Levine et al. 2001)


Filum : Ciliophora
Kelas : kinetofrahminophorasida
Subkelas : Vestibuliverasina
Ordo : Trichostomatorida
Subordo : Trichostomatorina
Famili : Balantidiidae
Genus : Balantidium

Balantidium sp. merupakan protozoa yang diklasifikasikan kedalam kelas


Kinetofragminophora. Parasit ini memiliki flagel yang berfungsi untuk menangkap dan menelan
makanan. Ukuran Balantidium sp. berbeda tiap spesiesnya. Bentuk dewasa (trofozoit) rata-rata
berukuran 50-60, sedangkan bentuk kistanya berukuran 40-60 mikron (Tampubolon 2004). Bentuk
kista merupakan bentuk yang siap dikeluarkan dari saluran pencernaan bersama feses. Kista
Balantidium sp. dapat bertahan hidup dalam kondisi lingkungan yang ekstrim. Selain itu, bentuk
kista yang keluar bersama feses memudahkan parasit ini untuk menginvasi spesies lain melalui
makanan atau minuman yang tercemari oleh kista tersebut. Kista Balantidium sp. memiliki ciri,
yaitu berbentuk bulat ovoid, ellipsoidal, memiliki makronukleus yang besar dan dinding kistanya
terdiri dari dua lapis (Levine 1995).

Siklus Hidup

Balantidium sp. memiliki dua bentuk, yaitu bentuk trofozoit dan kista. Kista merupakan
bentuk dari Balantidium sp. yang dapat melakukan transmisi ke spesies lain. Kista yang tertelan
oleh induk semang akan berubah menjadi tropozoit dan melisiskan membran kistanya. Proses
lisisnya membran kista disebut dengan ekskistasis dan proses ini berlangsung di usus halus.
Tropozoit yang terbentuk dari kista dapat bermigrasi dan menginvasi usus besar. Di dalam usus,
Balantidium sp. menyerap eritrosit, leukosit jaringan granula tepung dan sisa lain. Kondisi
lingkungan dan ketersediaan makanan yang cukup, membuat tropozoit memperbanyak diri dengan
cara membelah diri atau konjugasi sebelum keluar dari usus dan membentuk kista kembali (CDC
2013). Parasit ini dapat ditemukan di saluran pencernaan, terutama menginvasi diantara lapisan
mukosa dan submukosa colon sehingga dapat mengakibatkan ulser pada kolon tersebut dan diare
berdarah (Stephen dan Dwight 2006). Infeksi sekunder akibat dari adanya ulser kolon menjadi
faktor pendukung patogenitas yang disebabkan oleh parasit ini.

Gejala Klinis

Rusaknya mukosa dan submukosa usus dilakukan dengan bantuan fermen sitolitik dan
penerobosan secara mekanik. Pergerakan Balantidium sp. mirip dengan gerakan bor, sehingga
mukosa usus dapat dengan mudah ditembus. Invasi Balantidium sp. membentuk sarang dan abses
kecil yang mudah rusak sehingga membentuk ulkus. Sel-sel radang berkumpul di sekitar ulkus
sehingga pada gambaran histopatologi terlihat adanya hemoragi, invasi parasit, dan sel-sel berinti
polimorf (apabila terdapat infeksi sekunder). Gejala klinis yang dapat diamati saat terjadi
Balantidiosis (penyakit akibat Balantidium sp.) adalah diare yang disertai lendir, darah, atau nanah.
Efek sekunder akibat penyakit ini adalah mual, muntah, anoreksia, dan kekurusan. Terkadang
infeksi parasit ini tidak menunjukkan gejala klinis yang jelas pada hewan. Hal ini menunjukkan
bahwa hewan tersebut telah menjadi carier bagi Balantidium sp. (Tampubolon 2004).

Diagnosis

Diagnosis pasti tergantung pada ditemukannya trofozoit atau kista dalam tinja. Trofozoit
paling baik terlihat pada apusan saline langsung atau pada bagian yang diwarnai dari jaringan
kolon yang terkena. Parasit ini sulit ditemukan, karena banyak hewan dengan balantidiasis
ekstraintestinal tidak memiliki infeksi usus bersamaan. Kolonoskopi dengan pengikisan atau
biopsi ulserasi lebih efektif daripada pemeriksaan feses dalam mendiagnosis kolitis amuba. Pada
infeksi usus, pemeriksaan berulang mungkin diperlukan, karena parasit dapat ditularkan secara
berkala dalam tinja. Tes antigen berbasis ELISA, Immunostaninning, preparat yang difiksasi dan
diwarnai (yodium, trichrome, atau besi hematoxylin) tersedia untuk diagnosis pada hewan ternak,
juga dapat membantu diagnosis.

Pengobatan dan penanganan


Metronidazol (10-25 mg/kg, PO, dua kali sehari selama 1 minggu) atau furazolidone (2-4
mg/kg, PO, tiga kali sehari selama 1 minggu) telah disarankan. Untuk infeksi tanpa gejala pada
orang, CDC mencantumkan iodoquinol, paromomycin, atau diloxanide furoate (tidak tersedia
secara komersial di AS) sebagai obat pilihan, dan untuk penyakit usus simtomatik atau infeksi
ekstraintestinal pada orang (misalnya, abses hati), obat pilihan adalah metronidazole atau
tinidazole, segera diikuti dengan pengobatan dengan iodoquinol, paromomycin, atau diloxanide
furoate.
Kalicephalus sp
Etiologi
Klasifikasi (Levine et al. 2001)
Filum : Nemathelminthes
Kelas : Phasmidia
Ordo : Strongylida
Genus : Kalicephalus

Nematoda merupakan cacing parasitik yang memiliki bentuk silinder dan cenderung
runcing pada kedua ujung tubuh, memiliki lapisan kutikula dan tidak bersegmen. Sistem
pencernaan cacing nematoda berupa tabung sederhana dan lebih lengkap dibandingkan dengan
cacing trematoda. Mulut nematoda dikelilingi oleh dua atau tiga bibir yang berhubungan dengan
esofagus. Nematoda memiliki sistem reproduksi yang terpisah (Lapage 1962). Siklus hidup
nematoda dapat secara langsung (tanpa inang antara) atau tidak langsung (memerlukan inang
antara). Bentuk stadium infektif nematoda adalah telur dan larva infektif. Nematoda merupakan
cacing parasitik pada unggas, ruminansia, anjing, kucing, dan manusia (Taylor et al. 2007)..
Banyak ular yang terinfeksi oleh Kalicephalus spp. Cacing tambang ini, mampu melakukan
infestasi transkutan, lebih menyukai saluran GI bagian atas dan menyebabkan lesi erosif di tempat
perlekatan. Ova mirip dengan Physaloptera spp. Granuloma besar yang disebabkan oleh spesies
di atas juga menyebabkan obstruksi usus pada ular.

Siklus Hidup

Siklus Siklus hidup nematoda dimulai dari telur, empat stadium larva, dan dewasa. Telur
kadang-kadang menetas pada saat larva berkembang di dalamnya. Oleh karena itu, stadium infektif
dapat berupa telur infektif atau larva infektif tergantung jenis nematoda. Apabila stadium infektif
adalah larva, biasanya larva tersebut dalam stadium ketiga (L-3). Jika stadium infektif adalah telur,
larva yang dikandung di dalamnya adalah larva stadium kedua (L-2). Larva yang infektif tidak
dapat makan, tetapi hidup dari cadangan makanan di dalam sel-sel ususnya. Larva infektif dapat
menginfeksi inang definitif dengan cara termakan atau aktif menembus melalui kulit. Apabila
sudah berada di dalam inang definitif, cacing muda akan menetap di dalam habitatnya dan
berkembang menjadi dewasa.

Gejala Klinis

Infeksi Temuan pemeriksaan fisik pada kasus infestasi nematoda klinis bervariasi menurut
spesies nematoda dan inangnya. Seringkali, tidak ada kelainan yang hadir. Temuan fisik lainnya
termasuk pertumbuhan yang buruk, peningkatan pertumbuhan, penurunan berat
badan, regurgitasi, dan diare, pembengkakan subkutan

Diagnosis

Cara pemeriksaan nematoda pada hewan antara lain dengan pembedahan bagian organ
dalam pada saluran pencernaan yaitu dibagian duodenum, jejunum, ataupun ileum lalu diperiksa
di bawah mikroskop. Selain itu dapat pula dilakukan pemeriksaan feses yaitu terdiri atas
pemeriksaan kualitatif yang digunakan adalah metode flotasi (pengapungan) dan sedimentasi
(pengendapan) yang dilanjutkan dengan penyaringan bertingkat dan pemeriksaan kuantitatif
menggunakan metode McMaster, metode filtrasi, metode identifikasi sesuai Bistner et al. (2000)
menggunakan metode natif (tanpa pewarnaan), telur dan larva cacing diidentifikasi berdasarkan
Atlas Parasitologi Kedokteran (Pusarawati et al. 2014),

Pengobatan dan penanganan

Pengendalian infeksi nematoda selama ini menggunakan anthelminthic berupa


albendazole, mebendazole, pirantel pamoat, dll baik pada hewan dan manusia. Beberapa penelitian
dilakukan tentang peluang bahan alam yang dapat digunakan sebagai anthelminthic, antara lain
ekstrak air dan ekstrak etanol daun katuk memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai antelmintik
dan pengendali infeksi nematoda gastrointestinal. Hal penting lainnya untuk pengendalian
nematoda parasite yang prlu dipikirkan yaitu pemurnian tanah dari kontaminasi nematoda karena
tanah merupakan media tumbuh dan media perantara dari infeksi nematoda.

Daftar Pustaka

[CDC]2 Center for Disease Control and Prevention. 2013. Diunduh tanggal: 20 April 2013.
Tersedia pada: http://www.cdc.gov/parasites/balantidium.
Divers SJ. 2020.Parasitic Diseases of Reptiles. [artikel]. Veterinary Manual. DZooMed, DACZM,
DECZM (herpetology), FRCVS, University of Georgia. [diunduh 2021 Des 01].
https://www.msdvetmanual.com/en-au/exotic-and-laboratory-animals/reptiles/parasitic-
diseases-of-reptiles
Lapage G. 1962. Veterinary Helminthology and Entomology. 5th Ed. London: Balliere, Tindal
ancox, Inc.
Levine ND. 1995. Protozoologi Veteriner. Di dalam : Soekardono, penerjemah ; Brotowidjoyo,
editor. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Terjemahan dari: Veterinary
Protozoology.
Purwaningsih E., I. K. D. (2013). Nematoda Pada Katak di Daerah persawahan dan Sekitar Hutan
di Jawa Barat. Jurnal Ekologi Kesehatan. 12(4):313–318.
Stephen CB, Dwight DB. 2006. The 5-minute Veterinary Consult Clinical Companian: Canine and
Feline Infectious Disease and Parasitology. USA: Blackwell Publishing.
Tampubolon M. 2004. Protozoology. Bogor (ID). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan;
Dierektorat Jendral Pendidikan Tinggi; Pusat Studi Ilmu Hayati, Institut Pertanian Bogor.
Taylor MA, Coop RL, Wal RI. 2016. Veterinary Parasitology. 4th ed. London (UK): Willey Black
Well, Jhon Wiley and Sons.

Anda mungkin juga menyukai