Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kambing kacang merupakan kambing asli Indonesia. Keunggulan dari

kambing kacang adalah sangat cepat berkembang biak, cocok sebagai penghasil

daging dan sumber protein, serta mampu beradaptasi dengan baik (Pamungkas et

al., 2009). Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki potensi untuk pengembangan

ternak kambing kacang karena memiliki padang pengembalaan yang cukup luas.

Populasi ternak kambing di Kota Kupang pada tahun 2017 adalah 6.626 ekor

(BPS Kota Kupang, 2018), sedangkan di Kabupaten Kupang adalah 137.152 ekor

(BPS Kabupaten Kupang, 2018).

Kecacingan merupakan salah satu kendala yang dihadapi dalam beternak

kambing (Subronto dan Tjahayati, 2001). Iklim tropis dan kelembaban yang tinggi

di daerah NTT menyebabkan cacing dapat berkembang biak dengan cepat.

Kecacingan dapat mengakibatkan penurunan berat badan dan imunitas ternak

selain itu dapat merugikan peternak karena menurunnya tingkat produksi sehingga

penghasilan peternak berkurang (Nofyan et al., 2010 dan Akhira et al., 2013).

Cacing nematoda gastrointestinal yang umum menginfeksi ruminansia kecil

adalah Trichostrongylus spp, Strongyloides, Haemonchus spp, Nematodirus dan

Cooperia spp (Preston et al., 2014 dan Belina et al., 2017). Obat cacing spektrum

luas golongan benzimidazole, imidazothiazole, golongan makrosiklik lakton dan

levamisole biasanya digunakan dalam pengendalian infeksi cacing nematoda

1
gastrointestinal yang akhirnya menimbulkan resistensi cacing terhadap obat

cacing (Geurden et al., 2015).

Benzimidazole merupakan salah satu golongan obat cacing yang sering

digunakan di Indonesia karena mudah didapat dan berspektrum luas

(Haryuningtyas dan Beriajaya, 2002). Albendazole dari golongan Benzimidazole

bekerja dengan mengikat tubulin dan menghambat pembentukan mikrotubulin sel

nematoda sehingga fungsi serap dari usus cacing hilang dan pemasukan glukosa

menurun yang mengakibatkan sel parasit mengalami autolisis (Riviere dan

Papich, 2018).

Obat cacing yang digunakan terus menerus dan tidak tepat oleh peternak

menimbulkan adanya resistensi. Resistensi merupakan keadaan dimana obat

cacing sudah tidak efektif lagi dalam membunuh cacing. Resistensi golongan

Benzimidazole dilaporkan di India pada tahun 2017 (Singh et al., 2017). Kasus

resistensi golongan Benzimidazole di Indonesia dilaporkan oleh Beriajaya dan

Haryuningtias (2002) pada peternakan domba dan kambing di Jawa Barat dan

Jawa Tengah. Data mengenai resistensi obat cacing pada kambing kacang di Nusa

Tenggara Timur belum ada, sehingga hal ini yang melatarbelakangi perlunya

dilakukan penelitian mengenai “Deteksi Resistensi Larva Strongyle sp.

Terhadap Albendazole pada Kambing Kacang (Capra Hircus) di Kecamatan

Kupang Barat Kabupaten Kupang”.

2
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang ada, rumusan permasalahan yang terdapat

dalam penelitian ini adalah apakah terdapat resistensi larva Strongyle sp. terhadap

obat cacing albendazole pada kambing kacang (Capra hircus) di Kecamatan

Kupang Barat (Oenesu dan Sumlili) Kabupaten Kupang?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeteksi resistensi larva Strongyle

sp. Terhadap obat cacing albedazole pada kambing kacang (Capra hircus) di

Kecamatan Kupang Barat (Oenesu dan Sumlili) Kabupaten Kupang.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Manfaat Bagi Peneliti

Membantu peneliti dalam mengaplikasikan ilmu selama belajar di Fakultas

Kedokteran Hewan dan menambah wawasan dalam bidang parasitologi dan

farmakologi.

2. Manfaat Bagi Pemerintah

Sebagai informasi bagi pemerintah melalui dinas terkait tentang resistensi

cacing strongyle sp. terhadap albendazole, sehingga dapat diupayakan program

terkait pemberian obat cacing dari golongan yang lebih efektif.

3. Manfaat Bagi Masyarakat

Memberikan informasi berupa edukasi terhadap masyarakat terkhususnya

peternak mengenai obat cacing yang lebih efektif jika ditemukan resistensi.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kambing Kacang

Kambing kacang merupakan salah satu jenis ternak ruminansia kecil

yang sangat populer di Indonesia. Kambing kacang mempunyai keunggulan yaitu

sangat cepat berkembang biak, cocok sebagai penghasil daging, serta mampu

beradaptasi dengan baik di berbagai lingkungan (Suhardono et al., 2001).

Klasifikasi ilmiah Kambing menurut Sarwono (2007) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mammalia
Ordo : Artiodactyla
Famili : Bovidae
Upafamili : Caprinae
Genus : Capra
Spesies : C. aegagrus
Sub spesies : C. a. hircus

2.2 Parasit Gastrointestinal

Infestasi cacing saluran gastrointestinal merupakan penyakit parasitik

yang sering terjadi pada kambing dan domba. Hal ini disebabkan oleh kebiasaan

ternak merumput, sumber air minum yang kotor dan sanitasi kandang yang kurang

baik. Kerugian yang ditimbulkan akibat infestasi cacing saluran pencernaan

adalah penurunan performa produksi dan reproduksi, anemia hingga kematian

pada infestasi parasit cacing yang berat (Hassan et al., 2011 dan Ayaz et al.,

2013). Di samping itu, infestasi parasit cacing akan menimbulkan lemahnya

4
kekebalan tubuh, sehingga ternak lebih rentan terhadap infeksi penyakit lain dan

dapat menyebabkan kerugian ekonomi (Garedaghi et al., 2011).

2.2.1 Klasifikasi dan Morfologi Cacing Strogyle sp.

Taksonomi dan klasifikasi cacing nematoda menurut Soulsby (1982)

Kingdom : Animalia
Filum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Ordo : Strongylida
Super Famili : Trichostrongylidae
Famili : Trichostrongylidae
Genus : Trichostrongylus
Cooperia
Nematodirus
Haemonchus
Mecistocirrus
Oesophagostomum
Bunostomum

Cacing nematoda umumnya berukuran kecil. Individu betina berukuran

lebih besar dibanding individu jantan. Organ reproduksi jantan dan betina

terpisah. Tubuh berbentuk bulat panjang atau seperti benang dengan ujung-ujung

yang meruncing, tubuhnya tidak beruas, ditutupi oleh kutikula yang disekresi oleh

lapisan sel langsung dibawahnya untuk melindungi diri dari enzim pencernaan

inang (Koesdarto et al., 2007).

Cacing nematoda mempunyai saluran usus dan rongga badan. Rongga

badan cacing nematoda dilapisi dengan selaput seluler yang disebut pseudosel

atau pseudoseloma. Cacing nematoda memiliki sistem pencernaan yang lengkap

terdiri dari mulut, faring, usus, dan anus. Mulut terdapat pada ujung anterior,

sedangkan anus terdapat pada ujung posterior. Beberapa memiliki kait pada

5
mulutnya. Cacing ini tidak memiliki pembuluh darah. Makanan diedarkan ke

seluruh tubuh melalui cairan pada pseudoselom. Cacing nematoda tidak memiliki

sistem respirasi, pernapasan dilakukan secara difusi melalui permukaan tubuh

(Harminda, 2011). Gambar 1 menunjukan struktur tubuh cacing nematoda dewasa

dan Gambar 2 menunjukkan telur cacing tipe strongyle.

Gambar 1. Struktur tubuh cacing nematoda dewasa


(Sumber: Jeffry dan Leach, 1983)

Gambar 2. Telur tipe strongyle sp.


(Sumber: Zajac dan Conboy, 2012).
Telur nematoda memiliki kulit yang tersusun dari kapsul kitin yang

transparan. Bagian luar telur terdapat permukaan eksternal yang terdiri dari

lapisan protein yang halus, bagian dalam telur terdapat lapisan lipid atau lapisan

6
lemak internal (membrane vitelline) yang tipis dan terdapat cairan yang mengisi

ruang yang memisahkan kapsul dan embrio di dalam telur. Menurut Zajac dan

Conboy (2012), bahwa telur Strongyle memiliki karakteristik berbentuk lonjong

dan mengandung morulla yang berbentuk seperti buah anggur.

2.2.2 Siklus Hidup Nematoda

Nematoda dewasa hidup di dalam saluran gastrointestinal inang definitif.

Telur yang dihasilkan oleh cacing betina dewasa keluar bersama feses. Telur

berembrio akan menetas di luar tubuh inang menjadi stadium larva 1 (L1) yang

berkembang menjadi larva 2 (L2). Selanjutnya L2 menjadi larva 3 (L3) namun

kutikulanya tidak dilepas sehingga L3 memiliki kutikula rangkap. L3 disebut

sebagai stadium larva infektif. Waktu yang dibutuhkan untuk perkembangan telur

menjadi larva infektif tergantung pada kondisi lingkungan. Perkembangan larva

nematoda gastrointestinal ke fase tiga atau larva infektif dapat terjadi secara cepat

selama 7 sampai 14 hari. Ketika larva sudah mencapai fase larva infektif, larva

tersebut dapat bertahan hidup selama berbulan-bulan hingga pergantian musim.

Setelah menginfeksi kambing, kebanyakan nematoda parasit berkembang menjadi

dewasa selama 2 sampai 4 minggu. Kerusakan besar yang ditimbulkan di

abomasum dan saluran usus terjadi selama periode perkembangan larva ke tahap

dewasa. Total siklus hidup dari telur menuju telur kembali membutuhkan waktu

sekitar 6 sampai 8 minggu yaitu 2 sampai 3 minggu di lingkungan dan 2 sampai 5

minggu di dalam tubuh hewan (Wiliams dan Loyacano, 2001). Gambar 3

menunjukkan siklus hidup cacing nematoda gastrointestinal.

7
Gambar 3. Siklus hidup nematoda gastrointestinal
(Sumber: Whittier et al., 2009)

Ruminansia terinfeksi nematoda setelah menelan L3. L3 yang tertelan

mengalami pelepasan kutikula di dalam abomasum atau usus halus kemudian

melakukan penetrasi ke dalam membran mukosa abomasum atau masuk ke dalam

kelenjar lambung dan berkembang menjadi L4 selama sepuluh hingga empat belas

hari. Selanjutnya L4 berkembang menjadi L5 sebagai cacing muda. Sebagian

besar trichostrongylid mulai memproduksi telur sekitar tiga minggu setelah

infeksi (Wiliams dan Loyacano, 2001).

2.2.3 Nematodiasis

Nematodiasis adalah penyakit akibat infeksi cacing nematoda dalam

tubuh. Cacing nematoda di dalam saluran pencernaan akan menghisap sari

makanan, darah, cairan tubuh dan memakan jaringan tubuh. Dalam jumlah

banyak, cacing nematoda banyak dapat menyebabkan sumbatan usus dan

menyebabkan terjadinya berbagai macam reaksi tubuh akibat toksin yang

dihasilkan (Beriajaya dan Priyanto, 2004). Cacing nematoda umumnya berada

8
pada daerah yang memiliki kelembaban tinggi dikarenakan cocok untuk

menetasnya telur dan larva infektif bertahan hidup. Kadarsih dan Siwitri (2004)

menjelaskan bahwa dataran rendah memiliki derajat infestasi parasit lebih rendah

dari dataran tinggi.

Cacing nematoda gastrointestinal yang banyak menginfeksi ruminansia

adalah Trichostrongylus spp, Strongyloides, Haemonchus spp, Nematodirus dan

Cooperia spp (Preston et al., 2014). Cacing stronglye yang ditemukan pada

kambing menurut Zajac dan Conboy (2012) yaitu genus Haemonchus,

Trichostrongylus, Oesophagostomum, Bunostomum, Cooperia, dan Mecistocirrus.

Laut et al. (2019) melaporkan bahwa nematoda yang menginfeksi kambing di

Kota Kupang pada musim kemarau adalah golongan Strongyle, Strongyloides, dan

Trichuris. Prevalensi infeksi strongil sebesar 33,33%, strongyloidosis sebesar

63,33% dan trichurosis sebesar 30,00%, hal ini disebabkan oleh faktor musim. Di

musim kering, larva cacing strongil banyak yang mati di lingkungan karena

terpapar cuaca panas dan kekeringan. Sedangkan cacing Trichuris menginfeksi

dengan telur infektif sehingga larva terlindungi oleh kerabang telur dan dapat

bertahan lama. Keterbatasan hijauan selama musim kering menyebabkan kambing

mulai makan sisa tumbuhan yang dekat dengan permukaan tanah, sehingga

memperbesar peluang terinfeksi Trichuris dan Strongyloides yang termasuk soil

transmitted helminth (Pfukenyi dan Mukaratirwa 2013 dalam Laut et al., 2019).

2.2.4 Patogenesis Nematodiasis

Patogenesis nematodiasis adalah ingesti rumput dan air minum yang

terkontaminasi larva cacing. Di dalam tubuh host, larva berkembang menjadi

9
cacing dewasa dan akan bermigrasi menuju organ yang sesuai untuk

berkembangbiak. Cacing dewasa dalam usus akan berkembang dengan menyerap

sari makanan dari host. Cacing nematoda juga menghisap darah atau cairan tubuh

dan bahkan memakan jaringan tubuh (Setiawan, 2008).

2.2.5 Gejala Klinis Nematodiasis

Ternak yang diinfestasi nematoda biasanya menunjukkan gejala klinis

seperti penurunan berat badan, bulu rontok dan kusam, tubuh lemah, dan diare

dikarenakan mukosa usus halus dan lambung tempat cacing menghisap darah

mengalami iritasi dan nekrosis, sehingga mengakibatkan gangguan penyerapan

nutrisi dan pencernaan pada kambing (Setiawan, 2008).

2.2.6 Diagnosa Nematodiasis

Diagnosa nematodiasis berdasarkan pengamatan gejala klinis dan

pemeriksaan laboratorium (mikroskopis) untuk mengidentifikasi telur cacing.

Pemeriksaan telur cacing dilakukan dengan metode natif, metode apung dan

metode sedimen. Jika hewan mati, pemeriksaan post-mortem dapat menentukan

spesies cacing dan derajat infeksinya (Kamaruddin, 2003). Pemeriksaan

histopatologi dan patologi-anatomi juga dapat dilakukan untuk mendiagnosa

nematodiasis.

2.2.7 Pencegahan dan Penanggulangan Nematodiasis

Faktor manajemen pemeliharaan yang harus diperhatikan dalam usaha

penanggulangan penyakit cacing nematoda pada ternak kambing adalah sanitasi

kandang, sistem pemberian pakan, cara penggembalaan, dan pemberian obat

cacing. Pemeriksaan feses secara rutin diperlukan untuk mengidentifikasi adanya

10
parasit gastrointestinal pada ternak, terutama jenis dan derajat infeksinya. Dengan

mengetahui jenis cacing yang menginfeksi maka dapat dilakukan pengobatan

dengan jenis obat cacing yang tepat, sehingga pengobatannya menjadi lebih

efektif (Astiti et al., 2011).

2.3 Antihelmintik

Antihelmintik atau obat cacing adalah obat yang digunakan untuk

mengurangi atau menghilangkan cacing dalam lumen usus dan jaringan tubuh

hewan atau manusia. Obat cacing komersial sudah digunakan sejak lama di

berbagai negara untuk mengurangi kerugian yang disebabkan oleh infeksi cacing,

namun keampuhan beberapa obat ini cenderung berkurang aktivitasnya untuk

membasmi cacing. Cacing yang sering terpapar oleh obat cacing akan menjadi

resisten. Sebagian besar obat cacing efektif terhadap satu jenis cacing, sehingga

diperlukan diagnosis yang tepat sebelum menggunakan obat tertentu (Syarif dan

Elysabeth, 2007). Tabel 1 dibawah menunjukkan golongan obat cacing yang

digunakan pada kambing dan domba, sedangkan Tabel 2 menunjukkan cara kerja

golongan obat cacing berspektrum luas.

Tabel 1. Golongan Obat Cacing Untuk Nematoda Saluran Pencernaan pada


Domba dan Kambing.
Golongan Kimia Bahan Aktif Target Dosis
Benzimidazole Albendazole Semua jenis 5 mg/kg (7,5
nematoda mg/kg untuk
stadium larva dan cacing hati)
dewasa, cacing
hati, cacing pita.
Campendazole Semua jenis 20mg/kg
nematoda dan
cacing pita
Oxfendazole Semua jenis
nematoda dan 5 mg/kg
cacing pita

11
Fenbendazole Semua jenis
nematoda dan 5 mg/kg
sebagian cacing
pita
Thiabendazole Semua jenis 50-75 mg/kg
nematoda
stadium larva dan
dewasa
Mebendazole Semua jenis 10-15 mg/kg
nematoda
stadium larva,
cacing pita,
dewasa
Oxibendazole Semua jenis 5 mg/kg
nematoda saluran
pencernaan,
cacing paru
Parbendazole Sebagian besar 20-30 mg/kg
nematoda saluran
pencernaan dan
cacing paru

Febantel Semua jenis 5 mg/kg


nematoda saluran
pencernaan
Thiopanate Semua jenis 50 mg/kg
nematoda saluran
Probendazole pencernaan
Netobimine Semua jenis 7,5 mg/kg (20
nematoda saluran mg/kg untuk
pencernaan, menghambat
cacing hati, larva,cacing hati
cacing pita dan cacing pita)
Levamisole Semua jenis 7,5 mg/kg
nematoda saluran
pencernaan dan
Imidazothiazole cacing paru
Morantel Semua jenis 10 mg/kg
nematoda saluran
pencernaan
Makrosiklik Ivermectin Semua jenis 0,2 mg/kg
lakton nematoda dan
ektoparasit
(Sumber: Brander et al., 1991 dalam Beriajaya et al., 2002)

12
Tabel 2. Cara Kerja Obat Cacing
Gologan kimia Obat ( Zat Aktif) Cara Kerja
Benzimidazole Albendazole Disrupsi dari
Oxfendazole mikrotubulus
Fenbendazole
Thiabendazole
Probendazole Febantel Disrupsi dari
Netobimine mikrotubulus
Imidazothiazole Levamizole (LEV) Agonis reseptor
Tetramizole nicotinic
acetylcholine
Tetrahydrophyrimidines Morantel Agonis reseptor
Pyrantel nicotinic
acetylcholine
Makrosiklik lakton (MLs) Ivermectine Agonis
Glutamate- gatted
Doramectine
chloride channel
Eprinomectine
Abamectine
Milbemycines Milbemycine Agonis
Moxidectine Glutamate- gatted
chloride channel

(Sumber: Modifikasi dari Gilleard, 2006)

Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir di Indonesia, obat cacing

untuk ternak ruminansia yang paling banyak digunakan adalah dari golongan

benzimidazole karena mudah didapat dan efektivitasnya baik (Astiti et al., 2011).

2.3.1 Albendazole

Albendazole (Methyl 5-propylthio-1 H-benzimidazole-2-YL carbamate)

adalah obat cacing derivat Benzimidazole. Albendazole merupakan obat cacing

berspektrum luas yaitu memiliki daya bunuh pada berbagai jenis cacing nematoda

gastrointestinal seperti: Ostertagia ostertagi, Cooperia spp., Haemonchus spp.,

Trichostrongylus spp., Nematodirus spp., Oesophagostomum spp., Bunostomum

spp., Strongyloides spp., cestoda gastrointestinal: Moniezia spp., dan Taenia

13
saginata, Trematoda hati: Fasciola hepatica, Fascioloides magna, dan cacing

paru: Dictyocaulus viviparus.

Albendazole digunakan untuk kontrol endoparasit pada kambing,

domba, babi, anjing, kucing, dan mamalia lainnya. Pada pemberian peroral obat

ini diserap oleh usus dan cepat dimetabolisme menjadi albendazole sulfoksida dan

sebagian besar diekskresi melalui urin dan feses. Waktu paruh albendazole 8

sampai 9 jam, sebagian besar metabolit terikat dengan protein dan didistribusi ke

jaringan. Efek samping dari albendazole adalah nyeri epigastrium, diare dan

muntah. Penggunaan jangka panjang menyebabkan rasa sakit gastrointestinal,

sempoyongan, demam, alopesia, leukopenia dan trombositopenia (Syarif dan

Elysabeth, 2007).

Albendazole bekerja dengan mengikat tubulin dan menghambat

pembentukan mikrotubulin pada sel nematoda. Hal ini berakibat hilangnya fungsi

serap usus parasit dan menurunkan pemasukan glukosa yang berakibat sel parasit

mengalami autolisis. Albendazole juga menghambat sekresi asetikolinesterase dan

beberapa enzim aktivasi lainnya sehingga menyebabkan kerusakan sel dan

jaringan pada parasit. Obat ini juga memiliki efek larvisidal (membunuh larva)

pada penyakit hydatidosis, cysticercosis, ascariasis, dan infeksi cacing tambang

serta efek ovisidal (membunuh telur) pada ascariasis, ancylostomiasis, dan

trichuriasis (Riviere dan Papich, 2018).

2.4 Resistensi Antihelmintik

Pengobatan dan pengendalian cacing nematoda gastrointestinal di usaha

peternakan saat ini hampir seluruhnya tergantung pada penggunaan obat cacing.

14
Penggunaan obat cacing secara terus menerus dengan dosis yang kurang tepat

dapat mengakibatkan timbulnya seleksi dalam populasi cacing yang resisten

terhadap obat cacing golongan tertentu. Resistensi ditandai jika obat cacing yang

digunakan tidak 100% efektif, artinya obat cacing tersebut tidak dapat membunuh

semua jenis cacing yang ada. Bila efikasi berkisar antara 90 sampai 100% maka

obat cacing tersebut masih dapat digunakan, tetapi bila efikasi mencapai <80%

maka obat cacing harus segera diganti dengan golongan yang berbeda, sedangkan

bila efikasi antara 80 % sampai 90% obat cacing harus digunakan dengan hati-

hati, artinya strain cacing yang sudah resisten tidak boleh menyebar ketempat lain

dan kemungkinan dosis obat cacing harus ditingkatkan atau mengurangi

pemakaian obat cacing (Maroto et al., 2011 dalam Yanuartono et al., 2019).

Cacing yang resisten terhadap golongan benzimidazole sudah sering

dilaporkan sebagai akibat dari pemakaian obat secara berulang-ulang (Garg et al.,

2007). Kasus resistensi cacing terhadap obat cacing golongan benzimidazole pada

mulanya ditemukan pada domba-domba di Inggris tahun 1983. Obat cacing dari

golongan levamizole (Lev) dan makrosiklik lakton (MLs) juga banyak digunakan

karena perkembangan dan kebutuhan manajemen kesehatan ternak. Resistensi

terhadap obat cacing golongan BZ, Lev, MLs telah terjadi hampir di seluruh dunia

dan prevalensinya terus meningkat setiap tahun. Di negara maju seperti Australia,

80% peternakan domba dinyatakan telah resisten terhadap BZ dan Lev. Menurut

Borgsteede et al. (1996) kejadian resistensi terhadap obat cacing kemungkinan

besar merupakan hasil adaptasi cacing yang resisten pada pengobatan ternak,

masuknya hewan dari peternakan yang membawa cacing resisten, atau sebab lain

15
seperti kontaminasi partikel feses yang mengandung cacing yang resisten pada

sepatu dan kendaraan.

2.5 Metode Deteksi Resistensi Antihelmintik

Deteksi resistensi terhadap obat cacing bertujuan untuk mengetahui

efektifitas penggunaan obat cacing pada ternak. Faktor yang dicurigai

mengakibatkan resistensi yaitu penggunanaan obat cacing yang sama dalam

jangka panjang dan rotasi penggunaan obat cacing yang tidak tepat dalam suatu

peternakan. Diagnosa adanya resistensi terhadap obat cacing perlu dilakukan

untuk keberhasilan program penanggulangan infeksi cacing (Beriajaya et al.,

2002).

2.5.1 Fecal Egg Count Reduction Test (FECRT)

Fecal Egg Count Reduction Test merupakan uji in vivo untuk

mengetahui adanya resistensi nematoda terhadap obat cacing golongan tertentu.

Uji ini dapat dilakukan untuk semua golongan obat cacing terhadap semua jenis

nematoda pada ternak ruminansia, kuda dan babi. Uji ini memberikan estimasi

efektivitas obat cacing dengan membandingkan jumlah telur cacing per gram

feses sebelum dan sesudah pengobatan dimana interval waktu yang diperlukan

tergantung pada golongan obat cacing yang digunakan (Coles et al., 2006).

Pemeriksaan jumlah telur cacing dilakukan sebelum pemberian obat

cacing dan 10 hari setelah pemberian obat cacing. Bila jumlah telur cacing setelah

10 hari pemberian obat cacing masih cukup banyak maka obat cacing yang

digunakan sudah tidak efektif atau sudah terjadi resistensi terhadap obat cacing.

Uji ini mudah dilakukan dan dapat diaplikasikan di laboratorium dan terhadap

16
semua golongan obat cacing serta semua jenis cacing nematoda yang telurnya

akan keluar bersama feses (Haryuningtyas dan Beriajaya, 2002).

17
BAB III

MATERI DAN METODE

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian akan dilakukan pada bulan Maret sampai dengan April 2020.

Pengambilan sampel feses ternak kambing akan dilakukan di Kecamatan Kupang

Barat Kabupaten Kupang (Sumlili dan Oenesu), kemudian dilanjutkan dengan

pemeriksaan sampel feses yang telah dikoleksi di Laboratorium Fakultas

Kedokteran Hewan Universitas Nusa Cendana.

3.2 Materi

3.2.1 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah mikroskop binokuler,

kamar hitung McMaster, gelas plastik, gelas piala, tabung reaksi, pipet tetes,

mortir, saringan, object glass, cover glass, sarung tangan, sarung tangan plastik,

cool box, timbangan, tag, kertas label, spidol, dan kamera.

3.2.2 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah obat cacing wormzol

@wonder, feses, larutan gula jenuh, formalin 10%.

3.3 Teknik Sampling

Pengambilan sampel acak sederhana digunakan untuk menentukan

hewan yang diambil fesesnya sebagai sampel. Sampel feses akan diambil pada

kambing betina dewasa yang tidak bunting dan kambing jantan dewasa.

18
Observasi lngkungan peternakan dan wawancara terstruktur berupa kuisioner juga

diberikan kepada peternak untuk mengetahui tata kelola peternakan. Jumlah

sampel yang akan digunakan yaitu feses kambing yang dikoleksi dari hasil

observasi kondisi lingkungan perkandangan dan padang penggembalaan. Jumlah

sampel feses untuk menduga prevalensi penyakit pada tingkat kepercayaan 90%

dihitung menggunakan rumus menurut Thrusfield (2005).

N = jumlah populasi (kecil dan terhingga)

P = proporsi kejadian/prevalensi yang diasumsikan

e = galat dugaan yang diinginkan

Sehingga untuk kepercayaan 90% dengan asumsi populasi kambing yang

terinfeksi cacing resisten sebesar 10% dan galat dugaan yang diterima maksimal

10%. Sehingga sampel feses kambing yang dibutuhkan adalah 35 sampel.

3.4 Prosedur Penelitian

3.4.1 Koleksi Sampel Feses

Sampel feses segar dikoleksi secara langsung dari rektum kambing atau

segera setelah defekasi di lantai kandang. Kambing di restrain secara fisik oleh

pemilik untuk diambil feses per rektal. Feses kemudian disimpan didalam coolbox

dengan tujuan menghambat perkembangan telur cacing dalam feses. Kambing

ditimbang untuk menegatahui berat badan sebelum diberikan antihelmintik.

19
Antihelmintik yang digunakan adalah Albendazol tablet (wormzol produksi

wonder) dari golongan Benzimidazole dengan dosis 5mg/kg BB kambing.

Antihelmintik diberikan peroral pada kambing oleh peneliti dengan pengawasan

dari dosen pembimbing penelitian. Kambing yang akan digunakan sebagai sampel

yaitu kambing jantan dan betina yang tidak bunting. Sampel penelitian ini diambil

dari 35 ekor kambing di Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang (Oenesu

dan Sumlili). Ternak kambing di Sumlili dipelihara secara semi-intensif dengan

konstruksi kandang yang cukup baik, sedangkan ternak kambing di Oenesu di

pelihara dengan cara di gembalakan dari pagi hingga sore kemudian dimasukan

dalam kandang yang umumnya berbahan kayu, beratap lontar, serta beralaskan

tanah dan sisa pakan hijauan. Sampel feses dimasukkan dalam sarung tangan

plastik dan diikat sedemikian rupa sehingga tidak mengandung udara. Sampel

dimasukkan dalam cool box untuk menjaga supaya telur tidak menetas. Sampel

feses diambil pada hari ke-0 (sebelum pengobatan), dan hari ke-14 (sesudah

pengobatan). Jumlah EPG dihitung dari feses dan dilakukan indentifikasi jenis

nematoda yang ada.

3.4.2 Pemeriksaan Sampel Feses

3.4.2.1 Metode Apung

Uji kualitatif ditinjau dari metode apung (flotation method) yaitu metode

pemeriksaan sampel menggunakan uji pengapungan dengan larutan gula jenuh.

Uji ini dilakukan untuk mengidentifikasi jenis telur nematoda yang terdapat pada

feses kambing.

20
1. Feses yang akan diperiksa ditaruh dalam gelas plastik sebanyak 1 gram,

dan ditambahkan 10 ml larutan gula jenuh ke dalamnya kemudian diaduk

sampai larut.

2. Suspensi disaring dan ditampung pada gelas lain.

3. Suspensi dituang ke dalam tabung reaksi

4. Larutan gula jenuh ditambahkan hingga isi tabung menjadi cembung

5. Suspensi didalam tabung reaksi ditutup dengan cover glass, kemudaian

diamkan selama 3 sampai 5 menit untuk telur parasit dapat terapung di

bagian atas tabung reaksi.

6. Cover glass diangkat dan diletakkan di atas gelas objek dan diperiksa di

bawah mikroskop dengan pembesaran 10X (Winarso, 2018).

3.4.2.2 Metode McMaster

Uji kuantitatif cara perhitungan kuantitas telur cacing dilakukan dengan

menggunakan metode McMaster. Metode McMaster dapat menentukan tingkat

keparahan infeksi telur cacing parasit dari hasil perhitungan egg per gram (EPG)

feses dengan menggunakan kamar hitung McMaster (Winarso, 2018).

1. Feses ditimbang sebanyak 2 gram dan masukkan ke gelas piala, kemudian

ditambahkan larutan pengapung gula jenuh sebanyak 58 ml agar mendapat

larutan suspensi 60 ml. Kemudian diaduk sampai homogen dengan

menggunakan mortir. Jika feses keras dan kering, feses dibiarkan dalam

beberapa menit sebelum dilakukan pengadukan.

2. Suspensi disaring ke dalam gelas piala menggunakan saringan untuk

mengurangi debris yang mengganggu visibilitas.

21
3. Suspensi dihomogenkan dan subsampel suspensi diambil dengan

menggunakan pipet tetes lalu diisikan kedalam kamar hitung McMaster.

4. Suspensi dihomogenkan setiap kali subsampel diambil untuk mengisi

kamar hitung.

5. Kamar McMaster diperiksa menggunakan mikroskop dan difokuskan pada

tiap-tiap kolom dimana dalam 1 kamar McMaster berisi 6 kolom. Jumlah

telur yang terlihat dihitung pada tiap-tiap kolom. EPG dihitung dengan

rumus

EPG = 2n x 50

n: Jumlah telur cacing yang terhitung dalam kamar hitung

EPG: egg per gram (telur cacing per gram) feses (Nezar et al., 2014).

6. Jika hasil perhitungan EPG didapat lebih besar dari 150 maka dilanjutkan

dengan pemberian albendazole pada ternak.

3.4.3 Fecal Egg Count Reduction Test (FECRT)

Uji FECRT dilakukan untuk mengetahui resistensi terhadap obat cacing

golongan tertentu. FECRT dilakukan dengan teknik modifikasi McMaster

menggunakan larutan pengapung gula jenuh.

FECRT dihitung dengan menggunakan modifikasi rumus dari McKenna et al.

(2005):

FECRT () = × 100%

22
Menurut Coles et al. (1992), apabila terdapat 2 kriteria, yaitu  reduksi

pada FEC ≤ 95 dan lower confidence limit 95 ≤ 90, maka status keefektifan

obat cacing dinyatakan resisten. Apabila hanya satu dari dua kriteria tersebut yang

ditemukan maka status keefektifan obat cacing dinyatakan diduga resisten.

3.5 Analisis Data

Data yang diperoleh dari pemeriksaan laboratorium dianalisis secara

deskriptif. Data tersebut kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan gambar.

23
3.6 Alur Penelitian

Gambar 4. Alur Penelitian

24
DAFTAR PUSTAKA

Akhira D. Y Fahrimal, dan M Hasan. 2013. Identifikasi parasit nematoda saluran


pencernaan anjing pemburu (canis familiaris) di kecamatan lareh sago
halaban provinsi sumatera barat. Jurnal Medika Veterinaria. Volume 7
Nomor 1.

Astiti LG, Panjaitan, T, dan Wirajaswadi. 2011. Uji efektivitas preparat


anthelmintik pada sapi bali di lombok tengah. Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian, Volume 14 Nomor 2: 77-83.

Ayaz MM, Raza MA, Murtaza S, and Akhtar S. 2013. Epidemiological survey of
helminths of goats in Southern Punjab. Pakistan. Trop Biomed, 30: 62-
70.

Belina D, Giri A, Mengistu S, and Eshetu A. 2017. Gastrointestinal nematodes in


ruminants: the parasite burden, associated risk factors and anthelmintic
utilization practices in selected districts of east and western hararghe,
ethiopia. Journal of Veterinary Science and Technology. 08 (02): 1–7.

Beriajaya, RZ Ahmad, S Hastiano. 2002. Pengendalian infeksi cacing nematoda


saluran pencernaan pada ruminansia kecil dengan kapang nematofagus.
Balai Penelitian Veteriner. Jurnal Ilmu Ternak. Wartazoa volume 12
nomor 3.

Beriajaya, dan Priyanto D. 2004. Efektifitas Serbuk Daun Nanas Sebagai


Antelmintika Pada Sapi Yang Terinfeksi Cacing Nematoda Saluran
Pencernaan. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner:
162-169.

Badan Pusat Statistik Kota Kupang. 2018. Kota Kupang Dalam Angka 2017.
Kupang: BPS Kota Kupang

Badan Pusat Statistik Kabupaten Kupang. 2018. Kabupaten Kupang Dalam


Angka 2017. Kupang: BPS Kabupaten Kupang

Borgsteede FHM, C Bauer, S Geerts, TR Klei, MA Taylor, and PJ Waller. 1992.


World Association for the Advancement of Veterinary Parasitology
(W.A.A.V.P) methods for the detection of anthelmintic resistance in
nematodes of veterinary importance.Vet parasitol, 44: 35-44.

Coles GC, F Jackson, WE Pomroy, RK Prichard, G Von Samson-Himmelstjerna,


A Silvestre, MA Taylor, and J Vercruysse. 2006. The detection of

25
anthelmintics resistance in nematode of veterinary importance. Vet.
Parasitol, 136: 167 – 185.

Garedaghi Y, PA Rezaii-Saber, A Naghizadeh, and M Nazeri. 2011. Survey on


prevalence of sheep and goats lungworms in Tabriz abattoir, Iran. Adv.
Environ. Bio, 5: 773-775.

Garg R, RR Kumar, CL Yadav, and PS Banerjee. 2007. Duration of anthelmintic


effect of tree formulations of ivermectin (oral, injectable dan pour-on)
against multiple anthelmintic-resistant haemonchus contortus in sheep.
Veterinary Research Communications 31:749-755.

Geurden T, Chartier C, Fanke J, Regalbono A, F Traversa, D von Samson-


Himmelstjerna, G Denwood, MJ. 2015. Anthelmintic resistance to
ivermectin and moxidectin in gastrointestinal nematodes of cattle in
europe. International Journal for Parasitology: Drugs and Drug
Resistance, 5(3):163–171

Gilleard, JS. 2006. Understanding anthelmintic resistance: The need for genomics
and genetics. Int. J. Parasitol, 36:1227 – 1239.

Harminda, D. H. 2011. Infestasi Parasit Cacing Neoascaris vitulorum pada ternak


sapi pesisir di kecamatan Lubuk Kilangan Kota Padang. Universitas
Andalas. Padang.

Haryuningtyas, Dyah Beriajaya. 2002. Metode Deteksi Resistensi terhadap


Antelmintika pada Domba dan Kambing. Balai Penelitian Veteriner.
Bogor

Haryuningtyas, D Beriajaya. DR GD Gray. 2002. Resistensi antelmintik golongan


benzimidazole pada domba dan kambing di Indonesia. Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner, Puslitbang Peternakan. Bogor.

Hassan MM, MA Hoque, SKMA Islam, SA Khan, K Roy, and Q Banu. 2011. A
prevalence of parasites in black bengal goats in chittagong, bangladesh.
Int. J. Livestock Prod, 2: 40-44.

Jeffrey HC, Leach RM. 1983. Atlas Helmintologi dan Parasitologi Kedokteran.
Jakarta: EGC

Kadarsih, dan Siwitri. 2004. Performans sapi bali berdasarkan ketinggian tempat
di daerah transmigrasi bengkulu: Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia
6(1) : 50--56

26
Kamaruddin, Mufti. 2003. Buku Ajar Parasitologi Veteriner. Fakultas Kedokteran
Hewan Universitas Syiah Kuala. Darussalam. Banda Aceh.

Kusumamihardja S. 1995. Parasit dan Parasitosis pada Hewan ternak dan


Hewan Piaraan di Indonesia. Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB:
Bogor

Koesdarto S, S Subekti, S Mumpuni, H Puspitawati dan Kusnoto. 2007. Buku


Ajar Ilmu Penyakit Nematoda Veteriner. Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Airlangga. Surabaya

Levine ND. 1990. Buku Pelajaran Parasitology Veteriner. (Wardiarto, Ed. Dan
G. Ashadi, Trans). Yogyakarta: Gadjah Mada Universitas Press.

Laut MM, Novian DR, Winarso A. 2019. Prevalensi Dan Derajat Infeksi
Nematoda pada Kambing Kacang di Kota Kupang. (prosiding). Fakultas
Kedokteran Hewan; Universitas Nusa Cendana.

Maroto R, Jiménez A, E Romero, JJ Alvarez, V De Oliveira, JB, and Hernández J.


2011. First report of anthelmintic resistance in gastrointestinal
nematodes of sheep from costa rica. Veterinary Medicine International.
2011. 145312:1-4.

McKenna, Hughes P, and Dowling A. 2005. A survey of the prevalence of


emerging macrocyclic lactone resistance and of benzimidazole resistance
in sheep nematodes in the lower north island of new zealand. New
Zealand Veterinary Journal. 53(1): 87–90.

Nezar MR, R Susanti, Ning Setiati. 2014. Jenis Cacing Pada Feses Sapi Di Tpa
Jatibarang Dan Ktt Sidomulyo Desa Nongkosawit Semarang. Indonesia.
Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Negeri Semarang.

Nofyan E, Mustaka K, Rosdiana I. 2010. Identitas jenis telur cacing parasit usus
pada ternak sapi (Bos sp.) dan kerbau (Bubalus sp.) di rumah potong
hewan Palembang. Jurnal Penelitian Sains, 10: 06-11

Pamungkas FA, A Batubara, M Doloksaribu, and E Sihite. 2009. Potensi


Beberapa Plasma Nutfah Kambing Lokal Indonesia. Juknis (ID). Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.

Pfukenyi MD, and S Mukaratirwa 2007. Epidemiological studies of parasitic


gastrointestinal nematodes, cestodes, and coccidia infections in cattle in
the highveld and lowveld communal grazing areas of Zimbabwe.
Journal of Veterinary Research, 74: 129-142.

27
Preston S. JM Sandeman. Gonzalez J, and Piedrafita D. 2014. Current status for
gastrointestinal nematode diagnosis in small ruminants: where are we
and where are we going. Journal of Immunology Research.

Riviere JE, Papich MG. 2018. Veterinary Pharmacology and Therapeutics Tenth
Edition. USA: Wiley Blackwell :1037.

Sarwono B. 2007. Beternak Kambing Unggul. Penebar Swadaya. Jakarta

Setiawan, A. 2008. Efektivitas Pemberian Ekstrak Temulawak (Curcuma


xanthoriza, Roxb) dan Temuireng (Curcuma aeruginosa, Roxb) Sebagai
Kontrol Helminthiasis Terhadap Packed Cell Volume (PCV), Sweating
Rate dan Pertambahan Bobot Badan Pedet Sapi Potong Brahman Cross
Lepas Sapih. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya. Malang

Singh R, MS Bal, LD Singla, and P Kaur. 2016. Detection of anthelmintic


resistance in sheep and goat against fenbendazole by faecal egg count
reduction test. J Parasit Dis 41:463–466.

Soulsby EJL.1982. Helminths, Anthropods, and Protozoa of Domesticated


Animals. Bailliere Tindall: London.

Subronto, dan I Tjahajati. 2001. Ilmu Penyakit Ternak II. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta

Suhardono, Beriajaya Yulistiani D. 2001. Infeksi cacing nematoda saluran


pencernaan pada domba yang digembalakan secara ekstensif di daerah
padat ternak di Jawa Barat. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner:
370-375.

Syarif A, dan Elysabeth. 2007. Farmakologi dan Terapi (5 ed.). (S. G. Gunawan,
R. Setiabudy, & Elysabeth, Eds.) Jakarta, Indonesia: Badan Penerbit
FKUI.

Thursfield M. 2005. Veterinary Epidemiology 3rd edition. Blackwell Publishing,


Butterwort and co (Publishers) Ltd. UK.

Whittier WD, AM Zajac, and SM Umberger. 2009. Control of Internal Parasities


in Sheep. Blackburg, VA. Virginia Tech.

Wiliams JC, dan AF Loyacano. 2001. Internal Parasites of Cattle in Lousiana and
others Southern States. LSU Agricultural Center Research Studies.
United States.

28
Winarso A. 2018. Teknik Diagnosis Laboratorik Parasitologi Veteriner Parasit
Sistem Digesti. Jawa Timut: CV Veterinary Indie Publisher.

Winarso A. 2018. Infeksi parasit gastrointestinal pada kambing di Kupang.


ARSHI Vet Lett. 2 (2): 25-26.

Yanuartono, Soedarmanto I, Alfarisa N, Slamet R, Hary P. 2019. Resistensi


cacing nematoda gastrointestinal terhadap golongan macrocyclic lactone
pada ternak ruminansia. Journal of Tropical Animal Production. Volume
2 Nomor 2: 84-99.

Zajac AM, Conboy GA. 2012. Veterinary clinical parasitology, 8th Ed. Oxford:
Wiley-Blackwell.

29

Anda mungkin juga menyukai