Anda di halaman 1dari 10

Paper Koasistensi Laboratorium Patologi

Penyakit Pada Mamalia


DIOCTOPHYMATOSIS PADA ANJING

PEGGY THESYA M J
(1902101020076)
PPDH GELOMBANG 17
KELOMPOK 10

PROGRAM PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
2020
“DIOCTOPHYMATOSIS”

Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu wilayah yang sangat kaya akan kasus
penyakit parasit, baik pada manusia maupun hewan. Penyakit-penyakit yang
disebabkan oleh parasit disebut sebagai penyakit parasitik. Sebagian besar
penyakit parasitik bersifat zoonotik, artinya penyakit-peyakit tersebut dapat
ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya. Hingga saat ini penyakit
parasitik pada hewan atau manusia termasuk dalam golongan penyakit yang
cenderung diabaikan atau setidak-tidaknya kurang diperhatikan, bukan saja oleh
masyarakat awam, tetapi juga tenaga kesehatan (Sardjono, 2020).
Dioctophyma renale adalah nematoda terbesar yang menginfeksi
mamalia domestik dan bersifat sebagai agen penyebab penyakit ginjal yang serius
yang disebut dioctophymatosis. Host defenitif cacing ini adalah karnivora
sedangkan host intermediet adalah cacing tanah dan memiliki siklus hidup tidak
langsung. Patogenesis dioctophymatosis terutama terkait dengan tingkat atrofi
ginjal yang disebabkan oleh parasit, risiko infestasi ginjal bilateral dan lokasi dari
parasit (kasus ekstrarenal) (Angelou et al., 2020).
Dioctophyma renale
Dioctophyma renale adalah parasit nematoda yang termasuk dalam ordo
Ascaridia dan family Dioctophymatidae (Bowman, 2014). Parasit ini memiliki
distribusi luas dan juga dikenal sebagai cacing ginjal raksasa. Cacing betina
dewasa bisa berukuran lebih dari 60 cm dan diameter 1 cm. Ini adalah nematoda
terbesar yang menginfeksi mamalia dan agen dari penyakit ginjal yang serius,
yakni dioctophymatosis (Angelou et al., 2020).

Gambar 1. Cacing nematoda Dioctophyma renale yang menyerang ginjal anjing.

Host definitif yang paling sering adalah kelompok musteloidea,


meskipun ada juga karnivora liar lainnya seperti sebagai berang-berang, martens
3

dan rakun yang mungkin terinfeksi. Pada host mamalia domestik, anjing
merupakan hewan yang paling sering terkena, tetapi juga telah dilaporkan pada
hewan domestik lainnya, seperti kucing, babi, sapi dan kuda (Bowman, 2014;
Angelou et al., 2020).

Etiologi
Dioctophyma renale merupakan golongan cacing nematoda dari kelas
Secernentea, ordo Ascaridia, family Dioctophymatidae, sub family Dioctophyme.
Dioctophyma renale memiliki masa prepaten sekitar 155 hari dan seluruh siklus
hidup dapat memakan waktu hingga dua tahun. Penularan parasit ini melibatkan
telur yang dikeluarkan bersama urin dari hewan yang terinfeksi. Telur
berkembang di dalam lingkungan akuatik dan kemudian dicerna oleh inang
perantara, Annelida oligochaete (cacing lumpur), dimana perkembangan larva
tahap pertama dan kedua terjadi. Dari tahap ini, lebih dari satu jalur transmisi
telah dilaporkan (Ferreira et al., 2010).
Jalur transmisi pertama yaitu pematangan hingga larva tahap ketiga dan
keempat dapat terjadi dalam A. oligochaete yang kemudian langsung menular ke
inang mamalia. Pada jalur transmisi kedua, A. oligochaete yang mengandung
larva tahap kedua dapat termakan oleh ikan atau katak, di mana larva berkembang
dalam jaringan menjadi larva tahap ketiga dan keempat. Pada jalur ketiga, A.
oligochaete yang terinfeksi aktif udang karang (Cambarus spp.) dapat dicerna
bersama dengan udang karang oleh ikan atau katak. Sebagai hasil dari
kemungkinan, beberapa peneliti menganggap ikan atau katak sebagai transporter
daripada host perantara sejati (Ferreira et al., 2010).
Pada semua jalur transmisi, cacing kemudian masuk ke dalam tubuh host
defenitif (mamalia). Pada inang definitif, larva D. renale menembus dinding
duodenum, memasuki rongga perut dan bermigrasi ke ginjal, dimana menjadi
tempat berkembang sampai menjadi cacing dewasa. Cacing dewasa biasanya
ditemukan di pelvis renalis dan terlihat adanya encysted di dalam rongga perut,
rahim, ovarium, kelenjar susu, uretra, jaringan subkutan dari daerah inguinalis dan
kelenjar getah bening mesenterika (Bowman, 1999; Ferreira et al., 2010).

Patogenesis
Siklus Hidup
 Melibatkan satu inang perantara [aquatic oligochaete annelid (mud
worm)], satu inang definitif (karnivora), dan satu inang paratenik (ikan
dan katak)
4

Telur dikeluarkan bersama urin, embrio di lingkungan (1-7 bulan), dan


dicerna oleh inang perantara, di mana mereka berada di rongga tubuh
(mengembangkan L1> L2)
Host perantara bisa diserap oleh host paratenik atau host definitif (L2>
L4)
Dalam inang definitif, larva yang tertelan (L3 atau L4) menembus
dinding perut dan bermigrasi ke ginjal, rongga peritoneum, atau organ
lain; larva yang matang menjadi dewasa di pelvis ginjal menghasilkan
telur yang ditumpahkan dalam urin.
 Karena siklus hidup yang panjang, nematoda terlihat pada anjing yang
berusia lebih dari 2 tahun
 Anjing dianggap sebagai inang yang tidak disengaja
60% anjing yang terinfeksi memiliki parasit dewasa hanya di rongga
peritoneum

Siklus hidup

Telur yang belum berembrio keluar bersama urin dari tubuh inang
definitif (Gambar 1) dan larva L1 berkembang di dalam telur setelah sekitar satu
bulan dalam air (Gambar 2). Setelah dimakan oleh inang perantara invertebrata
(cacing oligochaete), telur menetas di saluran pencernaan dan matang menjadi
larva L3 (Gambar 3) (biasanya 2-3 bulan pada suhu 20-30 ° C). Jika inang
perantara dimakan oleh inang paratenik, larva L3 akan menetap dalam jaringan
dan tidak berkembang lebih jauh (Gambar 4). Paling umum, inang definitif
menjadi terinfeksi setelah memakan inang paratenik dengan larva encysted L3
(Gambar 5). Mengkonsumsi inang perantara invertebrata yang terinfeksi juga
dapat menyebabkan infeksi, tetapi mungkin bukan rute infeksi utama dalam alam
(Gambar 6). Setelah tertelan oleh inang definitif, larva infektif bermigrasi melalui
dinding lambung ke hati, dan akhirnya ke ginjal (biasanya ginjal kanan). Larva
menjadi dewasa kira-kira enam bulan setelah tertelan oleh inang definitif.
Manusia juga dapat terinfeksi setelah memakan host paratenik yang kurang
matang (Gambar 7). Meskipun manusia dapat menjadi inang definitif dengan
infeksi ginjal, seringkali larva bermigrasi secara menyimpang, akhirnya menjadi
terbungkus dalam nodul subkutan dan menghentikan perkembangan lebih lanjut.
5

Gambar 2. Siklus Hidup Dioctophyma renale

Penyebaran Penyakit
Dioctophymatosis telah dilaporkan terjadi di Kanada, Amerika Serikat,
Meksiko, Brasil, Paraguay, Argentina, Prancis, Belanda, Jerman, Bulgaria,
Rumania, Italia, Polandia, bekas Uni Soviet, Iran, Afghanistan, India, Vietnam,
Thailand, Cina, dan Jepang. Penyakit ini diduga berasal dari Holarctic, menyebar
ke bagian lain dunia dengan translokasi host yang terinfeksi (terutama anjing) atau
dengan memberi makan ikan yang terinfeksi dari area enzootic untuk hewan yang
rentan (Measures, 2009).
Satu-satunya inang perantara yang diketahui adalah L. variegatus, dari
family Holarctic Lumbriculidae dan telah diperkenalkan belahan bumi selatan
(Afrika, Australia, Baru Selandia). Dioctophyme renale telah umum dilaporkan
pada hewan (terutama anjing) dari Amerika Selatan; namun demikian melaporkan
tidak adanya lumbriculid di Amerika Selatan. Hal ini dapat mengindikasikan
bahwa Oligochaetes lain dapat berfungsi sebagai inang perantara (Measures,
2009).
6

Gejala Klinis
Hewan (anjing) yang terserang penyakit dioctophymatosis menunjukkan
gejala klinis berupa hewan menjadi gelisah tidak lama setelah larva infektif
termakan, muntah hebat terjadi dalam 30 menit pasca infeksi dan berlangsung
hingga satu jam, hal ini kemungkinan terjadi karena larva menyerang dinding
lambung (Measures, 2009).
Tanda-tanda dan gejala klinis mungkin tidak jelas, tetapi kemungkinan
dapat terjadi hematuria, piuria, kelemahan, poliuria, anoreksia, kejang, anemia,
asites, kolik pada ginjal dan perut, penurunan berat badan, iritabilitas, polydipsia,
depresi, miksi, proteinuria dan uremia (Measures, 2009).

Perubahan Patologi
Untuk mendiagnosa penyakit ini dapat dilakukan dengan melihat
perubahan patologi setelah melakukan nekropsi. Nekropsi pada hewan dapat
dianalogikan dengan otopsi manusia. Pada intinya, nekropsi atau pemeriksaan
post-mortem merupakan pemeriksaan sistematis bangkai hewan untuk mencari
perubahan anatomi yang abnormal (lesi) di luar jaringan (Moreland, 2009).
Pada pemeriksaan post-mortem, permukaan serural pleura dan perut
tampak normal. Di rongga dada, paru-paru tampak normal, namun jantung
umumnya membesar. Pada pemeriksaan rongga perut, semua organ-organ visceral
tampak normal. Ginjal kiri tampak normal, namun ginjal kanan membesar, terlihat
seperti kistik dan lunak apabila dipalpasi. Apabila ginjal diperiksa (dibuka), dapat
ditemukan cacing D. renale, Seluruh struktur ginjal hancur dan kapsul luar
mengalami penipisan (Angelou, 2020).

Adult Dioctophyma renale

Kedua jenis kelamin dari Dioctophyma renale berukuran besar (betina dengan
panjang 20—100 cm, lebar 4—12 mm; jantan panjang 14—45 cm, lebar 4—6
mm), dengan ciri-ciri berwarna merah cerah, nematoda yang kuat pada tahap
dewasa. Jantan memiliki bursa berbentuk lonceng dengan spikula tunggal. Ginjal
yang terinfeksi D. renale seringkali direduksi menjadi kapsul berongga yang
dikelilingi oleh cacing dewasa.
7

Gambar 3. Satu Dioctophyma renale berjenis kelamin betina (kiri0 dan dua
jantan (kanan) didapatkan dari ginjal anjing yang terinfeksi.

Gambar 4. Patologi makroskopis ginjal anjing German Shepherd yang terinfeksi


Dioctophyma renale.

Gambar 5. Dioctophyma renale di dalam ginjal kanan, tidak ada parenkim ginjal.
8

Gambar 6. Ginjal yang berisi Dioctophyma renale. Pada ginjal yang terinfeksi,
parenkim dihancurkan oleh cacing dewasa

Cacing ini hanya menyerang satu ginjal dan ginjal kanan (dexter) lebih
sering terserang daripada ginjal kiri, karena letak anatomisnya kedekatan dengan
duodenum. Hewan yang terkena menunjukkan atrofi parenkim ginjal, pelebaran
pelvis renalis dan obstruksi ureter, tetapi lesi utama adalah kerusakan progresif
parenkim ginjal yang hanya menyisakan kapsul tipis berisi cacing dan eksudat
hemoragik di dalamnya (Ferreira et al., 2010).

Perubahan Histopatologi
Menurut Uzal et al. 2016, bahwasannya perubahan patologi yang terjadi yaitu:
destruksi parenkim ginjal, periglomerular dan fibrosis interstitial dan kehilangan
tubular , hemoraghic dan purulenta pyelitis; obstruksi urethral dengan
hydronephrosis.

Gambar 7. Telur Dioctophyma renale pada ginjal mink (cerpelai), diwarnai


dengan pewarnaan H&E.
9

Gambar 8. Histopatologis Dioctophyma renale pada ginjal. Penebalan pada


kapsul ginjal tampak (A), dengan proliferasi jaringan ikat fibrosa (B).

A B

Gambar 9. Kapsul ginjal menebal secara tidak teratur oleh kumpulan kolagen (A)
yang padat dan inflamasi multifokal

Diagnosa
Telur cacing terlihat pada spesimen sitologi urin atau cairan peritoneal
yang paling sering untuk mendeteksi adanya telur Dioctophyma renale
(Nakagawa et al., 2007) dan enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) untuk
mendeteksi dari anti- Dioctophyma renale antibodi (Pedrassani et al., 2015).

Differensial Diagnosa
Penyakit Gejala yang sama
Toxocara canis respon granulomatosa awal yang
mengelilingi larva yang diikuti focal
fibrious scar pada permukaan ginjal
atau korteks (Uzal et al., 2016)
Pearsonema (Capillaria plica) nematoda ditemukan di pelvis ginjal,
ureter dan kandung kemih pada
10

karnivora yang menyebabkan


peradangan kecil (Uzal et al., 2016)

Pengendalian dan Pengobatan

Dalam upaya pengendalian penyakit dioctophymatosis, satu-satunya cara


yang mungkin dilakukan adalah untuk menghindari hewan (anjing) mengonsumsi
ikan mentah dan katak, terutama di daerah yang dikenal sebagai enzootic untuk
D. renale (Measures, 2009).
Pengobatan biasanya dimulai ketika muncul tanda-tanda klinis yang
menunjukkan infeksi ginjal. Beberapa obat dapat membantu meringankan rasa
sakit atau memfasilitasi pengusiran cacing dari ginjal. Namun, karena kelangkaan
penyakit ini, nephrectomy merupakan cara yang sering dilakukan pada anjing
yang terinfeksi. Sedangkan untuk manusia, operasi pengangkatan cacing adalah
satu-satunya pengobatan yang direkomendasikan saat ini (Measures, 2009).

DAFTAR PUSTAKA

Angelou, A., Tsakou, K., Mpranditsa, K., Sioutas, G., Moores, A., Papadopoulos, E.
(2020). Case Report Giant kidney worm: novel report of Dioctophyma renale in
the kidney of a dog in Greece. Helminthologia, 57(1): 43 – 48.
Bowman, D. W. (2014). Georgis Parasitology for Veterinarians. 10th Edition. Missuri,
USA.
Ferreira, V.L., Medeiros, F.P., July, J.R. and Raso, T.F. (2010). Dioctophyma renale in a
dog: Clinical diagnosis and surgical treatment. Veterinary Parasitology,
168(2010): 151–155.
Measures, L.N. (2009). Dioctophymatosis In Parasitic Diseases of Wild Mammals. Iowa
State University Press, USA.
Moreland, R.E. (2009). Color Atlas of Small Animal Necropsy. Remsoft Publishing,
Brunswick.
Nakagawa, T.L., Bracarense, A.P., dos Reis, A.C., Yamamura, M.H., Headley S.A. 2007.
Giant kidney worm Dioctophyma renale infections in dogs from Northern
Parana, Brazil. Vet Parasitol. 145 :366–370.
Pedrassani, D., do Nascimento, A.A., Andre, M.R., Machado, R.Z. 2015. Improvement of
an enzyme immunosorbent assay for detecting antibodies against Dioctophyma
renale. Vet Parasitol. 212: 435–438.
Sardjono, T.W. (2020). Helmintologi: Kedokteran dan Veteriner. UB Press, Malang.
Uzal, F.A., Plattner, B.L., Hostetter, J.M. (2016). Alimentary System. In: Maxie M.G, ed.
Jubb, Kennedy, and Palmer’s Pathology of Domestic Animals. Vol 2. 6th ed.
Philadelphia, PA: Elsevier Saunders.

Anda mungkin juga menyukai