Anda di halaman 1dari 20

TUGAS PARASITOLOGI

CESTODA PADA RUMINANSIA

DISUSUN OLEH:
NAMA: MUHAMMAD IQBAL
NPM: 1902101010033
KELAS: 03

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH
2021
CESTODA PADA RUMINANSIA

A. TAENIA SAGINATA
1. PENDAHULUAN
Taenia adalah salah satu marga cacing pita yang dikenal sebagai parasit vertebrata
penting yang menginfeksi manusia dan ruminansia. Cacing ini dapat bertahan hingga bertahun-
tahun dalam tubuh tanpa menimbulkan gejala tertentu. Taenia yang menyerang ruminansia
adalah Taenia saginata, dapat menyerang manusia apabila manusia tersebut mengonsumsi
daging yang mengandung cacing taenia dewasa. Taenia saginata merupakan Cestoda yang siklus
hidupnya membutuhkan lebih dari satu inang (dua) dan telur diproduksi dalam jumlah banyak.
Sapi sebagai inang definitip terinfeksi T. saginata saat memakan makanan yang terkontamiasi
larva pada usia 10-12 minggu. Cacing dewasa berbentuk scolex dan menyerang usus, diikuti
cacing muda dan proglotid (Tantri et al., 2013). Taeniasis merupakan penyakit yang disebabkan
oleh cacing pita (cestoda) dari genus taenia. Sistiserkosis merupakan penyakit yang disebabkan
oleh infeksi larva dari Taenia sp. Sistiserkosis infeksi oleh larva Taenia solium sedangkan
Taenia saginata dapat menyebabkan infeksi pada saluran pencernaan oleh cacing deawasa
(Suriawanto et al., 2014).
Cestoda ini dapat menyerang sapi disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah
pakan ternak sapi yang terkontaminasi telur cacing, kondisi kandang yang tidak layak sehingga
kotoran dari sapi tersebut mencemari pakan, kebersihan kandang yang tidak diperhatikan oleh si
peternak, pakan ataupun minum sapi yang dibiarkan oleh peternak tercemar oleh feses sapi
sehingga lebih mudah terserang penyaki. Maka dari itu penting bagi kita untuk mengetahui
bagaimana morfologi, siklus hidup, hospes, dan proses penyebarannya untuk dapat mendiagnosa
dan mengidentifikasi penyakit taeniasis ini.

2. NOMENKLATUR
Kingdom : Animalia
Filum : Platyhelminthes
Kelas : Cestoda
Ordo : Cyclophyllidea
Famili : Taeniidae
Genus : Taenia
Spesies : Taenia saginata

3. MORFOLOGI
 Cacing dewasa mempunyai panjang 5-10 meter
 Cacing ini terdiri atas scolex, leher, dan strobili
 Scolex berbentuk piriform berukuran 1-2 mm dilengkapi dengan 4 batil isap yang
menonjol
 Strobila terdiri dari 1000-2000 proglotid atau segmen dimana makin ke distal proglotid
semakin matang
 Proglotid gravid berukuran 16-20 x 5-7 mm dengan cabang uterus berjumlah 15-20 buah
tiap sisi dimana uterus gravid ini mengandung 80.000-100.000 telur
 Setiap proglotid gravid terdapat lebih dari 100 telur.
 Lubang kelamin atau porus genitalis terletak di sebelah lateral dan letaknya berselang-
seling di kanan dan kiri tidak teratur.

4. SIKLUS HIDUP
Taenia saginata tidak secara langsung ditularkan dari manusia ke manusia. Di dalam usus
manusia yang menderita Taeniasis terdapat proglotid yang sudah masak (mengandung embrio).
Apabila telur tersebut keluar bersama feses dan termakan oleh sapi, maka di dalam usus sapi
akan tumbuh dan berkembang menjadi onkoster (telur yang mengandung larva). Larva onkoster
menembus usus dan masuk ke dalam pembuluh darah atau pembuluh limpa, kemudian sampai ke
otot/daging dan membentuk kista yang disebut C. bovis (larva cacing T. Saginata). Kista akan
membesar dan membentuk gelembung yang disebut sistiserkus. Manusia akan tertular cacing ini
apabila memakan daging sapi mentah atau setengah matang. Dinding sistiserkus akan dicerna di
lambung sedangkan larva dengan skoleks menempel pada usus manusia. Kemudian larva akan
tumbuh menjadi cacing dewasa yang tubuhnya bersegmen disebut proglotid yang dapat
menghasilkan telur. Bila proglotid masak akan keluar bersama feses dan termakan oleh sapi.
Selanjutnya, telur yang berisi embrio tadi dalam usus akan menetas menjadi larva onkosfer.
Setelah itu larva akan tumbuh dan berkembang mengikuti siklus hidup seperti di atas. Taenia
saginata menjadi dewasa dalam waktu 10-12 minggu (Estuningsih, 2009).
5. PATOGENESIS
Cara infeksinya melalui oral karena memakan daging sapi yang mentah atau setengah
matang dan mengandung larva cysticercus. Di dalam usus halus, larva itu menjadi dewasa dan
dapat menyebabkan gejala gasterointestinal seperti rasa mual, nyeri di daerah epigastrium, napsu
makan menurun atau meningkat, diare atau kadang-kadang konstipasi. Selain itu, gizi penderita
bisa menjadi buruk sehingga terjadi anemia, malnutrisi. Pada kasus yang lebih berat dapat
terjadi, yaitu apabila proglotid menyasar masuk apendiks, atau terdapat ileus yang disebabkan
obstruksi usus oleh strobilla cacing. Berat badan tidak jelas menurun (Anonimus, 2010).
Menurut Symons (1989) jumlah cacing pita dalam usus kurang berpengaruh terhadap perubahan
patologis dibandingkan dengan ukuran tubuh cacing.Walaupun hanya terdapat 1-2 ekor dan
ukurannya besar dampak patologisnya lebih nyata. Penderita taeniasis jarang menunjukkan
gejala yang khas walaupun di dalam ususnya terdapat cacing taenia selama bertahun-tahun,
tetapi biasanya hanya terdapat satu ekor cysticercosis pada manusia sangat bergantung pada
organ serta jumlah cysticercus yang tinggal. Infeksi berat pada otot menyebabkan peradangan
(myocitis) yang bisanya menimbulkan demam. Jika menyerang organ mata (Ocular-
Cysticercosis) gejala yang paling berat adalah kebutaan (Smyth, 2004). Gejala-gejala syaraf
seperti kelumpuhan, kejang hingga epilepsi, dapat dipastikan bahwa larva tersebut menempati
organ-organ yang sarat dengan jaringan syaraf seperti otak/selaput otak atau sumsum tulang
belakang.

6. GEJALA KLINIS
Gejala klinisnya bervariasi, tidak menunjukkan hal yang khas, Gejala penderita taeniasis
umumnya yaitu berupa rasa tidak enak pada perut, gangguan pencernaan, diare, konstipasi, sakit
kepala dan anemia. Selain itu gejala klinis yang dapat dilihat pada kasus taeniasis adalah
terjadinya inflamasi sub-akut pada mukosa usus.
Pemeriksaan darah tepi terdapat gambaran peningkatan eosinofil. Sistiserkosis pada otak
(neurosistiserkosis) dengan gejala gangguan motorik, kelainan saraf sensorik maupun gangguan
mental penderita. Sistiserkosis pada bola mata menyebabkan nyeri bola mata, gangguan
pengelihatan dan kebutaan. Sedangkan pada otot jantung menyebabkan takikardia, sesak napas,
sinkop dan gangguan irama jantung (Sandy, 2014).
7. DIAGNOSA

Diagnosa taeniasis bisa dilakukan dengan melakukan palpasi pada hewan terutama di
daerah endemis. Palpasi dilakukan untuk melihat adanya benjolan/kista di jaringan bawah kulit
atau intramuscular. Pada manusia, diagnosa taeniasis bisa dilakukan dengan menemukan dan
mengidentifikasi proglotid atau telur cacing dalam feses di bawah mikroskop. Telur cacing
Taenia berbentuk spherical, berwarna coklat dan mengandung embrio. Telur cacing ini bisa
ditemukan di feses dengan pemeriksaan menggunakan metode uji apung. Proglotid Taenia juga
dapat dibedakan dari cacing pita lainnya dengan cara membedakan morfologinya. Cacing ini
juga dapat diidentifikasi berdasarkan skoleks dan proglotidnya. Pada manusia, diagnosis
Taeniasis dilakukan selain dengan menemukan telur cacing atau proglotid dalam feses, juga bisa
dilakukan dengan cara pemeriksaan serologi yaitu dengan ELISA, Enzyme-linked
Immunoelectro Transfer Blot (EITB), Complement fixation dan haemagglutination dan PCR
(Polymerase Chain Reaction) (Estuningsih, 2009).

8. PROGNOSA
Setelah terdiagnosis Taeniasis, pasien akan sembuh dengan pengobatan yang telah
diberikan oleh dokter. Prognosa untuk Taeniasis ini adalah fausta, yaitu dapat sembuh. Namun
apabila sudah menyerang otot lurik maka kemungkinan sembuh adalah infausta.

9. TERAPI
A. OBAT (KIMIA)
Obat yang diberikan untuk kasus Taeniasis ada Praziquantel, niclosamide, atau
albendazole. Kebanyakan obat yang digunakan untuk mengobati Taeniasis adalah niklosamid.
Niklosamid tidak efektif untuk larva cacing. Dapat diberikan pencahar 2 jam sesudah pemberian
obat dan dapat diberikan obat anti muntah sebelum pembeian obat. Praziquantel sama
efektivitasnya dengan niklosamid. Praziquantel diberikan dalam dosis tunggal mencapai
10mg/kg, tingkat kesembuhan sekitar 99%. Saat ini, perawatan di Indonesia terdiri dari dosis
tunggal 10-20mg/kg/bb, biasanya 1-2 tablet 600mg praziquantel (Hamid et al., 2005). Obat ini
bekerja dengan cara melumpuhkan cacing pita, sehingga mudah dikeluarkan dari tubuh melalui
tinja. Albendazole merupakan terapi tambahan yang diberikan sesudah tindakan bedah
dilakukan, hal ini untuk mengurangi risiko kekambuhan atau sebagai pengobatan primer.
B. OBAT HERBAL (EKSTRAK TUMBUH-TUMBUHAN)
Buah-buahan memang sangat bermanfaat bagi kesehatan, diantaranya ada labu, papaya
dan nanas yang efektif untuk mengobati penyakit yang berkaitan dengan cacing. Labu sering
dipakai untuk pengobatan cacing oleh orang asli Amerika. Biji labu dianggap sebagai
antihelminthic atau vermifuge, dapat mengusir cacing parasit dari saluran pencernaan. Phyllis A.
Balch, CNC, dan Dr. James F. Balch merekomendasikan ekstrak lab karena mengandung seng
yang membantu mengeluarkan cacing. Sedangkan sebuah penelitian oleh Obregon Diaz dan
rekannya, yang diterbitkan dalam edisi Oktober 2004 dari “Revista de gastroenterologia del
Peru,” menemukan bahwa sekitar 73 biji labu dicampur dengan air efektif terhadap cacing pita
dewasa dan telurnya.
Buah nanas bekerja sebagai diuretic dan melancarkan pencernaan. Nanas mengandung
enzim yang dikenal sebagai bromelin, yang menghancurkan cacing pita, menurut Phyllis A.
Balch, CNC, dan Dr. James F. Balch. Jika ingin mengeluarkan cacing pita dalam tubuh, Balch
menyarankan untuk mengonsumsi nanas selama tiga hari. Pepaya juga dapat digunakan karena
ada kandungan lateks yang dikenal sebagai papayotin. Papayotin digunakan untuk mengobati
cacing pita.

10. PREVENTIF
Penyakit sistiserkosis pada hewan dapat ditekan dengan cara mengobati induk semang
definitif yang menderita Taeniasis. Anjing yang sering berkeliaran dan bergabung dengan hewan
ternak lain harus dihindarkan dan dicegah supaya tidak memakan bangkai hewan yang terinfeksi
Taenia. Selain itu, untuk mencegah terjadinya infeksi dengan T. solium, T. saginata dan T.
asiatica, hewan ternak dilarang kontak langsung dengan feses manusia. Taeniasis pada kucing
dan anjing dapat ditekan dengan melarang hewan tersebut memakan hewan pengerat (rodent)
atau induk semang perantara lainnya dan dihindarkan dari memakan daging mentah.
Untuk mencegah Taeniasis pada manusia dapat dilakukan dengan menghindari hal-hal
berikut diantaranya:
 Tidak memakan makanan mentah (sayuran, daging babi, daging sapi)
 Minum air yang sudah dimasak mendidih
 Menjaga kebersihan diri, sering menggunting kuku, membiasakan cuci tangan menjelang
makan atau sesudah buang air besar.
 Tidak boleh buang air kecil/besar di sembarang tempat, tidak menjadikan tinja segar
sebagai pupuk, tinja harus dikelola dengan tangki septik agar tidak mencemari sumber
air.
 Di taman kanak-kanak dan sekolah dasar, harus secara rutin diadakan pemeriksaan
parasit, sedini mungkin menemukan anak yang terinfeksi parasite dan mengobatinya
dengan obat cacing.
 Bila muncul serupa gejala infeksi parasit usus, segera periksa dan berobat ke rumah sakit.
 Meski kebanyakan penderita parasit usus ringan tidak ada gejala sama sekali, tetapi
mereka tetap bisa menularkannya kepada orang lain, dan telur cacing akan secara
sporadic keluar dari tubuh bersama tinja, hanya diperiksa sekali mungkin tidak ketahuan.
Maka, sebaiknya secara teratur memeriksa dan mengobatinya (Widodo, 2013).

11. KERUGIAN
Kerugian yang dapat ditimbulkan oleh penyakit ini adalah dapat menyebabkan anoreksia
pada penderitanya. Taenia saginata pada ternak menyebabkan kerugian ekonomi, karena daging
yang terinfeksi tidak layak dikonsumsi dan harus dimusnahkan, sehingga perekonomian peternak
menurun karena produksi daging yang tidak stabil.

DAFTAR PUSTAKA
Andrian, K. (2020). Mengenal Taenia Saginata, Cacing Pita pada Daging Sapi. Artikel.
https://www.alodokter.com/taenia-saginata-dapat-timbul-dari-makan-daging-sapi-tidak-
matang. diakses tanggal 6 Mei 2020 pukul 20.25 WIB
Dharmawan, N.S., Dwinata, I.M., Swastika, K., Damriyasa, I.M., Oka, I.B.M. dan Agustina,
K.K. (2016). Studi biologi perkembangan metacestoda Taenia saginata pada sapi bali.
Buletin Veteriner Udayana, 8(1):59-64.
Estuningsih, S.E. (2009). Taeniasis dan sistiserkosis merupakan penyakit zoonozis parasiter.
Wartazoa, 19(2):84-92.
None. (2019). Nanas dan Pepaya Mampu Menghancurkan Cacing Pita di Dalam Tubuh. Artikel.
https://www.grid.id/amp/041687915/nanas-dan-pepaya-mampu-menghancurkan-cacing-
pita-di-dalam-tubuh?page=all. diakses tanggal 6 April 2020 pukul 21.05 WIB
Pusat Informasi Obat Nasional. (2015). Cacing Pita (Taenia). Artikel.
http://pionas.pom.go.id/ioni/bab-5-infeksi-cacing/563-cacing-pita-taenia. diakses tanggal
6 April 2020 pukul 20.35 WIB
Putra, A.S. (2011). Taenia Saginata Paper. Paper. https://id.scribd.com/doc/76057346/Taenia-
Saginata-Paper. diakses tanggal 27 April 2020 pukul 15.03 WIB

B. MONIEZIASIS

1. PENDAHULUAN
Monieziasis merupakan infeksi yang disebabkan oleh parasite yaitu cacing dari genus
Moniezia Moniezia yang menyerang ruminansia ada 2, yaitu Moneizia benedini dan Moniezia
expansa. Moniezia benedinii menyerang ruminansia seperti pada spesies tingkat tinggi. Cacing
ini umumnya terdapat pada sapi. Telurnya berbentuk segiempat, sedikit lebih besar daripada telur
Moniezia expansa. Induk semang dari dua jenis cacing ini sama, yaitu tungau. Ruminansia
terinfeksi akibat memakan memakan tungau ketika memakan rumput.
Agen infeksi Moniezia expansa adalah dari jenis tungau tanah (Oribatidae). Perkiraan
waktu pertumbuhan dari telur hingga dewasa bervariasi, yaitu dari beberapa bulan sampai dua
tahun di tanah. Inang definitive akan terinfeksi apabila memakan rumput yang terkontaminasi
stadium.
Berbeda dengan Moniezia benedini, Moniezia expansa menyerang usus ruminansia
seperti domba, kambing dan hewan ruminansia lainnya. Telurnya berbentuk triangular yang
berisikan apparatus piriformis dengan ukuran diameter 56-57 mm.

2. NOMENKLATUR

Kingdom : Animalia
Phylum : Platyhelminthes
Class : Cestoda
Ordo : Anoplocephalidea
Family : Anoplocephalidea
Genus : Moniezia
Spesies : Moniezia benedinii
: Moniezia expansa
3. MORFOLOGI
 Panjang mencapai 6-10 m
 Skoleks menanggung empat pengisap besar, lebar skoleks 360-800 mikron
 Tidak ada kait rostellum dan rostellar
 Pengisapnya tidak berduri
 Batas antara proglotid dipenuhi kelenjar interproglottid
 Bersifat monecious, mengandung organ reproduksi jantan dan betina dalam satu individu
 Testisnya banyak
 Telur berbentuk triangular berdiameter 56-57 mm

4. SIKLUS HIDUP
Sistiserkoid berkembang di dalam Oribated mites dari genus Galumna, Peloribates,
Protoschleroribates, Scheloribates, Scutovertex dan Zygoribatula.
Tinja inang definitive yang dikeluarkan mengandung telur cacing, satu persatu ataupun
berkelompok dala segmen yang terlihat seperti butiran beras. Bila termakan oleh Familia
Oribatidae maka dinding segmen akan sobek dab seluruh telur akan termakan oleh mites,
selanjutnya onkosfer akan tumbuh dan membesar dalam waktu 15 minggu menjadi sistiserkoid.
Suhu dan kondisi sangat mempengaruhi proses perkembangan telur. Kambing, domba dan sapi
akan terinfeksi bila memakan mites yang mengandung ssistiserkoid yang infektif, biasanya
bersama dengan rumput (Kusnoto et al., 2015).
Sistiserkoid berkembang di tungau kurang lebih selama 4 bulan. Cacing ini memiliki
periode prepaten selama 37-40 hari.

5. PATOGENESA
Pada umumnya, infeksi seringkali terjadi pada ruminansia yang berumur di bawah 6
bulan. Infeksi yang hebat berhubungan dengan banyaknya jumlah oribated mites yang berada di
padang rumput. Mites ini mempunyai kebiasaan naik ke ujung rumput atau bagian dari rumput
yang gelap pada malam hari, dan bersembunyi di dasar rumput pada siang hari agar tidak terkena
paparan sinar matahari (bersifat fototropisme negative) (Kusnoto et al., 2015).

6. GEJALA KLINIS
Gejala klinis pada sapi yang terinfeksi tidak tampak dalam waktu yang singkat, gejala
akan tampak apabila penyakit sudah parah atau cacing sudah menyebar ke seluruh tubuh. Gejala
yang akan tampak seperti gangguan pencernaan seperti diare dan gangguan absorpsi makanan.
Gejala akut seperrti keracunan disebabkan oleh racun yang dihasilkan dari ekskresi cacing
dewasa. Infeksi ringan akan menyebabkan diare karena darah diserap oleh cacing dewasa yang
melekat di dinding mukosa usus dan menyebabkan diare profus kaena gangguan absorpsi
makanan sehingga pertumbuhan akan terhambat dan bisa bersifat fatal pada anak sapi.

7. DIAGNOSA
Diagnosa dapat dilakukan dengan menemukan proglotid gravid atau karakteristik telur
dalam feses. Pemeriksaan tinja dilakukan untuk melihat/mencari telur yang berbentuk
segitiga/segiempat dan berisi onkosfer, atau untuk mencari segmen/proglotid (Kusnoto et al.,
2015).

8. PROGNOSA
Prognosa tergantung pada letak larva berada. Apabila di daerah serebral maka
prognosanya adalah infausta.

9. TERAPI
A. OBAT ( KIMIA )
Obat yang diberikan biasanya dari golongan antihelmintika, yaitu Dichlorophene 300-600
mg/kg bb, dan Yomesan 75mg/kg bb (Kusnoto et al., 2015). Juga bisa dengan pemberian
Albendazole 10% oral yang tiap mili mengandung 100mg, Cupper sulfat 10-100 ml, dan lead
arsenat sebanyak 0,5-1 gram dalam kapsul gelatin.
B. OBAT HERBAL (EKSTRAK TUMBUH-TUMBUHAN)
Bisa dengan memberikan serbuk biji pepaya matang.
10. PREVENTIF
Pencegahan dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu :
1. Pemberian obat cacing
2. Menerapkan biosekuriti
3. Pemberian nutrisi yang cukup dan seimbang
4. Menjaga agar ternak tidak dibawa merumput di pagi hari atau tidak memberikan rumput
yang masih lembab kepada ternak

11. KERUGIAN
Kerugian yang didapat dari Monieziasis ini adalah menurunnya produksi daging karena ternak
akan kehilangan berat badan, dan bisa menyebabkan kematian.

DAFTAR PUSTAKA
Ideham, B. dan Pusarawati, S. (2007). Helmintologi Kedokteran. Airlangga University Press,
Surabaya.
Kusnoto., Bendryman, S.S., Koesdarto, S. dan Sosiawati, S.M. (2015). Ilmu Penyakit Helmin
Kedokteran Hewan. Zifatama Publisher, Sidoarjo.
Ramajuwita. (2014). Tugas Complete Cestoda. Artikel.
https://id.scribd.com/doc/223327761/Tugas-Complete-Cstoda. Diakses tanggal 7 Mei
2020 pukul 10.23 WIB.
Jendela Yudhie.(2010). Moniezia Expanza. Artikel.
http://yudhiestar.blogspot.com/2010/01/moniezia-expanza.html?m=1. Diakses tanggal 7
Mei 2020 pukul 10.50 WIB.

C. ECHINOCOCCOSIS

1. PENDAHULUAN
Echinococcosis merupakan infeksi pada ruminansia yang disebabkan oleh cacing
Echinococcus granulosus. Nama lainnya adalah Hidatid Disease. Host definif dari Echinococcus
granulosus adalah hewan karnivoraterutama anjing, kucing, serigaladan karnivora lainnya.
Infeksi ini mempengaruhi hati, paru-paru, otak dan organ lainnya. Menyebar melalui komtak
dengan kotoran hewan yang terkontaminasi telur cacing pita. Sumber lainnya yaitu makanan
yang terkontaminasi, air, dan bulu binatang. Penyakit ini seringkali diawali tanpa gejala dan bisa
berdiam dalam tubuh penderita selama bertahun-tahun. Gejala yang diperlihatkan tergantung
pada lokasi dan ukuran kista.

2. NOMENKLATUR
Kingdom : Animalia
Filum : Platyhelminthes
Class : Cestoda
Ordo : Cyclophyllidea
Family : Taeniidae
Genus : Echinococcus
Spesies : Echinococcus granulosus
: Echinococcus multilocularis

3. MORFOLOGI
 Panjang cacing ini adalah 3-6 mm, merupakan cacing paling kecil di kelompok Cestoda
 Terdiri dari skoleks yang berbentuk bulat yang terdiri dari 4 batil isap dan rostellum
dengan kait, dan mempunyai leher
 3 buah proglotid, yaitu matur,imatur, dan gravid
 Proglotid gravid paling panjang dan paling besar
 Strobila memiliki 3-4 segmen
 Telur berukuran 32-36 x 25-30 mikron
 Proglotid yang matang memiliki 17-26 testes

4. SIKLUS HIDUP
Cacing dewasa Echinococcus granulosus habitatnya di usus halus anjing atau bangsa
anjing lainnya (hospes definitive). Proglotid gravid melepaskan telur yang kemudian dikeluarkan
bersama tinja. Setelah termakan oleh hospes perantara yang cocok (domba, sapi, kambing, unta,
babi dan kuda), telur menetas di usus halus dan melepaskan onkosfer, penetrasi pada dinding
usus dan migrasi melalui sirkulasi darah ke berbagai organ terutama hati dan paru-paru. Pada
organ tersebut, onkosfer berkembang menjadi kista yang membesar secara perlahan kemudian
menghasilkan protoskoleks dan kista sekunder yang mengisi bagian dalam kista. Hospes
definitive terinfeksi karena memakan organ dari hospes perantara yang mengandung kista
hidatid. Setelah infeksi, protoskoleks mengalai evaginasi (menonjol) dan melekat pada mukosa
usus halus dan berkembang menjadi cacing dewasa dalam jangka waktu 32-80 hari. Manusia
terinfeksi karena memakan telur, kemudian akana melepaskan onkosfer menembus dinding usus
halus melalui sirkulasi darah dan berkembang menjadi kista di berbagai tempat yaitu di organ
jantung, hati, paru-paru, limpa, otak dan tulang (Ideham dan Pusarawati,2007).

5. PATOGENESA
Meskipun terdapat dalam jumlah yang besar, cacing Echinococcus granulosus dewassa
yang terdapat dalam usus anjing tidak banyak menimbulkan gangguan kesehatan. Sebaliknya,
adanya larva cacing dalam tubuh manusia akan menimbulkan unilocular hydatid disease. Kista
yang terdapat di permukaan organ hanya bisa dirasakan dan dilihat dengan adanya benjolan.

6. GEJALA KLINIS
Gejala klinis yang ditimbulkan dari infeksi ini tergantung organ yang diinfeksi, jika yang
terinfeksi adalah hati, maka akan timbul rasa sakit dan nyeri di bagian abdominal, benjolan di
daerah hati, dan obstruksi saluran empedu. Jika menginfeksi paru-paru akan menyebabkan rasa
sakit pada dada dan batuk hemoptysis. Kista yang menyebar ke seluruh organ akan menyebabkan
demam, urtikaria, eosinophilia dan syok anafilaktik. Kista dapat menyebar ke bagian otak, tulang
dan jantung. Gejala klinis berupa adanya lesi pada jaringan/organ.

7. DIAGNOSA
Diagnosa dilakukan dengan cara identifikasi atau karakterisasi kista pada organ
menggunakan CT Scan, ronsenografi dan sonografi. Daapat juga dilakukan uji serologi yaitu
IHA (Indirect Hemagglutimation), latex agglutination dan ELISA (Enzyme-Linked
Immunosorbent Assay). Antibodi tidak selalu bisa terdeteksi pada semua penderita. Aspirasi
cairan kista merupakan kontraindikasi karena dapat menyebabkan penyebaran protoskoleks dan
syok anafilaktik. Membran kista dan protoskoleks pada dahak dan bronchial washing dapat
digunakan untuk identifikasi hooklets dengan pewarnaan tahan asam (Ideham dan Pusarawati,
2007).
Diagnosa bisa juga dilakukan dengan tes alergi casoni, yaitu dengan cara disuntikkannya
cairan kista hidatid yang telah disterilkan sebanyak 0,2 ml, penyuntikkan dilakukan secara
intradermal pada terduga Echinococcosis. Reaksi positif akan timbul 30 menit kemudian dengan
tanda berupa benjolan sebesar 5 cm yang menunjukkan adanya kaki semu (pseudopodi) dan akan
menghilang 1 jam kemudian (Soedarto, 2008).

9. PROGNOSA
Pengobatan jangka panjang dapat menyembuhkan dan mengurangi gejala dengan
keberhasilan 80% dan berpeluang hidup 10-20 tahun, bisa dikatakan prognosisnya fausta, namun
apabila diagnosis terlambat dan tidak diobati maka akan berdampak fatal, bisa dikatakan
prognosisnya infausta.
10. TERAPI
A. OBAT KIMIA
Belum ditemukan obat secara khusus untuk mengobati Echinococcosis, namun dilakukan
beberapa tindakan pengobatan seperti pembedahan, pengobatan biologik, pengobatan anti alergi
dan anti cacing. Pembedahan dilakukan terhadap kista tunggal yang terdapat di permukaan
organ. Kista primer di otak diatasi dengan pembedahan, namun kista sekunder di otak tidak
boleh dilakukan pembedahan, diatasi dengan pemberian suntikkan menggunakan cairan hidatid
sebagai antigen. Apabila terjadi anafilaktik atau gejala alergi lainnya, dapat diberikan epinefrin
atau antihistamin. Obat pilihan yang dapat diberikan adalah albendazole sebanyak 10mg/kg/hari
selama beberapa hari dan mebendazole sebanyak 40mg/kg/hari selama 1-6 bulan (Soedarto,
2008).

B. OBAT HERBAL
Obat herbal yang digunakan sama pada kasus cestoda sebelumnya, yaitu serbuk biji papaya yang
dipercaya sebagai obat anti cacing dan banyak digunakan oleh orang asli Amerika.

10. PREVENTIF
Tindakan yang dapat dilakukan yaitu menvegah anjing memakan sisa daging hewan
ternak, pengobatan massal terhadap anjing, hindari berhubungan erat dengan anjing, kucing dan
karnivora lainnya serta hindari memakan makanan/sayuran yang terkontaminasi kotoran/tinja
anjing.

11. KERUGIAN
Hewan tidak bisa bersosialisasi dengan bebas karena harus dipisahkan dari kelompok dan
harus diawasi, hewan akan kehilangan berat badan karena kekurangan nutrisi, dan menurunnya
angka ekonomi karena hewan dihindari untuk dikonsumsi.
DAFTAR PUSTAKA
Ideham, B. dan Pusarawati, S. (2007). Helmintologi Kedokteran. Airlangga University Press,
Surabaya.
Kusnoto., Bendryman, S.S., Koesdarto, S. dan Sosiawati, S.M. (2015). Ilmu Penyakit Helmin
Kedokteran Hewan. Zifatama Publisher, Sidoarjo.
Ramajuwita. (2014). Tugas Complete Cestoda. Artikel.
https://id.scribd.com/doc/223327761/Tugas-Complete-Cstoda. Diakses tanggal 7 Mei
2020 pukul 10.23 WIB.
Soedarto. (2008). Parasitologi Klinik. Airlangga University Press, Surabaya.
Arini, F. Makalah Echinococcus Granulosus. Artikel.
https://www.slideshare.net/mobile/firdikaarini/bab-i1-41442772. Diakses tanggal 8 Mei
2020 pukul 15.57 WIB.

LAMPIRAN
1. TAENIASIS
Sumber : https://slideplayer.info/amp/2308251/
Gambar Organ Normal

l
Sumber : https://www.idntimes.com/science/discovery/amp/peter-eduard/penjelasan-ilmiah-kenapa-
warna-daging-hewan-berbeda-beda-exp-c1c2

Gambar Organ Terinfeksi


Sumber : https://pertanian.pontianakkota.go.id/artikel/32-taeniasis.html
2. MONIEZIASIS

Sumber : https://link.springer.com/referenceworkentry/10.1007%2F978-3-540-48996-2_1990
Gambar Organ Normal

Sumber : https://id.scribd.com/doc/223327761/Tugas-Complete-Cstoda

Gambar Organ Terinfeksi


Sumber : https://id.scribd.com/doc/223327761/Tugas-Complete-Cstoda.

3. ECHINOCOCCOSIS

Sumber : https://species.m.wikimedia.org/wiki/Echinococcus_granulosus
Organ Normal

Sumber : https://id.m.wikipedia.org/wiki/hati

Gambar Organ Terinfeksi


Sumber : http://ilmukesehatanlab.blogspot.com/2014/06/ehinococcosis-granulosus.html?m=1

Anda mungkin juga menyukai