Anda di halaman 1dari 5

2.

2 Domba
Penyakit akibat infeksi cacing memiliki prevalensi yang tinggi pada
ternak di daerah beriklim tropis seperti di Indonesia khususnya di Provinsi Nusa
Tenggara Timur (NTT). Kondisi geografis, temperatur dan kelembaban yang
sesuaimerupakanfaktorberkembangnya cacing ditunjang oleh proses daur hidup
dan cara penularannya.
Ruminansia merupakan salah satu kelompok hewan pemamah biak yang
terbagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok ruminansia besar dan ruminansia
kecil. Salah satu jenis hewan yang termasuk dalam kelompok ruminansia kecil
adalah domba. Domba merupakan salah satu jenis hewan ternak yang banyak
dipelihara oleh petani di pedesaan, yang cara pemeliharaannya masih tradisional
dan sifatnya hanya sebagai usaha sampingan atau tabungan untuk menutupi
kebutuhan bila suatu waktu ada kerperluan yang mendadak seperti untuk
memperbaiki rumah, membeli sebidang tanah, menyekolahkan anak, atau pada
musim paceklik. Karena para petani tersebut belum banyak mengetahui tata cara
pemeliharaan ternak yang baik dan benar, maka ternak tersebut mudah sekali
terserang penyakit terutama penyakit yang disebabkan oleh parasit cacing.
Penyakit cacing dapat menginfeksi hampir merata pada semua ternak domba
/kambing yang dipelihara dengan cara tradisional dan terjadinya infeksi lebih
banyak pada musim hujan, dimana dapat terlihat dari kenaikkan jumlah telur
cacing yang ada dalam tinja (Kosasih, 2001).
Pada pemeriksaan feses domba dengan metode uji natif, uji apung
diperoleh hasil positif yaitu ditemukan telur cacing strongyloides sp dengan ciri-
ciri telur cacing berbentuk elips dan mengadung larva hal ini sesuai dengan
Levine (1994) yaitu telur cacing strongyloides berbentuk elips, berdinding tipis
dan berembrio berukuran 40-64 X 2042 mm. hal ini diperkuat dengan hasil
penelitian dari Levine (1994) yang menyatakan bahwa Strongyloides sp. terdapat
di di mukosa usus halus domba, kambing, sapi, berbagai ruminansia lain, dan
berbagai hewan lain.
2.2.1 Strongyle sp
Strongyle sp merupakan nematoda yang berasal dari ordo Strongyleida.
Cacing ini memiliki enam, tiga, atau bahkan tidak memiliki bibir. Ukuran cacing
ini relatif besar, yaitu 14 mm sampai 47 mm. Mulut dikelilingi oleh satu atau dua
baris yang berbentuk seperti daun yang disebut dengan mahkota daun. Mahkota
daun tersebut terdapat pada bagian eksternal yang mengelilingi mulut dan bagian
internal yang terdapat pada dinding bagian dalam kapsul bukal (Subronto dan
Tjahajati, 2004). Pada ternak ruminansia cacing Strongyle sp dapat masuk ke
dalam tubuh ternak melalui infeksi pada rumput yang dijadikan pakan. Cacing ini
menginfeksi induk semang dengan menembus kulit atau tertelan, terdapat di usus
halus (Soulsby, 1986).
a. Siklus Hidup
Siklus hidup dari cacing Strongyloides sp. yaitu larva infektif
(filariform) yang berkembang dalam tinja atau tanah lembab yang
terkontaminasi oleh tinja, menembus kulit masuk ke dalam darah vena di
bawah paru-paru. Di paru-paru larva menembus dinding kapiler masuk
kedalam alveoli, bergerak naik menuju ke trachea kemudian mencapai
epiglotis. Selanjutnya larva turun masuk kedalam saluran pencernaan
mencapai bagian atas dari intestinum, disini cacing betina menjadi dewasa
(Levine, 1994). Cacing dewasa yaitu cacing betina yang berkembang biak
dengan cara partenogenesis dan hidup menempel pada sel-sel epitelum
mukosa intestinum terutama pada duodenum, di tempatini cacing dewasa
meletakkan telurnya. Telur kemudian menetas melepaskan larva
noninfektif rhabditiform. Larva rhabditiform ini bergerak masuk ke dalam
lumen usus, keluar dari hospes melalui tinja dan berkembang menjadi
larva infektif filariform yang dapat menginfeksi hospes yang sama atau
orang lain (Levine, 1994 ).
b. Transmisi
Transmisi dengan penetrasi larva filariform infektif melalui kulit
dari tanah yang terkontaminasi atau per-oral. Transmisi juga mungkin
dapat terjadi melalui transplancental (dari induk ke fetus) dan
transmammary (dari induk ke fetus melalui air susu).
c. Etiologi
Penyebab utama penyakit strongylosis adalah infeksi dari
Strongyloides papilosus yang umumnya disebut cacing benang usus,
Strongyloides papilosus memiliki mulut yang besar dan terbuka ke sebuah
capsula bukalis yang dapat mempunyai gigi, parasit ini bila makan akan
mengambil segumpal lapisan mukosa usus dan memasukkannya ke
kapsula bukalis. parasit ini merupakan parasit nematoda yang
menimbulkan kerusakan pada epitel usus halus sehingga mengganggu
tingkat absorbsi pada usus. Penurunan penyerapan nutrisi pada usus halus
dapat menimbulkan defesiensi nutrisi pada hewan yang terinfeksi.
Strongyloides papilosus sering menyerang domba dan ruminansia kecil
lainnya. Strongyloides papilosus menginfeksi melalui pakan maupun
menembus barier kulit host. Sehingga pada bagian kulit yang di tembus
oleh larva cacing ini sering menimbulkan gejala peradangan, kemerahan
dan gatal. Cacing ini terdapat diseluruh dunia pada mukosa usus halus
domba, kambing sapi dan berbagai ruminansia lainnya. Kondisi dan umur
domba dari semua tingkat umur dapat terinfeksi oleh Nematoda ini, akan
tetapi tingkat infeksinya pada hewan muda lebih tinggi jika dibandingkan
dengan hewan tua (Georgi, 1969).
d. Gejala klinis
Akibat klinis yang disebabkan cacing Strongyloides sp yang sering
terlihat adalah diare, anoreksia, kusam, penurunan berat. Pada waktu
cacing menetap di intestinum, akan terjadi penebalan yang luas dari
dinding usus (Urquhart et al, 1996).
e. Pengobatan dan Pencegahan
1. Pengobatan
Pengobatan dilakukan diawali dengan pemberian obat cacing
seperti Mebendazol 15 mg/kg BB, Pyrantel tatrat 25 mg/kg BB secara
oral. Menghentikan diare bila hewan mengalami diare yakni dengan
memberikan karbon aktif. Bila hewan ternak mengalami dehidrasi
dapat dilakukan terapi cairan dan untuk menambah napsu makan dapat
dilakukan dengan pemberian Vitamin B-Complex.
2. Pencegahan
Dapat dilakukan dengan cara mengandangkan hewan ternak,
memberikan pakan berkualitas, menjaga sanitasi kandang, pemberian
obat cacing secara berkala dan kontrol kesehatan dari dokter hewan
setempat. Tindakan lainnya yaitu menghindari padang gembala yang
basah sehingga tertelannya larva infektif yang menempel pada daun
dapat dihindari.
Daftar pustaka

Georgi, J.R. 1969. Parasitology for Veterinarians.W.B. Saunders Company,


Philadelphia USA.

Kosasih, Z. 2001. Metode Uji Apung Sebagai Tehnik Pemeriksaan Telur Cacing
Nematoda dalam Tinja Hewan Ruminansia Kecil. Balai Penelitian
Veteriner. Bogor.
Levine, N.D. 1994, Nematode Parasite of Domestic Animals and of Man.
Burgess, Minnealpolis. USA
Soulsby, E.J.L. 1986. Textbook of Clinical Parasitology Volume I : Helminth, blockwell
Scientific publication, Oxford, London.

Subronto & I. Tjahajati. 2004. Ilmu Penyakit Ternak II. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta.

Urquhart, G. M. et al. 1996. Veterinary parasitology. Second Edition. Blackwell


Science Ltd, London. P. 148

Anda mungkin juga menyukai