Anda di halaman 1dari 15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kambing Kacang

Kambing kacang merupakan salah satu jenis ternak ruminansia kecil

yang sangat populer di Indonesia. Kambing kacang mempunyai keunggulan yaitu

sangat cepat berkembang biak, cocok sebagai penghasil daging, serta mampu

beradaptasi dengan baik di berbagai lingkungan (Suhardono et al., 2002).

Klasifikasi ilmiah Kambing menurut Sarwono (2007) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mammalia
Ordo : Artiodactyla
Famili : Bovidae
Upafamili : Caprinae
Genus : Capra
Spesies : C. aegagrus
Sub spesies : C. a. hircus

2.2 Parasit Gastrointestinal

Infestasi cacing saluran gastrointestinal merupakan penyakit parasitik

yang sering terjadi pada kambing dan domba. Hal ini disebabkan karena

kebiasaan ternak merumput, sumber air minum yang kotor dan sanitasi kandang

yang kurang baik. Kerugian yang ditimbulkan akibat infestasi cacing saluran

pencernaan adalah penurunan performa produksi dan reproduksi, anemia hingga

kematian pada infestasi parasit cacing yang berat (Hassan et al., 2011 dan Ayaz et

al., 2013). Di samping itu, infestasi parasit cacing akan menimbulkan lemahnya

4
kekebalan tubuh, sehingga ternak lebih rentan terhadap infeksi penyakit patogen

lain dan akhirnya menyebabkan kerugian ekonomi (Garedaghi et al., 2011).

2.2.1 Klasifikasi dan Morfologi Cacing Strogyle sp.

Taksonomi dan klasifikasi cacing nematoda menurut Soulsby (1982)

Kingdom : Animalia
Filum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Ordo : Strongylida
Super Famili : Trichostrongylidae
Famili : Trichostrongylidae
Genus : Trichostrongylus
Cooperia
Nematodirus
Haemonchus
Mecistocirrus
Oesophagostomum
Bunostomum

Cacing nematoda umumnya berukuran kecil. Individu betina berukuran

lebih besar dibanding individu jantan. Organ reproduksi jantan dan betina

terpisah. Tubuh berbentuk bulat panjang atau seperti benang dengan ujung-ujung

yang meruncing, tubuhnya tidak beruas. Nematoda berbentuk bulat pada potongan

melintang, tidak bersegmen dan ditutupi oleh kutikula yang disekresi oleh lapisan

sel langsung dibawahnya untuk melindungi diri dari enzim pencernaan inang.

Cacing nematoda mempunyai saluran usus dan rongga badan. Rongga

badan cacing nematoda dilapisi dengan selaput seluler yang disebut pseudosel

atau pseudoseloma. Cacing nematoda memiliki sistem pencernaan yang lengkap

terdiri dari mulut, faring, usus, dan anus. Mulut terdapat pada ujung anterior,

5
sedangkan anus terdapat pada ujung posterior. Beberapa memiliki kait pada

mulutnya. Cacing ini tidak memiliki pembuluh darah. Makanan diedarkan ke

seluruh tubuh melalui cairan pada pseudoselom. Cacing nematoda tidak memiliki

sistem respirasi, pernapasan dilakukan secara difusi melalui permukaan tubuh

(Harminda, 2011). Gambar 1 menunjukan struktur tubuh cacing nematoda dewasa

dan Gambar 2 menunjukkan telur cacing tipe strongyl.

Gambar 1. Struktur tubuh cacing nematoda dewasa


(Sumber: Jeffry dan Leach, 1983)

Gambar 2. Telur tipe strongyle sp.


(Sumber: Zajac dan Conboy, 2012).

6
Telur nematoda memiliki kulit yang tersusun dari kapsul kitin yang

transparan. Bagian luar telur terdapat permukaan eksternal yang terdiri dari

lapisan protein yang halus, bagian dalam telur terdapat lapisan lipid atau lapisan

lemak internal (membrane vitelline) yang tipis dan terdapat cairan yang mengisi

ruang yang memisahkan kapsul dan embrio di dalam telur (Georgi, 1969).

2.2.2 Siklus Hidup Nematoda

Nematoda dewasa hidup di dalam saluran gastrointestinal inang definitif.

Telur yang dihasilkan oleh cacing betina dewasa keluar bersama feses. Telur

berembrio akan menetas di luar tubuh inang menjadi stadium larva 1 (L1) yang

berkembang menjadi larva 2 (L2). Selanjutnya L2 menjadi larva 3 (L3) namun

kutikulanya tidak dilepas sehingga L3 memiliki kutikula rangkap. Selanjutnya L3

disebut sebagai stadium larva infektif. Waktu yang dibutuhkan untuk

perkembangan telur menjadi larva infektif tergantung pada kondisi lingkungan.

Perkembangan larva nematoda gastrointestinal ke fase tiga atau larva infektif

dapat terjadi secara cepat selama 7 sampai 14 hari. Ketika larva sudah mencapai

fase larva infektif, larva tersebut dapat bertahan hidup selama berbulan-bulan

hingga pergantian musim. Setelah menginfeksi kambing, kebanyakan nematoda

parasit berkembang menjadi dewasa selama 2 sampai 4 minggu. Kerusakan besar

yang ditimbulkan di abomasum dan saluran usus terjadi selama periode

perkembangan larva ke tahap dewasa. Total siklus hidup dari telur menuju telur

kembali membutuhkan waktu sekitar 6 sampai 8 minggu yaitu 2 sampai 3 minggu

di lingkungan dan 2 sampai 5 minggu di dalam tubuh hewan (Wiliams dan

7
Loyacano, 2001). Gambar 3 menunjukkan siklus hidup cacing nematoda

gastrointestinal.

Gambar 3. Siklus hidup nematoda gastrointestinal


(Sumber: Whittier et al., 2003)

Ruminansia terinfeksi nematoda setelah menelan L3. L3 yang tertelan

mengalami pelepasan kutikula di dalam abomasum atau usus halus kemudian

melakukan penetrasi ke dalam membran mukosa abomasum atau masuk ke dalam

kelenjar lambung dan berkembang menjadi L4 selama sepuluh hingga empat belas

hari. Selanjutnya L4 berkembang menjadi L5 sebagai cacing muda. Sebagian

besar trichostrongylid mulai memproduksi telur sekitar tiga minggu setelah

infeksi (Soulsby, 1982; Levine, 1990; Kusumamiharja, 1995).

2.2.3 Nematodiasis

Nematodiasis adalah penyakit akibat infeksi cacing nematoda dalam

tubuh. Cacing nematoda di dalam saluran pencernaan akan menghisap sari

makanan, darah, cairan tubuh dan memakan jaringan tubuh. Dalam jumlah cacing

8
nematoda banyak dapat menyebabkan sumbatan usus dan menyebabkan

terjadinya berbagai macam reaksi tubuh akibat toksin yang dihasilkan (Beriajaya

dan Priyanto, 2004). Terdapat sekitar 10.000 jenis nematoda yang hidup di segala

jenis habitat mulai dari tanah, air tawar, air asin, tanaman, hewan dan manusia

(Kennedy, 2004). Cacing nematoda umumnya berada pada daerah yang memiliki

kelembaban tinggi dikarenakan cocok untuk menetasnya telur dan larva infektif

bertahan hidup. Kadarsih dan Siwitri (2004) menjelaskan bahwa dataran rendah

memiliki derajat infestasi parasit lebih rendah dari dataran tinggi.

Cacing nematoda gastrointestinal yang banyak menginfeksi ruminansia

adalah Trichostrongylus spp, Strongyloides, Haemonchus spp, Nematodirus dan

Cooperia spp (Preston et al., 2014). Cacing strongly yang ditemukan pada

kambing menurut Zajac dan Conboy (2012) yaitu genus Haemonchus,

Trichostrongylus, Oesophagostomum, Bunostomum, Cooperia, dan Mecistocirrus.

Laut et al. (2019) melaporkan bahwa nematoda yang menginfeksi kambing di

Kota Kupang pada musim kemarau adalah golongan strongil, Strongyliodes, dan

Trichuris. Prevalensi infeksi strongil sebesar 33,33%, strongyloidosis sebesar

63,33% dan trichurosis sebesar 30,00%, hal ini disebabkan oleh faktor musim. Di

musim kering, larva cacing strongil banyak yang mati di lingkungan karena

terpapar cuaca panas dan kekeringan. Sedangkan cacing Trichuris menginfeksi

dengan telur infektif sehingga larva terlindungi oleh kerabang telur dan dapat

bertahan lama. Keterbatasan hijauan selama musim kering menyebabkan kambing

mulai makan sisa tumbuhan yang dekat dengan permukaan tanah, sehingga

9
memperbesar peluang terinfeksi Trichuris dan Strongyloides yang termasuk soil

transmitted helminth (Pfukenyi dan Mukaratirwa 2013 dalam Laut et al., 2019).

2.2.4 Patogenesis Nematodiasis

Patogenesis nematodiasis adalah ingesti rumput dan air minum yang

terkontaminasi larva cacing. Di dalam tubuh host, larva berkembang menjadi

cacing dewasa dan akan bermigrasi menuju organ yang sesuai untuk

berkembangbiak. Cacing dewasa dalam usus akan berkembang dengan menyerap

sari makanan dari host. Cacing nematoda juga menghisap darah atau cairan tubuh

dan bahkan memakan jaringan tubuh (Setiawan, 2008).

2.2.5 Gejala Klinis Nematodiasis

Ternak yang disinfestasi nematoda biasanya menunjukkan gejala klinis

seperti penurunan berat badan, bulu rontok dan kusam, tubuh lemah, dan diare

dikarenakan mukosa usus halus dan lambung tempat cacing menghisap darah

mengalami iritasi dan nekrosis, sehingga mengakibatkan gangguan penyerapan

nutrisi dan pencernaan pada kambing (Setiawan, 2008).

2.2.6 Diagnosa Nematodiasis

Diagnosa nematodiasis berdasarkan pengamatan gejala klinis dan

pemeriksaan laboratorium (mikroskopis) untuk mengidentifikasi telur cacing.

Pemeriksaan telur cacing dilakukan dengan metode natif, metode apung dan

metode sedimen. Jika hewan mati, pemeriksaan post-mortem dapat menentukan

spesies cacing dan derajat infeksinya (Kamaruddin, 2003). Pemeriksaan

10
histopatologi dan patologianatomi juga dapat dilakukan untuk mendiagnosa

nematodiasis.

2.2.7 Pencegahan dan Penanggulangan Nematodiasis

Faktor manajemen pemeliharaan yang harus diperhatikan dalam usaha

penanggulangan penyakit cacing nematoda pada ternak kambing adalah sanitasi

kandang (Wafiatiningsih dan Bariroh, 2008), sistem pemberian pakan, cara

penggembalaan, dan pemberian obat cacing (Astiti et al., 2011). Pemeriksaan

feses secara rutin diperlukan untuk mengidentifikasi adanya parasit

gastrointestinal pada ternak, terutama jenis dan derajat infeksinya. Dengan

mengetahui jenis cacing yang menginfeksi maka dapat dilakukan pengobatan

dengan jenis obat cacing yang tepat, sehingga pengobatannya menjadi lebih

efektif (Imbang, 2007).

2.3 Antihelmintik

Antihelmintik atau obat cacing adalah obat yang digunakan untuk

mengurangi atau menghilangkan cacing dalam lumen usus dan jaringan tubuh

hewan atau manusia. Obat cacing komersial sudah digunakan sejak lama di

berbagai negara untuk mengurangi kerugian yang disebabkan oleh infeksi cacing,

namun keampuhan beberapa obat ini cenderung berkurang aktivitasnya untuk

membasmi cacing. Cacing yang sering terpapar oleh obat cacing akan menjadi

resisten. Sebagian besar obat cacing efektif terhadap satu jenis cacing, sehingga

diperlukan diagnosis yang tepat sebelum menggunakan obat tertentu (Syarif dan

Elysabeth, 2007). Tabel 1 dibawah menunjukkan golongan obat cacing yang

11
digunakan pada kambing dan domba, sedangkan Tabel 2 menunjukkan cara kerja

golongan obat cacing berspektrum luas.

Tabel 1. Golongan Obat Cacing Untuk Nematoda Saluran Pencernaan pada


Domba dan Kambing.
Golongan Kimia Bahan Aktif Taerget Dosisi
Benzimidazole Albendazole Semua jenis 5 mg/kg (7,5
nematoda mg/kg untuk
stadium larva dan cacing hati)
dewasa, cacing
hati, cacing pita.
Campendazole Semua jenis 20mg/kg
nematoda dan
cacing pita
Oxfendazole Semua jenis
nematoda dan 5 mg/kg
cacing pita
Fenbendazole Semua jenis
nematoda dan 5 mg/kg
sebagian cacing
pita
Thiabendazole Semua jenis 50-75 mg/kg
nematoda
stadium larva dan
dewasa
Mebendazole Semua jenis 10-15 mg/kg
nematoda
stadium larva,
cacing pita,
dewasa
Oxibendazole Semua jenis 5 mg/kg
nematoda saluran
pencernaan,
cacing paru
Parbendazole Sebagian besar 20-30 mg/kg
nematoda saluran
pencernaan dan
cacing paru

Probendazole Febantel Semua jenis 5 mg/kg


nematoda saluran
pencernaan

12
Thiopanate Semua jenis 50 mg/kg
nematoda saluran
pencernaan
Netobimine Semua jenis 7,5 mg/kg (20
nematoda saluran mg/kg untuk
pencernaan, menghambat
cacing hati, larva,cacing hati
cacing pita dan cacing pita)
Imidazothiazole Levamisole Semua jenis 7,5 mg/kg
nematoda saluran
pencernaan dan
cacing paru
Morantel Semua jenis 10 mg/kg
nematoda saluran
pencernaan
Makrosiklik Ivermectin Semua jenis 0,2 mg/kg
lakton nematoda dan
ektoparasit
(Sumber: Brander et al., 1991 dalam Beriajaya et al., 2002)

Tabel 2. Cara Kerja Obat Cacing

13
Gologan kimia Obat ( Zat Aktif) Cara Kerja
Benzimidazole Albendazole Disrupsi dari
Oxfendazole mikrotubulus
Fenbendazole
Thiabendazole
Probendazole Febantel Disrupsi dari
Netobimine mikrotubulus
Imidazothiazole Levamizole (LEV) Agonis reseptor
Tetramizole nicotinic
acetylcholine
Tetrahydrophyrimidines Morantel Agonis reseptor
Pyrantel nicotinic
acetylcholine
Makrosiklik lakton (MLs) Ivermectine Agonis
Glutamate- gatted
Doramectine
chloride channel
Eprinomectine
Abamectine
Milbemycines Milbemycine Agonis
Moxidectine Glutamate- gatted
chloride channel

(Sumber: Modifikasi dari Gilleard, 2006)

Di Indonesia dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, obat cacing

untuk ternak ruminansia yang paling banyak digunakan adalah dari golongan

benzimidazole (BZ) karena mudah didapat dan efektivitasnya baik (Astiti et al.,

2011).

2.3.1 Albendazole

Albendazole (Methyl 5-propylthio-1 H-benzimidazole-2-YL carbamate)

adalah obat cacing derivat BZ. Albendazole merupakan obat cacing berspektrum

luas yaitu memiliki daya bunuh pada berbagai jenis cacing nematoda

gastrointestinal seperti: Ostertagia ostertagi, Cooperia spp., Haemonchus spp.,

14
Trichostrongylus spp., Nematodirus spp., Oesophagostomum spp., Bunostomum

spp., Strongyloides spp., cestoda gastrointestinal: Moniezia spp., dan Taenia

saginata, Trematoda hati: Fasciola hepatica, Fascioloides magna, dan cacing

paru: Dictyocaulus viviparus.

Albendazole digunakan untuk kontrol endoparasit pada kambing,

domba, babi, anjing, kucing, dan mamalia lainnya (Katzung, 2004). Pada

pemberian peroral obat ini diserap oleh usus dan cepat dimetabolisme menjadi

albendazole sulfoksida dan sebagian besar diekskresi melalui urin dan feses.

Waktu paruh albendazole 8 sampai 9 jam, sebagian besar metabolit terikat dengan

protein dan didistribusi ke jaringan. Efek samping dari albendazole adalah nyeri

epigastrium, diare dan muntah. Penggunaan jangka panjang menyebabkan rasa

sakit gastrointestinal, sempoyongan, demam, alopesia, leukopenia dan

trombositopenia (Syarif dan Elysabeth, 2007).

Albendazole bekerja dengan mengikat tubulin dan menghambat

pembentukan mikrotubulin pada sel nematoda. Hal ini berakibat hilangnya fungsi

serap usus parasit dan menurunkan pemasukan glukosa yang berakibat sel parasit

mengalami autolisis. Albendazole juga menghambat sekresi asetikolinesterase dan

beberapa enzim aktivasi lainnya sehingga menyebabkan kerusakan sel dan

jaringan pada parasit (Riviere dan Papich, 2018). Obat ini juga memiliki efek

larvisidal (membunuh larva) pada penyakit hydatidosis, cysticercosis, ascariasis,

dan infeksi cacing tambang serta efek ovisidal (membunuh telur) pada ascariasis,

ancylostomiasis, dan trichuriasis (Plumb, 2002).

15
2.4 Resistensi Antihelmintik

Pengobatan dan pengendalian cacing nematoda gastrointestinal di usaha

peternakan saat ini hampir seluruhnya tergantung pada penggunaan obat cacing.

Penggunaan obat cacing secara terus menerus dengan dosis yang kurang tepat

dapat mengakibatkan timbulnya seleksi dalam populasi cacing yang resisten

terhadap obat cacing golongan tertentu. Resistensi ditandai jika obat cacing yang

digunakan tidak 100% efektif, artinya obat cacing tersebut tidak dapat membunuh

semua jenis cacing yang ada. Bila efikasi berkisar antara 90 sampai 100% maka

obat cacing tersebut masih dapat digunakan, tetapi bila efikasi mencapai <80%

maka obat cacing harus segera diganti dengan golongan yang berbeda, sedangkan

bila efikasi antara 80 % sampai 90% obat cacing harus digunakan dengan hati-

hati, artinya strain cacing yang sudah resisten tidak boleh menyebar ketempat lain

dan kemungkinan dosis obat cacing harus ditingkatkan atau mengurangi

pemakaian obat cacing (Maroto et al., 2011 dalam Yanuartono et al., 2019).

Cacing yang resisten terhadap golongan BZ sudah sering dilaporkan

sebagai akibat dari pemakaian obat secara berulang-ulang (Garg et al., 2007).

Kasus resistensi cacing terhadap obat cacing golongan BZ pada mulanya

ditemukan pada domba-domba di Inggris tahun 1983. Obat cacing dari golongan

levamizole (Lev) dan makrosiklik lakton (MLs) juga banyak digunakan karena

perkembangan dan kebutuhan manajemen kesehatan ternak. Resistensi terhadap

obat cacing golongan BZ, Lev, MLs telah terjadi hampir di seluruh dunia dan

prevalensinya terus meningkat setiap tahun. Di negara maju seperti Australia,

16
80% peternakan domba dinyatakan telah resisten terhadap BZ dan Lev (Waller et

al., 1995). Menurut Borgsteede et al. (1996) kejadian resistensi terhadap obat

cacing kemungkinan besar merupakan hasil adaptasi cacing yang resisten pada

pengobatan ternak, masuknya hewan dari peternakan yang membawa cacing

resisten, atau sebab lain seperti kontaminasi partikel feses yang mengandung

cacing yang resisten pada sepatu dan kendaraan.

2.5 Metode Deteksi Resistensi Antihelmintik

Deteksi resistensi terhadap obat cacing bertujuan untuk mengetahui

efektifitas penggunaan obat cacing pada ternak. Faktor yang dicurigai

mengakibatkan resistensi yaitu penggunanaan obat cacing yang sama dalam

jangka panjang dan rotasi penggunaan obat cacing yang tidak tepat dalam suatu

peternakan. Diagnosa adanya resistensi terhadap obat cacing perlu dilakukan

untuk keberhasilan program penanggulangan infeksi cacing (Beriajaya et al.,

2002).

2.5.1 Fecal Egg Count Reduction Test (FECRT)

Fecal Egg Count Reduction Test merupakan uji in vivo untuk

mengetahui adanya resistensi nematoda terhadap obat cacing golongan tertentu.

Uji ini dapat dilakukan untuk semua golongan obat cacing terhadap semua jenis

nematoda pada ternak ruminansia, kuda dan babi. Uji ini memberikan estimasi

efektivitas obat cacing dengan membandingkan jumlah telur cacing per gram

feses sebelum dan sesudah pengobatan dimana interval waktu yang diperlukan

tergantung pada golongan obat cacing yang digunakan (Coles et al., 2006).

17
Pemeriksaan jumlah telur cacing dilakukan sebelum pemberian obat

cacing dan 10 hari setelah pemberian obat cacing. Bila jumlah telur cacing setelah

10 hari pemberian obat cacing masih cukup banyak maka obat cacing yang

digunakan sudah tidak efektif atau sudah terjadi resistensi terhadap obat cacing.

Uji ini mudah dilakukan dan dapat diaplikasikan di laboratorium dan terhadap

semua golongan obat cacing serta semua jenis cacing nematoda yang telurnya

akan keluar bersama feses (Haryuningtyas dan Beriajaya, 2002).

18

Anda mungkin juga menyukai