PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Tanaman andong (Cordyline fruticosa) merupakan tanaman obat yang belum
banyak dimanfaatkan, tanaman ini merupakan salah satu jenis tanaman yang
mengandung beberapa senyawa yang dapat digunakan untuk pengobatan. Tanaman
andong (Cordyline fruticosa) mengandung senyawa fenol, flavonoid, tannin, dan
saponin. Kandungan senyawa-senyawa tersebut diduga dapat membunuh cacing.
Ascaridia galli merupakan jenis nematoda parasit yang paling sering
ditemukan pada ayam kampung. Kejadian akut askaridiosis dapat menimbulkan
kerugian yang cukup besar dalam bidang peternakan, apalagi komoditas ternak
unggas, terutama ayam, memegang peranan yang sangat penting dalam penyediaan
protein hewani di Indonesia, baik untuk produksi daging unggas maupun produksi
telurnya.
Harga obat cacing kimia yang relatif mahal merupakan salah satu alasan bagi
petani untuk tidak mengobati ternaknya, di samping alasan-alasan lain yang sering
mengemuka seperti efek samping yang ditimbulkan atau sulitnya cara pemberian.
Untuk mengantisipasi penyebaran infeksi Ascaridia galli yang semakin meluas maka
diperlukan alternatif lain untuk pengobatan helminthiasis pada ternak unggas,
pengobatan alami sebagai salah satu alternatifnya.
Untuk mengatasi hal-hal tersebut perlu dicari alternatif obat cacing, yang
relatif murah harganya, Tanaman andong (Cordyline fruticosa) banyak ditemukan di
sekitar rumah. Tanaman ini mengandung saponin, tanin, flavonoid, polifenol,
steroida, polisakarida, kalsium oksalat dan zat besi. Berdasarkan penelitian-penelitian
sebelumnya, senyawa-senyawa aktif seperti fenol, flavonoid, saponin, tanin,
seskuiterpen, dan triterpenoid mempunyai aktivitas antihelmintik. Kandungan
polifenol, flavonoid, saponin, dan tanin dalam daun tumbuhan ini diperkirakan dapat
menjadi antihelmintik.
1.2.Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya daya antihelmintik
infusa daun andong terhadap Ascaridia galli, mengetahui LC50 dan LT50 infusa daun
andong terhadap Ascaridia galli, dan mengetahui kandungan senyawa aktif dalam
infusa daun andong yang terduga mempunyai daya antihelmintik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Ascaridia galli
Cacing A. galli tersebar secara meluas pada negara-negara di suluruh dunia.
Penyebaran ascaridiosis dapat terjadi pada keadaan temperatur tropis dan sub-tropis.
Ascaridiosis pada ayam pertama dilaporkan terjadi di Jerman, selanjutnya terjadi di
Brazil, India, Zanzibar, Pilipina, Belgia, China, Kanada, dan Inggris. Selain pada
ayam, A. galli juga ditemukan pada jenis unggas lainnya seperti angsa, kalkun, dan
pada burung liar (Banaja, 2013).
Cacing A. galli merupakan cacing terbesar dalam kelas nematoda pada
unggas. Tampilan cacing dewasa adalah semitransparan, berukuran besar, dan
berwarna putih kekuning-kuningan. Cacing ini memiliki kutikula ekstraseluler yang
tebal untuk melindungi membran plasma hipodermal nematode cacing dewasa. Pada
bagian anterior terdapat sebuah mulut yang dilengkapi dengan tiga buah bibir, satu
bibir terdapat pada dorsal dan dua lainnya pada lateroventral. Pada kedua sisi terdapat
sayap yang sempit dan membentang sepanjang tubuh. Cacing jantan dewasa
berukuran panjang 51-76 mm dan cacing betina dewasa 72-116 mm. Cacing jantan
memiliki preanal sucker dan dua spicula berukuran panjang 1-2,4 mm, sedangkan
cacing betina memiliki vulva dipertengahan tubuh. Telur A. galli berbentuk oval,
kerabang lembut, tidak bersegmen, dan berukuran 73-92 x 45-57m (Tabiat, 2012).
Siklus hidup A. galli bersifat langsung yaitu; pematangan seksual berlangsung
di dalam traktus gastrointestinal inang definitif dan stadium infektif (L2) berlangsung
di dalam telur resisten berembrio di lingkungan bebas. Telur dikeluarkan bersama
feses inang definitif dan akan mencapai stadium infektif (L2) dalam waktu 10-20 hari
tergantung
kepada
temperatur
serta
kelembaban
lingkungan.
Daur
hidup
disempurnakan ketika telur infektif A. galli (L2) teringesti oleh inang definitif melalui
makanan atau air terkontaminasi. Telur mengandung larva L2 secara mekanik
terbawa ke duodenum atau jejunum hingga menetas setelah 24 jam pasca ingesti.
Selama penetasan gelungan larva muncul dari ujung anterior telur melewati celah
terbuka keluar kedalam lumen intestinal untuk menjadi L3, larva L3 A. galli
melanjutkan fase histotropik dengan cara menanamkan dirinya pada lapisan mukosa
duodenum (fase jaringan) menjadi L4. Durasi fase histotropik berlangsung selama 354 hari pasca infeksi. Setelah mengalami empat kali molting, L5 (cacing muda) akan
tumbuh dan mencapai dewasa di dalam lumen duodenum. Perioden prepaten cacing
A. galli berlangsung dalam waktu 5-8 minggu, dan 11-15 minggu (Tabiat, 2012).
Pada sumber yang lain (Beriajaya,2011) dinyatakan bahwa siklus hidup
dimulai dari telur dikeluarkan melalui tinja dan berkembang di dalam udara terbuka
dan mencapai dewasa dalam waktu 10 hari atau bahkan lebih. Telur kemudian
mengandung larva kedua yang sudah berkembang penuh dan larva ini sangat resisten
terhadap kondisi lingkungan yang jelek. Telur tersebut dapat tetap hidup selama 3
bulan di dalam tempat yang terlindung, tetapi dapat mati segera terhadap kekeringan,
air panas, juga di dalam tanah yang kedalamannya sampai 15 cm yang terkena sinar
matahari. Infeksi terjadi apabila unggas menelan telur tersebut bersama makanan atau
minuman. Cacing tanah dapat juga bertindak sebagai vektor mekanis dengan cara
menelan telur tersebut dan kemudian cacing tanah tersebut dimakan oleh unggas.
Telur yang mengandung larva dua kemudian menetas di proventrikulus atau
duodenum unggas. Setelah menetas, larva 3 hidup bebas di dalam lumen duodenum
bagian posterior selama 8 hari. Kemudian larva 3 mengalami ekdisis menjadi larva 4,
masuk ke dalam mukosa dan menyebabkan hemoragi. Larva 4 akan mengalami
ekdisis menjadi larva 5. Larva 5 atau disebut cacing muda tersebut memasuki lumen
duodenum pada hari ke 17, menetap sampai menjadi dewasa pada waktu kurang lebih
28-30 hari setelah unggas menelan telur berembrio. Larva 4 dapat memasuki jaringan
mukosa usus pada hari pertama dan menetap sampai hari ke 8-17. Pada ayam yang
berumur kurang dari 3 bulan setelah larva memasuki duodenum kemudian mengalami
perubahan (moulting) menjadi larva 3 dan larva 4 serta berkembang menjadi dewasa
lebih kurang 5-6 minggu setelah telur tertelan ayam, sedangkan pada ayam yang
berumur lebih dari 3 bulan periode tersebut sedikit lebih lama.
Sifat penyakit parasitik cacing A. galli biasanya berjalan kronis sehingga
menimbulkan gejala sakit yang perlahan atau subklinis. Kecacingan tidak
menyebabkan mortalitas tetapi menghasilkan morbiditas. Cacing parasitik bersifat
sebagai organisme patogenik dan beradaptasi sebagai parasit obligat yang
kehidupannya sangat tergantung kepada ketersediaan nutrisi pada inang definitif.
Adaptasi ini dibutuhkan untuk pengelakan diri dari tanggap kebal inang definitif.
Infeksi A. galli pada ayam yang normal umumnya singkat dan kadang-kadang
menyebabkan kerusakan permanen. Tubuh ayam memiliki suatu sistem kekebalan
yang dapat melindungi tubuhnya dari unsur-unsur patogen (Pleidrup, 2013).
Gejala yang terutama dari infeksi cacing ini terlihat selama masa prepaten,
ketika larva berada di dalam mukosa dan menyebabkan enteritis yang kataral, tetapi
pada infeksi berat dapat terjadi hemoragi. Unggas akan menjadi anaemia, diare, lesu,
kurus, kelemahan secara umum dan produksi telur menurun. Selain itu infeksi berat
juga dapat menyebabkan kematian karena terjadi penyumbatan usus. Pada
pemeriksaan pasca mati terlihat peradangan usus yang hemoragik dan larva yang
panjangnya 7 mm ditemukan dalam mukosa usus. Selain itu kadang-kadang
ditemukan parasit yang sudah berkapur dalam bagian albumin dari telur (Banaja,
2013).
2.2.
Tanaman Andong
Tanaman andong (Cordyline fruticosa (L) A. Cheval) termasuk dalam bangsa
Liliales, suku Liliaceae, dan marga Cordyline (Kasahara dan Hemmi, 2013). Menurut
Depkes (2001), nama daerah untuk tanaman andong ini diantaranya adalah Bak Juang
(Aceh), Linjuang (Medan), Tumjuang (Palembang), Hanjuang (Sunda), Andong
(Jawa Tengah), Kayu Urip (Madura), Andong (Jakarta), Endong (Bali), Renjuang
(Dayak), Endong (Nusa Tenggara), Tabango (Gorontalo), Palili (Makasar), Panjureng
(Bugis), dan Weluga (Ambon).
Saponin adalah suatu glikosida (senyawa yang terdiri atas gula dan bukan
gula) yang bila dihidrolisis akan menghasilkan bagian aglikon yang disebut
sapogenin dan bagian glikon (Tyler, 1976). Saponin mempunyai sifat larut dalam air
dengan membentuk busa yang stabil sehingga akan terdapat pada sediaan infusa
(Widowati, 1999).
Saponin merupakan senyawa dengan rasa yang pahit dan mampu membentuk
larutan koloidal dalam air serta menghasilkan busa jika dikocok dalam air. Senyawa
ini dapat mengiritasi membran mukosa dan pada konsentrasi rendah dapat
menyebabkan hemolisis darah merah. Saponin dapat menurunkan tegangan
permukaan dari larutan berair (Tyler, 1976).
b. Tanin
Tanin merupakan senyawa kimia yang tergolong dalam senyawa polifenol
(Deaville dkk., 2010). Tanin mempunyai kemampuan mengendapkan protein karena
tanin mengandung sejumlah kelompok ikatan fungsional yang kuat dengan molekul
protein yang selanjutnya akan menghasilkan ikatan silang yang besar dan komplek
yaitu protein tannin (Ahadi, 2003). Ikatan antara tanin dan protein sangat kuat
sehingga protein tidak mampu tercerna oleh saluran pencernaan. Pembentukan
komplek ini terjadi karena adanya ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik, dan ikatan
kovalen antara kedua senyawa tersebut (Makkar, 1993).
Tanin mempunyai berat molekul 0,5-3 KD. Tanin alami larut dalam air dan
memberikan warna pada air. Warna larutan tanin bervariasi dari warna terang sampai
warna merah gelap atau coklat karena setiap tanin memiliki warna yang khas (Ahadi,
2003).
c. Flavonoid
Flavonoid termasuk dalam golongan senyawa fenolik dengan struktur kimia
C6-C3-C6 (White dan Xing, 1954). Jenis utama flavonoid yang terdapat dalam
tumbuhan yaitu dihidrokalkon, kalkon, flavan, katekin, leukoantosianidin, flavanon,
siklopentana. Pada tahun-tahun terakhir ini, makin banyak senyawa steroid yang
ditemukan dalam jaringan tumbuhan. Tiga senyawa yang biasa disebut fitosterol
terdapat pada hampir setiap tumbuhan tinggi yaitu : sitosterol, stigmasterol, dan
kampesterol (Harborne, 1987; Robinson, 1995).
f. Polisakarida
Polisakarida dengan rumus umum (C6H10O5)n adalah polimer alami yang
bila dihidrolisis menghasilkan banyak molekul monosakarida. Dalam nomenklatur
kimia, polisakarida merupakan glikan dan sebagai terdiri dari unit glikosil.
Polisakarida dibagi lagi menjadi 2 golongan, yaitu homopolisakarida dan
heteropolisakarida. Homopolisakarida bila dihidrolisis hanya menghasilkan satu jenis
monosakarida, misalnya pati dan selulosa. Heteropolisakarida bila menghasilkan
lebih dari satu jenis monosakarida, misalnya inulin (Tewari dkk., 1981; BeMiller,
2007).
Polisakarida dapat dibedakan satu sama lain karena unit monomer individu
bergabung secara spesifik kepala ke ekor. Molekul polisakarida dapat linear atau
bercabang dalam salah satu dari beberapa cara yang berbeda. Mereka dapat terdiri
dari satu jenis unit glikosil (homoglikan) atau dari dua sampai enam unit glikosil
berbeda (heteroglikan) (BeMiller, 2007).
g. Kalsium Oksalat
Kristal ini adalah persenyawaan antara kalsium dan asam oksalat yang
tersebar pada berbagai organ tanaman yaitu batang, daun, bunga, buah, biji
(Franceschi dan Horner, 1980) dan umbi (Bradbury dan Nixon, 1998). Pembentukan
kristal kalsium oksalat terjadi di dalam sel idioblas yang merupakan sel yang
berkembang dengan ukuran vakuola dan sitoplasma yang berbeda dengan sel di
sekitarnya (Prychid dkk., 2008). Kristal kalsium oksalat dalam tanaman memiliki
berbagai fungsi antara lain sebagai pengumpul dan penerus cahaya matahari pada
daun, pengikat racun oksalat, meregulasi jumlah kalsium yang berlebihan atau
kekurangan (Ilarslan dkk., 1997). Kristal kalsium oksalat juga berperan dalam sistem
pertahanan terhadap herbivor (Franceschi dan Nakata, 2005).
h. Zat Besi
Zat besi merupakan unsur utama yang mendukung proses sintesis klorofil.
Unsur tersebut berperan dalam penempelan gugus metil dalam struktur molekul
klorofil (Santosa, l990). Fe bersifat immobil dalam tanaman, yaitu hara yang
keberadaanya tidak bisa dipindahkan dengan cara dirombak kembali dari satu
jaringan ke jaringan yang lain khususnya dari jaringan tua ke jaringan muda (Kim &
Guerinot, 2007).
Berdasarkan polaritasnya, senyawa-senyawa aktif yang terkandung dalam
daun andong termasuk senyawa polar. Saponin pada umumnya berada dalam bentuk
glikosida sehingga cenderung bersifat polar (Harbone, 1987). Flavonoid umumnya
lebih mudah larut dalam air atau pelarut polar dikarenakan memiliki ikatan dengan
gugus gula (Markham, 1988). Senyawa golongan fenol bersifat polar atau semi polar
(Hayati dkk, 2010). Golongan tanin yang merupakan senyawa fenolik yang bersifat
polar (Harbone, 1987). Senyawa yang bersifat polar akan mudah larut dalam pelarut
polar, seperti air, metanol, etanol, dan asam asetat (Depkes RI, 2000).
Untuk memperoleh kandungan aktif dari suatu bahan alam diperlukan proses
ekstraksi atau penyarian dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Berbagai teknik
ekstraksi telah berkembang dengan didukung alat-alat yang modern, namun teknik
ekstraksi sederhana juga masih sering dilakukan terutama oleh masyarakat umum
seperti menyeduh atau merebus tanaman obat (Supriyati dan Solikhah, 2014).
2.3.
Infusa
Infusa adalah sediaan cair hasil penyarian simplisia nabati menggunakan air
pada suhu 90oC selama 15 menit. Infusa dibuat dengan cara mencampur simplisia
dengan derajat halus yang sesuai dalam panci dengan air secukupnya, kemudian
dipanaskan di atas penangas air selama 15 menit terhitung mulai suhu 90oC sambil
10
sekali-kali diaduk. Campuran disaring selagi panas melalui kain kassa, ditambahkan
air panas secukupnya melalui ampas hingga diperoleh volume infusa yang
dikehendaki (Sarwono, 2006). Pembuatan infusa merupakan cara yang paling
sederhana untuk membuat sediaan herbal dari bahan lunak seperti daun dan bunga.
Infusa dapat diminum dalam keadaan panas atau dingin (Tapan, 2004).
Infundasi adalah proses penyarian yang umumnya digunakan untuk menyari
kandungan zat aktif yang larut dalam air dari bahan-bahan nabati. Penyarian dengan
cara ini menghasilkan sari yang tidak stabil dan mudah tercemar oleh kuman dan
kapang. Sari yang diperoleh dengan metode infundasi tidak boleh disimpan lebih dari
24 jam (Sarwono, 2006). Beberapa penelitian antihelmintik juga menggunakan
sediaan infusa misalnya infusa biji dan daun pare (Kendyartanto, 2008), infusa daun
sirsak (Arselyani, 2002), infusa daun nanas (Mighra, 2007), infusa akar, biji, daun
papaya (Putri, 2007), infusa rimpang bangle (Putri, 2008), dan infusa daun mengkudu
(Sadono, 2001). Infusa tersebut diuji daya antihelmintiknya terhadap Ascaridia galli
secara in vitro.
2.4.
Anthelmintik
Menurut Samodra (2003), antihelmintik berasal dari kata anti yang berarti
melawan dan helminth berarti cacing. Jadi antihelmintik adalah obatobatan yang
membebaskan tubuh dari infeksi cacing, baik yang berada dalam saluran pencernaan
maupun jaringan lain. Obat cacing digolongkan menjadi dua yaitu vermivuga dan
vermisida. Vermifuga adalah obat cacing yang pada dosis terapinya dapat
mengeluarkan cacing tanpa mematikan, sedangkan Vermisida adalah obat cacing
yang pada dosis terapinya dapat mengeluarkan cacing yang dimatikannya.
Menurut Siswandono dan Soekarjo (1995), mekanisme reaksi antihelmintik
ada 4 yaitu:
11
1. Kerja langsung yang dapat menyebabkan narkosis (tidak sadar), paralisis (lumpuh),
atau kematian cacing, sebagai contoh levamisol, pirantel pamoat dan
piperazin.
2. Efek iritasi dan merusak jaringan cacing sebagai contoh heksil resorsinol.
3. Efek mekanis yang menyebabkan kekacauan pada cacing, terjadi perpindahan dan
kehancuran cacing oleh fagositosis, sebagai contoh tiabendazol, mebendazol.
4. Penghambatan enzim tertentu, sebagai contoh levamisol, pirantel pamoat.
12
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1.
Bahan
Hewan uji yang digunakan adalah cacing gelang ayam (A. galli). Cacing
diisolasi dari usus ayam yang terinfeksi, kemudian segera dimasukkan ke dalam
toples yang berisi larutan NaCl 0,9%. Bahan yang digunakan adalah daun andong
merah (Cordyline fruticosa), piperazine sitrat, aquadest, larutan garam fisiologis
(NaCl 0,9%), metanol, CHCl3, reagen Folin-Ciocalteu, asam galat, Na2CO3 20%,
quercetin, NaNO2 5%, AlCl3 10%, NaOH 1 M, dietil eter, asam tanat, dan
anisaldehid-H2SO4.
3.2.
Tahapan Penelitian
13
14
15
16
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.Uji Pendahuluan
Hasil uji pendahuluan menunjukkan bahwa ciri-ciri cacing yang telah mati
pada uji ini adalah cacing tidak bergerak ketika dimasukkan ke dalam aquadest yang
bersuhu 50oC. Secara morfologis, cacing yang mati tidak mengalami perubahan
bentuk yang signifikan. Warna cacing yang mati agak lebih memucat dibandingkan
dengan cacing yang masih hidup. Kenampakan cacing yang mati dapat dilihat pada
Gambar 1B.
Hasil uji pendahuluan juga menunjukkan bahwa rata-rata lama hidup cacing di
luar hospes adalah 30,25 jam. Berdasarkan hal tersebut, waktu pengamatan pada uji
antihelmintik infusa daun andong tidak boleh melebihi lama waktu cacing hidup di
luar hospes agar tidak terjadi bias. Hasil pengamatan uji ketahanan hidup cacing di
luar hospes dapat dilihat pada Tabel 1.
17
4.2.Daya Antihelmintik
Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui apakah infusa daun andong dalam
berbagai konsentrasi mempunyai aktivitas antihelmintik terhadap Ascaridia galli atau
tidak. Pengujian ini dilakukan dengan cara merendam cacing ke dalam infusa daun
andong dan diinkubasi pada suhu 37oC, kemudian diamati waktu saat cacing tersebut
mati. Perendaman bertujuan agar terjadi kontak antara infusa daun andong dengan
tubuh cacing, baik melalui kulit maupun saluran pencernaan, sehingga diharapkan
menimbulkan reaksi yang menyebabkan cacing mati. Inkubasi dilakukan pada suhu
37oC agar mendekati dengan suhu habitat cacing di usus ayam sehingga terjadinya
bias dapat dihindari.
Dari hasil pengamatan pada jam ke-30, terlihat bahwa kenaikan konsentrasi
infusa diikuti oleh kenaikan angka mortalitas cacing. Penentuan LC50-30 jam
dilakukan menggunakan analisis probit dengan program SPSS 17. Setelah itu, LT50
ditentukan menggunakan data konsentrasi yang mendekati LC 50-30jam. Penentuan
LT50 juga menggunakan analisis probit dengan program SPSS 17. Hasil Penentuan
LC 50-30jam dan LT50 dapat dilihat pada Tabel 2.
18
19
keefektifan infusa daun andong 80% dalam membunuh cacing lebih rendah
dibandingkan kontrol positif. Nilai LT50 infusa daun andong hampir sama dengan
LT50 infusa daun sirsak terhadap Ascaridia galli (Arselyani, 2002).
Selain LC50 dan LT50, parameter lain yang digunakan yaitu waktu kematian
cacing. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada jam ke-2 cacing mulai mati yaitu
pada perlakuan infusa 40%, 80%, 100%, dan piperazine sitrat 0,5%. Semakin tinggi
konsentrasi infusa yang digunakan, semakin cepat pula cacing mengalami kematian.
Hal ini sesuai dengan penelitian Arselyani (2002) dan Fitriana (2008). Kematian
100% cacing tercepat terjadi pada jam ke-22 pada perlakuan infusa 80%, infusa
100%, dan piperazine sitrat 0,5%, kemudian disusul oleh perlakuan infusa 60% pada
jam ke-23. Dari hasil pengamatan terlihat bahwa konsentrasi infusa mempengaruhi
waktu kematian cacing. Semakin tinggi konsentrasi infusa, semakin banyak pula
kandungan senyawa aktif yang terkandung sehingga kematian cacing semakin cepat.
20
21
fenolik
juga
mempunyai
mekanisme
tersendiri
dalam
22
cacing. Fenol mampu memutus reaksi pada fosforilasi oksidatif dan mengganggu
glikoprotein pada permukaan sel (John dkk., 2007; Patel dkk., 2010; Herekrishna
dkk., 2010; Borba dkk., 2010).
Dalam penelitian ini, diketahui bahwa infusa daun andong pada konsentrasi
40, 60, 80, dan 100% mempunyai daya antihelmintik terhadap Ascaridia galli secara
in vitro. Hal ini merupakan hal yang wajar karena infusa daun andong mempunyai
kadar senyawa aktif (saponin, tanin, fenol, dan flavonoid) yang tinggi. Dalam
kebanyakan kasus, hal ini tidak sesuai dengan kadar senyawa aktif yang dikonsumsi
oleh hospes (inang) ketika suatu ekstrak diminumkan kepada hospes. Hal ini
mengakibatkan ekstrak tersebut efektif ketika diuji secara in vitro, namun ketika diuji
secara in vivo keefektifannya menurun (Niezen dkk., 1998; Niezen dkk., 2002;
Tzamaloukas dkk., 2005).
Pengujian in vitro memang menawarkan biaya yang murah dan waktu yang
cepat, namun hasilnya tidak selalu diverivikasi dengan model in vivo dan yang
menjadi pertanyaan adalah apakah uji in vitro relevan dengan uji in vivo
(Athanasiadou dan Kyriazakis, 2004). Berbagai model dan metode yang tersedia
untuk pengujian antihelmintik dan kurangnya tindakan untuk meminimalkan
variabilitas pengujian semakin meningkatkan kerancuan tentang sifat antihelmintik
suatu ekstrak tumbuhan (Athanasiadou dkk., 2005; Tzamaloukas dkk., 2005). Hal ini
akan menyebabkan penyelidikan lebih holistik untuk sifat tanaman dengan sifat
antiparasit dan mempengaruhi pemanfaaatan potensi tanaman tersebut dalam bidang
peternakan (Athanasiadou dkk., 2007).
23
BAB V
PENUTUP
5.1.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengujian aktivitas antihelmintik infusa daun andong
terhadap A. galli, dapat disimpulkan hasil dari penelitian sebagai berikut : (1) Infusa
daun andong 40%, 60%, 80%, dan 100% mempunyai aktivitas antihelmintik terhadap
cacing A. galli. Konsentrasi infusa yang paling efektif adalah 60%. (2) LC50-30 jam
infusa daun andong terhadap A. galli adalah 77,187%. LT50 untuk infusa daun
andong 80% adalah 23,729 jam. (3) Senyawa aktif yang terkandung dalam infusa
daun andong yang diduga mempunyai aktivitas antihelmintik adalah saponin, fenol
(31,88 mg/ml), flavonoid (18,40 mg/ml), dan tanin (54,86 mg/ml).
5.2.
Saran
Perlu dilakukan pengujian aktivitas antihelmintik daun andong dengan
menggunakan sediaan lain selain infusa agar diketahui sediaan yang paling efektif
dalam perannya sebagai antihelmintik terhadap A.galli. (2) Perlu dilakukan penelitian
lanjutan mengenai aktivitas antihelmintik infusa daun andong terhadap A. galli secara
in vivo agar infusa daun andong benarbenar dapat digunakan sebagai obat cacing
gelang ayam. (3) Perlu dilakukan pengujian aktivitas antihelmintik tanaman lainnya
agar didapatkan tanaman yang lebih efektif dalam perannya sebagai antihelmintik
terhadap A.galli.
24
DAFTAR PUSTAKA
Asih, Astri., Kianto Atmodjo., dan Yuniarti Aida. 2014. Antihelmintik Infusa Daun
Andong (Cordyline fruticosa) terhadap Ascaridia galli secara In Vitro The In
Vitro Anthelmintic of Andong (Cordyline fruticosa) Leaf Infuse on Ascaridia
galli.
Yogyakarta:
Program
Studi
Teknobiologi
Industri,
Fakultas
25