PENDAHULUAN
kambing kacang adalah sangat cepat berkembang biak, cocok sebagai penghasil
daging dan sumber protein, serta mampu beradaptasi dengan baik (Pamungkas et
al., 2009). Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki potensi untuk pengembangan
ternak kambing kacang karena memiliki padang pengembalaan yang cukup luas.
Populasi ternak kambing di Kota Kupang pada tahun 2017 adalah 6.626 ekor
(BPS Kota Kupang, 2018), sedangkan di Kabupaten Kupang adalah 137.152 ekor
kambing (Subronto dan Tjahayati, 2001). Iklim tropis dan kelembaban yang tinggi
selain itu dapat merugikan peternak karena menurunnya tingkat produksi sehingga
penghasilan peternak berkurang (Nofyan et al., 2010 dan Akhira et al., 2013).
Cooperia spp (Preston et al., 2014 dan Belina et al., 2017). Obat cacing spektrum
1
gastrointestinal yang akhirnya menimbulkan resistensi cacing terhadap obat
nematoda sehingga fungsi serap dari usus cacing hilang dan pemasukan glukosa
Papich, 2018).
Obat cacing yang digunakan terus menerus dan tidak tepat oleh peternak
cacing sudah tidak efektif lagi dalam membunuh cacing. Resistensi golongan
Benzimidazole dilaporkan di India pada tahun 2017 (Singh et al., 2017). Kasus
Haryuningtias (2002) pada peternakan domba dan kambing di Jawa Barat dan
Jawa Tengah. Data mengenai resistensi obat cacing pada kambing kacang di Nusa
Tenggara Timur belum ada, sehingga hal ini yang melatarbelakangi perlunya
2
1.2 Rumusan Masalah
dalam penelitian ini adalah apakah terdapat resistensi larva Strongyle sp. terhadap
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeteksi resistensi larva Strongyle
sp. Terhadap obat cacing albedazole pada kambing kacang (Capra hircus) di
farmakologi.
peternak mengenai obat cacing yang lebih efektif jika ditemukan resistensi.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
sangat cepat berkembang biak, cocok sebagai penghasil daging, serta mampu
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mammalia
Ordo : Artiodactyla
Famili : Bovidae
Upafamili : Caprinae
Genus : Capra
Spesies : C. aegagrus
Sub spesies : C. a. hircus
yang sering terjadi pada kambing dan domba. Hal ini disebabkan oleh kebiasaan
ternak merumput, sumber air minum yang kotor dan sanitasi kandang yang kurang
pada infestasi parasit cacing yang berat (Hassan et al., 2011 dan Ayaz et al.,
4
kekebalan tubuh, sehingga ternak lebih rentan terhadap infeksi penyakit lain dan
Kingdom : Animalia
Filum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Ordo : Strongylida
Super Famili : Trichostrongylidae
Famili : Trichostrongylidae
Genus : Trichostrongylus
Cooperia
Nematodirus
Haemonchus
Mecistocirrus
Oesophagostomum
Bunostomum
lebih besar dibanding individu jantan. Organ reproduksi jantan dan betina
terpisah. Tubuh berbentuk bulat panjang atau seperti benang dengan ujung-ujung
yang meruncing, tubuhnya tidak beruas, ditutupi oleh kutikula yang disekresi oleh
lapisan sel langsung dibawahnya untuk melindungi diri dari enzim pencernaan
badan cacing nematoda dilapisi dengan selaput seluler yang disebut pseudosel
terdiri dari mulut, faring, usus, dan anus. Mulut terdapat pada ujung anterior,
sedangkan anus terdapat pada ujung posterior. Beberapa memiliki kait pada
5
mulutnya. Cacing ini tidak memiliki pembuluh darah. Makanan diedarkan ke
seluruh tubuh melalui cairan pada pseudoselom. Cacing nematoda tidak memiliki
transparan. Bagian luar telur terdapat permukaan eksternal yang terdiri dari
lapisan protein yang halus, bagian dalam telur terdapat lapisan lipid atau lapisan
6
lemak internal (membrane vitelline) yang tipis dan terdapat cairan yang mengisi
ruang yang memisahkan kapsul dan embrio di dalam telur. Menurut Zajac dan
Telur yang dihasilkan oleh cacing betina dewasa keluar bersama feses. Telur
berembrio akan menetas di luar tubuh inang menjadi stadium larva 1 (L1) yang
sebagai stadium larva infektif. Waktu yang dibutuhkan untuk perkembangan telur
nematoda gastrointestinal ke fase tiga atau larva infektif dapat terjadi secara cepat
selama 7 sampai 14 hari. Ketika larva sudah mencapai fase larva infektif, larva
abomasum dan saluran usus terjadi selama periode perkembangan larva ke tahap
dewasa. Total siklus hidup dari telur menuju telur kembali membutuhkan waktu
7
Gambar 3. Siklus hidup nematoda gastrointestinal
(Sumber: Whittier et al., 2009)
kelenjar lambung dan berkembang menjadi L4 selama sepuluh hingga empat belas
2.2.3 Nematodiasis
makanan, darah, cairan tubuh dan memakan jaringan tubuh. Dalam jumlah
8
pada daerah yang memiliki kelembaban tinggi dikarenakan cocok untuk
menetasnya telur dan larva infektif bertahan hidup. Kadarsih dan Siwitri (2004)
menjelaskan bahwa dataran rendah memiliki derajat infestasi parasit lebih rendah
Cooperia spp (Preston et al., 2014). Cacing stronglye yang ditemukan pada
Kota Kupang pada musim kemarau adalah golongan Strongyle, Strongyloides, dan
63,33% dan trichurosis sebesar 30,00%, hal ini disebabkan oleh faktor musim. Di
musim kering, larva cacing strongil banyak yang mati di lingkungan karena
dengan telur infektif sehingga larva terlindungi oleh kerabang telur dan dapat
mulai makan sisa tumbuhan yang dekat dengan permukaan tanah, sehingga
transmitted helminth (Pfukenyi dan Mukaratirwa 2013 dalam Laut et al., 2019).
9
cacing dewasa dan akan bermigrasi menuju organ yang sesuai untuk
sari makanan dari host. Cacing nematoda juga menghisap darah atau cairan tubuh
seperti penurunan berat badan, bulu rontok dan kusam, tubuh lemah, dan diare
dikarenakan mukosa usus halus dan lambung tempat cacing menghisap darah
Pemeriksaan telur cacing dilakukan dengan metode natif, metode apung dan
nematodiasis.
10
parasit gastrointestinal pada ternak, terutama jenis dan derajat infeksinya. Dengan
dengan jenis obat cacing yang tepat, sehingga pengobatannya menjadi lebih
2.3 Antihelmintik
mengurangi atau menghilangkan cacing dalam lumen usus dan jaringan tubuh
hewan atau manusia. Obat cacing komersial sudah digunakan sejak lama di
berbagai negara untuk mengurangi kerugian yang disebabkan oleh infeksi cacing,
membasmi cacing. Cacing yang sering terpapar oleh obat cacing akan menjadi
resisten. Sebagian besar obat cacing efektif terhadap satu jenis cacing, sehingga
diperlukan diagnosis yang tepat sebelum menggunakan obat tertentu (Syarif dan
digunakan pada kambing dan domba, sedangkan Tabel 2 menunjukkan cara kerja
11
Fenbendazole Semua jenis
nematoda dan 5 mg/kg
sebagian cacing
pita
Thiabendazole Semua jenis 50-75 mg/kg
nematoda
stadium larva dan
dewasa
Mebendazole Semua jenis 10-15 mg/kg
nematoda
stadium larva,
cacing pita,
dewasa
Oxibendazole Semua jenis 5 mg/kg
nematoda saluran
pencernaan,
cacing paru
Parbendazole Sebagian besar 20-30 mg/kg
nematoda saluran
pencernaan dan
cacing paru
12
Tabel 2. Cara Kerja Obat Cacing
Gologan kimia Obat ( Zat Aktif) Cara Kerja
Benzimidazole Albendazole Disrupsi dari
Oxfendazole mikrotubulus
Fenbendazole
Thiabendazole
Probendazole Febantel Disrupsi dari
Netobimine mikrotubulus
Imidazothiazole Levamizole (LEV) Agonis reseptor
Tetramizole nicotinic
acetylcholine
Tetrahydrophyrimidines Morantel Agonis reseptor
Pyrantel nicotinic
acetylcholine
Makrosiklik lakton (MLs) Ivermectine Agonis
Glutamate- gatted
Doramectine
chloride channel
Eprinomectine
Abamectine
Milbemycines Milbemycine Agonis
Moxidectine Glutamate- gatted
chloride channel
untuk ternak ruminansia yang paling banyak digunakan adalah dari golongan
benzimidazole karena mudah didapat dan efektivitasnya baik (Astiti et al., 2011).
2.3.1 Albendazole
berspektrum luas yaitu memiliki daya bunuh pada berbagai jenis cacing nematoda
13
saginata, Trematoda hati: Fasciola hepatica, Fascioloides magna, dan cacing
domba, babi, anjing, kucing, dan mamalia lainnya. Pada pemberian peroral obat
ini diserap oleh usus dan cepat dimetabolisme menjadi albendazole sulfoksida dan
sebagian besar diekskresi melalui urin dan feses. Waktu paruh albendazole 8
sampai 9 jam, sebagian besar metabolit terikat dengan protein dan didistribusi ke
jaringan. Efek samping dari albendazole adalah nyeri epigastrium, diare dan
Elysabeth, 2007).
pembentukan mikrotubulin pada sel nematoda. Hal ini berakibat hilangnya fungsi
serap usus parasit dan menurunkan pemasukan glukosa yang berakibat sel parasit
jaringan pada parasit. Obat ini juga memiliki efek larvisidal (membunuh larva)
peternakan saat ini hampir seluruhnya tergantung pada penggunaan obat cacing.
14
Penggunaan obat cacing secara terus menerus dengan dosis yang kurang tepat
terhadap obat cacing golongan tertentu. Resistensi ditandai jika obat cacing yang
digunakan tidak 100% efektif, artinya obat cacing tersebut tidak dapat membunuh
semua jenis cacing yang ada. Bila efikasi berkisar antara 90 sampai 100% maka
obat cacing tersebut masih dapat digunakan, tetapi bila efikasi mencapai <80%
maka obat cacing harus segera diganti dengan golongan yang berbeda, sedangkan
bila efikasi antara 80 % sampai 90% obat cacing harus digunakan dengan hati-
hati, artinya strain cacing yang sudah resisten tidak boleh menyebar ketempat lain
pemakaian obat cacing (Maroto et al., 2011 dalam Yanuartono et al., 2019).
dilaporkan sebagai akibat dari pemakaian obat secara berulang-ulang (Garg et al.,
2007). Kasus resistensi cacing terhadap obat cacing golongan benzimidazole pada
mulanya ditemukan pada domba-domba di Inggris tahun 1983. Obat cacing dari
golongan levamizole (Lev) dan makrosiklik lakton (MLs) juga banyak digunakan
terhadap obat cacing golongan BZ, Lev, MLs telah terjadi hampir di seluruh dunia
dan prevalensinya terus meningkat setiap tahun. Di negara maju seperti Australia,
80% peternakan domba dinyatakan telah resisten terhadap BZ dan Lev. Menurut
besar merupakan hasil adaptasi cacing yang resisten pada pengobatan ternak,
masuknya hewan dari peternakan yang membawa cacing resisten, atau sebab lain
15
seperti kontaminasi partikel feses yang mengandung cacing yang resisten pada
jangka panjang dan rotasi penggunaan obat cacing yang tidak tepat dalam suatu
2002).
Uji ini dapat dilakukan untuk semua golongan obat cacing terhadap semua jenis
nematoda pada ternak ruminansia, kuda dan babi. Uji ini memberikan estimasi
efektivitas obat cacing dengan membandingkan jumlah telur cacing per gram
feses sebelum dan sesudah pengobatan dimana interval waktu yang diperlukan
tergantung pada golongan obat cacing yang digunakan (Coles et al., 2006).
cacing dan 10 hari setelah pemberian obat cacing. Bila jumlah telur cacing setelah
10 hari pemberian obat cacing masih cukup banyak maka obat cacing yang
digunakan sudah tidak efektif atau sudah terjadi resistensi terhadap obat cacing.
Uji ini mudah dilakukan dan dapat diaplikasikan di laboratorium dan terhadap
16
semua golongan obat cacing serta semua jenis cacing nematoda yang telurnya
17
BAB III
Penelitian akan dilakukan pada bulan Maret sampai dengan April 2020.
3.2 Materi
3.2.1 Alat
kamar hitung McMaster, gelas plastik, gelas piala, tabung reaksi, pipet tetes,
mortir, saringan, object glass, cover glass, sarung tangan, sarung tangan plastik,
3.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah obat cacing wormzol
hewan yang diambil fesesnya sebagai sampel. Sampel feses akan diambil pada
kambing betina dewasa yang tidak bunting dan kambing jantan dewasa.
18
Observasi lngkungan peternakan dan wawancara terstruktur berupa kuisioner juga
sampel yang akan digunakan yaitu feses kambing yang dikoleksi dari hasil
sampel feses untuk menduga prevalensi penyakit pada tingkat kepercayaan 90%
terinfeksi cacing resisten sebesar 10% dan galat dugaan yang diterima maksimal
Sampel feses segar dikoleksi secara langsung dari rektum kambing atau
segera setelah defekasi di lantai kandang. Kambing di restrain secara fisik oleh
pemilik untuk diambil feses per rektal. Feses kemudian disimpan didalam coolbox
19
Antihelmintik yang digunakan adalah Albendazol tablet (wormzol produksi
dari dosen pembimbing penelitian. Kambing yang akan digunakan sebagai sampel
yaitu kambing jantan dan betina yang tidak bunting. Sampel penelitian ini diambil
pelihara dengan cara di gembalakan dari pagi hingga sore kemudian dimasukan
dalam kandang yang umumnya berbahan kayu, beratap lontar, serta beralaskan
tanah dan sisa pakan hijauan. Sampel feses dimasukkan dalam sarung tangan
plastik dan diikat sedemikian rupa sehingga tidak mengandung udara. Sampel
dimasukkan dalam cool box untuk menjaga supaya telur tidak menetas. Sampel
feses diambil pada hari ke-0 (sebelum pengobatan), dan hari ke-14 (sesudah
pengobatan). Jumlah EPG dihitung dari feses dan dilakukan indentifikasi jenis
Uji kualitatif ditinjau dari metode apung (flotation method) yaitu metode
Uji ini dilakukan untuk mengidentifikasi jenis telur nematoda yang terdapat pada
feses kambing.
20
1. Feses yang akan diperiksa ditaruh dalam gelas plastik sebanyak 1 gram,
sampai larut.
6. Cover glass diangkat dan diletakkan di atas gelas objek dan diperiksa di
keparahan infeksi telur cacing parasit dari hasil perhitungan egg per gram (EPG)
menggunakan mortir. Jika feses keras dan kering, feses dibiarkan dalam
21
3. Suspensi dihomogenkan dan subsampel suspensi diambil dengan
kamar hitung.
telur yang terlihat dihitung pada tiap-tiap kolom. EPG dihitung dengan
rumus
EPG = 2n x 50
EPG: egg per gram (telur cacing per gram) feses (Nezar et al., 2014).
6. Jika hasil perhitungan EPG didapat lebih besar dari 150 maka dilanjutkan
(2005):
22
Menurut Coles et al. (1992), apabila terdapat 2 kriteria, yaitu reduksi
pada FEC ≤ 95 dan lower confidence limit 95 ≤ 90, maka status keefektifan
obat cacing dinyatakan resisten. Apabila hanya satu dari dua kriteria tersebut yang
deskriptif. Data tersebut kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan gambar.
23
3.6 Alur Penelitian
24
DAFTAR PUSTAKA
Ayaz MM, Raza MA, Murtaza S, and Akhtar S. 2013. Epidemiological survey of
helminths of goats in Southern Punjab. Pakistan. Trop Biomed, 30: 62-
70.
Badan Pusat Statistik Kota Kupang. 2018. Kota Kupang Dalam Angka 2017.
Kupang: BPS Kota Kupang
25
anthelmintics resistance in nematode of veterinary importance. Vet.
Parasitol, 136: 167 – 185.
Gilleard, JS. 2006. Understanding anthelmintic resistance: The need for genomics
and genetics. Int. J. Parasitol, 36:1227 – 1239.
Hassan MM, MA Hoque, SKMA Islam, SA Khan, K Roy, and Q Banu. 2011. A
prevalence of parasites in black bengal goats in chittagong, bangladesh.
Int. J. Livestock Prod, 2: 40-44.
Jeffrey HC, Leach RM. 1983. Atlas Helmintologi dan Parasitologi Kedokteran.
Jakarta: EGC
Kadarsih, dan Siwitri. 2004. Performans sapi bali berdasarkan ketinggian tempat
di daerah transmigrasi bengkulu: Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia
6(1) : 50--56
26
Kamaruddin, Mufti. 2003. Buku Ajar Parasitologi Veteriner. Fakultas Kedokteran
Hewan Universitas Syiah Kuala. Darussalam. Banda Aceh.
Levine ND. 1990. Buku Pelajaran Parasitology Veteriner. (Wardiarto, Ed. Dan
G. Ashadi, Trans). Yogyakarta: Gadjah Mada Universitas Press.
Laut MM, Novian DR, Winarso A. 2019. Prevalensi Dan Derajat Infeksi
Nematoda pada Kambing Kacang di Kota Kupang. (prosiding). Fakultas
Kedokteran Hewan; Universitas Nusa Cendana.
Nezar MR, R Susanti, Ning Setiati. 2014. Jenis Cacing Pada Feses Sapi Di Tpa
Jatibarang Dan Ktt Sidomulyo Desa Nongkosawit Semarang. Indonesia.
Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Negeri Semarang.
Nofyan E, Mustaka K, Rosdiana I. 2010. Identitas jenis telur cacing parasit usus
pada ternak sapi (Bos sp.) dan kerbau (Bubalus sp.) di rumah potong
hewan Palembang. Jurnal Penelitian Sains, 10: 06-11
27
Preston S. JM Sandeman. Gonzalez J, and Piedrafita D. 2014. Current status for
gastrointestinal nematode diagnosis in small ruminants: where are we
and where are we going. Journal of Immunology Research.
Riviere JE, Papich MG. 2018. Veterinary Pharmacology and Therapeutics Tenth
Edition. USA: Wiley Blackwell :1037.
Subronto, dan I Tjahajati. 2001. Ilmu Penyakit Ternak II. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta
Syarif A, dan Elysabeth. 2007. Farmakologi dan Terapi (5 ed.). (S. G. Gunawan,
R. Setiabudy, & Elysabeth, Eds.) Jakarta, Indonesia: Badan Penerbit
FKUI.
Wiliams JC, dan AF Loyacano. 2001. Internal Parasites of Cattle in Lousiana and
others Southern States. LSU Agricultural Center Research Studies.
United States.
28
Winarso A. 2018. Teknik Diagnosis Laboratorik Parasitologi Veteriner Parasit
Sistem Digesti. Jawa Timut: CV Veterinary Indie Publisher.
Zajac AM, Conboy GA. 2012. Veterinary clinical parasitology, 8th Ed. Oxford:
Wiley-Blackwell.
29