Anda di halaman 1dari 15

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA
A. Enterobiasis
1. Pengertian
Enterobiasis adalah kejadian infeksi kecacingan yang diakibatkan oleh masuknya cacing
spesies Enterobiasis vermicularis (Oxyuris vermicularis) pada tubuh manusia yang ditandai
dengan timbulnya rasa gatal daerah sekitar anus pada kasus infeksi berat.
Enterobius vermicularis adalah cacing yang yang termasuk dalam kelompok cacing gilig
(nematoda) dan memiliki habitat hidup di dalam usus manusia.
a. Klasifikasi Enterobius vermicularis
Taksonomi Enterobius vermicularis menurut Jeffry dan Leach
adalah sebagai berikut :
Kingdom : Metazoa
Philum : Nemathelmintes
Kelas : Nematoda
Sub kelas : Plasmidia
Ordo : Rhabditia
Famili : Oxyuroidea
Genus : Enterobius
Spesies : Enterobius vermicularis ( Jeffry dan Leach. 1983 )
b. Morfologi
Stadium perkembangan Enterobius vermicularis dimulai dari telur kemudian menetas dan
menjadi stadium dewasa.

1) Telur
Seekor cacing betina memproduksi telur sebanyak 11.000 butir setiap harinya selama 2-3
minggu, sesudah itu cacing betina akan mati. Telur cacing berbentuk asimetrik ini tidak

berwarna, mempunyai dinding yang tembus sinar dan berisi larva yang hidup. Ukuran telur
Enterobius vermicularis lebih kurang 30 mikron kali 50-60 mikron . (Soedarto ; 1995 ). Telur ini
mempunyai kulit yang terdiri dari dua lapisan luar yang berupa albuminous translucent, bersifat
chemical protection. ( Soejoto dan Soebari. 1996 )
2) Cacing dewasa
Cacing kremi (Enterobius vermicularis) dewasa berukuran kecil, berwarna putih. Ukuran
cacing betina jauh lebih besar daripada cacing jantan. Ukuran cacing betina sampai 13 mm,
sedangkan yang jantan sampai sepanjang 5mm. Di daerah anterior sekitar leher, kutikulum
cacing melebar. Pelebaran yang khas pada cacing ini disebut sayap leher (cervical alae).
Usufagus cacing ini juga khas bentuknya oleh karena mempunyai bulbus esophagus ganda
(double-bulpoesophagus). Tidak terdapat rongga mulut pada cacing ini, akan tetapi dijumpai
adanya tiga buah bibir. Ekor cacing betina lurus dan runcing sedangkan yang jantan mempunyai
ekor yang melingkar. Di daerah ujung posterior ini dijumpai adanya spikulum adanya spikulum
dan papil-papil. Cacing jantan jarang dijumpai oleh karena sesudah mengadakan kopulasi dengan
betinanya ia segera mati. ( Soedarto.1995 ).
c. Siklus hidup
Manusia merupakan satu-satunya hospes definitif Enterobius vermicularis dan tidak
diperlukan hospes perantara. Cacing dewasa betina mengandung banyak telur pada malam hari
dan akan melakukan migrasi keluar melalui anus ke daerah : perianal dan perinium. Migrasi ini
disebut Nocturnal / migration. Di daerah perinium tersebut cacing-cacing ini bertelur dengan
cara kontraksi uterus, kemudian telur melekat didaerah tersebut. Telur dapat menjadi larva
infektif pada tempat tersebut, terutama pada temperatur optimal 23-26 C dalam waktu 6 jam
(Soedarto, 1995). Waktu yang diperlukan untuk daur hidupnya, mulai dari tertelan telur matang
sampai menjadi cacing dewasa gravid yang bermigrasi kedaerah perianal, berlangsung kira-kira
2 minggu sampai 2 bulan. Mungkin daurnya hanya berlangsung kira-kira I bulan karena telurtelur cacing dapat ditemukan kembali pada anus paling cepat 5 minggu sesudah pengobatan.
(Srisari G, 2006).
d. Daur hidup
Enterobiasis vermicularis dapat menyebabkan infeksi yang bersifat kosmopolit. Manusia
merupakan satu-satunya hospes definitif Enterobius vermicularis dan tidak diperlukan hospes
perantara. Cacing dewasa terutama hidup didalam sekum dan sekitar apendiks manusia. Cacing

betina gravid ulkusnya berisi telur. Cacing tersebut turun ke colon sampai rectum pada malam
hari, kemudian cacing terbut keluar dari anus dan meletakkan telur cacing ini cepat sekali
menjadi infektif setelah 2-3 jam. ( Tomia Yamaguchi ; 1992 ) Bila telur infektif di telan, larva
stadium pertama menetap di duodenum. Larva rabditiform yang dikeluarkan berubah menjadi
dewasa di jejunum dan bagian atas ileum. Kopulasi terjadi disekitar sekum. Lama siklus mulai
telur tertelan sampai menjadi cacing dewasa di butuhkan
waktu antara 2-4 minggu. ( Jeffry dan Leach. 1983 ).
e. Cara penularan
Cara penularan Enterobius vermicularis dapat melalui empat jalan, yaitu :
1) Penularan dari tangan ke mulut penderita sendiri (auto infection) atau pada orang lain sesudah
memegang benda yang tercemar telur infektif misalnya alas tempat tidur atau pakaian dalam
penderita
2) Melalui pernafasan dengan menghisap udara yang tercemar telur yang infektif.
3) Penularan secara retroinfeksi yaitu penularan yang terjadi pada penderita sendiri, oleh karena
larva yang menetas di daerah perianal mengadakan migrasi kembali ke usus penderita dan
tumbuh menjadi
cacing dewasa. ( Soedarto. 1995 )
4) Debu merupakan sumber infeksi karena mudah diterbangkan oleh angin sehingga telur
melalui debu dapat tertelan. (Sutanto I, Is Suhariah Ismid, Pudji K, Sjarifuddin, Saleha S ; 2008)
f. Distribusi geografis
Cacing ini tersebar luas di seluruh dunia, baik didaerah tropis maupun didaerah subtropis.
Penyebaran ini lebih banyak ditemukan didaerah dengan suhu dingin dari pada daerah dengan
suhu panas. Sehingga bisa terjadi kemungkinan daerah yang lembab lebih banyak terinfeksi
enterobiasis dibanding dengan daerah panas. Penyebaran cacing ini juga di tunjang oleh eratnya
hubungan antara manusia satu dengan lainnya. ( Onggowaluyo,JS, 2001 ).
2. Epidemiologi
Penyebaran kejadian enterobiasis lebih luas daripada cacing lainnya. Penularan dapat
terjadi pada keluarga atau kelompok yang sama (asrama, rumah piatu). Telur cacing dapat
diisolasi dari debu diruangan sekolah atau kafetaria sekolah dan menjadi sumber infeksi bagi
anak sekolah. Dalam lingkungan rumah tangga dengan beberapa anggota keluarga yang

terinfeksi cacing kremi, telur cacing dapat ditemukan ( 92 % ) dilantai, meja, kursi, bufet, tempat
duduk, kakus (toilet seats), bak mandi, alas kasur, pakaian dan tilam. Hasil penelitian
menunjukan angka prevalensi pada berbagai golongan manusia 3 % - 80 %.. Penelitian di daerah
Jakarta Timur melaporkan bahwa kelompok usia terbanyak yang menderita enterobiasis adalah
kelompok usia 5 9 tahun, mencapai angka 54,1 %. Binatang anjing dan kucing tidak
mengandung cacing kremi tetapi dapat menjadi sumber infeksi oleh karena telur dapat menempel
pada bulunya. Sementara itu frekwensi tinggi, terutama pada anak dan lebih banyak ditemukan
pada golongan ekonomi lemah. Frekwensi pada orang kulit putih lebih tinggi dari pada orang
negro terkait dengan faktor immunitas tubuhnya secara genetik. (Sutanto I, Is Suhariah ismid,
Pudji K, Sjarifuddin, Saleha S ; 2008) Kebersihan perorangan penting untuk mencegah
terjadinya enterobiasis. Kuku tangan hendaknya dipotong pendek, tangan dicuci bersih sebelum
makan. Guna mengendalikan penyebaran telur, anak yang menderita enterobiasis sebaiknya
memakai celana panjang jika hendak tidur, supaya alas tidur (kasur) tidak terkontaminasi telur
cacing dan tangan tidak dapat menggaruk daerah perianal. ( Sutanto I, Is Suhariah Ismid, Pudji
K, Sjarifuddin, Saleha S ; 2008 ) Makanan hendaknya diupayakan semaksimal mungkin untuk
dapat dihindarkan dari debu dan tangan yang mengandung telur. Pakaian dan alas tidur
hendaknya dicuci bersih dan diganti tiap hari. ( Sutanto I, Is
Suhariah Ismid, Pujdi K, Sjarifuddin, Saleha S ; 2008 )
3. Gejala dan Patologi klinis
Enterobiasis dapat menyebabkan pruritus ani yang disebabkan karena cacing betina
gravid yang bermigrasi ke daerah anus dan vagina, sehingga penderita merasa gatal dan
menggaruk dan menimbulkan luka di sekitar anus. Keadaan ini sering terjadi pada waktu malam
hari hingga penderita terganggu tidurnya dan menjadi lemah. Gejala Enterobiasis yaitu
berkurangnya nafsu makan, berat badan menurun, aktivitas meninggi, enuresis, cepat marah, gigi
menggertak dan insomnia, tetapi kadang-kadang sukar untuk membuktikan hubungan sebab
dengan cacing kremi. ( Srisasi Gandahusada; 2004 ) Infeksi lebih sering ditemukan pada anak
anak dan wanita. Pada wanita yang terinfeksi berat, sering mengeluarkan cairan mukoid dari
vagina, uterus, tuba falopii dan sering juga ditemukan cacing yang mengadakan enkapsulasi
(pembentukan kapsul) di organorgan tersebut. ( Onggowaluyo, JS, 2001 )

B. Spesimen Pemeriksaan Laboratorium Infeksi Kecacingan


1. Spesimen pemeriksaan infeksi cacing perut.
Ketepatan hasil pemeriksaan laboratorium untuk penegakan infeksi kecacingan sangat
dipengaruhi oleh ketepatan pengambilan spesimen yang didasari oleh kebiasaan hidup dari jenis
cacing yang akan dideteksi tersebut. Secara umum kelompok cacing perut memiliki habitat hidup
di dalam usus dan memiliki kebiasaan bertelur di dalam usus, sehingga telur cacing akan
bercampur dengan faeses pada saat terjadi proses pencernaan makanan. Kelompok cacing
dengan perilaku demikian sangat tepat ditegakkan diagnosis laboratoriumnya menggunakan
specimen pemeriksaan dari faeses. Yang termasuk dalam kelompok cacing ini adalah dari
golongan cacing yang siklus hidupnya melalui tanah (soil transmitted helminth) yang meliputi
Ascaris lumbricoides, TrichurI trichiura, cacing tambang dan Strongyloides stercoralis.
2. Spesimen pemeriksaan enterobiasis.
Spesies cacing perut yang tidak termasuk dalam kelompok soil transmitted helminth
adalah Enterobius vermicularis. Cacing ini tidak memiliki perilaku bertelur di dalam usus,
namun pada malam hari cacing betina gravid akan berjalan menuju anus dan bertelur di daerah
perianal. Dapat dipahami bahwa telur cacing ini tidak akan bercampur dengan faeses. Spesimen
faeses untuk bahan pemeriksaan laboratorium memang masih memberikan kemungkinan untuk
ditemukan telur cacing namun peluangnya hanya menempel di bagian luar faeces pada saat
faeses keluar dari anus dan menyentuh telur. Telur cacing Enterobius vermicularis jarang
ditemukan dalam faeses, hanya 5 % yang positif pada orang-orang yang terinfeksi penyakit ini.
( Soejoto dan Soebari ; 1996 ) Keberadaan telur cacing pada daerah perianal tersebut
memberikan pemahaman bahwa spesimen apusan perianal akan dapat memberikan hasil yang
maksimal pada pemeriksaan laboratorium untuk penegakan diagnosis enterobiasis. Guna
menghindari hasil negatif palsu hendaknya spesimen apusan perianal ini diambil sebelum daerah
perianal terpapar air dalam pencucian. Perilaku cebok, kencing dan mandi setelah bangun tidur
pagi hendaknya menjadi faktor yang diperhatikan dalam pengambilan spesimen apusan perianal.

D. Diagnosis Laboratorium Infeksi Kecacingan


Pemeriksaan laboratorium untuk penegakan diagnosis infeksi kecacingan dari specimen
pemeriksaan faeses dan apusan perianal dapat dilakukan dengan berbagai teknik.
a) Pemeriksaan laboratorium dengan spesimen faeses
1. Cara langsung
Metode pemeriksaan telur cacing ini paling sederhana dan paling mudah dilakukan.
Teknik ini dapat dikerjakan menggunakan kaca penutup maupun tanpa kaca penutup. Prinsip
dasar pembuatan sediaan dengan cara langsung yaitu, membuat sediaan setipis mungkin yang
tidak ada gelembung udara di dalamnya. Pemeriksaan cacing ini hanya dapat memberikan hasil
secara kualitatif dengan hasil positif dan negative saja.
2. Cara tidak langsung
Cara tidak langsung ini sering pula disebut dengan teknik konsentrasi. Dalam metode ini
telur cacing tidak lagsung dibuat sediaan tetapi sebelum dibuat sediaan sampel diperlakukan
sedemikian rupa sehingga telur diharapkan dapat terkumpul. Teknik konsentrasi merupakan
teknik yang sering dikerjakan karena memberikan peluang ditemukannya telur cacing lebih besar
dari pemeriksaan cara langsung, selain itu biasanya relatif murah dan mudah dalam
mengerjakannya. Teknik konsentrasi ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
a. Teknik sedimentasi/pengendapan (Metode Faust-Rossel, 1964 )
Prinsip dari teknik sedimentasi ini adalah mengkonsentrasikan telur cacing dengan bantuan alat
sentrifuge sehingga telur cacing terendapkan, yang selanjutnya diamati secara mikroskopis.
b. Teknik flotasi (pengapungan) dengan larutan NaCl jenuh ( MetodeWillis, 1921 )
Prinsip dari teknik ini adalah adanya perbedaan berat jenis telur cacing dengan larutan NaCl
jenuh, dimana berat jenis telur cacing lebih kecil dari berat jenis NaCl jenuh sehingga telur
cacing akan mengapung pada permukaan larutan NaCl jenuh. Selanjutnya telur yang mengapung
tersebut ditangkap dengan kaca penutup dan dilakukan pengamatan secara mikroskopis.
3. Teknik Kato (Kato dan Miura, 1954) dan Kato Katz ( Ritchi, 1960 )
Teknik Kato sering pula disebut dengan teknik sediaan tebal, karena teknik ini dibuat
tidak menggunakan kaca penutup. Teknik ini hanya dapat diaplikasikan untuk spesimen faeses
yang memiliki konsistensi minimal lembek hingga agak keras. Apabila specimen berupa faeses
cair, teknik ini tidak tepat dijadikan pilihan. Kelebihan teknik Kato ini adalah dapat melakukan
penghitungan jumlah telur cacing dari spesimen faeses yang diperiksa sehingga dapat diketahui

derajat infeksi penderita. Prinsip dari pemeriksaan tekni Kato ini adalah melakukan pewarnaan
dasar sediaan dengan pewarna malacheet green sehingga dasar sediaan akan berwarna kehijauan
dan telur cacing yang tidak terwarnai akan tampak lebih jelas. Dengan demikian lebih mudah
untuk diidentifikasi. (Illhude HD, 1992)
b) Pemeriksaan laboratorium dengan spesimen apusan perianal
Pemeriksaan laboratorium untuk penegakan diagnosis infeksi kecacingan menggunakan
spesimen apusan perianal biasanya bertujuan untuk mengidentifikasi kejadian enterobiasis. Hal
ini didasari perilaku cacing betina dewasa yang bertelur di daerah sekitar anus (perianal). Apusan
perianal yang diambil dari tersangka penderita biasanya menggunakan alat sampling berperekat.
Prinsip dasar dari metode pemeriksaan ini adalah mengambil telur cacing dari daerah perianal
menggunakan scotch adhesive tape yang selanjutnya diamati secara mikroskopis. Selanjutnya
metode ini lebih sering dikenal dengan metode Graham Scotch. ( Illhude HD, 1992 ) Beberapa
pakar dan lembaga penelitian banyak mengembangkan metode ini, diantaranya adalah metode NI-H, metode pita plastik perekat, metode anal swab dan lain-lain.
1. Metode N-I-H (National Institude of Heatlh)
Pengambilan sampel menggunakan kertas selofan yang dibungkuskan pada ujung batang
gelas dan diikat dengan karet gelang pada bagian sisi kertas selofan, kemudian ditempelkan
didaerah perianal. Batang gelas dimasukkan ke dalam tutup karet yang sudah ada lubang di
bagian tengahnya. Bagian batang gelas yang mengandung selofan dimasukkan kedalam tabung
reaksi yang kemudian ditutup karet. Hal ini dimaksudkan agar bahan pemeriksaan tidak hilang
dan tidak mudah terkontaminasi. ( Hardidjaja Pinardi
MPH & TM. 1994 )
2. Metode pita plastik perekat (cellophane tape atau adhesive tape)
(Brooke dan Melvin, 1969) Pengambilan spesimen menggunakan alat berupa spatel lidah
atau batang gelas yang ujungnya dilekatkan adhesive tape, kemudian ditempelkan di daerah
perianal. Adhesive tape diratakan di kaca objek dan bagian yang berperekat menghadap ke
bawah. Pada waktu pemeriksaan mikroskopis, salah satu ujung adhesive tape ditambahkan
sedikit toluol atau xylen pada perbesaran rendah dan cahayanya dikurangi. ( Lynnes S Garcia,
David A Bruckner. 1996 )

3. Metode Anal Swab ( Melvin dan Brooke, 1974)


Pengambilan spesimen menggunakan swab yang pada ujungnya terdapat kapas yang
telah dicelupkan pada campuran minyak dengan parafin yang telah di panaskan hingga cair.
Kemudian swab disimpan dalam tabung berukuran 100 x 13mm dan disimpan dalam lemari es.
Jika akan digunakan untuk pengambilan spesimen, swab diusapkan di daerah permukaan dan
lipatan perianal swab diletakkan kembali ke dalam tabung. Pada saat pemeriksaan, tabung yang
berisi swab diisi dengan xylen dan dibiarkan 3 sampai 5 menit, kemudian disentrifuge pada
kecepatan 500 rpm selama 1 menit. Sedimen diambil lalu diperiksa dengan mikroskup. ( Lynnes
S Garcia, David A Bruckner. 1996 )
4. Graham Scotch Tape Alat dari batang gelas atau spatel lidah yang pada ujungnya dilekatkan
adhesive tape. ( Srisasi Gandahusada, Herry D, Wita Pribadi. 2004 ). Teknik penggunaan alat ini
ditemukan olehGraham (1941). Teknik ini digunakan karena pada awalnya dianggap sederhana
dari pada menggunakan teknik N-I-H (National Institude of Health) yang digunakan oleh Hall
pada tahun 1937. ( Craig andFausts. 1970 ) Pengambilan spesimen dilakukan sebelum pasien
defekasi, kencing dan mandi. Dalam pemeriksaan di laboratorium digunakan alat bantu berupa
mikroskup dengan perbesaran 10 kali dan sedikit penambahan toluen atau xylen. Xylen atau
toluen digunakan untuk memberi dasar warna untuk telur dan membuat jernih. ( Brown Harrold
W. 1983 ).
Pengobatan
Umumnya semua obat cacing dapat digunakan terhadap cacing ini. Hal yang paling penting
dalam pengobatan adalah pengobatan harus dilaksanakan pada seluruh anggota keluarga. Untuk
mendapat hasil pengobatan yang baik, pengobatan secara periodic harus dilakukan. Di samping
itu, penjelasan mengenai perbaikan kebersihan pribadi sangat

berarti dalam menunjang

kebersihan pengobatan.

Pirantel pamoat, dosis 10mg/kgBB/hari,dosis tunggal, memberikan hasil yang


memuaskan.

Mebendazol, dosis 100 mg, dua kali sehari, diberikan selama 3 hari berturut-turut. Hasil
pengobatan baik, tetapi efek samping berupa iritasi terhadap cacing, sehingga cacing
dapat terangsang untuk bemigrasi ke tempat lain harus dipertimbangkan.

Oksantel-pirantel pamoat, dosis 10 mg/kgBB, dosis tunggal memberikan hasil yang baik.

Albendazol, pada anak di atas 2 tahun dapat diberikan 2 tablet albendazol ( 400mg) atau
20ml suspense, berupa dosis tunggal. Hasil cukup memuaskan.

Pencegahan
Sangat sulit mencegah penyebaran infeksi dalam keluarga. Perbaikan kebersihan pribadi
merupakan cara yang utama dalam proses pencegahan penyebaran infeksi. Membersihkan tangan
dan kuku sebelum dan sesudah majan merupakan cara yang bermanfaat.

BAB II
LAPORAN KASUS

1.Identitas pasien:
Nama

: MUTIARA

Umur

: 6 tahun

Kelamin

: Perempuan

Pekerjaan

: Pelajar

Alamat

: Jl. Belanti Timur no 7 Ulak Karang, Padang

2.Latar belakang sosial,ekonomi,demografi,lingkungan keluarga


-Jumlah saudara

: Anak kedua dari dua orang bersaudara

-Status ekonomi

; Sedang, penghasilan ayah pasien Rp 4.000.000/bulan, sebagai


seorang pedagang.

-Kondisi lingkungan rumah :


-

Rumah permanen, pekarangan sempit.

Lantai rumah dari keramik, ventilasi udara dan sirkulasi udara


cukup baik, pencahayaan cukup, 3 kamar dengan ukuran 3x4
meter

Listrik ada

Sumber air : mandi, mencuci dan minum dengan air PDAM

Jamban ada 2 buah, di dalam rumah

Sampah diambil petugas kebersihan.

Jumlah penghuni 4orang: pasien, orang tua pasien dan 1 orang


kakak pasien

Kesan : higiene dan sanitasi cukup baik.

-Kondisi lingkungan keluarga:


-

Pasien tinggal di lingkungan perkotaan yang cukup

penduduk
-

Lingkungan sekitar cukup bersih

3.Aspek psikologis di keluarga:


Hubungan dengan keluarga baik.

4.Riwayat penyakit sekarang:


Keluar cacing dari anus 1 hari yang lalu.
Anus terasa geli dan gatal, sehingga pasien sering menggaruk anusnya.
Pasien tidak ada berobat sebelumnya.

5.Riwayat penyakit dahulu:

padat

Pasien tidak pernah menderita penyakti seperti ini sebelumnya

6.Riwayat penyakit keluarga:


Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama dengan pasien.

7.Pemeriksaan fisik:
Keadaan umum

:Tidak Tampak Sakit

Kesadaran

: CMC

Tekanan darah

:110/60 mmHg

Frekuensi nadi

: 80 x/mnt

Frekuensi nafas

: 21x / menit

Suhu

: 37,8 C

Berat badan

: 20 kg

Tinggi badan Badan

: 135cm

Status Gizi

: Baik

Kulit

: Teraba hangat, turgor baik

Kepala

: Tidak ada kelainan

Mata

: Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil


isokor, diameter pupil 2 mm, refleks cahaya +/+

Paru

: normochest, simetris kiri kanan, retraksi

Pa

:fremitus kiri=kanan

Pe

: sonor

: napas vesikuler, Rh -/-, Wh -/-

Jantung

dinding dada tidak ada

I : Iktus tidak terlihat


Pa : Iktus teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Pe : batas jantung dalam batas normal
A : Bunyi jantung murni, irama teratur, bising tidak ada

Abdomen
I

: tidak membuncit

Pa : supel, hepar dan lien tidak teraba.


Pe: timpani
A: Bising Usus (+) N

Ekstremitas

: Akral hangat, refilling kapiler baik

8.Pemeriksaan laboratorium (penunjang) :


Pemeriksaan telur cacing
9.Diagnosis kerja:
Enterobiasis (oxyuriasis)
10.Diagnosa banding:
11.Manajemen
a. Preventif :

Memotong kuku

Mencuci tangan sebelum makan

Mencuci bahan makanan sebelum diolah, misalnya sayur-sayuran.

Mencuci tangan dengan sabun setelah bermain , BAB, atau menggaruk luka.

Memakai alas kaki jika keluar rumah ataupun ke jamban

Tidak memakai handuk, pakaian, sprei bersama dengan pasien.

Mencuci spray yang telah digunakan pasien dengan air hangat dan air sabun.

b.Promotif:

Edukasi tentang penyakit pasien, pencegahan penyakit, gejala, dan komplikasi


yang mungkin timbul.

Mengedukasi tentang cara pnegobatan enterobiasis:


o Pengobatan harus dilaksanankan untuk selurruh anggota keluarga
o Pengobatan secara periodic harus dilakukan
o Perbaikan kebersihan pribadi sangat berarti untuk menunjang keberhasilan
pengobatan.

c.Kuratif

pirantel pamoat 1 x 2 tab @125 mg (malam hari)


d.Rehabilitatif :
Pasien dianjurkan kembali ke Puskesmas 3 hari lagi untuk mengevaluasi perjalanan
penyakit dan menilai apakah muncul infeksi sekunder.

Prognosis:

Quo ad sanam: bonam

Quo ad vitam: bonam

Quo ad kosmetikum: bonam

Quo ad functionam: bonam

Resep
Dinas Kesehatan Kodya Padang
Puskesmas Ulak Karang

Dokter

: Elsa Purnama Sari


Tanggal : 22 November 2012

R/ Pirantel Pamoat 125 mg


S 1dd tab 2
R/ CTM tab 4 mg

NO. II

No. V

S3dd tab
R/ Vit.b komplek tab
S 3 dd tab I/2
Pro

: mutiara

Umur : 6 tahun
Alamat jl. Belanti timur No. 7

NO. V

Anda mungkin juga menyukai