TINJAUAN PUSTAKA
A. Enterobiasis
1. Pengertian
Enterobiasis adalah kejadian infeksi kecacingan yang diakibatkan oleh masuknya cacing
spesies Enterobiasis vermicularis (Oxyuris vermicularis) pada tubuh manusia yang ditandai
dengan timbulnya rasa gatal daerah sekitar anus pada kasus infeksi berat.
Enterobius vermicularis adalah cacing yang yang termasuk dalam kelompok cacing gilig
(nematoda) dan memiliki habitat hidup di dalam usus manusia.
a. Klasifikasi Enterobius vermicularis
Taksonomi Enterobius vermicularis menurut Jeffry dan Leach
adalah sebagai berikut :
Kingdom : Metazoa
Philum : Nemathelmintes
Kelas : Nematoda
Sub kelas : Plasmidia
Ordo : Rhabditia
Famili : Oxyuroidea
Genus : Enterobius
Spesies : Enterobius vermicularis ( Jeffry dan Leach. 1983 )
b. Morfologi
Stadium perkembangan Enterobius vermicularis dimulai dari telur kemudian menetas dan
menjadi stadium dewasa.
1) Telur
Seekor cacing betina memproduksi telur sebanyak 11.000 butir setiap harinya selama 2-3
minggu, sesudah itu cacing betina akan mati. Telur cacing berbentuk asimetrik ini tidak
berwarna, mempunyai dinding yang tembus sinar dan berisi larva yang hidup. Ukuran telur
Enterobius vermicularis lebih kurang 30 mikron kali 50-60 mikron . (Soedarto ; 1995 ). Telur ini
mempunyai kulit yang terdiri dari dua lapisan luar yang berupa albuminous translucent, bersifat
chemical protection. ( Soejoto dan Soebari. 1996 )
2) Cacing dewasa
Cacing kremi (Enterobius vermicularis) dewasa berukuran kecil, berwarna putih. Ukuran
cacing betina jauh lebih besar daripada cacing jantan. Ukuran cacing betina sampai 13 mm,
sedangkan yang jantan sampai sepanjang 5mm. Di daerah anterior sekitar leher, kutikulum
cacing melebar. Pelebaran yang khas pada cacing ini disebut sayap leher (cervical alae).
Usufagus cacing ini juga khas bentuknya oleh karena mempunyai bulbus esophagus ganda
(double-bulpoesophagus). Tidak terdapat rongga mulut pada cacing ini, akan tetapi dijumpai
adanya tiga buah bibir. Ekor cacing betina lurus dan runcing sedangkan yang jantan mempunyai
ekor yang melingkar. Di daerah ujung posterior ini dijumpai adanya spikulum adanya spikulum
dan papil-papil. Cacing jantan jarang dijumpai oleh karena sesudah mengadakan kopulasi dengan
betinanya ia segera mati. ( Soedarto.1995 ).
c. Siklus hidup
Manusia merupakan satu-satunya hospes definitif Enterobius vermicularis dan tidak
diperlukan hospes perantara. Cacing dewasa betina mengandung banyak telur pada malam hari
dan akan melakukan migrasi keluar melalui anus ke daerah : perianal dan perinium. Migrasi ini
disebut Nocturnal / migration. Di daerah perinium tersebut cacing-cacing ini bertelur dengan
cara kontraksi uterus, kemudian telur melekat didaerah tersebut. Telur dapat menjadi larva
infektif pada tempat tersebut, terutama pada temperatur optimal 23-26 C dalam waktu 6 jam
(Soedarto, 1995). Waktu yang diperlukan untuk daur hidupnya, mulai dari tertelan telur matang
sampai menjadi cacing dewasa gravid yang bermigrasi kedaerah perianal, berlangsung kira-kira
2 minggu sampai 2 bulan. Mungkin daurnya hanya berlangsung kira-kira I bulan karena telurtelur cacing dapat ditemukan kembali pada anus paling cepat 5 minggu sesudah pengobatan.
(Srisari G, 2006).
d. Daur hidup
Enterobiasis vermicularis dapat menyebabkan infeksi yang bersifat kosmopolit. Manusia
merupakan satu-satunya hospes definitif Enterobius vermicularis dan tidak diperlukan hospes
perantara. Cacing dewasa terutama hidup didalam sekum dan sekitar apendiks manusia. Cacing
betina gravid ulkusnya berisi telur. Cacing tersebut turun ke colon sampai rectum pada malam
hari, kemudian cacing terbut keluar dari anus dan meletakkan telur cacing ini cepat sekali
menjadi infektif setelah 2-3 jam. ( Tomia Yamaguchi ; 1992 ) Bila telur infektif di telan, larva
stadium pertama menetap di duodenum. Larva rabditiform yang dikeluarkan berubah menjadi
dewasa di jejunum dan bagian atas ileum. Kopulasi terjadi disekitar sekum. Lama siklus mulai
telur tertelan sampai menjadi cacing dewasa di butuhkan
waktu antara 2-4 minggu. ( Jeffry dan Leach. 1983 ).
e. Cara penularan
Cara penularan Enterobius vermicularis dapat melalui empat jalan, yaitu :
1) Penularan dari tangan ke mulut penderita sendiri (auto infection) atau pada orang lain sesudah
memegang benda yang tercemar telur infektif misalnya alas tempat tidur atau pakaian dalam
penderita
2) Melalui pernafasan dengan menghisap udara yang tercemar telur yang infektif.
3) Penularan secara retroinfeksi yaitu penularan yang terjadi pada penderita sendiri, oleh karena
larva yang menetas di daerah perianal mengadakan migrasi kembali ke usus penderita dan
tumbuh menjadi
cacing dewasa. ( Soedarto. 1995 )
4) Debu merupakan sumber infeksi karena mudah diterbangkan oleh angin sehingga telur
melalui debu dapat tertelan. (Sutanto I, Is Suhariah Ismid, Pudji K, Sjarifuddin, Saleha S ; 2008)
f. Distribusi geografis
Cacing ini tersebar luas di seluruh dunia, baik didaerah tropis maupun didaerah subtropis.
Penyebaran ini lebih banyak ditemukan didaerah dengan suhu dingin dari pada daerah dengan
suhu panas. Sehingga bisa terjadi kemungkinan daerah yang lembab lebih banyak terinfeksi
enterobiasis dibanding dengan daerah panas. Penyebaran cacing ini juga di tunjang oleh eratnya
hubungan antara manusia satu dengan lainnya. ( Onggowaluyo,JS, 2001 ).
2. Epidemiologi
Penyebaran kejadian enterobiasis lebih luas daripada cacing lainnya. Penularan dapat
terjadi pada keluarga atau kelompok yang sama (asrama, rumah piatu). Telur cacing dapat
diisolasi dari debu diruangan sekolah atau kafetaria sekolah dan menjadi sumber infeksi bagi
anak sekolah. Dalam lingkungan rumah tangga dengan beberapa anggota keluarga yang
terinfeksi cacing kremi, telur cacing dapat ditemukan ( 92 % ) dilantai, meja, kursi, bufet, tempat
duduk, kakus (toilet seats), bak mandi, alas kasur, pakaian dan tilam. Hasil penelitian
menunjukan angka prevalensi pada berbagai golongan manusia 3 % - 80 %.. Penelitian di daerah
Jakarta Timur melaporkan bahwa kelompok usia terbanyak yang menderita enterobiasis adalah
kelompok usia 5 9 tahun, mencapai angka 54,1 %. Binatang anjing dan kucing tidak
mengandung cacing kremi tetapi dapat menjadi sumber infeksi oleh karena telur dapat menempel
pada bulunya. Sementara itu frekwensi tinggi, terutama pada anak dan lebih banyak ditemukan
pada golongan ekonomi lemah. Frekwensi pada orang kulit putih lebih tinggi dari pada orang
negro terkait dengan faktor immunitas tubuhnya secara genetik. (Sutanto I, Is Suhariah ismid,
Pudji K, Sjarifuddin, Saleha S ; 2008) Kebersihan perorangan penting untuk mencegah
terjadinya enterobiasis. Kuku tangan hendaknya dipotong pendek, tangan dicuci bersih sebelum
makan. Guna mengendalikan penyebaran telur, anak yang menderita enterobiasis sebaiknya
memakai celana panjang jika hendak tidur, supaya alas tidur (kasur) tidak terkontaminasi telur
cacing dan tangan tidak dapat menggaruk daerah perianal. ( Sutanto I, Is Suhariah Ismid, Pudji
K, Sjarifuddin, Saleha S ; 2008 ) Makanan hendaknya diupayakan semaksimal mungkin untuk
dapat dihindarkan dari debu dan tangan yang mengandung telur. Pakaian dan alas tidur
hendaknya dicuci bersih dan diganti tiap hari. ( Sutanto I, Is
Suhariah Ismid, Pujdi K, Sjarifuddin, Saleha S ; 2008 )
3. Gejala dan Patologi klinis
Enterobiasis dapat menyebabkan pruritus ani yang disebabkan karena cacing betina
gravid yang bermigrasi ke daerah anus dan vagina, sehingga penderita merasa gatal dan
menggaruk dan menimbulkan luka di sekitar anus. Keadaan ini sering terjadi pada waktu malam
hari hingga penderita terganggu tidurnya dan menjadi lemah. Gejala Enterobiasis yaitu
berkurangnya nafsu makan, berat badan menurun, aktivitas meninggi, enuresis, cepat marah, gigi
menggertak dan insomnia, tetapi kadang-kadang sukar untuk membuktikan hubungan sebab
dengan cacing kremi. ( Srisasi Gandahusada; 2004 ) Infeksi lebih sering ditemukan pada anak
anak dan wanita. Pada wanita yang terinfeksi berat, sering mengeluarkan cairan mukoid dari
vagina, uterus, tuba falopii dan sering juga ditemukan cacing yang mengadakan enkapsulasi
(pembentukan kapsul) di organorgan tersebut. ( Onggowaluyo, JS, 2001 )
derajat infeksi penderita. Prinsip dari pemeriksaan tekni Kato ini adalah melakukan pewarnaan
dasar sediaan dengan pewarna malacheet green sehingga dasar sediaan akan berwarna kehijauan
dan telur cacing yang tidak terwarnai akan tampak lebih jelas. Dengan demikian lebih mudah
untuk diidentifikasi. (Illhude HD, 1992)
b) Pemeriksaan laboratorium dengan spesimen apusan perianal
Pemeriksaan laboratorium untuk penegakan diagnosis infeksi kecacingan menggunakan
spesimen apusan perianal biasanya bertujuan untuk mengidentifikasi kejadian enterobiasis. Hal
ini didasari perilaku cacing betina dewasa yang bertelur di daerah sekitar anus (perianal). Apusan
perianal yang diambil dari tersangka penderita biasanya menggunakan alat sampling berperekat.
Prinsip dasar dari metode pemeriksaan ini adalah mengambil telur cacing dari daerah perianal
menggunakan scotch adhesive tape yang selanjutnya diamati secara mikroskopis. Selanjutnya
metode ini lebih sering dikenal dengan metode Graham Scotch. ( Illhude HD, 1992 ) Beberapa
pakar dan lembaga penelitian banyak mengembangkan metode ini, diantaranya adalah metode NI-H, metode pita plastik perekat, metode anal swab dan lain-lain.
1. Metode N-I-H (National Institude of Heatlh)
Pengambilan sampel menggunakan kertas selofan yang dibungkuskan pada ujung batang
gelas dan diikat dengan karet gelang pada bagian sisi kertas selofan, kemudian ditempelkan
didaerah perianal. Batang gelas dimasukkan ke dalam tutup karet yang sudah ada lubang di
bagian tengahnya. Bagian batang gelas yang mengandung selofan dimasukkan kedalam tabung
reaksi yang kemudian ditutup karet. Hal ini dimaksudkan agar bahan pemeriksaan tidak hilang
dan tidak mudah terkontaminasi. ( Hardidjaja Pinardi
MPH & TM. 1994 )
2. Metode pita plastik perekat (cellophane tape atau adhesive tape)
(Brooke dan Melvin, 1969) Pengambilan spesimen menggunakan alat berupa spatel lidah
atau batang gelas yang ujungnya dilekatkan adhesive tape, kemudian ditempelkan di daerah
perianal. Adhesive tape diratakan di kaca objek dan bagian yang berperekat menghadap ke
bawah. Pada waktu pemeriksaan mikroskopis, salah satu ujung adhesive tape ditambahkan
sedikit toluol atau xylen pada perbesaran rendah dan cahayanya dikurangi. ( Lynnes S Garcia,
David A Bruckner. 1996 )
kebersihan pengobatan.
Mebendazol, dosis 100 mg, dua kali sehari, diberikan selama 3 hari berturut-turut. Hasil
pengobatan baik, tetapi efek samping berupa iritasi terhadap cacing, sehingga cacing
dapat terangsang untuk bemigrasi ke tempat lain harus dipertimbangkan.
Oksantel-pirantel pamoat, dosis 10 mg/kgBB, dosis tunggal memberikan hasil yang baik.
Albendazol, pada anak di atas 2 tahun dapat diberikan 2 tablet albendazol ( 400mg) atau
20ml suspense, berupa dosis tunggal. Hasil cukup memuaskan.
Pencegahan
Sangat sulit mencegah penyebaran infeksi dalam keluarga. Perbaikan kebersihan pribadi
merupakan cara yang utama dalam proses pencegahan penyebaran infeksi. Membersihkan tangan
dan kuku sebelum dan sesudah majan merupakan cara yang bermanfaat.
BAB II
LAPORAN KASUS
1.Identitas pasien:
Nama
: MUTIARA
Umur
: 6 tahun
Kelamin
: Perempuan
Pekerjaan
: Pelajar
Alamat
-Status ekonomi
Listrik ada
penduduk
-
padat
7.Pemeriksaan fisik:
Keadaan umum
Kesadaran
: CMC
Tekanan darah
:110/60 mmHg
Frekuensi nadi
: 80 x/mnt
Frekuensi nafas
: 21x / menit
Suhu
: 37,8 C
Berat badan
: 20 kg
: 135cm
Status Gizi
: Baik
Kulit
Kepala
Mata
Paru
Pa
:fremitus kiri=kanan
Pe
: sonor
Jantung
Abdomen
I
: tidak membuncit
Ekstremitas
Memotong kuku
Mencuci tangan dengan sabun setelah bermain , BAB, atau menggaruk luka.
Mencuci spray yang telah digunakan pasien dengan air hangat dan air sabun.
b.Promotif:
c.Kuratif
Prognosis:
Resep
Dinas Kesehatan Kodya Padang
Puskesmas Ulak Karang
Dokter
NO. II
No. V
S3dd tab
R/ Vit.b komplek tab
S 3 dd tab I/2
Pro
: mutiara
Umur : 6 tahun
Alamat jl. Belanti timur No. 7
NO. V