Anda di halaman 1dari 14

PROTOZOA

(MALARIA)

OLEH:
HASNA MIRDA AMAZAN
1920312008

DOSEN:
Prof. Dr. Nuzulia Irawati, MS

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU BIOMEDIK


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ANDALAS
2021
PEMBAHASAN
A. Malaria
Malaria adalah penyakit mengencam jiwa yang disebabkan oleh parasit Protozoa
genus Plasmodium. Penyakit ini ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk
Anopheles spesies betina yang bertindak sebagai vektor. Ada lima spesies Plasmodium
sp. yaitu, Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium ovale, Plasmodium
malariae, dan Plasmodium knowlesi (Soedarto, 2011; Kementerian Kesehatan RI, 2015).
Malaria merupakan penyakit yang diakibatkan oleh gigitan nyamuk yang
mengakibatkan infeksi didalam darah manusia. Darah adalah jaringan cair yang terdiri
atas dua bagian yaitu plasma darah dan sel darah. Sel darah terdiri dari tiga jenis yaitu
eritrosit, leukosit dan trombosit. Eritrosit berbentuk bikonkaf, cekungan (konkaf) pada
eritrosit digunakan untuk memberikan ruang pada hemoglobin yang akan mengikat
oksigen (Muliawan, 2010). Gejala klinis penyakit malaria sangat khas dengan adanya
serangan demam yang intermiten, anemia, sekunder dan splenomegal. Gejala di dahului
oleh keluhan prodomal berupa malaise, sakit kepala, nyeri pada tulang atau otot,
anoreksia, mual, diare ringan dan kadang kadang merasa dingin dipunggung.
Malaria disebabkan oleh parasit dari genus plasmodium. Ada empat jenis
plasmodium yang dapat menyebabkan malaria, yaitu plasmodium falciparum dengan
masa inkubasi 7-14 hari, plasmodium vivax dengan masa inkubasi 8-14 hari, plasmodium
oval dengan masa inkubasi 8-14 hari, dan plasmodium malaria dengan masa inkubasi 7-
30 hari [6]. Parasit-parasit tersebut ditularkan pada manusia melalui gigitan seekor
nyamuk dari genus anopheles. Gejala yang ditimbulkan antara lain adalah demam,
anemia, panas dingin, dan keringat dingin. Untuk mendiagnosa seseorang menderita
malaria adalah dengan memeriksa ada tidaknya plasmodium pada sampel darah. Namun
yang seringkali ditemui dalam kasus penyakit malaria adalah plasmodium falciparum dan
plasmodium vivax ( Renita Selfi.2012).
B. Siklus Parasit Malaria
plasmodium ini memiliki siklus eritrosit yang paling singkat yaitu setiap 24 jam.5
Masa inkubasi P. knowlesi pada vektor nyamuk Anopheles sekitar 10 hari sehingga
membutuhkan vektor yang relatif berumur panjang atau sama dengan vektor P. malariae.
Begitu berada di dalam tubuh nyamuk, pembentukan sporogoni berlangsung selama 9-10
hari pada suhu 25° celcius. Pada saat nyamuk menggigit manusia, kurang lebih 100
sporozoit diinjeksikan melalui gigitannya. Siklus eksoeritosit membutuhkan waktu kurang
lebih 5 hari untuk pematangan P. knowlesi tetapi parasit ini tidak membentuk hipnozoit di
dalam sel hati.6,9,11 Dalam siklus hidup P. knowlesi, pembentukan gametosit terjadi
belakangan setelah beberapa kali siklus aseksual, biasanya 3-5 kali. Pembentukan gametosit
P. knowlesi relatif lambat, membutuhkan waktu sekitar 48 jam ( Ompusunggu S. 2015)
Ketika nyamuk anoples betina (yang mengandung parasit malaria) menggigit
manusia, akan keluar sporozoit dari kelenjar ludah nyamuk masuk ke dalam darahdan
jaringan hati. Dalam siklus hidupnya parasit malaria membentuk stadium sizon jaringan
dalam sel hati (stadium ekso-eritrositer). Setelah sel hati pecah, akan keluar
merozoit/kriptozoit yang masuk ke eritrosit membentuk stadium sizon dalam eritrosit
(stadium eritrositer). Disitu mulai bentuk troposit muda sampai sizon tua/matang sehingga
eritrosit pecah dan keluar merozoit. Sebagian besar Merozoit masuk kemabli ke eritrosit dan
sebagian kecil membentuk gametosit jantan ( Harijanto PN. 2000)
Siklus Pada Nyamuk Anopheles Betina. Betina yang siap untuk diisap oleh nyamuk
malaria betina dan melanjutkan siklus hidupnya di tubuh nyamuk (stadium sporogoni).
Didalam lambung nyamuk, terjadi perkawinan antara sel gamet jantan (mikro gamet) dan
sel gamet betina (makro gamet) yang disebut zigot. Zigot berubah menjadi ookinet,
kemudian masuk ke dinding lambung nyamuk berubah menjadi ookista. Setelah ookista
matang kemudian pecah, keluar sporozoit yang berpindah ke kelenjar liur nyamuk dan siap
untuk ditularkan ke manusia9 . Khusus P. vivax dan P. ovale pada siklus parasitnya di
jaringan hati (sizon jaringan) sebagian parasit yang berada dalam sel hati tidak melanjutkan
siklusnya ke sel eritrosit, akan tetapi tertanam di jaringan hati –disebut hipnosit-. Bentuk
hipnosit inilah yang menyebabkan malaria relapse.
Pada penderita yang mengandung hipnosoit, apabila suatu saat dalam keadaan daya
tahan tubuh menurun misalnya akibat terlalu lelah, sibuk, stress atau perubahan iklim
(musim hujan), hipnosoit dalam tubuhnya akan terangsang untuk melanjutkan siklus parasit
dari sel hati ke eritrosit. Setelah eritrosit yang berparasit pecah akan timbul kembali gejala
penyakit. Misalnya 1 – 2 tahun sebelumnya pernah menderita P. vivax/ovale dan sembuh
setelah diobati, bila kemudia mengalami kelelahan atau stress, gejala malaria akan muncul
kembali sekalipun yang bersangkutan tidak digigit oleh nyamuk anopheles. Bila dilakukan
pemeriksaan, akan didapati Pemeriksaan sediaan darah (SD) positif P. vivax/ovale. Pada P.
Falciparum serangan dapat meluas ke berbagai organ tubuh lain dan menimbulkan
kerusakan seperti di otak, ginjal, paru, hati dan jantung, yang mengakibatkan terjadinya
malaria berat atau komplikasi ( Renita Selfi.2012).
Plasmodium Falciparum dalam jaringan yang mengandung parasit tua – bila jaringan
tersebut berada di dalam otak- peristiwa ini disebut sekustrasi. Pada penderita malaria berat,
sering tidak ditemukan plasmodium dalam darah tepi karena telah mengalami sekuestrasi.
Meskipun angka kematian malaria serebral mencapai 20-50% hampir semua penderita yang
tertolong tidak menunjukkan gejala sisa neurologis (sekuele) pada orang dewasa ( Barber
BE. 2017.

( gambar siklus hidup )

C. Patogenesis Malaria
Patogenesis malaria akibat dari interaksi kompleks antara parasit, inang dan
lingkungan. Patogenesis lebih ditekankan pada terjadinya peningkatan permeabilitas
pembuluh darah daripada koagulasi intravaskuler. Oleh karena skizogoni menyebabkan
kerusakan eritrosit maka akan terjadi anemia. Beratnya anemi tidak sebanding dengan
parasitemia menunjukkan adanya kelainan eritrosit selain yang mengandung parasit. Hal ini
diduga akibat adanya toksin malaria yang menyebabkan gangguan fungsi eritrosit dan
sebagian eritrosit pecah melalui limpa sehingga parasit keluar. Faktor lain yang
menyebabkan terjadinya anemia mungkin karena terbentuknya antibodi terhadap eritrosit.
Limpa mengalami pembesaran dan pembendungan serta pigmentasi sehingga mudah pecah.
Dalam limpa dijumpai banyak parasit dalam makrofag dan sering terjadi fagositosis dari
eritrosit yang terinfeksi maupun yang tidak terinfeksi. Pada malaria kronis terjadi
hyperplasia dari retikulosit diserta peningkatan makrofag ( Harijanto PN. 2000)
1. Demam Akibat ruptur eritrosit → merozoit dilepas ke sirkulasi Pelepasan merozoit pada
tempat dimana sirkulasi melambat mempermudah infasi sel darah yang berdekatan,
sehingga parasitemia falsifarum mungkin lebih besar daripada parasitemia spesies lain,
dimana robekan skizon terjadi pada sirkulasi yang aktif. Sedangkan plasmodium
falsifarum menginvasi semua eritrosit tanpa memandang umur, plasmodium vivax
menyerang terutama retikulosit, dan plasmodium malariae menginvasi sel darah merah
matang, sifat-sifat ini yang cenderung membatasi parasitemia dari dua bentuk terakhir
diatas sampai kurang dari 20.000 sel darah merah /mm3. Infeksi falsifarum pada anak
non imun dapat mencapai kepadatan hingga 500.000 parasit/mm ( Rampengan TH.
2000)
2. Anemia Akibat hemolisis, sekuestrasi eritrosit di limpa dan organ lain, dan depresi
sumsum tulang. Hemolisis sering menyebabkan kenaikan dalam billirubin serum, dan
pada malaria falsifarum ia dapat cukup kuat untuk mengakib tkan hemoglobinuria
(blackwater fever). Perubahan autoantigen yang dihasilkan dalam sel darah merah oleh
parasit mungkin turut menyebabkan hemolisis, perubahan-perubahan ini dan
peningkatan fragilitas osmotic terjadi pada semua eritrosit, apakah terinfeksi apa tidak.
Hemolisis dapat juga diinduksi oleh kuinin atau primakuin pada orang-orang dengan
defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase herediter .
Pigmen yang keluar kedalam sirkulasi pada penghancuran sel darah merah
berakumulasi dalam sel retikuloendotelial limfa, dimana folikelnya menjadi hiperplastik
dan kadang-kadang nekrotik, dalam sel kupffer hati dan dalam sumsum tulang, otak, dan
organ lain. Pengendapan pigmen dan hemosiderin yang cukup mengakibatkan warna
abu-abu kebiruan pada organ.
D. Bentuk imunitas terhadap malaria
Kekebalan pada malaria merupakan keadaan kebal terhadap infeksi yang
berhubungan dengan penghancuran parasit dan terbatasnya per tumbuhan dan
perkembangbiakan parasit tersebut. Imunitas terhadap malar ia sangat kompleks,
melibatkan hampir seluruh komponen sistem imun baik spesifik maupun non-spesifik,
imunitas humoral maupun seluler, yang timbul secara alami maupun didapat (acquired)
akibat infeksi atau vaksinasi. Imunitas spesifik timbulnya lambat. Imunitas hanya bersifat
jangka pendek (short lived) dan kemungkinan tidak ada imunitas yang permanen dan
sempurna. Pada malaria terdapat kekebalan bawaan dan kekebalan didapat. Pada daerah
endemik, janin dilindungi oleh sistem antibodi maternal dan anak sangat berisiko bila
diserang apabila telah disapih. Daya imunitas pada anak yang selamat pada serangan
pertama akan selalu dirangsang oleh gigitan nyamuk yang terinfeksi selama anak tinggal
di daerah endemik malaria.
Daya imunitas malaria adalah spesies spesifik, seseorang yang imun terhadap
malaria vivax akan terserang penyakit malaria lagi bila terinfeksi oleh malaria
falciparum. Orang yang berkulit hitam akan tahan terhadap infeksi malaria vivax dari
pada orang yang berkulit putih, sedangkan malaria falciparum pada orang hitam tidak
begitu berbahaya. Antibodi pada tubuh hospes mulai diproduksi oleh sistem imun saat
hospes manusia pertama kali terinfeksi parasit malaria. Antibodi bekerja langsung atau
bekerja sama dengan bagian sitem imun yang lain untuk mengenali molekul antigen yang
terdapat pada permukaan parasit untuk membunuh parasit malaria. Respon imun dari
hospes yang timbul akibat suatu penyakit ditandai dengan adanya reaksi radang, hal
tersebut bergantung pada derajat infeksinya. Saat P. vivax memproduksi 24 merozoit
setiap 48 jam akan menghasilkan 4,59 milyard parasit dalam waktu 14 hari, sehingga
hospes akan tidak tahan bila organisme terus berbiak tanpa dikontrol. Pada malaria dapat
terjadi perkembangan suatu proteksi imun, terjadinya relaps dan timbulnya penyakit erat
hubungannya dengan rendahnya titer antibodi atau peningkatan kemampuan parasit
melawan antibodi tersebut. Tetapi hal tersebut bergantung pada perbedaan genetik dari
populasi schizont.
Secara alami produks anti ibodi berlangsung lambat sehingga individu menjadi
sakit ketika terinfeksi. Namun, imun memiliki memori untuk pembentukan antibodi,
maka respon sistem imun untuk infeksi selanjutnya menjadi lebih cepat. Setelah paparan
infeksi berulang, individu mengembangkan imunitas yang efektif mengontrol
parasitemia yang dapat mengurangi gejala klinis dan komplikasi yang membahayakan
bahkan dapat menimbulkan kematian. Level atau kadar antibodi juga semakin meningkat
dengan adanya setiap paparan infeksi dan menjadi lebih efektif dalam membunuh parasit.
Perlawanan tubuh terhadap parasit plasmodium atau respon imunitas dilakukan oleh
imunitas seluler yaitu limfosit T dan dilakukan oleh imunitas humoral melalui limfosit B.
Limfosit T dibedakan menjadi limfosit T helper (CD 4+) dan sitotoksis (CD 8+). Limfosit
adalah sel yang cukup berperan dalam respon imun karena mempunyai kemampuan
untuk mengenali antigen melalui reseptor permukaan khusus dan membelah diri menjadi
sejumlah sel dengan spesifitas yang identik, dengan masa hidup limfosit yang panjang
menjadikan sel yang ideal untuk respons adaptif.
Eritrosit yang telah terinfeksi Plasmodium akan ditangkap oleh antigen presenting
cell (APC) dan dibawa ke sitoplasma sel dan terbentuk fagosom yang akan bersatu
dengan lisosom sehingga terbentuk fagolisosom. Fagolisosom mengeluarkan mediator
yang akan mendegradasi antigen Plasmodium menjadi peptida-peptida yang akan
berasosiasi dengan molekul MHC II (major histocompatibility complex ) dan di
presentasikan kesel TCD. Saat berlangsungnya proses tersebut APC mengeluarkan
interleukin-12 (IL-12), Ikatan antara CD40 ligand (CD40L) dan CD40 saat presentasi
antigen memperkuat produksi IL-12. IL-12 ini akan mempengaruhi proliferasi sel T yang
merupakan komponen seluler dan imunitas spesifik dan selanjutnya menyebabkan
aktivasi dan deferensiasi sel T.
Berdasarkan sitokin yang dihasilkan dibedakan menjadi dua subset yaitu Th1 dan
Th2. Th-1 Menghasilkan IFN-ã dan TNF-á yang mengaktifkan komponen imunitas
seluler seperti makrofag, monosit, serta sel NK, sedangkan subset yang kedua adalah
Th2 yang menghasilkan IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10. Sitokin berperan mengaktifkan
imunitas humoral. CD 4+ berfungsi sebagai regulator dengan membantu produksi
antibodi dan aktivasi fagosit-fagosit lain, sedangkan CD 8+ berperan sebagai efektor
langsung untuk fagositosis parasit dan menghambat perkembangan parasit dengan
menghasilkan IFN-ã. Pada saat Plasmodium masuk ke dalam sel-sel tubuh dan mulai
dianggap asing oleh tubuh maka epitop-epitop antigen dari parasit Plasmodium akan
berikatan dengan reseptor limfosit B yang berperan sebagai sel penyaji antigen kepada
sel limfosit T dalam hal ini CD4+, kemudian berdeferensiasi menjadi sel Th- 1 dan Th-
2. Sel Th-2 akan menghasilkan IL-4 dan IL-5 yang memacu pembentukan Ig
(Imunoglobulin) oleh limfosit B. Ig meningkatkan kemampuan fagositosis makrofag (
Mading Majematang.2014)
a. Kekebalan Bawaan
Kekebalan bawaan pada malaria merupakan suatu sifat genetik yang sudah ada pada
hospes, tidak berhubungan dengan infeksi sebelumnya, misalnya :
1. Manusia tidak dapat diinfeksi oleh parasit malaria pada burung atau binatang pengera
2. Orang Negro di Afrika Barat relatif kebal terhadap P. vivax oleh karena mempunyai
golongan darah Duffy (-) ditandai sebagai Fy (a-b-), mungkin Duffy (+) merupakan
reseptor untuk P. Vivax. Protein duffy memainkan peranan pada peradangan dan infeksi
malaria, protein ini merupakan bagian atau keluarga dari kemokin reseptor dan reseptor
ini bersifat khusus pada parasit malaria tertentu, terutama pada P. vivax. Dengan
percobaan secara in vitro yang dilakukan oleh Miller et al. eritrosit yang mengandung
darah duffy negatif Fy(a-b-) tidak dapat di invasi oleh P. vivax.
3. Orang yang mengandung Hb S heterozigot lebih kebal terhadap infeksi P. Falciparum
oleh karena pada tekanan O2 yang lebih rendah dalam kapiler alat-alat dalam Hb S
dapat mengubah bentuk eritrosit (bentuk sabit) dan parasitnya tidak dapat hidup serta
mudah difagositosis. Orang yang mengandung HB S heterozigot bila terinfeksi P.
falciparum, kemungkinan 90% tidak akan menderita malaria berat. Demikian pula pada
orang dengan beta-thalassemia dan hemoglobin fetal yang menetap (Hb F). Beberapa
kelainan pada eritrosit seperti ovalositosis, sickle cell, thalasemia á, thalasemia â, dan
defesiensi G-6-PD juga sering dihubungkan dengan mekanisme perlindungan terhadap
malaria. Kejadian kelainan eritrosit ini rata-rata prevalensinya tinggi ditemukan pada
daerah-daerah endemis malaria.
4. Defisit G-6-PD (Glucose-6-Phosphate Dehydrogenase) pada eritrosit dapat melindungi
organ terhadap infeksi berat P. falciparum. Enzim G-6-PD merupakan enzim yang
menyebabkan hemolytic anemia, defisit enzim ini merupakan kelainan dari proses
reaksi biokimia di dalam tubuh. Defisit Enzim G-6-PD ini menyebabkan parasit malaria
yang merupakan parasit intraselluer menjadi sensitif dengan perubahan oksidatif dalam
hubungannya dengan reaksi biokimia. Namun aktivitas G-6-PD dari sel hospes tidak
dipengaruhi oleh enzim dari parasit. Pada beberapa studi in vitro menunjukkan parasit
malaria kurang dapat tumbuh baik pada sel dengan defesiensi G-6-PD dibandingkan
pada sel yang normal. Mekanisme dari sifat resisten ini belum jelas, dimungkinkan
adanya kelainan reaksi biokimia di dalam sel darah merah sehingga merozoit menjadi
terganggu dalam produksi DNA dan RNA, sehingga terjadi penurunan multiplikasi
pada sel hospes.16,17 Penderita defesiensi enzim G6PD heterozigot dan hemozigot
akan terproteksi sampai 50% terhadap malaria berat.
5. Penderita Southeast Asian Ovalocytosis (SAO) di Malaysia, Indonesia dan Pasifik
Barat (Papua Nugini, Kepulauan Solomon dan Vanuatu) relatif kebal terhadap infeksi
P.falcipatum dan P. Vivax. Ovalositosis dihubungkan mampu tahap terhadap serangan
malaria, karena mudah difagositosis ketika melawati limpa. Eritrosit ovalositik juga
lebih tahan terhadap serangan merozoit jika dibandingkan dengan eritrosit normal, ini
dikarenakan adanya afinitas ankirin ke molekul band 3 yang kuat dan menurunkan daya
gerak sitoskeleton bagian lateral yang menyebabkan merozoit kurang mampu untuk
melekat ke eritrosit yang ovalositik.
b. Imunitas didapat (Acquired immunity)
Kekebalan yang didapat pada malaria dapat dibedakan dalam beberapa
kategori. Kategori kekebalan terhadap gejala klinis ada dua tipe yaitu 1) kekebalan
klinik yang dapat menurunkan risiko kematian dan 2) kekebalan klinik yang
mengurangi beratnya gejala klinik.2 Kekebalan didapat terjadi secara aktif dan pasif.
Kekebalan aktif merupakan peningkatan mekanisme pertahanan hospes akibat infeksi
sebelumnya. Kekebalan pasif ditimbulkan oleh zat-zat protektif yang ditularkan ibu
kepada bayi melalui suntikan dengan zat yang mengandung serum orang kebal
(hiperimun). Di daerah endemik malaria terdapat kekebalan kondingental (neonatal)
pada bayi yang dilahirkan oleh ibu dengan kekebalan tinggi. Kekebalan risidual ialah
kekebalan terhadap reinfeksi yang timbul akibat infeksi terdahulu dengan strain
homolog spesies parasit malaria. Kekebalan ini menetap untuk beberapa waktu.
Keadaan kekebalan pada hospes yang telah terinfeksi sebelumnya dengan parasetemia
asimtomatik disebut premunisi. Penduduk daerah endemik yang terpapar malaria
sepanjang tahun membentuk kekebalan terhadap infeksi. Manifestasi klinik,
parasetemia dan mungkin pertumbuhan gametosit paling banyak terjadi pada bayi dan
anak kecil. Orang dewasa mempunyai titer antibodi malaria yang tinggi dan parasit ini
membentuk kekebalan. Tanggapan sistem imun terhadap infeksi malaria mempunyai
sifat spesies spesifik, strain spesifik, dan tahap spesifik. Imunitas terhadap stadium
siklus hidup parasit (stage specific), dibagi menjadi (Puspita. 2012 )
1. Imunitas pada stadium eksoeritrositer.
Eksoeritrositer ekstrahepatal (stadium sporozoit), respon imun pada stadium ini
berupa antibodi yang menghambat masuknya sporozoit ke hepatosit dan antibodi yang
membunuh sporozoit melalui opsonisasi. Eksoeritrositer intrahepatik, respon imun pada
stadium ini berupa Limfosit T sitotoksik CD8+ dan antigen/antobodi pada stadium
hepatosit seperti Liver Stage Antigen-1 (LSA-1), LSA-2, LSA-3. Studi yang dilakukan
pada bebe rapa da e rah endemik juga membe r ikan ke s impul an bahwa kekebalan
terhadap Plasmodium secara alami berhubungan dengan respon spesifik LSA-1. LSA-
1 dianggap sebagai satu-satunya antigen Plasmodium yang dinyatakan spesifik di
dalam hati.
2. Imunitas pada stadium aseksual eritrosit
Berupa antibodi yang mengaglutinasi merozoit, antibodi yang menghambat
cytoadherance, antibodi yang menghambat pelepasan atau menetralkan toksin-toksin
parasit.
3. Imunitas pada stadium seksual
Antibodi yang membunuh gametosit, antibodi yang menghambat fertilisasi, antibodi
yang menghambat transformasi zigot menjadi ookinet, antigen/antibodi pada stadium
seksual prefertilisasi (Pf-230), dan antigen/antibodi pada stadium seksual postfertilisasi
(Pf-25, Pf-28). Plasmodium mempunyai siklus hidup yang sangat kompleks, melalui
beberapa stadium dan tiap stadium mengeluarkan berbagai antigen. Hal ini
menyebabkan vaksin malaria dari setiap stadium akan berbeda, vaksin yang di buat dari
satu stadium kemungkinan tidak efektif pada stadium lainnya. Pendekatan multistage
(berbagai stadium) dan multivalen (berbagai antigen dari stadium yang sama)
merupakan dasar kesuksesan aplikasi vaksin malaria. Hambatan yang dihadapi pada
multivalen adalah mengidentifikasi antigen yang mempunyai sifat protektif untuk
diformulasikan dalam satuan vaksin dan respon dari hospes meliputi respon Sel-T
maupun Sel-B. Penelitian pengembangan vaksin malaria sampai saat ini masih
menghadapi banyak kesulitan namun perkembangan hasil penelitian memberikan
harapan dikemudian hari vaksin dapat digunakan ( Mading Majematang.2014)
E. Respon imun terhadap protozoa

1. mekanisme infeksi parasit merangsang lebih dari satu mekanisme pertahanan


imunologik yaitu respons imun humoral dan seluler
2. infeksi parasit pada umunnya bersifat kronis maka dalam tubuh selaluterdapat
antigen parasit yang beredar sehingga terjadi perangsangan terus menerus maka
erbentuklah kompleks imun

3. Kemudian teradinnya adaptasi yang sangat erat antara parasit dan inang maka
terdapatlah suatu keseimbangan hubungan antara keduanya
4. Dalam inang yang alami tidak ada mekanisme efektor yang bekerja sendiri maka
untuk menghadapi ini parasit dalam perkembanganya aselalu berusaha untuk
mengindarkan diri.
5. tetapi pada umumnnyaa respons imun seluler lebih efektif untuk menghadapi
protozoa yang hidup intraseluler
6. sebaliknnya antibodi lebih efektif untuk parasit ekstraseluler baik dalam darah
maupun dalam jaringan( Puspita. 2012)
a. Humoral

Mekanisme kerja antibodi dalam melawan parasite dipengaruhi oleh tiga faktor
yaitu:

1. Antibodi bekerja sendiriParasit intraseluler memerlukan reseptor pada permukaan


sel hospes → untuk bisa masuk ke dalam sel. Antibodi → menghambat terjadinya
ikatan antara molekul parasit dengan reseptor.

2. Antibodi bekerja sama dengan sel

Sel yang terlibat yaitu eosinofil, makrofag, neutrofil, trombosit. Sel tersebut
berikatan dengan bagian Fc dari Ig. Bagian Fab berikatan dengan parasit (sel yg
terinfeksi) Contoh :
1) Eosinofil berikatan dgn IgE → menghancurkan cacing
2) Makrofag berikatan dgn Ig memfagositosis Plasmodium std eritrositik
3)Antibodi bekerja sama dengan komplemen

Efektivitas komplemen alam mengeliminasi parasit secara in vitro telah


terbukti tetapi secara in vivo belum.
b. Seluler

Sampai saat ini belum diketemukan peran limfosit T sitotoksik dalam fungsi
pertahanannya terhadap parasit yang kita kenal. Di pihak lain limfosit T yang
menghasilkan limfokin, sangat penting untuk mengaktifkan sel makrofag agar dapat
membunuh parasit secara intraseluler,

1. CTL (T CD8+)

Cytotoxic T Lymphocyte (T CD8+) Molekul antigen diperkenalkan kepada


sel T CD8+ oleh MHC kelas I → lisis sel target. Contoh penghancuran / lisis
hepatosit yang terinfeksi Plasmodium
2. Limfokin
Limfokin merupakan suatu mediator soluble (protein) yang dihasilkan
oleh limfosit. Bekerja meningkatkan aktifitas sel efektor untuk mengeliminasi
parasit (dgn atau tanpa bantuan Ab). Contoh IFN-γ pada infeksi Plasmodium dan
Penghancuran T.gondii.

3. Sel NK Natural Killer Cell (Sel NK) Menghasilkan IFN-γ → aktivitas sitotoksik.
DAFTAR PUSTAKA

Harijanto PN. Gejala Klinik Malaria. Dalam: Harijanto PN (editor). Malaria, Epidemiologi,
Patogenesis, Manifestasi Klinis dan Penanganan. Jakarta: EGC, Hal: 151-55,
2000.
Kementerian Kesehatan RI. Epidemiologi malaria di Indonesia. Jakarta: Pusat Data dan
Informasi Kemenkes RI; 2011.
Mading Majematang, Yunarko Rais. 2014. Respon Imun terhadap Infeksi Parasit Malaria.
Loka Litbang P2B2 Waikabubak,Badan Litbang Kesehatan, Kementerian
Kesehatan RI. Jurnal vektor penyakit. 8 (2) 45 – 52.
Ompusunggu S, Dewi RM, Yuliawaty R, Sihite BA, Ekowatiningsih R, Siswantoro H, et al.
First finding of human Plasmodium knowlesi malaria cases in Central
Kalimantan. Bulletin Health Res. 2015; 43(2): 63-76.
Puspita Lystiani dewi. 2012. Aspek imunologi infeksi protozoa. Fakultas Kedokteran :
Universitas Andalas
Rampengan, T.H., dan Laurenz, L.R., 2000, Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak, Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Renita Selfi, Rusjdi. 2012. Imunoparasitologi. Fakultas Kedokteran: Universitas Andalas
Wahyu Jatniko, Safari. 2012. Peran Basofil dalam imunitas terhadap cacing. Fakultas
Kedokteran : Universitas Muhammadiyah Surakarta. Jurnal Biomedika. 4 (1) 9
Hal

Anda mungkin juga menyukai