Anda di halaman 1dari 11

SOIL TRANSMITTED HELMINTH

(ASCARIS LUMBRICOIDES)

OLEH:
HASNA MIRDA AMAZAN
1920312008

DOSEN:
Prof. Dr. Nuzulia Irawati, MS

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU BIOMEDIK


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ANDALAS
2021
PENDAHULUAN
Infeksi telur cacing Soil Transmitted Helminth adalah salah satu infeksi yang
paling umum ditemukan di seluruh dunia. Spesies utama yang banyak menginfeksi
masyarakat adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris
trichiura), cacing kait (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale). Telur Soil
Transmitted Helminth membutuhkan waktu selama 3 minggu untuk matang di tanah
sebelum menjadi infektif (WHO, 2017).
Tinjauan Umum Tentang Soil Transmitted Helminth Kata “Helminth” berasal
dari bahasa yunani yang berarti cacing, semua yang ditunjukan pada cacing usus tetapi
lebih umum dimaksudkan meliputi keduanya, baik spesies yang bersifat paraasit maupun
spesies yang hidup bebas dari cacing bulat, cacing daun, maupun cacing pita
(Natadisastra, 2009). Kelas nematoda usus berdasarkan cara penyebarannya dapat dibagi
menjadi kelompok nematoda usus yang tidak memerlukan tanah dalam 6 hidupnya dan
kelompok yang ditularkan melalui tanah(Soil Transmitted Helminth. Kelompok
nematoda usus yang tidak memerlukan tanah dalamsiklus hidupnya yaitu spesies
Enterobius vermicuralis, Trichinella spiralis dan Capillaria philippinensis (Natadisatra,
2009).
Soil Transmitted Helminth ( STH ) adalah nematoda usus yang dalam siklus
hidupnya membutuhkan tanah untuk proses pematangannya sehingga terjadi perubahan
dari non-infektif menjadi stadium infektif. Yang termasuk kelompok nematoda ini adalah
Ascaris lumbricoides menimbulkan ascariasis, Trichuris trichiura menimbulkan
trichuriasis, cacing tambang ada dua spesies, yaitu Necator americanus menimbulkan
necatoriasis dan Ancylostoma duodenale menimbulkan ancylostomiasis, serta
Strongyloides stercolaris menimbulkan strongyloidiasis (Natadisastra dan Agoes, 2009).
Topik yang akan dibahas kali ini mengenai cacing Ascaris lumbricoides

PEMBAHASAN
A. Ascaris lumbricoides
secara umum dikenal sebagai cacing gelang ini tersebar luas di seluruh dunia,
terutama di daerah tropis dan subtropis yang kelembapannya udaranya tinggi. Di
Indonesia infeksi cacing ini endemis di banyak daerah dengan jumlah penderita labih dari
60%. Tempat hidup cacing dewasa adalah di dalam usus halus manusia, tetapi kadang-
kadang cacing ini dijumpai mengembara di bagian usus lainnya (Soedarto, 2016).
Klasifikasi :
Kerajaan : Animalia
Filum : Nemathelminthe
Kelas : Nematoda
Subkelas : Secernemtea
Ordo : Ascoridida
Famili : Ascoridcidae
Genus : Ascaris
Spesies : Ascaris lumbricoides (Irianto, 2013).

B. Marfologi Ascaris lumbricoides

Cacing Ascaris lumbricoides mempunyai bentuk tubuh silindris dengan ujung


anterior lancip. Bagian anteriornya dilengkapi tiga bibir (triplet) yang tumbuh dengan
sempurna. Cacing betina panjangnya 20-35 cm, sedangkan cacing jantan panjangnya 15-
31 cm. Pada cacing jantan, ujung posteriornya lancip dan melengkung ke arah ventral dan
dilengkapi pepil kecil serta dua buah spekulum berukuran 2 mm. Cacing betina
posteriornya membulat dan lurus, dan sepertiga bagian anterior tubuhnya terdapat cincin
kopulasi, tubuhnya berwarna putih sampai kuning kecoklatan dan diselubungi oleh
lapisan kutikula bergaris halus.

Telur cacing ini memiliki empat bentuk, yaitu tipe dibuahi (fertrilized), tidak
dibuahi (afertilized), matang, dan dekortikasi. Telur yang dibuahi berukuran 60 x 45
mikron dengan dua lapis dinding tebal. Lapisan luar terdiri dari jaringan albuminoid,
sedangkan lapisan dalam jernih. Isi telur berupa massa sel telur. Sel telur yang tidak
dibuahi berbentuk lonjong dan lebih panjang daripada tipe yang dibuahi ukurannya 90 x
40 mikron, dengan dinding luar yang lebih tipis. Isi telur berupa massa granula refraktil.
Telur matang berisi larva (embrio), tipe ini menjadi infelatif setelah berada di tanah ±3
minggu. Telur yang dekortikasi tidak dibuahi, namun lapisan luar yaitu albuminoid sudah
hilang.

C. Siklus Hidup Ascaris lumbricoides

Cacing betina menghasilkan 200 ribu butir per hari. Telur Ascaris lumbricoides
berkembang dengan baik pada tanah liat dengan kelembaban tinggi pada suhu 25°-30° C.
Pada kondisi ini, telur tumbuh menjadi bentuk infektif (mengandung larva) dalam waktu
2-3 minggu. Telur yang infektif bila tertelan manusia akan menetas menjadi larva di usus
halus. Larva menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limpa,
kemudian terbawa oleh darah sampai ke jantung dan menuju paru-paru. Larva di paru-
paru menembus dinding alveolus dan masuk ke rongga alveolus dan naik ke trakea. Dari
trakea larva menuju ke faring dan menimbulkan iritasi. Penderita akan batuk karena
rangsangan larva ini. Larva di faring tertelan dan terbawa ke esofagus, sampai di usus
halus, dan menjadi dewasa. Dari telur matang yang tertelan sampai menjadi cacing
dewasa membutuhkan waktu kurang lebih 2 bulan ( Muslim.2015)

( Sumber gambar CDC.2013)


D. Gejala Askariasis

Patogenesisnya berhubungan erat dengan respon umum hospes, efek migrasi


larva, efek mekanik cacing dewasa, dan defisiensi gizi. Jika larva mengalami siklus dalam
jumlah besar,dapat menimbulkan pneumonitis. Jika larva menembus jaringan dan masuk
ke dalamalveoli, dapat mengakibatkan kerusakan epitel bronkus. Apabila terjadi reinfeksi
dan migrasi larva ulang, walaupun jumlah larva sedikit, tetap dapat menimbulkan reaksi
jaringan yang hebat yang terjadi di hati dan paru-paru disertai infiltrasi eosinofil,
makrofag, dan sel-sel epitel. Keadaan ini disebut pneumonitis ascaris. Selanjutnya timbul
reaksi alergi seperti batuk kering, dan demam (39,9oC – 40oC). Cacing dewasa yang
ditemukan dalam jumlah besar (hiperinfeksi) dapat mengakibatkan kekurangan gizi pada
anak-anak. Cairan tubuh cacing dewasa dapat menimbulkan reaksi toksik sehingga terjadi
gejala mirip demam tifoid yang disertai alergi seperti urtikaria, edema pada wajah,
konjungtivitis, dan iritasi alat pernafasan bagian atas.

Kadang-kadang cacing dewasa bermigrasi akibat adanya rangsangan dan


menimbulkan kelainan yang serius. Efek migrasi juga dapat menimbulkan obstruksi usus,
masuk ke dalam saluran empedu, saluran pankreas, dan organ-organ lainnya. Migrasi
juga sering terjadi keluar melalui anus, mulut, bahkan hidung.

E. Diagnosis

Cara menegakkan diagnosis Ascariasis biasanya melalui pemeriksaan


laboratorium karena gejala klinis dari penyakit ini tidak spesifik. Secara garis besar
Ascariasis dapat ditegakkan berdasarkan kriteria sebagai berikut: 1. Ditemukannya telur
A. lumbricoides fertilized, unfertilized, maupun dekortikasi di dalam tinja seseorang. 2.
Ditemukannya larva A. lumbricoides di dalam sputum seseorang. 3. Ditemukannya
cacing dewasa keluar melalui anus ataupun bersama dengan muntahan (Gillespie dkk,
2001; Rampengan, 2008). Jika terjadi Ascariasis oleh cacing jantan, di tinja tidak
ditemukan telur sehingga dapat ditegakkan dengan pemeriksaan foto thorak
(Natadisastra, 2012). Kriteria tingkat infeksi penderita Ascariasis menurut WHO 2012
adalah:
Cacing Tingkat Infeksi Jumlah telur/ Gram tinja

Cacing A. lumbricoides Ringan : 1-4999

Sedang : 5000-49.999

berat : ≥50.000
Klasifikasi intensitas infeksi cacing menurut WHO

Pada infeksi kecacingan, terjadinya peningkatan kadar eosinofil di dalam sirkulasi


darah dapat mengindikasikan adanya suatu penyakit yang di sebabkan oleh parasit. Selain
karena infeksi parasit, peningkatan jumlah eosinofil juga di sebabkan salah satunya oleh
adanya reaksi hipersensitivitas. Eosinofil mengeluarkan leukotrien yang dapat
menyebabkan bronkokonstriksi dan sitokin seperti IL-3, IL-5, IL-8 serta eksotaxin yang
berfungsi untuk kemotaksis leukosit. Selain itu, eosinofil juga mengeluarkan mediator
yang bersifat toksik untuk helminth, bakteri dan sel pejamu seperti peroksidase eosinofil,
hidrolase lisosom lisofosfolipase dan kationik protein eosinofil (Abbas dkk, 2011;
Rijnierse dkk, 2006).
Oleh karena itu eosinofil sering ditemukan di tempat yang mengalami inflamasi
terutama akibat infeksi parasit ( Cotran dkk., 2007). Pada saat terjadi infeksi parasit,
jumlah eosinofil akan sangat meningkat di bawah pengaruh sel Th2 (Subowo, 2013).
Respon pejamu terhadap infeksi cacing pada umumnya lebih kompleks oleh karena
pathogen lebih besar dan tidak biasa ditelan oleh fagosit. Pertahanan terhadap infeksi
cacing diperankan oleh aktifasi sel Th2 (Bratawidjaja K; Rengganis I, 2009).
Cacing merangsang sel Th2 memproduksi sitokin seperti IL3, IL-4, IL-5, IL-13
dan IL-9 (Frinkelman, dkk.,2004). Kemudian IL-4 dan IL-13 akan merangsang produksi
IgE dan IL-5 merangsang perkembangan dan aktifasi eosinofil. Cacing kemudian dilapisi
oleh IgE untuk di hancurkan oleh peroksidase atau enzim proteolitik yang di hasilkan
oleh granula eosinofil. Selain itu, IL-13 juga merangsang peningkan produksi lendir
(mukus) yang berguna untuk menyelubungi cacing. Histamin serta enzim arginase yang
dihasilkan makrofag akan menyebabkan peningkatan kontraksi otot usus sehingga cacing
dapat keluar dari tubuh (Murphy, 2012; Abbas dkk, 2011)
F. Respon imun
1. Imunitas non spesifik
Pada sistem ini yang bekerja adalah sel fagosit. Sel-sel agosit serang cacing
dengan mengeluarkan sekresi yang bersifat mikrobasidal. Namun karena kulit yang tebal
dan sifatnya yang multisellule cacing resisten terhadap efek litik dan sitosidal.
Respon imun terhadap cacing pada manusia yang belum pernah terinfeksi
menunjukkan bahwa usaha eliminasi cacing sudah terjadi meskipun adaptive immunity
belum terbentuk. Hal ini menunjukkan bahwa innate immunity merupakan garda terdepan
dalam imunitas terhadap cacing. Basofil sebagai bagian dari innate imunity yang mampu
mengenali cacing, kemampuannya untuk bermigrasi ke tempat yang terinfeksi cacing,
teraktifkannya sel ini oleh produk cacing serta kemampuannya mengaktifkan sel-sel yang
lain baik sel imun maupun non imun (lihat keterangan pada sub bab selanjutnya),
menjadikannya kandidat kuat untuk menjadi pemain penting dalam imunitas terhadap
cacing.
• Peran Basofil dalam Terjadinya Eosinofilia dan Migrasi Eosinofil ke dalam Jaringan
Eosinofil mempunyai peran penting dalam pertahanan terhadap cacing, karena ia
mampu mengeluarkan zat-zat toksik terhadap cacing. Eosinofil diproduksi di dalam
sumsum tulang dan dilepaskan ke sirkulasi dan akan memasuki jaringan yang
diinvasi oleh cacing. Berbagai kemokin golongan C-C Chemokine telah diketahui
bekerja untuk menarik eosinofil ke jaringan, diantaranya adalah Monocyte
Chemotactic Protein-1 (MCP- 1), MCP-3, MCP-5 dan eotaxin.
Basofil mempunyai peran dalam terjadinya eosinofilia dan migrasi eosinofil ke
dalam jaringan dengan cara memproduksi IL-4, IL-5 dan IL-13. IL-5 dikenal sebagai
sitokin yang mampu meningkatkan produksi eosinofil di dalam sumsum tulang dan
pelepasan eosinofil ke dalam sirkulasi serta memperpanjang masa hidup eosinofil.
IL-4 dan IL-13 merangsang endotel untuk mengekspresikan adhesion molecule yang
memudahkan proses masuknya eosinofil ke dalam jaringan serta merangsang endotel
untuk memproduksi dan mengekspresikan eotaxin-3 yang merupakan kemotaktik
untuk eosinofil. IL-4 dan IL-13 juga merangsang sel epitel usus untuk memproduksi
eotaxin yang merupakan faktor kemotaktik kuat untuk eosinofil.
Interleukin 4, IL-13 dan TSLP yang dihasilkan basofil mampu mengaktifkan
makrofag kearah Alternative activated Macrophage (AAM). Berbagai penelitian
menunjukkan bahwa AAM memproduksi Ym1 dan Leukotrien yang bersifat
kemotaktik terhadap eosinofil.
• Peran Basofil dalam Aktifasi Sel Mast
Sel mast telah diketahui mempunyai peranan dalam imunitas terhadap cacing.
Akan tetapi untuk mengaktifkan sel mast diperlukan berbagai rangsang, baik yang
berasal dari patogen ataupun dari berbagai mediator dari dalam tubuh inang. Pada
pasien kecacingan, Interleukin 4 yang diproduksi oleh basofil akan berikatan dengan
IL4R pada membran sel mast yang membuat sel mast lebih mudah untuk teraktifkan.
Selain itu, IL-4 juga diperlukan untuk pembentukan sel mast.
• Peran Basofil dalam Terbentuknya Alternative Activated Macrophage
Pada dasarnya makrofag dapat digolongkan menjadi dua golongan bila
ditinjau dari sisi cara pengaktifannya. Golongan pertama adalah classic activated
Macrophage yang diaktifkan oleh IFN dan alternative activated Macrophage (AAM)
yang terutama diaktifkan oleh IL-4 dan IL-13. Pada infeksi cacing, makrofag akan
terpolarisasi kearah AAM. Polarisasiini terjadi karena berbagai hal, diantaranya
produk cacing yang disekresikan (peroxiredoxin), IL-4, IL-13 , IL-21, IL-25, IL-33
dan TSLP.
Basofil yang diketahui merupakan penghasil IL-4, IL-13 dan TSLP berperan
penting dalam munculnya AAM. Setelah terbentuk, AAM akan memproduksi
berbagai zat yang berguna untuk pertahanan diri terhadap cacing seperti Ym1,
RELM, AMCase dan Intelectin. Terbentuknya AAM mengakibatkan direkrutnya
eosinoil, menghambat polarisasi sel Th kearah Th1, membantu polarisasi Th kearah
Th2, memicu terbentuknya granuloma. Meskipun diketahui bahwa AAM mampu
berfusi membentuk Multinucleated Giant Cell (MNG), namun belum ada bukti
bahwa terbentuk MNG pada infeksi cacing. Peran Basofil dalam Terbentuknya Sel
TH2 Infeksi cacing memicu terpolarisasinya sel Th0 ke arah sel Th2 dengan menekan
terbentuknya sel Th1. Konsekuensi dari polarisasi ini adalah terbentuknya IL-4, IL-
5, IL-9, IL-10, IL-13, diikuti dengan terbetuknya immunoglobulin E (IgE), yang akan
menempel pada membran sel eosinofil dan sel mast .
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa terbentuknya sel Th2 pada pasien
kecacingan ditentukan oleh pengenalan antigen cacing yang dilakukan sel dendritik
2 (DC2). Proses pengenalan ini akan mengaktifkan DC2 yang pada gilirannya
mengaktifkan sel Th2. Akan tetapi polarisasi ini tidak terjadi dengan baik bila tidak
ada sel basofil. Penelitian menunjukkan bahwa pada binatang yang dibuat
sedemikian rupa sehingga mengalami deplesi sel basofil, polarisasi ke arah sel Th2
tidak terjadi meskipun kemampuan presentasi antigen oleh DC tidak hilang. Hal ini
menunjukkan bahwa basofil mempunyai peran penting dalam terbentuknya sel Th2.
Apabila jaringan terinfeksi oleh cacing, maka sel basofil akan bermigrasi ke arah
jaringan tersebut. Basofil yang direkrut akan teraktifkan oleh beberapa sitokin dan
antigen cacing. Setelah teraktifkan, basofil melakukan endositosis antigen cacing dan
memprosesnya untuk dipresentasikan ke permukaan membran sel melalui MHC II
(Major Histocompatibility Comnplex Class II), dalam hal ini baso l berperan
sebagai APC (antigen Presenting Cell). Selanjutnya basofil bermigrasi ke draining
lymphonodi (dLN) untuk mengadakan kontak sel dengan sel Th0. Kontak antara sel
Th0 dengan basofil terjadi melalui ikatan antara TCR (T Cell Receptor) dengan
antigen yang dipresentasikan oleh basofil. Setelah berikatan maka sel Th0 akan
terpolarisasi ke arah sel Th2 dengan bantuan IL-4 dan TSLP (Thymic Stromal
Lymphopoietin) yang dihasilkan oleh basofil. Selain mempunyai kemampuan
sebagai APC, dimungkinkan sel basofil juga mampu merangsang DC untuk
mengekspresikan OX40L. Kemampuan ini di dapatkan karena basofil yang
teraktifasi akan mensekresikan TSLP dan telah diketahui bahwa TSLP mampu
merangsang DC untuk mengekspresikan OX40L dan menghambat terbentuknya IL-
12. OX40L akan berikatan dengan OX40 pada membran sel Th0 sehingga memicu
polarisasi ke arah sel Th2. Polarisasi sel Th0 ke arah Th2 pada pasien kecacingan
terjadi dengan adanya kontak antara DC2 dan basofil dengan Th0. Hipotesis yang
diajukan adalah banyaknya sel yang terlibat dalam terbentuknya sel Th2 memastikan
munculnya respon Th2 (Renita Selfi.2012).

2. Imunitas Spesifik
Respon imun pada cacing umumnya lebih kompleks karena pathogen lebih besar
dan tidak bisa ditelan fagosit. Pertahanan terhadap infeksi cacing diperankan oleh sel
Th2. Cacing yang masuk merangsang sel Th2 untuk mengeluarkan IL-4 dan IL-5.
Dimana IL-4 berfungsi untuk rangsang produksi IgE dan IL-5 untuk rangsang
perkembangan dan aktivasi eosinofil. Kemudian IgE akan menempel pada permukaan
cacing dan diikat oleh eosinofil. Kemudian eosinofil aktifkan dan sekresikan granul
enzim yang hancurkan parasit. Eosinofil lebih eektif dari PMN lainnya karena granulnya
lebih toksik disbanding enzim proteolitik dan ROI yang dihasilkan oleh makrofag dan
netrofil.
Respon imun humoral biasa diakhiri dengan adanya Immunoglobulin Class
Swithcing untuk menghasilkan respon imun yang lebih baik, karena mempertahankan
spesifisitas terhadap antigen namun memberikan respon imun yang berbeda. Pada
awalnya sel B hanya membentuk IgM dan IgD namun setelah terjadi respon imun
adaptif maka sel B akan mensekresikan antibodi yang disesuaikan dengan jenis antigen
yang masuk, sehingga sel B mungkin akan menghasilkan IgG, IgA ataupun IgE. Pada
kasus kecacingan, Immunoglobulin Class Swithcing terjadi dengan terbentuknya IgE.
Immunoglobulin Class Swithcing terjadi karena adanya dua rangsangan penting.
Rangsangan pertama oleh sitokin IL-4 dan atau IL-13, sedangkan rangsangan kedua
adalah ikatan antara CD40 pada sel B dengan CD40L. Pada dasarnya Immunoglobulin
Class Swithcing dapat digolongkan menjadi dua, yakni Immunoglobulin Class
Swithcing T cell Dependent dan T cell Independent. Kedua cara ini nampaknya terjadi
pada respon imun terhadap cacing.
Immunoglobulin Class Swithcing T cell Dependent dipicuolehsitokinIL-4 yang
dikeluarkan oleh sel Th2 dan ikatan antara CD40L dari sel Th2 dengan CD40 pada sel
B. Pada proses ini, basofil berperan meningkatkan terjadinya Immunoglobulin Class
Swithcing dengan memproduksi dan mensekresikan IL-4.
Immunoglobulin Class Swithcing T cell Independent pada pasien kecacingan terjadi
karena basofil mengeluarkan IL-4 yang merangsang terbentuknya Iε Germ Line
Transcription pada sel B, sedangkan ikatan antara CD40 pada sel B dengan CD40L pada
basofil memicu switch recombination karena ikatan antara CD40-CD40L mengaktifkan
AID (Activation-induced cytidine deaminase) pada sel B. Hasil akhirnya adalah
kemampuan sel B untuk membentuk IgE tanpa bantuan sel (Renita Selfi.2012)
DAFTAR PUSTAKA

Abbas K A, Lichtmant A H, Pillai S. 2013. Cellular and Molecular Immunologi. Seventh


ed. Philadelphia : W B Saunders Company;
Bramantyo, Alexander, L. (2014). Perbedaan Metode Flotasi Menggunakan Larutan
ZnSO4 dengan Metode Kato-katz untuk Pemeriksaan Kuantitatif Tinja.
Centers for Disease Control and Prevention, Parasites-Soil-Transmitted Helminths
(STH). 2013. http://www.cdc.gov/parasites/STH/. (Diakses 20 Januari 2019).
Irianto, Koes. 2013. Parasitologi Medis. Bandung: Penerbit Alfabeta. Lestari :
Banjarbaru.
Muslim, H.M. 2009. Buku Ajar Helmintologi Medik, Akademi Analis Kesehatan.
Muslim, H.M. 2015. Buku Ajar Helmintologi, Akademi Analis Kesehatan Borneo.
Murphy L., Helmick C.G., 2012. The Impact of Osteoarthritis in the United States: A
Population-Health Perspective. American Journal of Nursing. Vol. 112: 3
Natadisastra , Djaenudin & Ridad A., penyunting. 2009. Parasitologi Kedokteran Ditinjau
dari Organ Tubuh yang Diserang, Jakarta: EGC.
Natadisastra. 2009. Parasitologi Kedokteran ditinjau dari Organ Tubuh Yang di Serang.
Jakarta: EGC.
Renita Selfi, Rusjdi. 2012. Imunoparasitologi. Fakultas Kedokteran: Universitas Andalas
Subowo.2010. Imunologi Klinik. Jakarta :Anggota IKAPI.
Soedarto. 2016. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Surabaya: Sagung Seto
World Health Organization, 2016. Soil-transmitted helminth infections. (Diakses 10
Januari 2019). World Health Organization, 2017. Soil-transmitted helminth
infections. (Diakses 10 Januari 2019).

Anda mungkin juga menyukai