Anda di halaman 1dari 21

Malaria

Definisi
Malaria adalah penyakit yang menyerang sel darah merah disebabkan oleh parasit
plasmodium ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Anopheles betina yang
terinfeksi. Penyakit ini banyak terdapat di daerah tropis seperti Afrika, Asia Tenggara,
Amerika Tengah dan Selatan. Terdapat 5 spesies parasit plasmodium yang menyebabkan
malaria pada manusia yaitu Plasmodium falsifarum, Plasmodium vivax, Plasmodium oval,
Plasmodium malariae dan Plasmodium knowlesi. Dari beberapa spesies tersebut jenis
Plasmodium falsifarum dan Plasmodium vivax menjadi ancaman terbesar. Plasmodium
falciparum merupakan malaria yang paling berbahaya dapat menyebabkan malaria berat
sementara Plasmodium vivax tersebar paling luas terutama di Asia. (Kemenkes, 2019)

Epidemiologi
Menurut laporan terbaru mengenai kasus malaria di dunia, terdapat 241 juta kasus
malaria pada tahun 2020 dibandingkan di tahun 2019 yang didapatkan ada 227 juta kasus.
Perkiraan jumlah kematian akibat malaria mencapai 627.000 pada tahun 2020, meningkat
sebanyak 69.000 kematian dibanding tahun sebelumnya (WHO, 2021).
Menurut data Kementerian Kesehatan (Kemenkes), total kasus malaria di Indonesia
mencapai 94.610 kasus pada 2021.Kasus malaria pada 2021 turun 58,2% dibandingkan pada
tahun sebelumnya mencapai 226.364 kasus. Kasus malaria tertinggi masih terkonsentrasi di
Indonesia bagian timur. Papua menjadi provinsi dengan kasus malaria tertinggi di Tanah Air,
yakni mencapai 86.022 kasus hingga saat ini. Proporsi kasus malaria yang terjadi di provinsi
tersebut mencapai 90,9% dari total.Kemudian, disusul oleh Nusa Tenggara Timur dengan
kasus malaria mencapai 2.393 kasus (2,5%). Setelahnya ada Papua Barat dengan kasus
malaria sebanyak 1.841 kasus (1,94%).Sementara itu, Bengkulu, Banten, dan DI Yogyakarta
menjadi provinsi dengan kasus malaria terendah. Saat ini Bengkulu menjadi provinsi yang
bebas dari kasus malaria (Kemenkes, 2021).

Etiologi
Ada 2 jenis makhluk yang berperan besar dalam penularan malaria yaitu parasit
malaria (yang disebut Plasmodium) dan nyamuk anopheles betina. Parasit malaria memiliki
siklus hidup yang kompleks, untuk kelangsungan hidupnya parasit tersebut membutuhkan
host (tempatnya menumpang hidup) baik pada manusia maupun nyamuk, yaitu nyamuk
anopheles. Ada empat jenis spesies parasit malaria di dunia yang dapat menginfeksi sel darah
merah manusia, yaitu : (Fitriany & Sabiq, 2018)
1. Plasmodium falciparum
2. Plasmodium vivax
3. Plasmodium malariae
4. Plasmodium ovale

Keempat spesies parasit malaria tersebut menyebabkan jenis penyakit malaria yang berbeda,
yaitu
1. Plasmodium falciparum\
Menyebabkan malaria falsiparum (disebut juga malaria tropika), merupakan jenis
penyakit malaria yang terberat dan satu-satunya parasit malaria yang menimbulkan
penyakit mikrovaskular., karena dapat menyebabkan berbagai komplikasi berat seperti
cerebral malaria (malaria otak), anemia berat, syok, gagal ginjal akut, perdarahan, sesak
nafas, dll.
2. Plasmodium vivax
Menyebabkan malaria tertiana. Tanpa pengobatan: berakhir dalam 2 – 3 bulan. Relaps
50% dalam beberapa minggu – 5 tahun setelah penyakit awal.
3. Plasmodium malariae
Menyebabkan malaria quartana. Asimtomatis dalam waktu lama.
4. Plasmodium ovale
Jenis ini jarang sekali dijumpai, umumnya banyak di Afrika dan Pasifik Barat. Lebih
ringan. Seringkali sembuh tanpa pengobatan. (Fitriany & Sabiq, 2018)

Seorang penderita dapat dihinggapi oleh lebih dari satu jenis plasmodium. Infeksi
demikian disebut infeksi campuran (mixed infection). Biasanya campuran P.Falciparum
dengan P.Vivax atau P.Malariae. Infeksi campuran tiga jenis sekaligus jarang sekali
terjadi. Infeksi jenis ini biasanya terjadi di daerah yang tinggi angka penularannya.
Malaria yang disebabkan oleh P.Vivax dan P.Malariae dapat kambuh jika tidak diobati
dengan baik. Malaria yang disebabkan oleh spesies selain P.Falciparum jarang berakibat
fatal, namun menurunkan kondisi tubuh; lemah, menggigil dan demam yang biasanya
berlangsung 10-14 hari. (Fitriany & Sabiq, 2018)

Siklus Hidup
Silkus Pada Manusia. Ketika nyamuk anoples betina (yang mengandung parasit
malaria) menggigit manusia, akan keluar sporozoit dari kelenjar ludah nyamuk masuk ke
dalam darahdan jaringan hati. Dalam siklus hidupnya parasit malaria membentuk stadium
sizon jaringan dalam sel hati (stadium ekso-eritrositer). Setelah sel hati pecah, akan keluar
merozoit/kriptozoit yang masuk ke eritrosit membentuk stadium sizon dalam eritrosit
(stadium eritrositer). Disitu mulai bentuk troposit muda sampai sizon tua/matang sehingga
eritrosit pecah dan keluar merozoit. Sebagian besar Merozoit masuk kemabli ke eritrosit dan
sebagian kecil membentuk gametosit jantan. (Fitriany & Sabiq, 2018)
Siklus Pada Nyamuk Anopheles Betina. Betina yang siap untuk diisap oleh nyamuk
malaria betina dan melanjutkan siklus hidupnya di tubuh nyamuk (stadium sporogoni).
Didalam lambung nyamuk, terjadi perkawinan antara sel gamet jantan (mikro gamet) dan sel
gamet betina (makro gamet) yang disebut zigot. Zigot berubah menjadi ookinet, kemudian
masuk ke dinding lambung nyamuk berubah menjadi ookista. Setelah ookista matang
kemudian pecah, keluar sporozoit yang berpindah ke kelenjar liur nyamuk dan siap untuk
ditularkan ke manusia. (Fitriany & Sabiq, 2018)
Khusus P. vivax dan P. ovale pada siklus parasitnya di jaringan hati (sizon jaringan)
sebagian parasit yang berada dalam sel hati tidak melanjutkan siklusnya ke sel eritrosit, akan
tetapi tertanam di jaringan hati –disebut hipnosit-. Bentuk hipnosit inilah yang menyebabkan
malaria relapse. Pada penderita yang mengandung hipnosoit, apabila suatu saat dalam
keadaan daya tahan tubuh menurun misalnya akibat terlalu lelah, sibuk, stress atau perubahan
iklim (musim hujan), hipnosoit dalam tubuhnya akan terangsang untuk melanjutkan siklus
parasit dari sel hati ke eritrosit. Setelah eritrosit yang berparasit pecah akan timbul kembali
gejala penyakit. Misalnya 1 – 2 tahun sebelumnya pernah menderita P. vivax/ovale dan
sembuh setelah diobati, bila kemudia mengalami kelelahan atau stress, gejala malaria akan
muncul kembali sekalipun yang bersangkutan tidak digigit oleh nyamuk anopheles. Bila
dilakukan pemeriksaan, akan didapati Pemeriksaan sediaan darah (SD) positif P. vivax/ovale.
(Fitriany & Sabiq, 2018)
Pada P. Falciparum serangan dapat meluas ke berbagai organ tubuh lain dan
menimbulkan kerusakan seperti di otak, ginjal, paru, hati dan jantung, yang mengakibatkan
terjadinya malaria berat atau komplikasi. Plasmodium Falciparum dalam jaringan yang
mengandung parasit tua – bila jaringan tersebut berada di dalam otak- peristiwa ini disebut
sekustrasi. Pada penderita malaria berat, sering tidak ditemukan plasmodium dalam darah
tepi karena telah mengalami sekuestrasi. Meskipun angka kematian malaria serebral
mencapai 20-50% hampir semua penderita yang tertolong tidak menunjukkan gejala sisa
neurologis (sekuele) pada orang dewasa. Malaria pada anak kecil dapat terjadi sekuel.Pada
daerah hiperendemis atau immunitas tinggi apabila dilakukan pemeriksaan Pemeriksaan
sediaan darah (SD) sering dijumpai Pemeriksaan sediaan darah (SD) positif tanpa gejala
klinis pada lebih dari 60% penduduk. (Fitriany & Sabiq, 2018)

Patogenesis
Patogenesis malaria akibat dari interaksi kompleks antara parasit, inang dan
lingkungan. Patogenesis lebih ditekankan pada terjadinya peningkatan permeabilitas
pembuluh darah daripada koagulasi intravaskuler. Oleh karena skizogoni menyebabkan
kerusakan eritrosit maka akan terjadi anemia. Beratnya anemi tidak sebanding dengan
parasitemia menunjukkan adanya kelainan eritrosit selain yang mengandung parasit. Hal ini
diduga akibat adanya toksin malaria yang menyebabkan gangguan fungsi eritrosit dan
sebagian eritrosit pecah melalui limpa sehingga parasit keluar. Faktor lain yang menyebabkan
terjadinya anemia mungkin karena terbentuknya antibodi terhadap eritrosit. Limpa
mengalami pembesaran dan pembendungan serta pigmentasi sehingga mudah pecah. Dalam
limpa dijumpai banyak parasit dalam makrofag dan sering terjadi fagositosis dari eritrosit
yang terinfeksi maupun yang tidak terinfeksi. Pada malaria kronis terjadi hyperplasia dari
retikulosit diserta peningkatan makrofag. (Fitriany & Sabiq, 2018)
Pada malaria berat mekanisme patogenesisnya berkaitan dengan invasi merozoit ke
dalam eritrosit sehingga menyebabkan eritrosit yang mengandung parasit mengalami
perubahan struktur danbiomolekular sel untuk mempertahankan kehidupan parasit.
Perubahan tersebut meliputi mekanisme, diantaranya transport membran sel, sitoadherensi,
sekuestrasi dan resetting Pada malaria berat mekanisme patogenesisnya berkaitan dengan
invasi merozoit ke dalam eritrosit sehingga menyebabkan eritrosit yang mengandung parasit
mengalami perubahan struktur danbiomolekular sel untuk mempertahankan kehidupan
parasit. Perubahan tersebut meliputi mekanisme, diantaranya transport membran sel,
sitoadherensi, sekuestrasi dan resetting(Fitriany & Sabiq, 2018)
Sitoadherensi merupakan peristiwa perlekatan eritrosit yang telah terinfeksi P.
falciparum pada reseptor di bagian endotelium venule dan kapiler. Selain itu eritrosit juga
dapat melekat pada eritrosit yang tidak terinfeksi sehingga terbentuk roset. (Fitriany & Sabiq,
2018)
Resetting adalah suatu fenomena perlekatan antara sebuah eritrosit yang mengandung
merozoit matang yang diselubungi oleh sekitar 10 atau lebih eritrosit non parasit, sehingga
berbentu seperti bunga. Salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya resetting adalah
golongan darah dimana terdapatnya antigen golongan darah A dan B yang bertindak sebagai
reseptor pada permukaan eritrosit yang tidak terinfeksi. (Fitriany & Sabiq, 2018)

1. Demam
Akibat ruptur eritrosit → merozoit dilepas ke sirkulasi Pelepasan merozoit pada
tempat dimana sirkulasi melambat mempermudah infasi sel darah yang berdekatan,
sehingga parasitemia falsifarum mungkin lebih besar daripada parasitemia spesies
lain, dimana robekan skizon terjadi pada sirkulasi yang aktif. Sedangkan plasmodium
falsifarum menginvasi semua eritrosit tanpa memandang umur, plasmodium vivax
menyerang terutama retikulosit, dan plasmodium malariae menginvasi sel darah
merah matang, sifat-sifat ini yang cenderung membatasi parasitemia dari dua bentuk
terakhir diatas sampai kurang dari 20.000 sel darah merah /mm3. Infeksi falsifarum
pada anak non imun dapat mencapai kepadatan hingga 500.000 parasit/mm3
2. Anemia Akibat hemolisis, sekuestrasi eritrosit di limpa dan organ lain, dan depresi
sumsum tulang. Hemolisis sering menyebabkan kenaikan dalam billirubin serum, dan
pada malaria falsifarum ia dapat cukup kuat untuk mengakibatkan hemoglobinuria
(blackwater fever). Perubahan autoantigen yang dihasilkan dalam sel darah merah
oleh parasit mungkin turut menyebabkan hemolisis, perubahan-perubahan ini dan
peningkatan fragilitas osmotic terjadi pada semua eritrosit, apakah terinfeksi apa
tidak. Hemolisis dapat juga diinduksi oleh kuinin atau primakuin pada orang-orang
dengan defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase herediter9 . Pigmen yang keluar
kedalam sirkulasi pada penghancuran sel darah merah berakumulasi dalam sel
retikuloendotelial limfa, dimana folikelnya menjadi hiperplastik dan kadang-kadang
nekrotik, dalam sel kupffer hati dan dalam sumsum tulang, otak, dan organ lain.
Pengendapan pigmen dan hemosiderin yang cukup mengakibatkan warna abu-abu
kebiruan pada organ9 .
3. Kejadian immunopatologi Aktivasi poliklonal → hipergamaglobulinemia,
pembentukan kompleks imun, depresi immun, pelepasan sitokin seperti TNF
Bentuk imunitas terhadap malaria dapat dibedakan atas 4,5,9:
a) Imunitas alamiah non imunologis
Berupa kelainan-kelainan genetic polimorfisme yang dikaitkan dengan resistensi
terhadapcmalaria, misalnya: Hb S, Hb C, Hb E, thallasemin alafa-beta, defisiensi
glukosa 6-fosfatcdehidrogenase, golingan darah duffy negative kebal terhadap infeksi
plasmodium vivax, individu dengan HLA-Bw 53 lebih rentan terhadap malaria dan
melindungi terhadap malaria berat.
b) Imunitas didapat non spesifik
Sporozoit yang masuk kedalam darah segera dihadapi oleh respon imun non spesifik
yang terutama dilakukan oleh magrofag dan monosit, yang menghasilkan sitokin-
sitokin seperti TNF, IL1, IL2, IL4, IL6, IL8, dan IL10, secara langsung menghambat
pertumbuhan parasit (sitostatik), membunuh parasit (sitotoksik).
c) Imunitas didapat spesifik.
Merupakan tanggapan system imun terhadap infeksi malaria mempunyai sifat spesies
spesifik, strain spesifik, dan stage spesifik. (Fitriany & Sabiq, 2018)

Manifestasi Klinis

Menurut berat-ringannya gejala malaria dapat dibagi menjadi 2 jenis


A. Gejala malaria ringan (malaria tanpa komplikasi)
Meskipun disebut malaria ringan, sebenarnya gejala yang dirasakan penderitanya
cukup menyiksa (alias cukup berat). Gejala malaria yang utama yaitu: demam, dan
menggigil, juga dapat disertai sakit kepala, mual, muntah, diare, nyeri otot atau pegal-
pegal. (Fitriany & Sabiq, 2018)
Malaria sebagai penyebab infeksi yang disebabkan oleh Plasmodium mempunyai
gejala utama yaitu demam. Demam yang terjadi diduga berhubungan dengan proses
skizogoni (pecahnya merozoit atau skizon), pengaruh GPI (glycosyl phosphatidylinositol)
atau terbentuknya sitokin atau toksin lainnya. Pada beberapa penderita, demam tidak
terjadi (misalnya pada daerah hiperendemik) banyak orang dengan parasitemia tanpa
gejala. Gambaran karakteristik dari malaria ialah demam periodic, anemia dan
splenomegali. Manifestasi umum malaria adalah sebagai berikut:
1. Masa inkubasi
Masa inkubasi biasanya berlangsung 8-37 hari tergantung dari spesies parasit
(terpendek untuk P. falciparum dan terpanjanga untuk P. malariae), beratnya infeksi
dan pada pengobatan sebelumnya atau pada derajat resistensi hospes. Selain itu juga
cara infeksi yang mungkin disebabkan gigitan nyamuk atau secara induksi (misalnya
transfuse darah yang mengandung stadium aseksual).
2. Keluhan-keluhan prodromal
Keluhan-keluhan prodromal dapat terjadi sebelum terjadinya demam, berupa:
malaise, lesu, sakit kepala, sakit tulang belakang, nyeri pada tulang dan otot,
anoreksia, perut tidak enak, diare ringan dan kadang-kadang merasa dingin di
punggung. Keluhan prodromal sering terjadi pada P. vivax dan P. ovale, sedangkan P.
falciparum dan P. malariae keluhan prodromal tidak jelas.
3. Gejala-gejala umum
Gejala-gejala klasik umum yaitu terjadinya trias malaria (malaria proxym) secara
berurutan yang disebut trias malaria, yaitu :
a. Stadium dingin (cold stage)
Stadium ini berlangsung + 15 menit sampai dengan 1 jam. Dimulai dengan
menggigil dan perasaan sangat dingin, gigi gemeretak, nadi cepat tetapi lemah,
bibir dan jari-jari pucat kebiru-biruan (sianotik), kulit kering dan terkadang
disertai muntah.
b. Stadium demam (hot stage)
Stadium ini berlangsung + 2 – 4 jam. Penderita merasa kepanasan. Muka
merah, kulit kering, sakit kepala dan sering kali muntah. Nadi menjadi kuat
kembali, merasa sangat haus dan suhu tubuh dapat meningkat hingga 41oC
atau lebih. Pada anak-anak, suhu tubuh yang sangat tinggi dapat menimbulkan
kejang-kejang.
c. Stadium berkeringat (sweating stage)
Stadium ini berlangsung + 2 – 4 jam. Penderita berkeringat sangat banyak.
Suhu tubuh kembali turun, kadang-kadang sampai di bawah normal. Setelah
itu biasanya penderita beristirahat hingga tertidur. Setelah bangun tidur
penderita merasa lemah tetapi tidak ada gejala lain sehingga dapat kembali
melakukan kegiatan sehari-hari. (Fitriany & Sabiq, 2018)

Gejala klasik (trias malaria) berlangsung selama 6 – 10 jam, biasanya dialami oleh
penderita yang berasal dari daerah non endemis malaria, penderita yang belum
mempunyai kekebalan (immunitas) terhadap malaria atau penderita yang baru
pertama kali menderita malaria.Di daerah endemik malaria dimana penderita telah
mempunyai kekebalan (imunitas) terhadap malaria, gejala klasik timbul tidak
berurutan, bahkan tidak selalu ada, dan seringkali bervariasi tergantung spesies parasit
dan imunitas penderita. Di daerah yang mempunyai tingkat penularan sangat tinggi
(hiperendemik) seringkali penderita tidak mengalami demam, tetapi dapat muncul
gejala lain, misalnya: diare dan pegal-pegal. Hal ini disebut sebagai gejala malaria
yang bersifat lokal spesifik9,10 . Gejala klasik (trias malaria) lebih sering dialami
penderita malaria vivax, sedangkan pada malaria falciparum, gejala menggigil dapat
berlangsung berat atau malah tidak ada. Diantara 2 periode demam terdapat periode
tidak demam yang berlangsung selama 12 jam pada malaria falciparum, 36 jam pada
malaria vivax dan ovale, dan 60 jam pada malaria malariae. (Fitriany & Sabiq, 2018)

B. Gejala malaria berat (malaria dengan komplikasi)


Penderita dikatakan menderita malaria berat bila di dalam darahnya ditemukan parasit
malaria melalui pemeriksaan laboratorium Sediaan Darah Tepi atau Rapid Diagnostic
Test (RDT) dan disertai memiliki satu atau beberapa gejala/komplikasi berikut ini:
1. Gangguan kesadaran dalam berbagai derajat (mulai dari koma sampai penurunan
kesadaran lebih ringan dengan manifestasi seperti: mengigau, bicara salah, tidur terus,
diam saja, tingkah laku berubah)
2. Keadaan umum yang sangat lemah (tidak bisa duduk/berdiri)
3. Kejang-kejang
4. Panas sangat tinggi
5. Mata atau tubuh kuning
6. Tanda-tanda dehidrasi (mata cekung, turgor dan elastisitas kulit berkurang, bibir
kering, produksi air seni berkurang)
7. Perdarahan hidung, gusi atau saluran pencernaan
8. Nafas cepat atau sesak nafas
9. Muntah terus menerus dan tidak dapat makan minum
10. Warna air seni seperti teh tua dan dapat sampai kehitaman
11. Jumlah air seni kurang sampai tidak ada air seni
12. Telapak tangan sangat pucat (anemia dengan kadar Hb kurang dari 5 g%) Penderita
malaria berat harus segera dibawa/dirujuk ke fasilitas kesehatan untuk mendapatkan
penanganan semestinya(Fitriany & Sabiq, 2018)

Diagnosis
1. Anamnesis
Anamnesis Keluhan utama dapat meliputi demam, menggigil, dapat disertai sakit kepala,
mual, muntah, diare dan nyeri otot atau pegal-pegal. Riwayat berkunjung dan bermalam 1-4
minggu yang lalu ke daerah endemik malaria. Riwayat tinggal didaerah endemik malaria. Riwayat
sakit malaria. Riwayat minum obat malaria satu bulan terakhir. Gejala klinis pada anak dapat
tidak jelas. Riwayat mendapat transfusi darah.
Selain hal-hal tadi, pada pasien penderita malaria berat, dapat ditemukan keadaan seperti
Gangguan kesadaran dalam berbagai derajat, Keadaan umum yang lemah, Kejang-kejang, Panas
sangat tinggi, Mata dan tubuh kuning, Perdarahan hidung, gusi, tau saluran cerna, Nafas cepat
(sesak napas), Muntah terus menerus dan tidak dapat makan minum, Warna air seni seperti the
pekat dan dapat sampai kehitaman, Jumlah air seni kurang bahkan sampai tidak ada dan Telapak
tangan sangat pucat. (Fitriany & Sabiq, 2018)
2. Pemeriksaan fisik
a. Malaria Ringan
Demam (pengukuran dengan termometer ≥ 37,5°C), Konjungtiva atau telapak tangan pucat,
Pembesaran limpa (splenomegali), dan Pembesaran hati (hepatomegali).
b. Malaria Berat
Mortalitas: Hampir 100% tanpa pengobatan, Tatalaksana adekuat: 20%, Infeksi olehP.
falciparum disertai dengan salah satu atau lebih kelainan yaitu Malaria serebral, Gangguan
status mental, Kejang multipel, Koma, Hipoglikemia: gula darah < 50 mg/dL, Distress
pernafasan, Temperatur > 40oC, tidak responsif dengan asetaminofen, Hipotensi, Oliguria
atau anuria, Anemia dengan nilai hematokrit 1,5 mg/dL, Parasitemia > 5%, Bentuk Lanjut
(tropozoit lanjut atau schizont) P. falciparum pada apusan darah tepi, Hemoglobinuria,
Perdarahan spontan, dan Kuning. (Fitriany & Sabiq, 2018)
3. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan dengan mikroskop
Pemeriksaan sediaan darah (SD) tebal dan tipis di Puskesmas/Iapangan/rumah sakit
untuk menentukan Ada tidaknya parasit malaria (positif atau negatif),Spesies dan stadium
plasmodium, Kepadatan parasite.
Untuk penderita tersangka malaria berat perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Bila pemeriksaan sediaan darah pertama negatif, perlu diperiksa ulang setiap 6 jam
sampai 3 hari berturut-turut.
2. Bila hasil pemeriksaan sediaan darah tebal selama 3 hari berturut-turut tidak ditemukan
parasit maka diagnosis malaria disingkirkan.
b. Pemeriksaan dengan tes diagnostik cepat (Rapid Diagnostic Test)
Mekanisme kerja tes ini berdasarkan deteksi antigen parasit malaria, dengan
menggunakan metoda imunokromatografi, dalam bentuk dipstik Tes ini sangat bermanfaat
pada unit gawat darurat, pada saat terjadi kejadian luar biasa dan di daerah terpencil yang
tidak tersedia fasilitas lab serta untuk survey tertentu. Hal yang penting lainnya adalah
penyimpanan RDT ini sebaiknya dalam lemari es tetapi tidak dalam freezer pendingin.
c. Pemeriksaan penunjang untuk malaria berat
Pemeriksaan peninjang meliputi; darah rutin, kimia darah lain (gula darah, serum
bilirubin, SGOT & SGPT, alkali fosfatase, albumin/globulin, ureum, kreatinin, natrium dan
kalium, anaIisis gas darah, EKG, Foto toraks,Analisis cairan serebrospinalis, Biakan darah
dan uji serologi, dan Urinalisis. (Fitriany & Sabiq, 2018)

Komplikasi
1. Malaria Serebral
Diduga pada malaria serebral terjadi sumbatan kapiler pembuluh darah otak sehingga
terjadi anoksia otak. Sumbatan tersebut terjadi karena eritrosit yang mengandung parasit
suit melalui pembuluh kapiler karena proses sitoaderensi dan sekuestrasi parasit. Akan
tetapi berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Warrell DA menyatakan bahwa tidak
ada perubahan cerebral blood flow, cerebro vascular resistence, ataupun cerebral
metabolic rate for oxygen pada penderita koma dibandingkan penderita yang telah pulih
kesadarannya. Kadar laktat pada cairan serebro-spinal (CSS) meningkat pada malaria
serebral yaitu > 2.2 mmol/l (19,6 mg/di) dan dapat dijadikan indikator prognosis; yaitu
bila kadar laktat > 6 mmol/l mempunyai prognosa yang fatal. Pada pengukuran tekanan
intrakranial meningkat pada anak-anak (80%), sedangkan pada penderita dewasa biasanya
normal. Pada pemeriksaan CT scan biasanya normal, adanya edema serebri hanya
dijumpai pada kasus- kasus yang agonal. Pada malaria serebral biasanya dapat disertai
gangguan fungi organ lain seperti ikterik, gagal ginjal, hipoglikemia dan edema paru. Bila
terjadi lebih dari 3 komplikasi organ, maka prognosa kematian > 75% (Setiati, 2014)
2. Gagal Ginjal Akut
Kelainan fungsi ginjal sering terjadi pada penderita malaria dewasa. Kelainan fungsi
ginjal dapat pre-renal karena dehidrasi (> 50%) dan hanya 5-10% disebabkan nekrosis
tubulus akut. Gangguan ginjal diduga disebabkan adanya anoksia karena penurunan aliran
darah ke ginjal akibat dari sumbatan kapiler, sehingga terjadi penurunan filtrasi pada
glomerulus. Secara klinis dapat terjadi fase oliguria ataupun poliuria. Pemeriksaan
laboratorium yang diperlukan yaitu urin mikroskopik, berat jenis urin, atrium urin, serum
natrium, kalium, ureum, kreatinin, analisa gas darah serta produksi urin. Apabila berat
jenis (B.J) urin < 1.010 menunjukkan dugaan nekrosis tubulus akut; sedangkan urin yang
pekat B.J. 1,015, rasio urea urin: darah > 4:1, natrium urin < 20 mmol/l menunjukkan
keadaan dehidrasi. Beberapa faktor risiko yang mempermudah terjadinya GGA ialah
hiperparasitemia, hipotensi, ikterus, hemoglobinuri (Setiati, 2014).
3. Kelainan Hati (Malaria Biliosa)
Jaundice atau ikterus sering dijumpai pada infeksi malaria falsiparum. Pada penelitian
di Minahasa dari 836 penderita malaria, hepatomegali 15,9%, hiperbilirubinemi 14,9%
dan peningkatan serum transaminase 5,7%. Pada malaria biliosa (malaria dengan ikterus)
dijumpai ikterus hemolitik 17,2%; ikterus obstruktip intra-hepatal 11,4% dan tipe
campuran parenkimatosa, hemolitik dan obstruktip 78,6%, peningkatan SGOT rata-rata
121 mU/ml dan SGPT 80,8 mU/ml dengan ratio de Ritis 1,5. Peningkatan transaminase
biasanya ringan sampai sedang dan jarang melebihi 200 iu, ikterus yang berat sering
dijumpai walaupun tapa diikuti kegagalan hati.. Penderita malaria dengan ikterus
termasuk dalam kriteria malaria berat. Dalam pedoman WHO 2010, adanya ikterik pada
malaria berat harus disertai dengan tanda kegagalan fungsi organ lain (Setiati, 2014).
4. Hipoglikemia
Hipoglikemia dilaporkan sebagai keadaan terminal pada binatang dengan malaria
berat. Hal ini disebabkan karena kebutuhan metabolik dari parasit telah menghabiskan
cadangan glikogen dalam hati Hipoglikemia dapat tanpa gejala pada penderita dengan
keadaan umum yang berat ataupun penurunan kesadaran. Pada penderita dengan malaria
cerebral di Thailand dilaporkan hipoglikemi sebanyak 12,5%, sedangkan adanya di
Minahasa inside hipoglikemia berkisar 17,4%-21,8%. Penyebab terjadinya hipoglikemi
yang paling sering ialah karena pemberian terapi kina (dapat terjadi 3 jam setelah infus
kina). Penyebab lainnya ialah kegagalan glukoneogenesis pada penderita dengan ikterik,
hiperparasitemia oleh karena parasit mengkonsumsi karbo-hidrat, dan pada TNF-a yang
meningkat. Hipoglikemi dapat pula terjadi pada primigravida dengan malaria tapa
komplikasi. Hipoglikemia kadang kadang suit diobati dengan cara konvensionil,
disebabkan hipoglikemia yang persisten karena hiperinsulinemia akibat kina. Mungkin
dengan pemberian diazoksid dimana terjadi hambatan sekresi insulin merupakan cara
pengobatan yang dapat dipertimbangkan (Setiati, 2014).
5. Blackwater Fever (Malaria Hemoglobinuria)
Suatu sindrom dengan gejala karakteristik serangan akut, menggigil, demam,
hemolisis intravaskular hemoglobinemi, hemoglobinuri dan gagal ginjal. Biasanya terjadi
sebagai komplikasi dari infeksi P.falciparum yang berulang-ulang pada orang non-imun
atau dengan pengobatan kina yang tidak adekuat. Akan tetapi adanya hemolisis karena
kina ataupun antibodi terhadap kina belum pernah dibuktikan. Malaria hemoglobinuria
dapat terjadi pada penderita tapa kekurangan ensim G-6-PD dan biasanya parasit
falsiparum positif, ataupun pada penderita dengan kekurangan G-6-PD yang biasanya
disebabkan arena pemberian primakuin (Setiati, 2014).
6. Malaria Algid
Yaitu terjadi syok vaskuler, ditandai dengan hipotensi. Perubahan tahanan perifer dan
berkurangnya perfusi jaringan. Gambaran klinik berupa perasaan dingin dan basah pada
kulit, temperatur rektal tinggi, kulit tidak elastik, pucat, Pernapasan dangkal, nadi cepat,
tekanan darah turun dan sering tekanan sistolik tak terukur dan nadi yang septisemia gram
r negatif normal. Keadaan ini sering dihubungkan dengan teladimo Hipotensi biasanya
berespon dengan pemberian NaC1 C 0,9% dan obat inotropic (Setiati, 2014).
7. Kecenderungan Perdarahan
Perdarahan spontan berupa perdarahan gusi, epistaksis, perdarahan di bawah kulit
berupa petekie, purpura, Perdarahan ini dapat terjadi (ernatoma dapat tejadi sebasai
komplitas malaria tropika karena trombositopenia, atau gangguan koagulasi intravaskular
ataupun gangguan koagulasi karena gangguan fungsi hati. Trombositoperia disebabkan
karena pengaruh sitokin. Gangguan koagulasi intravaskular jarang terjadi kecuali pada
stadium akhir dan suatu infeksi falciparum yang berat (Setiati, 2014).
8. Edema Paru
Sering terjadi pada malaria dewasa dan jarang pada anak, Edema paru merupakan
komplikasi yang paling berat malaria tropika dan sering menyebabkan kematian. Edema
paru dapat terjadi karena kelebihan cairan atau Acute Respiratory Distress Syndrome.
Beberapa faktor yang memudahkan timbulnya edema paru ialah cairan, kehamilan,
malaria serebral, kelebihan hipotensi, asidosis dan uremi hiperparasitemi, adanya
peningkatan respirasi merupakan gejala awal, bila frekuensi pernapasan 35 kali/menit
prognosanya jelek. Pada otopsi dijumpai adanya kombinasi edema yang difus kongestif
paru, perdarahan, dan pembentukan membran hialin. Oleh karenanya istilah edema paru
mungkin kurang tepat, bahkan sering disebut sebagai insuffisiensi paru akut atau Acute
Respiratory Distress Syndrome (Setiati, 2014).

Prognosis
Prognosis malaria berat tergantung kecepatan diagnosa dan ketepatan dan kecepatan
pengobatan. Pada malaria berat yang tidak ditanggulangi, maka mortalitas yang
dilaporkan pada anak-anak 15%, dewasa 20%, dan pada kehamilan meningkat sampai
50%. Prognosis malaria berat dengan kegagalan satu fungsi organ lebih baik daripada
kegagalan 2 fungsi organ. Mortalitas dengan kegagalan 3 fungsi organ, adalah >50 %.
Mortalitas dengan kegagalan 4 atau lebih fungsi organ, adalah >75 % (Fitriany & Sabiq,
2018)

Sumber :
Kemenkes. 2019. Tatalaksana Kasus Malaria Terkini. Jakarta: Kemenkes RI
Fitriany, J., Ahmad, S. 2018. Malaria. Jurnal Averrous. 2(2): 2-3.
Setiati, S., dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV Jilid 1. Jakarta: Interna
Publishing.

Demam Tifoid
Definisi

Demam tifoid merupakan suatu penyakit sistemik yang secara klasik disebabkan oleh
Salmonella typhi (S.typhi), namun dapat pula disebabkan oleh S. paratyphi A, S. para-typhii
B (Schottmuelleri ), dan S. paratyphi C (Hirscheldii).

Epidemiologi
Data global pada tahun 2010, diperkirakan 26,9 juta kasus demam tifoid diseluruh
dunia (4). Demam tifoid banyak dijumpai di negara-negara berkembang dan pada daerah
tropis dengan angka kejadian sekitar 21 juta dan berakhir kematian sekitar 700 kasus. Hal ini
menyebabkan demam tifoid masih menjadi masalah serius. Berdasarkan studi epidemiologi
yang dilakukan di lima negara Asia, insidensi kasus demam tifoid di Indonesia sekitar 81,7
kasus per 100.000 penduduk per tahun. Angka tersebut masih dibawah Pakistan 451,7 kasus
per 100.000 penduduk per tahun dan India 493,5 kasus per 100.000 per tahun. Prevalensi
angka kejadian demam tifoid di Indonesia menurut data Kementerian Kesehatan RI
menyebutkan sekitar 350- 810 per 100.000 penduduk. Itu artinya tiap tahun ada sebesar
600.000-1.500.000 kasus demam tifoid.

Etiologi
Salmonella Typhi merupakan bakteri dari subspesies Salmonella enterica yang
menjadi penyebab demam tifoid dengan manifestasi demam yang berlangsung lama. Bakteri
ini merupakan bakteri gram negatif, berbentuk batang, tumbuh pada suasana aerob dan
fakultatif aerob serta masuk dalam keluarga Enterobacteriaceae. Bakteri ini tidak berspora,
bergerak dengan flagella serta memiliki 3 jenis antigen yaitu antigen O, H, dan VI didalam
serum penderita demam tifoid. Seseorang yang serumnya mengalami infeksi akan
mendapatkan perlindungan dari aksi bakterisida karena peran dari antigen Vi.

Patogenesis
Demam tifoid dapat ditularkan melalui berbagai cara, biasa dikenal dengan 5F yaitu
Food (makanan), Finger (jari tangan/kuku), Fomitus (muntah), Fly (lalat) dan Feses.
Penularan bakteri Salmonella Typhi penyebab demam tifoid dapat melalui feses dan
muntahan dari penderita tifoid. Makanan dan minuman yang terkontaminasi serta lalat yang
hinggap di makanan yang akan kurang diperhatikan maka bakteri tersebut dapat mudah
masuk dan menyebabkan infeksi (Nuruzzaman & Syahrul, 2016). Demam tifoid disebabkan
oleh bakteri gram negatif Salmonella Typhi yang bentuknya batang, mempunyai flagella,
aerob atau anaerob fakultatif. Bakteri Salmonella Typhi masuk ke dalam usus halus dengan
diperantarai oleh makanan atau minuman yang terkontaminasi. Jumlah kuman yang dapat
menginfeksi tubuh manusia bervariasi yakni antara 1000 hingga 1.000.000 kuman. Kuman
dapat bertahan terhadap asam lambung dan kemudian masuk ke dalam tubuh melalui mukosa
usus pada ileum terminalis dan berkembang biak. Respon humoral mukosa (IgA) usus yang
kurang baik dapat menyebabkan kuman menembus sel-sel epitel terutama sel M dan
selanjutnya menuju ke lamina propia. Kemudian kuman akan berkembang biak dan difagosit
oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat bertahan hidup serta dapat
berkembang biak di dalam makrofag dan kemudian dibawa ke Plak Peyer ileum distal dan
kemudian kelenjar getah bening mesenterika. Kuman yang terdapat di dalam makrofag akan
masuk ke dalam sirkulasi darah melalui duktus toraksikus sehingga mengakibatkan
bakterimia pertama yang asimtomatik. Biasanya tidak didapatkan gejala dan kultur darah
biasanya masih memberikan hasil yang negatif. Periode inkubasi terjadi selama 7 hingga 14
hari (Nelwan R.H.H, 2012). Kuman dalam pembuluh darah kemudian akan menyebar ke
seluruh tubuh dan berkolonisasi dalam organ-organ sistem retikuloendotelial yaitu hati,
limpa, serta sumsum tulang. Selain itu, kuman juga melakukan replikasi didalam makrofag.
Setelah periode replikasi, kuman akan kembali menyebar ke sistem peredarah darah dan
menyebabkan bakterimia yang kedua. Hal ini 9 juga sekaligus menandai berakhirnya masa
inkubasi. Bakterimia kedua akan menimbulkan beberapa manifestasi klinis seperti demam,
sakit kepala, serta nyeri abdomen.
Pada tahap ini, bakteri tersebar luas di hati, limpa, sumsum tulang, kantung empedu, dan Plak
Peyer di mukosa ileum terminal. Ulserasi pada Plak Peyer dapat terjadi melalui inflamasi
yang mengakibatkan nekrosis dan iskemia. Bakterimia dapat menetap selama beberapa
minggu jika tidak diobati dengan antibiotik. Kekambuhan dapat terjadi jika kuman masih
menetap didalam organ-organ sistem retikuloendotelial dan mempunyai kesempatan
berproliferasi kembali. Bakteri Salmonella Typhi harus mampu bertahan hidup di lambung
dengan pH rendah untuk menginfeksi usus dimana jumlah bakteri Salmonella Typhi yang
menyebabkan seseorang sakit bervariasi sekitar 103 sampai 106 sel (Chowdhury, Shumy,
Anam, & Chowdhury, 2014). Selain itu, waktu inkubasinya antara 7 hingga 14 hari
tergantung jumlah bakteri, virus serta respon daya tahan tubuh manusia

Gejala Klinis
● Demam
Demam atau panas adalah gejala utama Tifoid. Pada awal sakit, demamnya
kebanyakan samar samar saja, selanjutnya suhu tubuh sering turun naik. Pagi lebih
rendah atau normal, sore dan malam lebih tinggi (demam intermitten). Dari hari ke
hari intensitas demam makin tinggi yang disertai banyak gejala lain seperti sakit
kepala (pusing-pusing) yang sering dirasakan diarea frontal, nyeri otot, pegal-pegal,
insomnia, anoreksia, mual dan muntah. Pada minggu ke 2 intensitas demam makin
tinggi, kadangkadang terus menerus (demam kontinyu). Bila pasien membaik maka
pada minggu ke 3 suhu badan berangsur turun dan dapat normal kembali pada akhir
minggu ke 3. Perlu diperhatikan terhadap laporan, bahwa demam yang khas tifoid
tersebut tidak selalu ada. Tipe demam menjadi tidak beraturan. Hal ini mungkin
karena intervensi pengobatan atau komplikasi yang dapat terjadi lebih awal. Pada
anak khususnya balita, demam tinggi dapat menimbulkan kejang (Soewandojo, 2007).
● Gangguan Saluran Pencernaan
Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama. Bibir kering
dan kadang kadang pecah-pecah. Lidah kelihatan kotor dan ditutupi selaput putih.
Ujung dan tepi lidah kemerahan dan tremor (coated tongue atau selaput putih), dan
pada penderita anak jarang ditemukan. Pada umumnya penderita sering mengeluh
nyeri perut terutama regio epigastrik (nyeri hati), disertai nausea, mual dan muntah.
Pada awal sakit sering meteorismus dan kontipasi Pada minggu selanjutnya
kadangkadang timbul diare (Soewandojo, 2007).
● Gangguan Kesadaran
Umumnya terdapat gangguan kesadaran yang kebanyakan berupa penurunan
kesadaran ringan. Sering didapatkan kesadaran apatis dengan kesadaran 28 seperti
berkabut (tifoid). Bila klinis berat, tak jarang penderita sampai somnolen dan koma
atau dengan gejala-gejala psychosis (Organic Brain Syndrome). Pada penderita
dengan toksik, gejala delirium lebih menonjol (Soewandojo, 2007).
● Hepatosplenomegali
Hati dan atau limpa, ditemukan sering membesar. Hati terasa kenyal dan nyeri tekan
(Soewandojo, 2007).
● Bradikardia Relatif dan Gejala Lain
Bradikardi relatif tidak sering ditemukan, mungkin karena teknis pemeriksaan yang
sulit dilakukan. Bradikardi relatif adalah peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti
oleh peningkatan frekuensi nadi. Patokan yang sering dipakai adalah bahwa setiap
peningkatan suhu 1'C tidak diikuti peningkatan frekuensi nadi 8 denyut dalam 1
menit. Gejala-gejala lain yang dapat ditemukan pada demam tifoid adalah rose spot
yang biasanya ditemukan diregio abdomen atas, serta sudamina, serta gejala gejala
klinis yang berhubungan dengan komplikasi yang terjadi. Rose spot pada anak sangat
jarang ditemukan malahan lebih sering epitaksis (Soewandojo, 2007).

Diagnosis
● Anamnesis
○ Masa inkubasi: umumnya 3-60 hari
○ Biasanya pada anamnesis, saat masuk rumah sakit didapatkan keluhan
utamanya adalah demam, yang diderita ± 5-7 hari, yang tidak berhasil diobati
dengan antipiretika. Demam bersifat bertahap makin naik setiap hari (step
ladder), disertai dengan lemah badan (lesu), malas, nyeri kepala, nyeri otot,
punggung dan sendi, perut kembung kadang-kadang nyeri, obstipasi (kadang-
kadang diare), mual, muntah, batuk.
○ Perlu diselidiki apakah penderita berasal dari atau bepergian ke daerah
endemis Demam tifoid (wisatawan). Kebiasaan makanminum (kerang, ice
cream, air mentah). Perlu ditanya apakah pernah menjalani vaksinasi Demam
tifoid (Soewandojo, 2007).

● Manifestasi Klinik
Penderita nampak lesu, letih, wajah "kosong" Kadangkadang penderita
nampak gelisah, "delirium" atau koma. Gejala lain yang dapat dijumpai: Demam
bradikardi relatif, pendengaran menurun, tifoid tongue, rose spots, bronchitic chest,
tidak enak di perut (abdominal tenderness), kembung, hepatomegali, splenomegaly
(Soewandojo, 2007).

● Laboratorium Urine Albuminuria Tes Diazo Positif


○ Urine + Reagens Diazo, beberapa tetes ammonia 30% (dalam tabung reaksi)
→ dikocok 4 buih berwarna merah atau merah muda.
○ Biakan kuman (paling tinggi pada minggu II/III diagnosis pasti atau sakit
carrier) (Soewandojo, 2007).

● Tinja
○ Ditemukan banyak eritrosit dalam tinja (Pra-Soup Stool, kadang-kadang darah
(bloody stool).
○ 2 Biakan kuman (diagnosis pasti atau carrier post tyfi pada minggu II/III sakit
(Soewandojo, 2007).

● Darah
○ Leukopenia atau leukopeni relatif, kadang-kadang
○ leukositosis
○ Netropeni
○ Limfositosis Aneosinofilia
○ Anemia
○ Laju Endap Darah (LED)
○ SGOT/SGPT meningkat
○ Biakan kuman (paling tinggi pada minggu I sakit,diagnosis pasti Demam
tifoid). Minggu I: 80-9%, minggu II: 20-25%, minggu III: 10-15%
(Soewandojo, 2007).

● Serologi
○ Deteksi Antibodi
■ Tes Widal Metode tube dan metode slide
■ ELISA 30 Menggunakan antigen O, H, Vi, dan menggunakan protein
Ag khusus dibuat tes Dot-EIA dengan kertas nitroselulose (tes
dipstick)
○ Deteksi Antigen
■ Tes Koagulasi
■ ELISA
○ Deteksi DNA
■ Hibridisasi dengan pelacak DNA (DNA probe) Kurang sensitif apabila
jumlah S. typhi dalam darah penderita rendah.
■ Polymerase Chain Reaction (PCR)
○ Sumsum Tulang
■ Biakan sumsum tulang
■ Sangat sensitif (95%)
■ Tidak dipengaruhi oleh pemberian antibiotika dan fase penyakit
■ Invarif (perlu tenaga ahli biopsi sumsum tulang) (Soewandojo, 2007).

Komplikasi
Komplikasi pada tifoid terjadi pada keadaan toksemia berat dan kelemahan umum,
serta perawatan yang diberikan kurang maksimal. Penggunaan terapi yang tepat saat ini
mengakibatkan komplikasi yang muncul mengalami penurunan. Pada anak-anak, pendarahan
usus dan perforasi sangat sering terjadi. Komplikasi sistem syaraf pusat relatif jarang terjadi
pada anak-anak termasuk delirium, psikosis serta ketegangan intrkranial yang meningkat.
Selain itu, terjadi komplikasi seperti sindrom utemik hemolitik, kegagalan sumsung tulang,
sindrom nefrotik serta meningitis. Komplikasi yang berat dapat menimbulkan kematian pada
pasien. Faktor penentu terjadinya komplikasi yang parah adalah durasi infeksi serta
keterlambatan dalam pemberian antibotik yang tepat.

Penceghan
Pencegahan lebih baik daripada pengobatan dan dengan pengobatan yang baik berart
melaksanakan pencegahan yang baik pula. Kedua ungkapan ini berlaku juga untuk tifoid,
dimana kegiatan pencegahan lebih efisien dan tanpa risiko yang membahayakan. Bila
pengobatan tifoid terlaksana dengan sempurna, maka dapat mencegah karier yang merupakan
sumber penularan di masyarakat. Pencegahan adalah segala upaya yang dilakukan agar setiap
anggota masyarakat tidak tertular oleh basil salmonella. Ada 3 pilar strategis yang menjadi
program pencegahan yakni: (Kemenkes, 2006).
● Mengobati secara sempurna pasien dan karier tifoid
● Mengatasi faktor-faktor yang berperan terhadap rantai penularan
● Perindungan dini agar tidak tertular

Prognosis
Prognosis bergantung pada ketepatan diagnosis dan pemberian antibiotik yang sesuai.
Relaps dapat terjadi pada 2-4% anan yang sudah mendapat terapi. Risiko menjadi karier
kronik meningkat seiring bertambahnya usia. Mortilitas 10-32% pada pasien dengan perforasi
usus.

Sumber :

Ferry Liwang, et al., (2020), Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Ed V. Jakarta : Media
Aeskulapius.
Nuruzzaman, H dan Syahrul, F. (2016). Analisis Risiko Kejadian Demam Tifoid Berdasarkan
Kebersihan Diri dan Kebiasaan Jajan di Rumah. Jurnal Berkala Epidemiologi. Vol 4 No. 1
Januari 2016. Surabaya: FKM UA Unair.
Soewandojo, Eddy., Suharto., Usman, Hadi., dan Nasronudin, (2007), Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Surabaya: Airlangga University Press.

Demam Dengue

Definisi
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi virus akut yang disebabkan oleh
virus dengue yang ditandai demam 2 – 7 hari disertai dengan manifestasi perdarahan,
penurunan trombosit (trombositopenia), adanya hemokonsentrasi yang ditandai kebocoran
plasma (peningkatan hematokrit, asites, efusi pleura, hipoalbuminemia). Dapat disertai
gejala-gejala tidak khas seperti nyeri kepala, nyeri otot & tulang, ruam kulit atau nyeri
belakang bola mata (Kemenkes, 2017).
Tidak semua yang terinfeksi virus dengue akan menunjukkan manifestasi DBD berat. Ada
yang hanya bermanifestasi demam ringan yang akan sembuh dengan sendirinya atau bahkan
ada yang sama sekali tanpa gejala sakit (asimtomatik). Sebagian lagi akan menderita demam
dengue saja yang tidak menimbulkan kebocoran plasma dan mengakibatkan kematian
(Kemenkes, 2017).

Epidemiologi
Jumlah kasus demam berdarah yang dilaporkan ke WHO meningkat lebih dari 8 kali lipat
selama dua dekade terakhir, dari 505.430 kasus pada tahun 2000, menjadi lebih dari 2,4 juta
pada tahun 2010, dan 5,2 juta pada tahun 2019. Kematian yang dilaporkan antara tahun 2000
dan 2015 meningkat dari 960 menjadi 4032, mempengaruhi sebagian besar kelompok usia
yang lebih muda. Jumlah total kasus tampaknya menurun selama tahun 2020 dan 2021,
termasuk jumlah kematian yang dilaporkan. Namun, datanya belum lengkap dan pandemi
COVID-19 mungkin juga menghambat pelaporan kasus di beberapa negara (WHO, 2021).
Jumlah kasus demam berdarah terbesar yang pernah dilaporkan secara global terjadi pada
tahun 2019. Semua wilayah terkena dampaknya, dan penularan demam berdarah tercatat di
Afghanistan untuk pertama kalinya. Tingginya jumlah kasus di Asia, dilaporkan di
Bangladesh (101.000 kasus), Malaysia (131.000 kasus) Filipina (420.000 kasus), Vietnam
(320.000 kasus) (WHO,2021). Di Indonesia kasus DBD berfluktuasi setiap tahunnya dan
cenderung semakin meningkat angka kesakitannya dan sebaran wilayah yang terjangkit
semakin luas. Pada tahun 2016, DBD berjangkit di 463 kabupaten/kota dengan angka.
kesakitan sebesar 78,13 per 100.000 penduduk. Kasus demam berdarah dengue yang terjadi
di Indonesia dengan jumlah kasus 68.407 tahun 2017 mengalami penurunan yang signifikan
dari tahun 2016 sebanyak 204.171 kasus. Tiga provinsi dengan kasus tertinggi ialah Jawa
Barat (10.016 kasus), Jawa Timur (7.838 kasus) dan Jawa Tengah (7.400 kasus), sedangkan
jumlah kasus terendah terjadi di Maluku Utara dengan jumlah 37 kasus (Kemenkes, 2018)

Etiologi
Empat virus dengue yang berbeda diketahui menyebabkan demam berdarah. Demam
berdarah terjadi ketika seseorang digigit oleh nyamuk yang terinfeksi virus. Nyamuk Aedes
aegypti adalah spesies utama yang menyebar penyakit ini. Ada lebih dari 100 juta kasus baru
demam berdarah setiap tahun di seluruh dunia. Sejumlah kecil ini berkembang menjadi
demam berdarah. Kebanyakan infeksi di Amerika Serikat yang dibawa dari negara lain.
Faktor risiko untuk demam berdarah termasuk memiliki antibodi terhadap virus demam
berdarah dari infeksi sebelumnya (Vyas, et al, 2014).
Virus dengue termasuk genus Flavirus, keluarga flaviridae terdapat 4 serotipe virus dengan
DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4, keempatnya ditemukan di Indonesia dengan den-3
serotype terbanyak. Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe
yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang,
sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain.
Seseorang yang tinggal di daerah epidermis dengue dapat terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe
selama hidupnya. Keempat serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di
Indonesia (Nurarif & Hardhi, 2015).

Siklus Hidup
Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti siklus hidupnya mempunyai empat fase yaitu dari mulai
telur, jentik, pupa, sampai menjadi nyamuk dewasa. Nyamuk jenis ini mempunyai siklus
hidup sempurna. Spesies ini meletakkan telurnya pada kondisi permukaan air yang bersih
secara individual. Telur yang memilki bentuk elips warnanya hitam dan juga terpisah satu
dengan yang lain. Telurnya dapat menetes dalam waktu 1-2 hari kemudian akan berubah
jentik (Susanti, 2017).
Terdiri dari 4 tahap didalam perkembangannya jentik yang dikenal sebagai instar.
Perkembangan instar 1 ke instar 4 membutuhkan waktu kirakira 5 hari. Selanjutnya untuk
sampai instar ke 4, larva ini berubah menjadi pupa yang dimana jentik tersebut telah
memasuki masa dorman. Pupa dapat bertahan selama 2 hari sebelum nyamuk dewasa keluar
dari pupa. Perkembangan mulai dari telur hingga menjadi nyamuk dewasa membutuhkan
waktu selama 8 hingga 10 hari, namun juga bisa lebih lama jika kondisi lingkungan yang
tidak mendukung (Susanti, 2017).

Patogenesis
Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk Aedes terutama
Aedes aegypti yang terinfeksi virus dengue. Semua serotipe virus dengue dapat ditularkan
melalui gigitan nyamuk tersebut. Selain Aedes aegypti wabah demam berdarah juga dikaitkan
dengan nyamuk Aedes albopictus, Aedes polynesiensis, dan Aedes scutellaris. Masing-
masing spesies nyamuk memiliki ekologi, perilaku, dan distribusi geografis tertentu. Nyamuk
Aedes aegypti tidak dapat hidup pada udara dingin, sehingga nyamuk itu relatif tidak
ditemukan pada ketinggian di atas 1000 meter. Dalam beberapa dekade terakhir Aedes
albopictus telah menyebar dari Asia ke Afrika, Amerika, dan Eropa. Penyebaran tersebut
dikaitkan dengan perdagangan internasional yang menggunakan bab-ban atau benda-benda
yang dapat menampung air hujan sehingga dapat menjadi wadah bagi telur-telur nyamuk.
Telur-telur nyamuk tersebut juga dapat tetap hidup selama berbulan-bulan tanpa air. Masa
inkubasi infeksi virus dengue adalah 4-10 hari. Infeksi virus dengue dapat menimbulkan
spektrum penyakit mulai dari yang asimptomatik, flu like syndrome, demam dengue, demam
berdarah dengue, sindroma syok dengue hingga kematian.
Infeksi virus dengue dapat memberikan kekebalan seumur hidup terhadap serotipe
virus yang sama namun hanya dapat memberikan kekebalan selama 2-3 bulan terhadap
serotipe yang berbeda (proteksi silang). Faktor risiko individu turut menentukan tingkat
keparahan penyakit. Faktor-faktor tersebut antara lain infeksi sekunder, usia, etnis, bayi,
obesitas, lansia, ibu hamil, menstruasi, dan kemungkinan penyakit kronis seperti asma
bronkial, anemia sel sabit, hipertensi, diabetes mellitus, ulkus peptikum, penyakit hemolitik,
penyakit jantung bawaan, gagal ginjal kronik, sirosis, pengobatan yang menggunakan steroid
atau NSAID, dan lain sebagainya. Hingga saat ini belum ada satu teori pun yang dapat
menjelaskan patogenesis infeksi dengue dengan lengkap. Hal itu terjadi karena belum adanya
animal model yang sepenuhnya dapat menunjukkan reaksi dan gejala seperti pada manusia
bila terinfeksi virus dengue. Berbagai teori seperti teori virulensi, beban virus, antibody
dependent enhancement (ADE), innate immunity, T-cell mediated, apoptosis, cytokine
tsunami, autoimun, dan genetik telah dikemukakan para ahli untuk menerangkan proses yang
terjadi pada penderita infeksi dengue (DBD). Semua teori tersebut menyatakan bahwa
“medan pertempuran” utama infeksi dengue adalah di endotel kapiler pembuluh darah.
Endotel memiliki fungsi penting yaitu memelihara tonus vaskular, mencegah penggumpalan
darah dan migrasi sel-sel darah, memproduksi kemoatraktan, serta memelihara permeabilitas
pembuluh darah. Fungsi tersebut diperlukan agar suplai darah ke organ tubuh terpelihara
dengan baik. Agar berfungsi dengan baik maka sel-sel endotel harus tetap stabil. Stabilitas
sel-sel endotel pembuluh darah dipelihara oleh tautan antar sel yang tersusun atas molekul-
molekul protein. Tautan antar sel endotel yang paling berperan adalah tight junction dan
adherens junction. Tautan antar sel endotel membentuk celah antar endotel yang sangat
sempit (jalur paraselulular) dan hanya dapat dilalui oleh molekul kecil berdiameter < 2 nm
seperti air, urea, glukosa, elektrolit dsb. Namun bila celah tersebut melebar maka celah antar
endotel dapat dilewati molekul yang lebih besar dan sel-sel darah (kebocoran plasma). Pada
DBD, terjadi kebocoran plasma. Pelepasan interleukin (IL)-1, IL6, tumor necrosis factor
alpha (TNF-α), histamin, bradikinin, anafilatoksin C3a dan C5a, vascular endothelial growth
factor (VEGF), aktivasi komplemen, trombin, dan antibodi selama perjalanan infeksi dapat
menimbulkan aktivasi dan kontraksi aktin filamen sel endotel kapiler. Kontraksi yang terjadi
membuat protein tautan antar sel endotel (tight junction dan adherens junction) masuk ke
dalam sel, membuat celah antar sel melebar, dan selanjutnya menimbulkan kebocoran
plasma. Sel-sel leukosit ditengarai juga terlibat dalam proses kebocoran plasma.
Sel endotel yang teraktivasi akan mengekspresikan molekulmolekul adesi sel seperti
intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1),
E-selectin, P-selectin dan PECAM-1, yang mengakibatkan leukosit menempel dan bermigrasi
di endotel. Bila molekul adesi meningkat, makin banyak leukosit yang menempel di endotel
sehingga memicu inflamasi lokal, merusak sel endotel, dan memperburuk kebocoran plasma.
Migrasi leukosit akan menyebabkan leukopenia dan juga berpotensi menimbulkan kebocoran
plasma. Trombosit adalah salah satu parameter penting pada DBD. Trombosit yang rendah
dapat terjadi karena supresi virus pada sumsum tulang, penghancuran trombosit di perifer,
dan konsumsi trombosit di pembuluh darah. Trombosit yang rusak melepas VEGF dan
mengaktivasi endotel dan selanjutnya memperburuk kebocoran plasma.
Kombinasi berbagai mekanisme yang terjadi pada DBD dapat bermanifestasi sebagai
perdarahan petekie. Petekie timbul karena terganggunya intregritas vaskular akibat
rangsangan sitokin proinflamatorik, trombositopenia, gangguan koagulasi, dan infeksi virus
di sel endotel. Petekie pada awal perjalanan sakit adalah akibat infeksi virus dengue di sel
endotel kapiler (vaskulopati) sedangkan petekie pada perjalanan sakit berikutnya adalah
akibat jumlah trombosit yang sangat rendah dan gangguan koagulasi. Petekie pada awal
perjalanan sakit infeksi dengue menyebabkan pembuluh darah lebih mudah mengalami
kebocoran. Mekanisme terjadinya infeksi dengue berat hingga saat ini belum sepenuhnya
dapat dipahami. Respon imun, latar belakang genetik individu dan karakteristik virus
berkontribusi terhadap kejadian infeksi dengue berat.
Faktor-faktor risiko individu seperti infeksi sekunder, usia, etnis, dan kemungkinan
penyakit kronis seperti asma bronkial, anemia sel sabit, hipertensi, diabetes mellitus, dan
yang lainnya turut menentukan tingkat keparahan penyakit. Kebocoran plasma merupakan
faktor utama terhadap berat ringannya perjalanan sakit DBD. Kebocoran plasma yang terjadi
dapat menimbulkan hemokonsentrasi, penurunan kadar albumin dan natrium, penumpukan
cairan di pleura, perikard, peritoneum, dan dinding kandung empedu dan bila tidak dikenali
dan ditangani dengan baik, dapat mengakibatkan renjatan dan kematian.

Manifestasi klinis
Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik dan simtomatik.
Manifestasi infeksi dengue yang simtomatik dapat berupa demam yang tidak jelas (sindroma
infeksi virus), demam dengue, infeksi dengue hingga sindroma syok dengue. Infeksi dengan
salah satu serotipe virus dengue dapat memberikan kekebalan seumur hidup terhadap serotipe
virus yang sama tetapi hanya dapat memberikan perlindungan silang jangka pendek yaitu 2-3
bulan terhadap infeksi serotipe yang lain. Gejala dan tanda klinis infeksi dengue dapat berupa
flu-like syndrome, demam mendadak tinggi, mialgia, artralgia, nyeri retro-orbital, terdapat
ruam, mimisan, gusi berdarah, limfadenopati, trombositopenia, leukopenia, peningkatan
hematokrit, hipoalbuminemia, diatesis hemoragik, hingga syok dan kematian. Berdasarkan
kriteria WHO tahun 2011 infeksi dengue dibagi menjadi seperti gambar berikut ini.

Diagnosis
Keadaan berikut ini dapat dipakai sebagai kriteria untuk menduga terjadinya infeksi dengue
pada seseorang.
1) Tersangka (probable) dengue: Demam akut/mendadak selama 2-7 hari disertai 2 atau lebih
manifestasi klinis berikut ini:
a) Sakit kepala;
b) Nyeri retri-orbital;
c) Mialgia;
d) Arthralgia;
e) Ruam kulit;
f) Manifestasi perdarahan;
g) Leukopenia (leukosit ≤5000 sel/mm3); dan
h) Trombositopenia (trombosit ≤150,000 sel/mm3).
dan setidaknya satu dari keadaan di bawah ini:
a) Pemeriksaan serologi dengue positif; dan
b) atau ditemukan penderita DD/DBD yang sudah dikonfirmasi pada lokasi dan waktu
yang sama.
2) Diagnosis terkonfirmasi Kasus probable dengan setidaknya satu dari beberapa di bawah
ini:
a) Isolasi virus dengue dari serum, cairan serebrospinal, atau sample autopsy;
b) Peningkatan serum IgG (dengan uji hemaglutinasi inhibisi) dengan kelipatan
empat atau lebih atau peningkatan antibodi IgM yang spesifik virus dengue;
c) Deteksi virus dengue atau antigen pada jaringan, serum atau cairan serebrospinal
dengan pemeriksaan immunohistochemistry, immunofloresens, enzyme-linked
immunosorbent assay, atau immunochromatography rapid test; dan
d) Deteksi asam nukleat virus demam berdarah dengan reaksi rantai
transkripsi-polimerase terbalik (RT-PCR)
Berdasarkan WHO 2011, uji bendung masih disarankan untuk memperkuat diagnosis
DBD.

Komplikasi
Asidosis metabolik, koagulasi intravaskular diseminata menyebabkan perdarahan berat, bila
terjadi perdarahan intrakranial menyebabkan ensefalopati, kegagalan organ hati dan ginjal,
efusi pleura masif menyebabkan gangguan pernapasan, kongesti paru akut, gagal jantung
akibat terapi cairan berlebihan.

Prognosis
Prognosis kurang baik bila terdapat komplikasi, seperti syok berat/berkepanjangan,
perdarahan berat dengan koagulopati intravaskular diseminata, kelebihan cairan, gagal napas,
dan disfungsi organ. ortalitas pada pasien syok mencapai 40-50%.

Sumber :
Kemenkes. 2018. Situasi Penyakit Demam Berdarah Di Indonesia 2017. In Journal of Vector
Ecology (Vol. 31, Issue 1, pp. 71–78).
Kemenkes. 2017. Pedoman Pencegahan Dan Pengendalian Demam Berdarah Dengue Di
Indonesia. Pedoman Pencegahan Dan Pengendalian Demam Berdarah Di Indonesia, 5
Vyas, Jatin M, et al. (2014). Dengue Hemorrhagic Fever
Susanti, S., & Suharyo, S. (2017). Hubungan Lingkungan Fisik Dengan Keberadaan Jentik
Aedes Pada Area Bervegetasi Pohon Pisang.
WHO. 2021. Dengue and Severe Dengue.
Tabel Diganosis Differential
DEMAM
KATA KUNCI MALARIA DBD
TIFOID

Pria 28 Tahun + + +
Keluhan malas
+ + +
makan dan lemas
Riwayat demam 2
harri yang lalu + + -
selama 2 hari
Riwayat perjalanan
dinas ke Jayapura
+ - -
seminggu yang lalu
selama 5 hari
Pemeriksaan fisik :
wajah tampak + + +
pucat

Anda mungkin juga menyukai