Anda di halaman 1dari 28

BAB II

LANDASAN TEORI
2.1. PROTOZOA
2.1.1 PENGERTIAN PROTOZOA
Protozoa berasal dari kata protos yang berarti pertama dan zoon yang berarti hewan
sehingga disebut sebagai hewan pertama. Protozoa adalah hewan-hewan bersel tunggal dengan
ukuran mikroskopis (antara 10 µ-300 µ) tetapi ada pula yang dapat dilihat makroskopis. Bentuk
tubuh ada yang berubah-ubah, misalnya seperti Amoeba dan ada yang berbentuk tetap seperti
Paramecium. Protozoa umumnya hidup bebas di alam, misalnya dalam air tawar, laut, tanah
dan di tempat-tempat yang lembab. Ada juga yang hidup [parasit pada hewan atau manusia.
Protozoa itu mempunyai struktur yang lebih majemuk dari sel tunggal hewan multiseluler dan
walaupun hanya terdirii dari satu sel, namun protozoa merupakan organism sempurna. Karena
struktur yang demikian itu, maka berbagai ahli dalam zoologi menamakan protozoa itu aselular
tetapi keseluruhan organisme itu di bungkus oleh satu plasma membrane.

2.1.2 PENGELOMPOKAN PROTOZOA


Protozoa dibagi menjadi 4 kelas berdasarkan alat gerak:
A. Kelas Cilliata (Ciliophora)
Ciliata yang dapat menimbulkan penyakit pada manusia hanyalah Balantidium coli.
Infeksi parasit ini menyebabkan balantidiasis, penyakit zoonosis yang ditularkan melalui air
atau makanan yang tercemar kista parasit ini. Babi merupakan sumber alami infeksi, tetapi
infeksi antar manusia juga bisa terjadi.
Balantidium coli
Ciliata ini adalah parasit obligat zoonosis yang tersebar luas di dunia (kosmopolit) yang
menyebabkan balantidiosis atau ciliate dysenteri yang menimbulkan infeksi usus dan disenteri
pada manusia. Balantidium coli hidup di dalam usus manusia, babi, anjing dan primata. Di
dalam usus, parasit berkembang biak dengan cara membelah diri (binary fission), tetapi juga
dapat berkembang biak secara seksual dengan konjugasi.
Infeksi ciliata ini dilaporkan dari berbagai negara, terutama yang penduduknya banyak
memelihara babi. Prevalensi balantidiasis tergantung pada geografi, dan lingkungan;
prevalensinya tinggi di negara-negara berkembang dimana pencemaran dengan tinja manusia
atau tinja babi banyak terjadi. Babi merupakan sumber infeksi alami bagi manusia, namun
infeksi dari manusia ke manusia juga bisa terjadi.
Morfologi parasit
Terdapat dua stadium Balantidium coli, yaitu stadium trofozoit dan stadium kista. Kadang-
kadang dapat ditemukan stadium prakista parasit ini.

Trofozoit. Stadium trofozoit adalah bentuk vegetatif parasit yang ditemukan pada tinja
penderita, yang tahan sampai 10 hari jika dibiarkan dalam suhu kamar. Trofozoit yang bergerak
memutar dengan cepat mudah dilihat di bawah mikroskop dengan pembesaran 100x karena
mempunyai ukuran yang besar, dengan panjang 30-200 mikron dan lebar 40-70 mikron.
Seluruh permukaan badan trofozoit dipenuhi silia yang berfungsi sebagai alat bergerak. Di
bagian anterior tubuh parasit terdapat cekungan tubuh berbentuk corong yang disebut peristom
di mana pada sisi subterminal terdapat mulut (sitostom) yang dikelilingi silia. Meskipun
Balantidium coli tidak mempunyai usus, tetapi di bagian posterior tubuh parasit ini tampak
adanya anus atau sitopig (cytopyge).
Terdapat dua jenis inti yang dimiliki oleh Balantidium coli, yaitu makronukleus dan
mikronukleus. Makronukleus (macronucleus) berbentuk ginjal dan berukuran besar sedangkan
mikronukleus (micronucleus) mempunyai bentuk seperti titik kecil yang terdapat di dalam
cekungan makronukleus. Terdapat dua buah vakuol kontraktil pada bentuk trofozoit dan
beberapa buah vakuol makanan yang berisi leukosit, eritrosit dan sisa-sia makanan. Sisa-sisa
makanan yang tak tercerna akan dibuang melalui sitopig.
Kista. Bentuk kista Balantidium coli merupakan stadium infektif parasit yang
berbentuk bulat atau agak lonjong, berukuran garis tengah antara 50 sampai 70 mikron, dan
mempunyai dua lapis dinding kista. Kista yang terisi penuh badan parasit, masih menunjukkan
adanya sejumlah silia. Kista mempunyai dinding tebal dengan sitoplasma yang berbentuk
granuler, mengandung makronukleus, mikronukleus dan sebuah badan retraktil yang tidak
selalu tampak jelas. Vakuol kontraktil kadang-kadang masih dapat ditemukan. Kista yang tua
dapat terlihat berbentuk granuler.
Bentuk prakista yang kadang-kadang ditemukan jika sediaan segar didiamkan pada
suhu kamar mempunyai dinding sangat tipis. Bentuk ini mengandung trofozoit yang telah
kehilangan bentuknya yang khas, dengan parasit yang tidak mengisi penuh seluruh isi kista.
Pada stadium prakista makronukleus dan mikronukleus jarang terlihat. Pada sediaan basah
yang diperiksa dengan mikroskop fase kontras struktur bagian dalam kista maupun trofosoit
tampak lebih jelas. Jika dilakukan pewarnaan pada sediaan basah, sebaiknya larutan zat warna
tidak pekat agar zat warna yang terserap sitoplasma tidak mengganggu gambaran struktur
parasit. Untuk mendapatkan kista Balantidium coli dalam jumlah besar, dapat dilakukan
melalui konsentrasi secara sedimentasi atau metode pengapungan.

Gambar 13. Balantidium coli, bentuk trofozoit.


Makronukleus mirip ginjal dan cilia tampak di permukaan badan.
(Sumber: Veterinary Parasitology, University of Pennsylvania)

Siklus hidup
Siklus hidup Balantidium coli dengan dua stadium atau bentuk utamanya yaitu stadium
kista dan stadium trofozoit dapat berlangsung pada satu jenis hospes saja. Sebagai sumber
utama infeksi balantidiosis pada manusia adalah babi karena hewan ini merupakan hospes
definitif alami bagi Balantidium coli. Di dalam usus babi parasit ini dapat berkembang biak
dengan baik tanpa mengganggu kesehatan babi. Karena itu babi merupakan hospes reservoir
bagi manusia yang sebenarnya hanyalah merupakan hospes insidental bagi parasit ini.
Infeksi Balantidium coli pada manusia terjadi akibat tertelan kista infektif parasit ini
melalui air atau makanan mentah yang tercemar tinja babi. Kista yang terdapat di dalam usus
besar penderita akan berubah menjadi bentuk trofozoit. Di dalam lumen usus atau di dalam
submukosa usus trofozoit kemudian akan memperbanyak diri dengan cara membelah diri
(binary transverse fission) atau secara konjugasi.
Gambar 14. Daur hidup Balantidium coli

Reproduksi Konjugasi adalah reproduksi yang terjadi sebagai berikut. Dua trofozoit
akan membentuk kista bersama, lalu bertukar material inti. Gabungan dua trofozoit tersebut
kemudian akan berpisah kembali menjadi dua trofozoit baru. Dalam keadaan lingkungan di
dalam usus kurang sesuai bagi kehidupan parasit, maka trofozoit akan berubah menjadi bentuk
kista.

Patogenesis
Balantidium coli dapat menyebabkan ulserasi pada usus besar, yang dapat
menimbulkan perdarahan dan pembentukan lendir, sehingga penderita akan mengalami berak
darah yang berlendir.

Diagnosis balantidiosis
Penderita yang mengalami infeksi akut akan menunjukkan gejala klinis dan keluhan
berupa disenteri berat yang berdarah dan berlendir disertai nyeri perut dan kolik yang
intermiten. Meskipun penderita balantidiosis mengalami disenteri berat, pada umumnya
penderita tidak mengalami demam. Penderita balantidiosis kronis umumnya tidak
menunjukkan gejala atau keluhan (asimtomatis), meskipun kadang-kadang terjadi diare
berulang yang diselingi konstipasi. Diagnosis pasti balantidiosis dapat ditegakkan jika melalui
pemeriksaan parasitologis atas tinja penderita dapat ditemukan kista dan atau trofozoit
Balantidium coli.
Pengobatan dan pencegahan
Berbagai obat anti parasit dapat diberikan pada penderita balantidiosis, antara lain
metronidazol, iodokuinol, dan oksitetrasiklin. Metronidazol diberikan dengan dosis 3x750 mg
per hari selama 5 hari sedangkan iodoquinol diberikan dengan dosis 3x650 mg / hari selama
21 hari. Oksitrasiklin dapat juga digunakan dengan dosis 4x 500 mg per hari selama 10 hari.
Untuk mencegah penularan Balantidiosis coli, menjaga higiene perorangan dan
kebersihan lingkungan agar tidak tercemar dengan tinja babi harus dilakukan. Makanan dan
minuman harus dimasak sampai matang untuk mencegah terjadinya infeksi parasit ini pada
manusia. Peternakan babi harus ditempatkan jauh dari pemukiman penduduk dan tidak boleh
mencemari saluran air yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan penduduk sehari-hari.

B. Kelas Rhizopoda (Sarcodina)


Rhizopoda adalah kelas golongan protozoa yang pergerakannya menggunakan kaki
semu (pseudopodi) sebagai alat gerak. Terdapat lima spesies amuba yang termasuk ordo
Amoebida yang dapat ditemukan pada manusia (baik yang patogen maupun yang tidak
patogen) yang morfologinya harus dibedakan, yaitu Enamoeba histolytica, Entamoeba coli,
Endolimax nana, Iodamoeba butchlii, dan Dientamoeba fragilis. Selain morfologi bentuk
trofozoit dan bentuk kista, untuk membedakan satu dengan lainnya, harus diperhatikan ciri-ciri
morfologi dan struktur inti dari masing-masing genus.
Ciri khas genus Entamoeba adalah selaput inti yang tampak dibatasi oleh butiran
kromatin halus (Entamoeba histolytica) atau kasar (Entamoeba coli), dengan kariosom yang
padat terletak di tengah (Entamoeba histolytica) atau ditepi inti (Entamoeba coli). Pada
Endolimax kariosomnya mempunyai bentuk yang tidak teratur dan terletak di tepi inti. Genus
Iodamoeba memiliki kariosom yang khas bentuknya dan besar ukurannya, serta dikelilingi oleh
butiran-butiran bulat. Ciri khas Dientamoeba adalah adanya dua inti yang masing-masing inti
memiliki kariosom yang terdiri dari enam butir kromatin.
Gambar 3. Diferensiasi bentuk trofozoit dan kista amuba
(Sumber: Practical Parasitology,Amoeba Morphology Diagrams,
URL: http://www.practical science.com/table)

AMUBA USUS
Amuba usus yang bisa ditemukan pada usus manusia mempunyai bentuk inti yang khas,
yaitu: Selaput inti (nuclear membrane) dibatasi oleh satu lapis butiran kromatin yang teratur
atau tidak. Satu kariosom berukuran kecil dan padat atau berukuran besar dan difus, terletak
sentral (di tengah) atau terletak di tepi inti. Genus-genus amuba usus tersebut adalah:
Entamoeba histolytica
Entamoeba dispar
Entamoeba moshkovskii
Entamoeba hartmanni
Entamoeba coli
Entamoeba polecki.
Entamoeba histolytica
Spesies Entamoeba histolytica yang termasuk subfilum Sarcodina adalah penyebab
penyakit amubiasis pada manusia yang dapat menyebabkan infeksi usus (intestinal amoebiasis)
maupun infeksi pada organ-organ di luar usus (extra-intestinal amoebiasis).

Distribusi geografis
Amubiasis banyak dilaporkan dari berbagai daerah di seluruh dunia, terutama daerah
tropis dan subtropis yang lingkungan kebersihannya buruk. Penyakit ini endemis di Indonesia,
baik di luar Jawa maupun di pulau Jawa terutama di daerah pedesaan (rural). Di Kalimantan
Selatan 12% dari tinja yang diperiksa menunjukkan adanya Entamoeba histolytica sedangkan
di Medan 6,25% dari penderita diare adalah disenteri amubawi. Di daerah Kepulauan Seribu,
Jakarta, 5% dari tinja anak sekolah dasar yang diperiksa menunjukkan adanya protozoa usus
ini.

Habitat
Trofozoit Entamoeba histolytica dapat ditemukan hidup di dalam jaringan mukosa dan
submukosa usus besar penderita. Stadium kista parasit yang merupakan bentuk infektif hanya
ditemukan di dalam lumen usus penderita.
Spesies Entamoeba histolytica merupakan golongan parasit zoonosis yang selain dapat
menyebabkan penyakit pada manusia, parasit ini juga dapat menyebabkan penyakit pada kera
dan primata lainnya. Selain itu beberapa jenis hewan lainnya juga dapat bertindak sebagai
hospes definitif, sehingga menjadi sumber infeksi atau reservoir host bagi manusia. Hewan-
hewan tersebut adalah kucing, anjing, tikus, hamster dan marmot (guinea pig). Dalam keadaan
tertentu Entamoeba histolytica yang menyebabkan amubiasis usus dapat menyebar ke organ-
organ lain di luar usus (ekstraintestinal), misalnya ke hati dan paru-paru.

Morfologi E.histolytica
Entamoeba histolytica adalah protozoa usus yang termasuk kelas Rhizopoda yang
bergerak menggunakan kaki semu atau pseudopodi. Parasit ini mempunyai tiga bentuk
morfologi, yaitu bentuk trofozoit, bentuk prakista dan bentuk kista.

Trofozoit
Stadium trofozoit merupakan bentuk parasit protozoa yang aktif bergerak dengan
menggunakan pseudopodi. Parasit ini dapat tumbuh dan berkembang biak, aktif mencari
makanan, dan mempunyai sifat yang invasif karena ia mampu memasuki organ-organ dan
jaringan tubuh. Pergerakannya yang menggunakan pseudopodi menyebabkan bentuk trofozoit
protozoa ini selalu berubah-ubah. Stadium trofozoit Entamoeba histolytica mempunyai ukuran
yang berkisar antara 18 mikron dan 40 mikron. Trofozoit mempunyai sitoplasma yang terdiri
dari ektoplasma yang jernih dengan endoplasma yang granuler. Di dalam endoplasma parasit
sering ditemukan sel-sel eritrosit, sel leukosit dan sisa-sisa jaringan.
Stadium trofozoit Entamoeba histolytica mempunyai inti yang bulat bentuknya dengan
ukuran garis tengah antara 4 dan 6 mikron. Pada pemeriksaan mikroskopis atas sediaan tinja
segar tanpa pewarnaan inti parasit sukar ditemukan. Spesies Entamoeba histolytica
mempunyai kariosom yang tampak seperti titik kecil yang terletak di tengah-tengah inti dan
dikelilingi daerah berwarna terang (halo) yang jelas. Di sekeliling inti parasit terdapat selaput
tipis yang dibatasi oleh butir-butir kromatin yang tampak halus dan teratur susunannya.

Kista
Stadium kista merupakan bentuk vegetatif inaktif protozoa yang mampu bertahan
terhadap keadaan lingkungan hidup yang tidak sesuai dengan suasana lingkungan yang terdapat
di dalam tubuh hospes. Stadium kista bulat bentuknya, tidak aktif bergerak karena mempunyai
dinding hialin yang kuat. Bentuk kista yang mempuyai empat inti merupakan bentuk protozoa
yang infektif yang mampu bertahan terhadap pengaruh asam lambung manusia.
Dengan memperhatikan ukurannya kista amuba dikelompokkan menjadi dua jenis,
yaitu kista yang kecil ukurannya (6-9 mikron) disebut kista minutaform, dan kista magnaform
yang berukuran lebih besar (antara 10-15 mikron). Kista amuba yang ditemukan di dalam tinja
yang berukuran kurang dari 10 mikron, umumnya adalah kista amuba spesies Entamoeba
hartmani yang tidak menyebabkan penyakit pada manusia.
Pada stadium awal, di dalam sitoplasma kista terdapat 1-4 badan kromatoid
(chromatoid body). Selain itu juga dapat ditemukan masa glikogen yang berwarna coklat tua
pada pewarnaan iodin. Pada kista yang sudah matang (matur) ditemukan 4 buah inti
(quadrinucleate cyst) sedangkan badan kromatoid maupun masa glikogen tidak lagi dijumpai.

Prakista
Stadium prakista merupakan bentuk peralihan antara stadium trofozoit dan stadium
kista. Stadium prakista mempunyai bentuk yang agak lonjong atau bulat, dengan ukuran antara
10-20 mikron, dan mempunyai pseudopodi yang tumpul. Inti dan struktur inti prakista
umumnya sama dengan inti dan struktur inti trofozoit, namun di dalam endoplasma prakista
tidak ditemukan sel darah merah maupun sisa-sisa makanan.
Dengan menggunakan garam faali untuk pengencer tinja, pemeriksaan di bawah
mikroskop menunjukkan Entamoeba histolytica yang masih dalam keadaan hidup. Trofozoit
tampak bergerak aktif dan memperlihatkan gerakan-gerakan pseudopodi yang cepat. Pada
pemeriksaan garam faali inti parasit sukar dilihat, tetapi di dalam sitoplasmanya tampak sel
darah merah yang berwarna hijau kekuningan. Jika kista dapat terlihat, bentuknya bulat dengan
dinding yang tipis dan halus, dengan badan kromatoid berbentuk batang yang mudah dikenal.
Masa glikogen di dalam sitoplasma sukar dilihat pada sediaan tanpa pewarnaan.

Gambar 4. Trofozoit ,prakista dan kista Entamoeba histolytica


(Sumber: http://jpkc.sysu.edu.cn)

Pemeriksaan sediaan mikroskopis dengan pewarnaan menggunakan lugol atas tinja,


parasit tampak berwarna kuning atau coklat muda. Tampak terlihat dengan jelas bentuk inti
dengan kariosom yang terletak di tengah-tengah inti. Dengan pewarnaan lugol sitoplasma
Entamoeba histolytica tampak halus strukturnya dengan badan kromatoid yang tidak berwarna
sedangkan masa glikogen tampak berwarna coklat tua.
Melalui pewarnaan iron-hematoxylin, parasit menunjukkan gambaran inti dan badan
kromatoid yang berwarna hitam, sedangkan sitoplasma protozoa berwarna kebiru-biruan atau
kelabu. Masa glikogen tampak tidak berwarna pada sediaan Iron-hematoksilin.

Gambar 5. .Entamoeba histolytica (a) trofozoit (b) kista


(Sumber: Stefano Lagana)
Reproduksi E.histolytica
Reproduksi Entamoeba histolytica dapat terjadi melalui tiga tahapan yaitu tahap
ekskistasi, tahap enkistasi dan tahap multiplikasi.
Tahap ekskistasi. Pada tahap ekskistasi terjadi transformasi protozoa dari bentuk kista
menjadi bentuk trofozoit yang dimulai pada saat kista berada di dalam usus. Dalam proses
ekskistasi ini, satu kista infektif yang berinti empat amubula akan berkembang menjadi 8
amubula, yang kemudian berubah menjadi 8 trofozoit.
Tahap enkistasi. Tahap enkistasi ini berlangsung selama beberapa jam di dalam lumen
usus, dimana bentuk trofozoit amuba berubah menjadi bentuk kista.
Tahap multiplikasi. Proses multiplikasi hanya terjadi pada bentuk trofozoit, dengan cara
membelah diri secara sederhana (simple binary fission). Mula-mula inti sel yang membelah
diri, lalu diikuti dengan pembelahan diri oleh struktur-struktur lain dari sitoplasma.

Siklus hidup
Manusia merupakan hospes definitif utama Entamoeba histolytica, tempat
berlangsungnya secara lengkap siklus hidup parasit ini. Bentuk kista berinti empat yang tahan
terhadap asam lambung merupakan bentuk infektif parasit yang dapat ditularkan. Secara oral
infeksi terjadi dengan masuknya kista infektif bersama makanan atau minuman yang tercemar
tinja penderita amubiasis atau tinja karier.
Akibat pengaruh enzim tripsin yang ada di dalam usus, dinding kista amuba akan
pecah. Sesudah itu proses ekskistasi akan terjadi di dalam sekum atau ileum bagian bawah.
Dari satu kista mula-mula akan terbentuk satu amuba berinti empat (tetranucleate amoeba),
lalu berkembang menjadi delapan amubula (amoebulae) atau trofozoit metakistik (metacystic
trophozoite). Amubula kemudian akan memasuki jaringan submukosa usus besar, lalu akan
berkembang menjadi bentuk trofozoit. Sebagian trofozoit akan masuk ke dalam lumen usus,
berubah bentuk menjadi prakista, untuk kemudian berkembang menjadi bentuk kista. Di dalam
usus seorang karier amubiasis (amebic carrier), dalam waktu yang bersamaan dapat dijumpai
bentuk-bentuk trofozoit, prakista maupun kista amuba.

Cara infeksi
Infeksi amuba terjadi melalui masuknya kista infektif ke dalam mulut bersama makanan
atau minuman yang tercemar tinja penderita amubiasis atau tinja karier. Penularan di
laboratorium umumnya dapat terjadi akibat tertelan kista infektif amuba yang berasal dari
hewan coba primata. Berbagai jenis serangga domestik, misalnya Musca dan lipas (famili
Blattidae) dapat terpapar tinja penderita atau karier yang mengandung kista infektif amuba
yang kemudian akan mencemari makanan atau minuman.

Gambar 6. Siklus Hidup E.histolytica dan Infeksi amubiasis


Contact carrier dan convalesent carrier
Karier amubiasis dapat dibedakan berdasar atas terjadinya infeksi menjadi contact
carrier dan convalescent carrier. Pada contact carrier, karier amubiasis adalah orang yang
sebelumnya tidak pernah menderita amubiasis, sedangkan convalescent carrier berasal dari
seseorang yang sudah pernah menderita amubiasis.

AMUBIASIS
Amubiasis pada manusia disebabkan oleh Entamoeba histolytica yang dapat
menyerang usus (intestinal amoebiasis) maupun organ-organ di luar usus (extra-intestinal
amoebiasis) misalnya hati, paru, otak dan kulit.

Patogenesis
Entamoeba histolytica mampu mencerna sel-sel manusia misalnya sel usus besar,
neutrofil dan sel-sel hati. Pada manusia amubiasis dapat dibedakan menjadi amubiasis primer
dan amubiasis sekunder. Amubiasis primer terjadi pada usus sedangkan amubiasis sekunder
terjadi pada organ di luar usus. Amubiasis sekunder disebut juga sebagai extra-intestinal atau
metastatic amoebiasis. Amubiasis primer umumnya menyerang jaringan usus besar yaitu
sekum dan daerah rektosigmoid. Trofozoit Entamoeba histolytica yang terdapat di jaringan
usus dapat mengadakan migrasi ke jaringan organ-organ lainnya terutama ke jaringan hati, paru
dan otak.
Kerusakan jaringan dan organ-organ penderita akibat Entamoeba histolytica selain
dipengaruhi oleh keganasan atau virulensi strain Entamoeba histolytica penyebab amubiasis,
juga dipengaruhi oleh tingginya daya tahan tubuh penderita dan keadaan usus penderita.
Infeksi Entamoeba histolytica pada manusia dapat menunjukkan gejala klinis yang bervariasi
berupa gambaran karier yang asimtomatik, amubiasis simtomatik, disenteri amubawi, atau
gambaran amubiasis ekstra intestinal, misalnya amubiasis hati dan amubiasis paru.
Amubiasis usus
Terdapatnya bakteri pendamping atau associate bacteria di dalam usus penderita
menyebabkan terbentuknya lingkungan hidup yang dapat merangsang peningkatan sifat
invasif amuba. Pada amubiasis usus akut, di sepanjang usus besar atau di daerah ileosekal dan
rektosigmoid dapat terjadi pembentukan ulkus-ulkus yang bervariasi ukurannya, dari sebesar
ujung jarum sampai berukuran lebih dari 3 cm. Ulkus amubiasis umumnya mempunyai bentuk
bulat atau lonjong dengan tepi ulkus yang tidak teratur bentuknya dan curam dindingnya
(undermined). Pada pemotongan melintang, ulkus menunjukkan gambaran seperti botol (flask-
shaped ulcer). Di dalam ulkus terdapat cairan yang berasal dari bahan nekrotik yang berwarna
kekuningan atau kehitaman.
Sesudah masa inkubasi yang berlangsung sekitar 5 hari, gejala klinis amubiasis terjadi
berupa diare atau pada infeksi kronis dapat terjadi sembelit. Penderita amubiasis usus akut
(disenteri amoeba) akan mengalami gejala-gejala klinis disenteri yang disertai nyeri perut
sebelum buang air besar (tenesmus). Frekwensi defikasi penderita sekitar 6-8 kali sehari,
dengan tinja berbau asam yang menyengat, dengan darah atau lendir yang tercampur bersama
tinja. Tinja penderita disenteri amuba dapat berbentuk cair (diareic), setengah cair
(semidiareic), atau berbentuk padat (formed).
Pada penderita dengan amubiasis usus kronis selain terjadi ulkus-ulkus di usus juga
berlangsung proses regenerasi jaringan, sehingga ulkus yang terjadi hanya terbatas pada
mukosa usus, tidak mencapai jaringan otot di bawahnya. Usus penderita menipis dindingnya
akibat terjadinya pembentukan jaringan parut. Sebaliknya jika terjadi pelekatan usus dengan
jaringan visera di sekitarnya, dinding usus terasa menebal yang mudah diraba dari luar. Lumen
usus juga akan menjadi sempit. Terjadinya reaksi granulomatosis pada amubiasis usus kronis
dapat menyebabkan pembentukan amuboma (amoebic granuloma) yang bentuknya mirip
dengan tumor usus.

Amubiasis hati
Trofozoit Entamoeba histolytica yang menyebar dari usus ke jaringan di luar usus
(ekstra intestinal) terjadi melalui aliran darah atau akibat terjadinya abses usus yang pecah.
Kontak yang terjadi antara bahan infektif dengan jaringan hati menyebabkan terjadinya
amubiasis hati. Abses hati yang terjadi pada penderita amubiasis hati sering dijumpai di bagian
posterosuperior lobus kanan hati dan umumnya hanya terbentuk satu abses yang besar
ukurannya. Jika abses hati masih kecil ukurannya, bentuknya bulat atau lonjong, berisi cairan
abses yang berwarna abu-abu kecoklatan. Abses yang besar ukurannya mempunyai dinding
tebal yang berisi cairan abses berwarna kuning kemerahan.
Pada pemeriksaan mikroskopis atas irisan abses hati, tampak adanya bahan granuler di
bagian sentral. Di bagian tengah abses hati ini, pada pemeriksaan mikroskopis tidak ditemukan
parasit amuba. Irisan pada pertengahan jaringan hati (intermediate) menunjukkan adanya sel-
sel hati yang mengalami degenerasi, sel-sel leukosit, serta sel-sel jaringan ikat dan eritrosit. Di
bagian pertengahan irisan jaringan hati kadang-kadang ditemukan trofozoit amuba, sedangkan
di bagian tepi abses hati dapat dijumpai sel-sel hati yang mengalami nekrosis dan tampak
terjadinya bendungan-bendungan kapiler. Trofozoit amuba dapat ditemukan pada sel-sel hati
yang masih sehat. Pada amubiasis hati penderita menunjukkan gejala-gejala klinis berupa
demam, nyeri daerah hipokondrium kanan, hepatomegali, dan ikterus. Penderita juga cepat
menjadi kurus, tetapi umumnya tidak mengalami disenteri atau gangguan pencernaan lainnya.
Komplikasi. Penderita amubiasis hati yang tidak diobati dengan baik, akan dapat
mengalami komplikasi berupa proses lisis jaringan hati yang menyebabkan abses menjadi
pecah dan parasit akan menyebar ke organ-organ dan jaringan di sekitar hati. Jika abses hati di
bagian kanan pecah, hal ini akan menimbulkan kerusakan pada jaringan paru, rongga pleura
kanan, diafragma dan rongga peritoneum. Dapat juga terjadi kerusakan jaringan kulit
(granuloma kutis) yang berada di dekat abses yang pecah. Abses hati yang pecah ke daerah
paru akan menyebabkan dahak berwarna coklat atau merah tua yang mengandung trofozoit.
Jika abses pecah ke dalam rongga pleura, hal ini dapat menimbulkan terjadinya empiema
toraks, sedangkan jika abses pecah ke daerah diafragma akan menyebabkan terjadinya abses
subfrenik. Peritonitis umum dapat timbul jika abses yang pecah mengalirkan isinya ke daerah
peritoneum.
Abses hati di daerah hati sebelah kiri yang pecah dapat menyebabkan terjadinya
kerusakan jaringan lambung yang menimbulkan gejala muntah darah (hematemesis).
Penderita juga dapat mengalami kerusakan jaringan perikardium, rongga pleura kiri dan
jaringan kulit. Perikarditis purulenta yang terjadi dapat menyebabkan kematian penderita. Jika
cairan abses hati yang pecah mengalir ke arah bawah (inferior), keadaan ini akan menyebabkan
terjadinya kerusakan jaringan usus atau kelainan di rongga peritoneum yang dapat
menimbulkan peritonitis.

Amubiasis ekstra intestinal lainnya


Organ-organ lain yang dapat terserang amubiasis adalah jaringan paru, otak, kulit dan
limpa.

Amubiasis paru. Amubiasis paru atau pulmonary amoebiasis dapat terjadi secara primer
atau sekunder. Amubiasis paru primer terjadi karena trofozoit amuba dapat mencapai jaringan
paru melalui sirkulasi darah portal sehingga mencapai kapiler-kapiler paru. Pada amubiasis
paru sekunder trofozoit berasal dari cairan abses hati bagian kanan yang pecah.

Amubiasis otak. Amubiasis otak (cerebral amoebiasis) pada umumnya merupakan


abses tunggal berukuran kecil yang terjadi sebagai akibat komplikasi abses hati atau abses paru.
Amubiasis kulit. Amubiasis kulit umumnya terjadi pada jaringan kulit yang berada di
dekat tempat keluarnya cairan abses hati, abses apendiks atau pada waktu dilakukan operasi
usus. Jaringan kulit yang terserang akan mengalami nekrosis yang disebabkan oleh trofozoit
yang terdapat di jaringan kulit.

Amubiasis limpa. Amubiasis limpa terutama terjadi akibat komplikasi amubiasis hati,
atau secara langsung dapat disebabkan oleh penyebaran trofozoit Entamoeba histolytica yang
berasal dari daerah kolon.

Diagnosis amubiasis
Diagnosis pasti amubiasis dapat ditegakkan jika dapat ditemukan trofozoit atau
ditemukan kista Entamoeba histolytica dan pada pemeriksaan mikroskopis dapat ditemukan
kristal Charcot-Leyden yang spesifik.

Pemeriksaan tinja
Secara makroskopis pemeriksaan tinja penderita amubiasis usus akut, menunjukkan
tinja yang berwarna merah tua berbau menyengat karena bersifat asam. Pemeriksaan
mikroskopis pada tinja akan dapat menemukan trofozoit Entamoeba histolytica dan terdapat
kristal Charcot-Leyden yang khas bentuknya.

Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah penderita amubiasis akut menunjukkan gambaran darah berupa
leukositosis, sedangkan uji serologis menunjukkan hasil yang negatif.
Penderita amubiasis usus kronis umumnya tidak menunjukkan gejala atau keluhan
(asimtomatis) sedangkan bentuk makroskopis tinja karier amubiasis biasanya juga normal.
Pemeriksaan mikroskopis atas tinja penderita dapat ditemukan kista amuba, sedangkan
pemeriksaan darah tidak menunjukkan kelainan. Pemeriksaan serologi terhadap karier
amubiasis yang asimtomatis hasilnya negatif, sedangkan uji serologi pada karier konvalesen
masih menunjukkan hasil uji serologi yang positif.

Diagnosis pasti
Diagnosis pasti amubiasis hati dapat ditetapkan jika dapat ditemukan parasit amuba
(trofozoit) pada jaringan hasil biopsi atau cairan abses. Pemeriksaan tinja penderita akan
menemukan kista amuba yang menunjukkan adanya sumber infeksi kronis yang berasal dari
usus. Pemeriksaan darah penderita menunjukkan gambaran leukositosis dengan granulosit
neutrofil sebesar 70-75%. Pemeriksaan-pemeriksaan serologi yang dapat membantu
menegakkan diagnosis amubiasis hati, antara lain adalah melalui uji fiksasi komplemen, uji
imunohemaglutinasi dan tes presipitin.
Diagnosis pasti amubiasis paru dapat ditetapkan dengan menemukan trofozoit Entamoeba
histolytica pada dahak penderita. Pemeriksaan serologi, uji intradermal dan pemeriksaan
radiologi dapat membantu menegakkan diagnosis amubiasis paru dan amubiasis
ekstraintestinal lainnya.

Pengobatan amubiasis
Obat amubisida
Metronidazole merupakan obat pilihan untuk mengatasi amubiasis. Obat-obat
amubisida lain yang dapat digunakan secara per oral baik untuk mengobati amubiasis usus
maupun amubiasis ekstraintestinal antara lain adalah nimorazole, ornidazole, tinidazole,
seknidazole dan clefamid. Selain itu emetin yang hanya dapat diberikan melalui suntikan tidak
dianjurkan untuk mengobati amubiasis.
Jika penderita amubiasis mengalami infeksi sekunder, antibiotika dapat diberikan. Pada
penderita dengan abses amubiasis hati, jika lokasi abses berada di dekat permukaan tubuh,
untuk mengeluarkan cairan dapat dilakukan aspirasi abses. Metronidazol. Metronidazol
merupakan obat pilihan untuk mengatasi amubiasis usus maupun amubiasis hati.
Amubiasis usus. Dosis dewasa metronidazol adalah 3x 750 mg per hari selama 10 hari,
sedangkan dosis anak adalah 15 mg/kg berat badan yang diberikan tiga kali sehari atau 50 mg
per kilogram berat badan per hari yang diberikan selama 10 hari. Amubiasis hati. Selain
dengan dosis yang sama dengan dosis untuk untuk amubiasis usus, metronidazol juga dapat
diberikan dengan dosis 1,5 gram sampai 2,5 gram sekali sehari, selama 2-3 hari pengobatan.
Tinidazol (Fasigyn). Tinidazol diberikan pada penderita dewasa dengan takaran 2 gram
sebagai dosis tunggal selama 5 hari untuk mengobati amubiasis usus, sedangkan dosis untuk
anak adalah 50 mg/kg sebagai dosis tunggal yang juga diberikan selama 5 hari. Amubiasis hati
atau amubiasis ekstraintestinal diobati dengan tinidazol yang diberikan dengan dosis untuk
orang dewasa sebesar 3x 800 mg selama 5 hari. Penderita anak diobati dengan dosis 50-60mg
per kilogram berat badan per hari atau 3x 15-20 mg/kg per hari yang diberikan selama 5 hari.
Nimorazol (Naxogin). Amubiasis usus diobati dengan nimorazol yang diberikan selama
5 hari. Untuk orang dewasa dosisnya adalah 2 gram per hari, sedangkan dosis untuk anak
adalah 30-40 mg per kilogram berat badan per hari. Pada pengobatan amubiasis hati, nimorazol
diberikan dengan dosis yang sama untuk amubiasis usus, tetapi waktu pemberiannya adalah
selama 10 hari.
Ornidazol (Tiberal). Amubisida ini dapat digunakan untuk mengobati amubiasis usus
maupun amubiasis hati. Penderita dewasa diobati dengan ornidazol yang diberikan dengan
dosis 2x1 gram per hari selama 3 hari, sedangkan dosis untuk anak adalah 50 mg per kilogram
berat badan per hari yang diberikan selama 3 hari.
Seknidazol (Flagentyl). Seknidazol dapat digunakan untuk mengobati amubiasis usus
maupun amubiasis hati. Amubiasis usus dapat diobati dengan dosis untuk orang dewasa sebesar
3x500 mg selama 3 hari, sedangkan dosis anak adalah 25 mg per kilogram berat badan per
hari yang diberikan selama 3 hari. Dosis yang sama dapat digunakan untuk mengobati
amubiasis hati, tetapi dengan waktu pemberian selama 5-10 hari.
Clefamid (Mebinol). Obat ini hanya dapat digunakan untuk mengobati amubiasis
usus, dengan dosis dewasa sebesar 3x500 mg dengan waktu pengobatan antara 10 sampai 20
hari.

Pencegahan amubiasis
Infeksi amubiasis umumnya terjadi secara per oral, sehingga upaya pencegahan amubiasis
dilakukan dengan cara memasak makanan dan minuman dengan baik. Kebersihan lingkungan
harus dijaga agar terbebas dari lalat dan lipas serta tikus yang menjadi vektor penularnya.
Sistem pembuangan tinja dan limbah rumah harus dikelola dengan baik agar tidak mencemari
sumber air minum atau sumur yang digunakan untuk keperluan sehari-hari. Pencegahan juga
dilakukan di laboratorium pada waktu menangani hewan coba, terutama primata, agar tidak
tertular bahan infektif yang berasal dari hewan coba yang infektif.
Karena karier amubiasis merupakan sumber penularan amubiasis yang penting, maka karier
amubiasis harus dapat ditemukan agar dapat diobati sampai sembuh, sehingga tidak lagi
menjadi sumber infeksi amubiasis bagi masyarakat luas.

Entamoeba coli
Morfologi Entamoeba coli yang tidak patogen bagi manusia ini bentuknya mirip
Entamoeba histolytica. Amuba yang hidup komensal di dalam usus manusia ini hidup dan
berkembang biak di dalam usus besar sehingga sering dijumpai di dalam usus manusia. Karena
itu parasit ini harus dibedakan morfologinya dari Entamoeba histolytica yang dapat
menimbulkan penyakit pada manusia.

Morfologi Entamoeba coli


Trofozoit. Stadium trofozoit Entamoeba coli ukurannya lebih besar dari pada ukuran
Entamoeba histolytica. Bentuk ini berukuran sekitar 20-50 mikron, mempunyai sitoplasma
yang kasar dengan endoplasma yang tidak mengandung sel darah merah. Pada pemeriksaan
mikroskopis atas tinja tampak bentuk inti protozoa yang memiliki kariosom berukuran besar
yang terletak di bagian tepi dari sel, yang dikelilingi oleh halo yang lebar. Di sekitar selaput
inti terdapat kromatin yang tampak kasar dan tidak teratur bentuknya. Pemeriksaan pada tinja
segar memperlihatkan bahwa trofozoit Entamoeba coli bergerak lambat yang tidak seaktif
gerakan pseudopodi Entamoeba histolytica dengan hanya membentuk satu tonjolan
pseudopodi.
Ektoplasma hialin yang tembus sinar dari trofozoit Entamoeba coli yang sedang
bergerak aktif mudah dibedakan dari endoplasma yang kasar karena mengandung banyak
granul dan vakuol yang berisi granul. Sitoplasma Entamoeba coli biasanya tidak mengandung
sel darah merah. Stadium trofozoit mempunyai inti yang berukuran 6-7 mikron, yang mudah
terlihat pada sediaan tinja segar meskipun sukar dilihat dengan jelas bentuk khas kariosom dan
kromatin perifernya. Untuk dapat melihat dengan jelas struktur kariosom dan kromatin
perifernya, sediaan harus difiksasi dan dilakukan pewarnaan.
Dengan melakukan pewarnaan atas sediaan, kariosom Entamoeba coli tampak
berukuran besar dan terletak di tepi (eksentris), dan di sekeliling kariosom sering terlihat
adanya granul akromatik atau kromosom. Pada protozoa ini, kromatin perifer terlihat berupa
granul kasar yang terdapat pada membran inti yang tebal dan tak teratur susunannya.
Pada pewarnaan trikrom, morfologi inti trofozoit Entamoeba coli lebih mudah diamati
dibandingkan dengan morfologi inti Entamoeba histolytica dan amuba lainnya. Morfologi
Entamoeba coli yang tidak patogen ini harus dikenali dengan benar untuk membedakannya
dari amuba patogen lainnya agar tidak salah memberikan pengobatan antiamubiasis, terutama
jika kelainan intestinal disebabkan oleh penyebab lainnya (misalnya oleh kanker kolon).
Kista. Bentuk matur (matang) stadium kista Entamoeba coli adalah bulat, dengan
ukuran garis tengah antara 15-20 mikron, mempunyai delapan inti. Kista muda (imatur)
biasanya berukuran lebih besar. Dinding tebal kista amuba ini terdiri dari dua lapis, tetapi sulit
dilihat pada sediaan tinja segar. Inti protozoa ini menunjukkan adanya kromatin perifer yang
halus dan kariosom yang terletak eksentrik (tidak di tengah). Masa glikogen maupun badan
kromatoid tidak terdapat pada kista parasit ini. Tergantung pada kematangan kista, jumlah inti
adalah 1 sampai 8. Pada kista berinti satu, inti besar ukurannya, berbentuk lonjong, terletak di
tepi kista, dengan kariosome yang difus dan dapat ditemukan vakuol glikogen idiofilik yang
besar. Dengan makin matangnya kista, vakuol akan mengkerut lalu menghilang. Di rongga
antara vakuol dan dinding kista akan terlihat badan kromatoid yang berujung lancip.
Kista dengan dua inti, biasanya mempunyai bentuk inti yang lonjong dengan letak
kedua inti tersebut pada dua kutub yang berjauhan. Hal ini berbeda dengan inti-inti pada kista
Entamoeba histolytica dua inti yang biasanya terletak berpasangan. Kista empat inti
(tetranucleate cyst) biasanya tidak mempunyai vakuol glikogen. Ukuran inti bervariabel,
sebagian tidak teratur bentuknya, mempunyai kromatin perifer yang kasar dan sebuah kariosom
yang tersusun dari granul kromatin yang tersebar. Kista berinti empat Entamoeba coli sukar
dibedakan dari kista matang Entamoeba histolytica. Pada kista Entamoeba coli ukurannya lebih
besar (lebih dari 14 mikron), bentuknya bervariasi, dan mempunyai kromatin perifer inti dan
kariosom yang terdiri dari granul yang tak beraturan bentuknya.

Gambar 7. Entamoeba coli kisata dan trofozoit.


(URL:www.atlas-protozoa.com/Entamoebacoli.php)

Amuba meningoensefalitis
Kejadian radang selaput otak (meningoensefalitis) oleh amuba banyak dilaporkan dari
berbagai tempat di seluruh dunia. Infeksi biasanya terjadi sesudah penderita berenang di air
tawar yang panas airnya, misalnya di kolam renang yang ada di rumah. Penyebab utamanya
adalah Naegleria fowleri, sedangkan amuba lain yang dapat menyebabkannya adalah
Acanthamoeba dan Entamoeba histolytica. Pada umumnya meningoensefalitis amubawi ini
berlangsung kronis sehingga sukar didiagnosis secara dini.
C. Kelas Sporozoa
Toxoplasma gondii
Protozoa yang hidup di darah dan jaringan ini dapat menyebabkan penyakit
toksoplasmosis pada manusia dan hewan. Toxoplasma gondii hidup intraseluler di dalam sel-
sel sistem retikulo-endotel dan sel parenkim manusia maupun mamalia terutama kucing dan
unggas. Parasit ini dapat menimbulkan radang dan kerusakan pada kulit, kelenjar getah bening,
jantung, paru, mata, otak dan selaput otak.

Distribusi geografis
Toxoplasma gondii tersebar luas di seluruh dunia. Data serologi menunjukkan bahwa
30-40% penduduk dunia terinfeksi Toxoplasma gondii, sehingga toksoplasmosis merupakan
penyakit infeksi yang paling banyak diderita penduduk bumi. Infeksi banyak terjadi di daerah
dataran rendah beriklim panas dibandingkan dengan daerah dingin yang terletak didataran
tinggi. Perancis dan negara-negara yang penduduknya mempunyai kebiasaan makan daging
mentah atau dimasak kurang matang, menunjukkan prevalensi toksoplasmosis yang tinggi.
Penelitian di USA pada tahun 1994 menunjukkan prevalensi serologi toxoplasmosis 22,5% dan
pada perempuan berusia subur (child bearing age) prevalensinya adalah sebesar 15%.

Morfologi parasit
Berdasar habitatnya Toxoplasma gondii mempunyai dua bentuk, yaitu bentuk
intraseluler dan bentuk ekstraseluler. Intraseluler, parasit ini mempunyai bentuk yang bulat
atau lonjong sehingga sulit dibedakan morfologinya dari morfologi Leishmania. Ekstraseluler,
parasit ini mempunyai bentuk seperti bulan sabit yang langsing dengan satu ujungnya runcing
sedangkan ujung lainnya tumpul. Toxoplasma gondii ekstraseluler yang berukuran sekitar 2x
5 mikron, mempunyai sebuah inti parasit yang terletak di bagian ujung yang tumpul dari
parasit.

Siklus hidup
Keluarga kucing (Felidae) merupakan hospes definitif yang membawa stadium seksual
Toxoplasma gondii, sehingga hewan ini merupakan sumber utama infeksi parasit ini bagi
manusia. Di dalam tubuh hewan yang menjadi hospes perantara, Toxoplasma terdapat dalam
bentuk aseksual. Cara infeksi dari satu hewan penderita ke hewan lainnya terjadi sesudah
makan daging yang mengandung parasit stadium infektif.
Gambar 43. Ookista Toxoplasma gondii.
(URL: http://www.microbeworld.org)

Di dalam usus kucing yang terinfeksi Toxoplasma, parasit akan berkembang baik
dalam bentuk siklus seksual maupun siklus aseksual sehingga akan terbentuk stadium ookista
(oocyst) yang kemudian akan keluar bersama tinja kucing. Dalam waktu 1 sampai 5 hari ookista
akan berkembang menjadi infektif yang dapat menular ke manusia atau hewan lainnya. Di
lingkungan luar rumah, misalnya di dalam air atau tanah basah ookista dapat bertahan hidup
lebih dari satu tahun lamanya. Stadium ookista tahan terhadap pengaruh disinfektan,
pembekuan, kekeringan, akan tetapi akan terbunuh jika dipanaskan pada suhu 700 Celcius
selama 10 menit

Gambar 44 . Ookista Toxoplasma membentuk spora (merah)


dan yang tidak berspora (biru).
(Sumber: Nolan,University of Pennsylvania)
Cara infeksi toksoplasmosis
Pada manusia cara infeksi toksoplasmosis dapat terjadi melalui cara dapatan (acquired)
pada anak maupun orang dewasa. dan secara kongenital cara infeksi dari ibu ke bayi yang
dikandungnya. Cara infeksi secara dapatan terjadi secara oral melalui makanan, melalui udara
dan melalui kulit. Cara infeksi per oral terjadi melalui makanan mentah dalam bentuk daging,
susu sapi atau telur unggas yang tercemar pseudokista parasit, cara infeksi melalui udara atau
droplet infection dengan bahan infektif berasal dari penderita pneumonitis toksoplasmosis dan
cara infeksi melalui kulit terjadi akibat sentuhan atau kontak dengan jaringan misalnya daging
yang infektif atau ekskreta hewan yang sakit misalnya kucing, anjing, babi atau rodensia.
Selain itu toksoplasmosis dapat ditularkan melalui transplantasi organ, transfusi darah atau
masuknya takizoit ke dalam tubuh melalui lecet atau luka pada kulit.

Gambar 45. Siklus hidup dan cara infeksi Toxoplasma gondii.


Gambar 46. Takizoit Toxoplasma.gondi
(URL: http://www.dpd.cdc.gov)

Pada toksoplasmosis kongenital cara infeksi pada janin terjadi melalui plasenta dari ibu
hamil yang menderita toksoplasmosis. Cara infeksi yang terjadi di awal kehamilan, akan
menyebabkan terjadinya abortus pada janin, atau anak lahir dalam keadaan meninggal. Pada
infeksi toksoplasmosis yang terjadi pada trimester akhir kehamilan, janin yang berada dalam
kandungan tidak menunjukkan kelainan. Gejala-gejala klinis toksoplasmosis pada bayi baru
terlihat dua tiga bulan pasca kelahiran. Selain melalui plasenta, Toxoplasma gondii dapat
ditularkan dari ibu ke anak melalui air susu ibu (ASI), jika ibu tertular parasit ini pada masa
nifas (puerperium).

Patogenesis dan gejala klinis


Tergantung pada stadium infektif yang memasuki tubuh penderita, masa inkubasi
toksoplasmosis berlangsung antara 5-23 hari. Melalui aliran darah parasit akan menyebar ke
berbagai organ, misalnya ke otak, sumsum tulang belakang, sumsum tulang, kelenjar limfe,
mata, paru, limpa, hati dan otot jantung.
Pada orang dewasa yang sehat dan tidak sedang hamil, karena sistem imun tubuhnya
mampu melawan infeksi parasit, gejala klinis toksoplasmosis umumnya tidak jelas dan tidak
ada keluhan penderita. Gejala klinis yang ringan mirip gejala flu, antara lain berupa
pembengkakan ringan kelenjar limfe dan nyeri otot yang hanya berlangsung selama beberapa
minggu. Meskipun demikian parasit masih berada dalam bentuk tidak aktif di dalam jaringan
dan organ tubuh penderita yang akan berubah kembali menjadi bentuk aktif jika daya tahan
tubuh penderita menurun.
Gejala toksoplasmosis tampak jelas pada ibu hamil yang menderita toksoplasmosis
karena dapat mengalami abortus, janin lahir mati atau bayi yang dilahirkan menunjukkan
tanda-tanda toksoplasmosis. Hal ini disebabkan karena parasit menyebabkan kerusakan organ
dan sistem saraf penderita bayi dan anak. Ibu hamil yang terinfeksi Toxoplasma gondii pada
trimester pertama kehamilan umumnya akan mengalami abortus atau janin lahir mati. Infeksi
toksoplasmosis yang terjadi pada trimester terakhir kehamilan akan menyebabkan bayi yang
dilahirkan menunjukkan gejala toksoplasmosis, misalnya berupa ensefalomielitis, kalsifikasi
serebral, korioretinitis, hidrosefalus atau mikrosefalus. Kelainan pada sistem limfatik yang
terjadi pada anak dengan toksoplasmosis kongenital yang berusia 5 sampai 15 tahun, akan
menyebabkan terjadinya demam disertai limfadenitis.
Penyakit mata toksoplasmosis dapat terjadi akibat infeksi kongenital atau infeksi yang
terjadi sesudah anak dilahirkan. Kelainan mata akibat infeksi kongenital toksoplasmosis
biasanya tidak terlihat pada waktu anak dilahirkan, melainkan baru tampak pada waktu usia
dewasa. Kelainan toksoplasmosis mata dapat berupa retinochoroiditis dengan gejala dan
keluhan antara lain nyeri mata, fotofobi, penglihatan kabur dan keluar air mata yang terus
menerus. Penderita juga dapat mengalami kebutaan.
Toksoplasmosis kulit dapat menimbulkan ruam makulopapuler yang mirip ruam
demam tifus, sedangkan toksoplasmosis paru dapat menyebabkan pneumonia interstitial.
Infeksi Toxoplasma pada jantung dapat menyebabkan miokarditis, sedangkan infeksi pada hati
serta limpa dapat menyebabkan terjadinya pembesaran organ-organ tersebut.
Penderita yang sedang mengalami gangguan sistem imun misalnya menderita AIDS/HIV akan
menunjukkan gejala-gejala klinis toksoplasmosis yang berat berupa demam, sakit kepala,
gangguan kesadaran dan gangguan koordinasi. Penderita akan sering mengalami kekambuhan
dan re-infeksi yang berulang-ulang.

Gambar 47. Hidrosefalus toksoplasmosis


(URL: http://www.austincc.edu/microbiol)
Diagnosis toksoplasmosis
Gejala-gejala klinis dan keluhan yang dialami penderita dapat juga ditimbulkan oleh
berbagai macam penyakit lain. Diagnosis banding toksoplasmosis yang harus diperhatikan
adalah mononukleosis infeksiosa, tuberkulosis, kriptokokosis, tularemia, bruselosis, listeriosis,
penyakit virus, sifilis, sistiserkosis dan hidatidosis.
Pada pemeriksaan serologi titer imunoglobulin G (IgG) yang tinggi menunjukkan
bahwa seseorang telah pernah terinfeksi dengan parasit ini, sedangkan titer IgM yang tinggi
menunjukkan bahwa seseorang sedang terinfeksi Toxoplasma gondii. Untuk menunjang
diagnosis toksoplasmosis pemeriksaan serologi yang sering dilakukan adalah uji serologi
dengan Sabin-Feldman Dye test, Uji Fiksasi Komplemen, Tes Hemaglutinasi tak langsung
(IHA), Tes toksoplasmin, Uji netralisasi antibodi dan uji ELISA.
Untuk menetapkan diagnosis pasti toksoplasmosis harus dilakukan pemeriksan
mikroskopik histologis secara langsung atas hasil biopsi atau pungsi atau otopsi atas jaringan
organ penderita, atau pemeriksan atas jaringan berasal dari hewan coba yang dinokulasi dengan
bahan infektif. Parasit juga mungkin ditemukan pada pemeriksaan langsung atas darah
penderita, sputum, tinja, cairan serebrospinal, dan cairan amnion.
Pada pemeriksaan darah tepi terdapat gambaran limfositosis (lebih dari 33% ),
monositosis (lebih dari 7%) dan ditemukan sel mononuklir yang atipik. Pemeriksaan cairan
serebrospinal menunjukkan adanya xantokromia, protein yang meningkat dan jumlah sel juga
meningkat. Untuk menentukan adanya infeksi toksoplasmosis dari ibu ke anak (cara infeksi
kongenital) dapat dilakukan pemeriksaan biomolekuler terhadap DNA parasit yang ada di
dalam cairan amnion.

Pengobatan toksoplasmosis
Banyak penderita yang terinfeksi Toxoplasma gondii dapat sembuh dengan sendirinya
tanpa pengobatan. Pengobatan terutama diberikan pada ibu hamil yang terinfeksi di awal
kehamilan, jika terjadi chorioretinitis aktif, miokarditis, atau jika terjadi gangguan pada organ-
organ.
Penderita yang sedang menderita toksoplasmosis diobati dengan terapi antiparasit yang
diberikan dalam bentuk kombinasi Pirimetamin dengan Sulfadiasin, sebaiknya disertai
pemberian asam folat untuk mencegah terjadinya depresi sumsum tulang. Pada infeksi yang
berat pengobatan diberikan selama 2 sampai 4 minggu. Cara pemberian kombinasi obat adalah
sebagai berkut: hari pertama Pirimetamin diberikan 50 mg per oral diikuti 6 jam kemudian,
25 mg ditambah Sulfadiasin 2 gram. Pada hari ke-2 sampai dengan hari ke-14: Pirimetamin
25 mg /hari ditambah sulfadiasin 4x 1 gram/hari.

Toksoplasmosis dapat diobati dengan Spiramisin sebagai obat tunggal dengan dosis 2-
4 gram per hari selama 3 sampai 4 minggu. Penderita toksoplasmosis mata sebaiknya diberi
tambahan obat klindamisin dan prednisolon untuk mencegah kerusakan saraf mata dan
gangguan pada makula. Selain itu vitamin B kompleks dan asam folat diberikan sebagai obat
penunjang. Penderita dengan gangguan sistem imun, misalnya AIDS memerlukan pengobatan
yang terus menerus selama masih mengalami gangguan sistem imun.
Pada perempuan hamil spiramisin diberikan untuk mencegah terjadinya infeksi melalui
plasenta. Jika pada pemeriksaan USG (ultrasonography) terdapat dugaan telah terjadi infeksi
pada bayi maka diberikan pirimetamin dan sulfadiazin. Pirimetamin tidak boleh diberikan pada
16 minggu pertama kehamilan karena bersifat teratogenik, sehingga hanya diberikan
sulfadiazin sebagai obat tunggal. Bayi yang dilahirkan oleh ibu penderita toksoplasmosis
primer atau ibu yang menderita HIV positif, diberi pengobatan pirimetamin-sulfadiazin-asam
folat selama tahun pertama sampai terbukti bayi tidak menderita toksoplasmosis kongenital.

Prognosis
Toksoplasmosis yang terjadi pada anak atau orang dewasa, prognosis penyakitnya
tergantung pada jenis dan beratnya kerusakan organ yang terserang. Pada orang dewasa
toksoplasmosis umumnya tidak menunjukkan gejala (asimtomatik). Pada bayi yang menderita
toksoplasmosis akut umumnya fatal akibatnya, meskipun ibu tidak menunjukkan gejala. Anak
yang menderita infeksi toksoplasmosis prenatal, meskipun jarang menimbulkan kematian akan
mengalami cacat yang permanen sifatnya.

Pencegahan toksoplasmosis
Untuk mencegah infeksi toksoplasmosis makanan dan minuman harus dimasak dengan
baik. Selain itu harus dicegah terjadinya kontak langsung dengan daging atau jaringan organ
hewan yang sedang diproses, misalnya di tempat pemotongan hewan (abbatoir) dan di tempat
penjualan daging. Selain mengobati penderita (baik manusia naupun hewan) dengan baik,
lingkungan hidup harus dijaga kebersihannya, terutama harus bebas dari tinja kucing atau tinja
hewan lainnya.
Toksoplasmosis kongenital dapat dicegah dengan melakukan pemeriksaan pada ibu
hamil. Jika ibu haml belum diketahui apakah ia mempunyai antibodi terhadap Toxoplasma
gondii dianjurkan untuk tidak mengadakan kontak dengan kucing, tidak membersihkan tempat
sampah, selalu menggunakan sarung tangan jika berkebun, dan selalu mencuci tangan sesudah
berkebun, sesudah mencuci daging mentah dan sebelum makan.

D. Kelas Flagellata (Matigophora)


DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai