Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tanaman Padi

Susanto et al. (2003), menyebutkan klasifikasi tanaman padi sebagai

berikut:

Division : Spermatophyta

Sub Division : Angiospermae

Class : Monotyledonae

Family : Gramineae (Poaceae)

Genus : Oryza

Spesies : Oryza sativa

Tanaman padi termasuk jenis tumbuhan semusim. Morfologi tanaman padi

terdiri atas akar, batang, daun, bunga jantan dan buah (Budiharsanto, 2006).

1. Akar

Akar adalah bagian tanaman yang berfungsi menyerap air dan zat makanan

dari dalam tanah, kemudian diangkut ke bagian atas tanaman. Sistem

perakarannya terdiri atas akar serabut, akar rambut, akar tajuk.

2. Batang

Batang tanaman padi beruas-ruas dan panjang tanaman padi tergantung

pada jenisnya.
6

3. Daun

Daun padi terdiri atas pelepah dan helaian daun. Helaian daun memanjang

dengan ujung daun meruncing, antara pelepah daun dan helaian daun

dibatasi oleh ligula yang berguna untuk menghalangi masuknya air hujan

atau embun ke dalam pelepah daun.


5

4. Bunga

Tanaman padi merupakan bunga berumah satu artinya bunga jantan dan

bunga betina dalam satu tanaman dan dilindungi oleh pelepah daun. Bunga

jantan masak terlebih dahulu.

5. Buah

Buah padi terdiri atas embrio (lembaga) terletak pada bagian lemma,

endosperm merupakan bagian dari buah padi yang besar dan bekatul

merupakan bagian dari buah padi yang berwarna coklat.

Menurut Kanisius (1990) cit. Budiharsanto (2006), pertumbuhan padi

dapat dibedakan menjadi tiga fase, meliputi fase vegetatif, generatif dan

reproduktif.

a. Fase vegetatif

Fase vegetatif tanaman padi dimulai pada saat berkecambahnya biji

sampai dengan terbentuk primordia malai. Fase vegetatif meliputi

perkecambahan, pertumbuhan akar, pertumbuhan batang dan pertumbuhan

daun.
7

b. Fase reproduktif

Fase reproduktif tanaman padi terjadi pada saat pembentukan dan

perkembangan kuncup bunga, buah dan biji, atau pada pembesaran dan

pendewasaan struktur penyimpanan makanan.

c. Fase generatif

Fase generatif yaitu masa bunga padi pada umumnya mengalami

penyerbukan sendiri, namun kadang - kadang penyerbukan silang.

Penyerbukan silang berkisar antara 1% - 5%, pemasakan butir malai ada 4

(empat) stadia yaitu masak susu, masak kuning, masak penuh, masak mati.

B. Walang sangit ( Leptocorisa acuta Thunberg)

Klasifikasi walang sangit (Leptocorisa acuta Thunberg) adalah sebagai

berikut:

Kingdom : Animalia

Phylum : Arthropoda

Class : Insecta

Ordo : Hemiptera

Family : Alynidae

Genus : Leptocorisa

Spesies : L. acuta Thunberg (Rahmawati, 2012).

Walang sangit merupakan hama yang umum merusak bulir padi.

Walang sangit merusak tanaman ketika mencapai stadia berbunga sampai


8

matang susu. Kerusakan yang ditimbulkannya menyebabkan beras berubah

warna, mengapur dan gabah menjadi hampa. Mekanisme merusaknya yaitu

menghisap butiran gabah yang sedang mengisi. Walang sangit akan

mengeluarkan bau sebagai mekanisme pertahanan diri dari serangan predator

atau makhluk pengganggu lainnya. Bau yang dikeluarkan juga untuk menarik

walang sangit lain (Rahmawati, 2012).

1. Morfologi Walang Sangit

Walang sangit memiliki bentuk tubuh langsing dan memanjang,

berukuran sekitar 1,5-2 cm, punggung dan sayap walang sangit dewasa

berwarna coklat dan walang sangit muda berwarna hijau, memiliki 3

pasang kaki, memiliki dua pasang sayap (satu pasang tebal dan satu

pasang seperti selaput), tipe mulut menusuk dan menghisap, telur

berbentuk oval yang berwarna hitam kecoklatan, memiliki “belalai”

proboscis untuk menghisap cairan tumbuhan, abdomen jantan terlihat

agak bulat atau tumpul sedangkan yang betina terlihat meruncing,

metamorfosis tidak sempurna dan memiliki aroma atau bau khas

(Efendy et al.,2010).

2. Biologi dan Ekologi

Siklus hidup walangsangit menurut Rajapakse & Kulasekera

(2000) dalam Effendy et al., (2010) 35-56 hari. Menurut Kartoharjono

(2009) siklus hidup walang sangit berkisar 30-45 hari, dan menurut

Pracaya (2008) daur hidup rata-rata walang sangit mencapai 5 minggu,

kurang lebih 23-34 hari. Siklus hidup walangsangit tersebut dipengaruhi


9

oleh temperatur, pada periode yang dingin, lama siklus hidup walang

sangit menjadi lebih panjang.

Serangga dewasa walang sangit meletakkan telur pada bagian

atas daun tanaman. Telur berbentuk oval dan pipih berwarna coklat

kehitaman, diletakkan satu per satu dalam 1-2 baris sebanyak 1-21

butir. Lama stadia telur tergantung dengan suhu, lama periode telur

berkisar 5-7 hari. Pada daerah yang lebih dingin, lama periode

prapeneluran telur lebih panjang yaitu 8 hari dan periode telur 21 hari

dan periode nimfa akan lebih panjang, misalnya periode telur dan nimfa

masing-masing 13 dan 21 hari dengan menghasilkan telur rata-rata 248

butir per induk (Kartoharjono, 2009). Menurut Rajapakse & Kulasekera

(2000) dalam Effendy et al., (2010) walang sangit mampu bertelur 200-

300 butir per induk. Jumlah telur pada setiap kelompok kira-kira 10-20

butir. Telur akan menetas setelah 6-7 hari. Kemampuan bertelur yang

tinggi ini dapat menyebabkan peningkatan populasi hama walang sangit

dengan cepat di tanaman padi sehingga hal ini akan meningkatkan

tingkat serangan.

Nimfa yang baru menetas berwarna hijau dan segera memencar

mencari bulir padi sebagai makannya. Bentuk badan nimfa sama

seperti bentuk dewasa, bedanya nimfa berwarna hijau dan tidak

bersayap sedangkan dewasa berwarna coklat dan bersayap. Selama

periode nimfa terjadi 4 kali pergantian kulit sebelum menjadi dewasa.

Menurut (Kartoharjono, 2009) lama periode nimfa berkisar 17 hari


10

pada suhu 21-230C.

Walang sangit dewasa berbentuk lebih besar daripada nimfa

tetapi masih berbentuk ramping dengan kaki dan antena yang panjang.

Walang sangit dewasa berwarna cokelat, bersayap dan berukuran

panjang sekitar 14-17 mm dan lebar 3-4 mm. Morfologi walangsangit

jantan dan betina memiliki perbedaan dimana ujung ekor walangsangit

jantan terlihat agak bulat atau terlihat seperti “kepala ulat” sedangkan

walangsangit betina lancip dan lebih besar daripada walangsangit

jantan (Kartoharjono, 2009).

Walang sangit baik nimfa maupun dewasa aktif mencari makan

pada pagi dan sore hari. Pada siang hari bersembunyi pada tempat-

tempat yang terlindung. Jika di lapangan tidak ada tanaman padi,

walang sangit dewasa akan pindah ke tanaman rerumputan dan tanaman

perdu pada daerah yang terlindungi dan bertahan hidup pada tanaman

tersebut sampai ada tanaman padi untuk berkembangbiak. (Santoso,

2015).

Walang sangit dewasa tahan dalam keadaan lingkungan yang

tidak baik. Dalam keadaan cuaca yang kering, walang sangit mencari

tempat yang teduh dan tinggal selama dalam kondisi yang panas secara

berkerumunan di antara daun-daun pepohonan. Adanya walang sangit

dapat diketahui dengan adanya bau khas walang sangit (Pracaya, 2008).

3. Tanaman Inang
11

Tanaman inang utama walang sangit adalah padi, pada beberapa

tanaman rerumputan hama ini dapat berkembangbiak walaupun sangat

rendah. Beberapa rerumputan yang dapat berfungsi sebagai tanaman

inang adalah Paniculum crusgalli L. Scop. dan Paspalum dilatanum

Poir., Echinocloa crusgalli dan E. colunum. Beberapa tanaman lain

yang juga sebagai tanaman inang antara lain : Panicum colonum, P.

flavidum, P. repens, P. miliore, Andopogon sorghum, Digitaria

causanguinaria, Eleusiae coracoma, Setaria ilacica, Cyperus

polystachyis, Paspalum spp., Pennesitum typhoidium, tebu dan gadum

(Kartoharjono, 2009).

4. Musuh Alami

Menurut Kalshoven (1981) dalam Kartoharjono (2009) walang

sangit memiliki musuh alami berupa parasitoid, predator dan patogen.

Menurut CAB International (2004) dalam Kartoharjono (2009) nimfa

dan imago walang sangit sering ditemukan terserang oleh jamur

Beauveria bassiana. Secara alami telur walang sangit diserang oleh dua

jenis parasitoid yaitu Gryon nixoni dan Oencyrtus malayensisi. Namun

di lapangan jumlah parasitoid ini di bawah 5%. Menurut Pracaya (2008)

musuh alami walang sangit adalah parasitoid dan predator. Contoh

parasitoid antara lain lebah bungkuk (Gryon nixoni, Oencyrtus

malayensis, Chrysonna spp.). Contoh predator walang sangit antara lain

capung jarum, laba-laba (Oxyopes javanus), belalang sembah. Serangga


12

Reduviidae, Gryllidae, Tettigonidae, Coccinellidae, Asilidae,

Pantatomidae dan belalang conocephalus merupakan predator telur.

C. Cendawan Entomopatogen

Cendawan entomopatogen adalah cendawan yang menjadi parasit pada

serangga. Cendawan ini hidup, tumbuh, dan berkembang dengan mengambil

nutrisi dari inang yang ditumpanginya sehingga inangnya tersebut tidak

mampu melakukan metabolisme yang kemudian akan mati. Cendawan ini

dapat menyerang stadium telur, larva, pupa, maupun stadium dewasa dari

serangga. Awalnya sifat parasit cendawan ini menjadi masalah bagi produksi

yang memanfaatkan serangga, contohnya B. bassiana yang menyebabkan

penyakit “white muscardine” pada ulat sutera. Kasus yang pernah terjadi ialah

merosotnya produksi sutera di Perancis dan Italia yang merupakan salah satu

produk perekonomian penting di negara tersebut. Kasus tersebut membuat B.

bassiana menjadi mikroorganisme pertama yang dikenal menyebabkan

penyakit pada hewan walaupun hanya serangga (Luangsa-ard et al., 2006

dalam Nugraha et al., 2010).

Mekanisme infeksi cendawan entomopatogen diawali dengan

menempelnya spora cendawan pada kutikula serangga. Selanjutnya spora

berkecambah dan melakukan penetrasi ke dalam tubuh serangga. Tahap

berikutnya, cendawan tumbuh dan berkembang dalam darah serangga.

Cendawan akan mempercepat reproduksi dengan memisahkan tubuh hifanya

untuk melawan ketahanan serangga. Pada saat yang sama, toksin antibiotik

yang diproduksi cendawan melemahkan sekaligus mematikan serangga


13

dengan cepat. Selanjutnya hifa akan tumbuh dan memenuhi seluruh badan

serangga. Ketika cendawan mulai berkembang, serangga menampakkan gejala

sakit, seperti gerakan yang tidak terkoordinasi dan akhirnya akan

menyebabkan kematian pada serangga (Badan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian, 2012 dalam Susanti et al., 2013).

D. Beauveria bassiana

Menurut Nuraida & Hasyim (2009) dalam Suryadi et al., (2013)

sistematika B. bassiana adalah sebagai berikut:

Kingdom : Fungi,

Phylum : Ascomycota,

Class : Sordariomycetes,

Ordo : Hypocreales,

Family : Clavicipitaceae.

Genus : Beauveria

Spesies : Beauveria bassiana Balsamo Vuillemin

Konidia jamur B. bassiana bersel satu berbentuk oval agak bulat sampai

dengan bulat telur berwarna hialin dengan diameter 2-3 μm. Konidia

dihasilkan dalam bentuk simpodial dari sel-sel induk yang terhenti pada

ujungnya. Pertumbuhan konidia diinisiasi oleh sekumpulan konidia. Setelah

itu, konidia tumbuh dengan ukuran yang lebih panjang karena akan berfungsi

sebagai titik tumbuh. Dengan cara seperti ini, rangkaian konidia dihasilkan

oleh konidia-konidia muda (rangkaian akropetal), dengan kepala konidia


14

menjadi lebih panjang. Ketika seluruh konidia dihasilkan, ujung konidia

penghubung dari sel-sel konidiogenus mempunyai pertumbuhan zig-zag

(Prasasya, 2008).

Beauveria bassiana merupakan parasit agresif untuk berbagai jenis

serangga dan menyerang baik dalam tahapan larva maupun pada serangga

dewasa. Spora B. bassiana sangat kecil, hanya beberapa micron. Hifa dan

spora tidak berpigmen sehingga koloni tampak berwarna putih. Secara alami,

B. bassiana terdapat di dalam tanah sebagai jamur saprofit. Kondisi tanah

seperti kandungan bahan organik, suhu, kelembaban, dan pola makan

serangga dapat mempengaruhi pertumbuhan jamur di dalam tanah.

Berdasarkan penelitian, jamur ini efektif untuk mengendalikan serangan hama

walang sangit (Leptocorisa oratorius) dan wereng batang coklat (Nilaparvata

lugens) pada tanaman padi serta hama kutu (Aphis sp.) pada tanaman sayuran

(Purnama et al., 2015).

Mekanisme infeksi oleh cendawan entomopatogen pada serangga

diawali dengan spora cendawan B. bassiana masuk ke tubuh serangga inang

melalui kulit, saluran pencernaan, spirakel dan lubang lainnya. Selain itu

inokulum cendawan yang menempel pada tubuh serangga inang dapat

berkecambah dan berkembang membentuk tabung kecambah, kemudian

masuk menembus kutikula tubuh serangga (Thomas & Andrew, 2007).

Penembusan dilakukan secara mekanis dan atau kimiawi dengan

mengeluarkan enzim atau toksin yang disebut beauvericin. Jamur lalu akan

bereproduksi dan berkembang dalam tubuh inang dan menyerang seluruh


15

jaringan tubuh yang menyebabkan terjadinya paralisis pada anggota tubuh

serangga. Paralisis menyebabkan kehilangan koordinasi sistem gerak,

sehingga gerakan serangga tidak teratur dan lama kelamaan melemah,

kemudian berhenti sama sekali. Setelah lebih-kurang lima hari terjadi

kelumpuhan total dan kematian. Toksin juga menyebabkan kerusakan

jaringan, terutama pada saluran pencernaan, otot, sistem syaraf, dan sistem

pernafasan (Wahyudi, 2008).

Serangga yang terserang cendawan B. bassiana ditunjukkan dengan

adanya tanda-tanda yaitu serangga uji tidak merespon pakan disertai gerakan

lambat, terjadi perubahan warna hitam atau bercak gelap pada kulit serangga.

Bercak tersebut disebabkan oleh cendawan yang melakukan penetrasi

sehingga tubuh serangga menjadi kaku dan terbungkus oleh pertumbuhan

cendawan lalu mengalami mumifikasi atau pengerasan disertai dengan

adanya warna putih pada permukaan tubuh. Warna putih ini merupakan

konidia yang tumbuh pada permukaan tubuh serangga yang terinfeksi

(Wiryadiputra, 1994).

Setelah serangga inang mati, B. bassiana akan mengeluarkan

antibiotik, yaitu Oosporein yang menekan populasi bakteri dalam perut

serangga inang. Dengan demikian, pada akhirnya seluruh tubuh serangga

inang akan penuh oleh propagul B. bassiana. Pada bagian lunak dari tubuh

serangga inang, jamur ini akan menembus keluar dan menampakkan

pertumbuhan hifa di bagian luar tubuh serangga inang yang biasa disebut

“white bloom”. Pertumbuhan hifa eksternal akan menghasilkan konidia yang


16

bila telah masak akan disebarkan ke lingkungan dan menginfeksi serangga

sasaran baru (Wahyudi, 2008).

Pada umumnya semakin tinggi daya kecambah suatu cendawan

entomopatogen semakin tinggi juga virulensinya. Hal ini disebabkan karena

daya kecambah pada cendawan entomopatogen merupakan awal dari stadia

pertumbuhan cendawan sebelum melakukan penetrasi ke integumen

serangga. Virulensi cendawan entomopatogen berkaitan dengan ukuran

konidia, kecepatan perkecambahan konidia dan produksi enzim yang

berfungsi sebagai pendegradasi kutikula inang (Prayogo,2009). Prayogo

(2009) menyatakan bahwa tabung kecambah yang terbentuk akan

berkembang membentuk apresorium yang berfungsi untuk menempelkan

organ infektif pada permukaan inang. Semakin cepat tabung kecambah

terbentuk dan semakin besar ukurannya diduga akan semakin besar pula

peluang inang dapat dipenetrasi oleh cendawan karena permukaan inang lebih

cepat dihidrolisis oleh cendawan.


17

E. Kerangka Pemikiran

Hama walang sangit (Leptocorisa acuta L.) merupakan salah satu

faktor yang menyebabkan produksi tanaman padi menurun. Walang sangit

merupakan hama perusak bulir padi yang menyebabkan bulir menjadi kosong

(Tiwari et al., 2011). Walang sangit juga menyerang bulir padi dalam kondisi

masak susu, dengan mengisap cairan dalam buah padi sehingga menyebabkan

bulir padi tersebut menjadi kosong (Pracaya & Kahono, 2011). Kerusakan

padi akibat serangan Leptocorisa dilaporkan dapat mencapai 98.7%

(Bhadauria & Singh, 2009).

Kebanyakan petani di Indonesia masih tergantung pada produk

pestisida kimia untuk mengendalikan hama tanpa mempertimbangkan tingkat

bahayanya terhadap petani, konsumen dan lingkungan. Penggunaan pestisida

oleh petani berdampak negatif pada beberapa aspek, seperti lahan pertanian,

perikanan, flora dan fauna, bahkan meningkatkan mortalitas manusia yang

terpapar oleh pestisida. Penggunaan yang berlebihan menyebabkan resistensi

terhadap hama itu sendiri, sehingga diperlukan alternatif lain untuk mencegah

pengendalian kimia secara terus menerus seperti menggunakan pengendalian

secara hayati.

Mengingat hal tersebut maka pilihan yang baik saat ini adalah

menggunakan cendawan entomopatogen sebagai agensia pengendali hayati

karena memiliki sifat parasit yang dapat mematikan serangga yang menjadi

musuh pertanian. Penggunaan cendawan entomopatogen dalam pertanian

dinilai lebih aman dibandingkan dengan penggunaan senyawa-senyawa


18

insektisida kimia karena insektisida kimia dapat mencemari lingkungan dan

menimbulkan masalah kesehatan (Nugraha et al., 2010).

Berbagai penelitian telah membutikan bahwa aplikasi B. bassiana

untuk pengendalian walangsangit cukup efektif dilakukan sebagai salah satu

cara pengendalian hayati yang ramah lingkungan. Jumlah konsentrasi yang

diberikan saat aplikasi mempengaruhi kecepatan dan jumlah hama

walangsangit yang mati. Aplikasi B. bassiana pada konsentrasi 15 g/L air

mampu menyebabkan mortalitas hama wereng batang coklat (Nilaparvata

lugens) sebesar 80%, walang sangit (Leptocorisa oratorius) sebesar 76% dan

pada konsentrasi 20 g/L rata-rata mortalitasnya 84%, mortalitas pengisap

polong kedelai (Nezera viridula) 78% dan Riptortus linearis 76% pada hari ke

7 setelah aplikasi (Koswanudin & Wahyono, 2014). Cendawan

entomopatogen B. bassiana lokal pada konsentrasi 90 g/L air lebih efektif

dalam mengendalikan N. viridula (Afrinda et al., 2014). Aplikasi formulasi

kering jamur B. bassiana konsentrasi 25 g/L air menyebabkan mortalitas

Helopeltis spp. sebesar 63,33% (Dwipayana et al., 2013).

Penelitian mengenai pengaruh umur biakan cendawan entomopatogen

B. bassiana terhadap mortalitas walang sangit belum banyak dilakukan. Para

petani di Indonesia masih jarang yang memperhatikan pengaruh umur

cendawan dalam mengendalikan hama tanaman. Cendawan B. bassiana yang

disimpan pada suhu kamar selama 3 bulan menyebabkan penurunan virulensi

akibat terjadinya penurunan daya kecambah. Kassa (2003) menyatakan

bahwa daya kecambah konidia cendawan entomopatogen yang digunakan


19

sebagai agensia hayati minimal harus 80% sedangkan Liu et al. (2003)

menyarankan minimal 90%. Penggunaan cendawan yang telah lama

seharusnya dilakukan proses reinfeksi ulang terhadap serangga uji kemudian

diisolasi kembali (Soenartiningsih et al. 1999).

Umur biakan mempengaruhi kemampuan cendawan dalam menginfeksi

hama. Umur biakan cendawan B. bassiana yang disimpan 13 hari

menyebabkan mortalitas C. formicarius sebesar 50% (Ahdiaty,2013). Jamur

Metarhizium anisopliae yang disimpan selama 1 bulan sebelum aplikasi

menunjukan efek terbaik dalam membunuh Spodoptera litura Fabricus

dibandingkan dengan perlakuan lama penyimpanan 2 dan 3 bulan (Hastuti et

al., 2017).

Subkultur merupakan proses perbanyakan suatu cendawan dan sangat

berpengaruh terhadap kualitas spora. Penurunan kualitas spora dan virulensi

B. bassiana dapat terjadi selama proses subkultur in vitro. Subkultur lebih

dari lima generasi secara nyata dapat menurunkan kerapatan spora jamur

entomopatogenik. Viabilitas spora dapat menurun apabila selama subkultur

terjadi penurunan sumber karbon, seperti glukosa, glukosamin, khitin, pati,

nitrogen untuk hifa tumbuh (Tanada & Kaya, 1993). Selain itu, kurangnya

asupan protein dari media biakan dapat menurunkan kemampuan spora

berkecambah (Rosalind, 2000). Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya

maka perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh umur biakan B. bassiana

yang efektif dalam pengendalian hama walang sangit.


20

F. Hipotesis

Diduga pemberian jamur entomopatogen B. bassiana dengan umur

biakan 5 minggu dan dengan konsentrasi 30 g/L lebih efektif dalam

mempengaruhi mortalitas walang sangit dibanding umur biakan 2 minggu dan

8 minggu dengan konsentras 20g/L.

Anda mungkin juga menyukai