Anda di halaman 1dari 17

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Klasifikasi dan Biologi Hama Ulat Api (Setothosea asigna)

Ulat api Setothosea asigna dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Phylum : Arthopoda

Class : Insekta

Family : Lepidoptera

Genus : Limacodidae

Species : Setothosea asigna van eacke

Ulat api merupakan jenis ulat pemakan daun kelapa sawit yang paling

sering menimbulkan kerugian di perkebunan kelapa sawit. Disebut ulat api

karena punggungnya berbulu kasar kaku dan beracun. Racunnya keluar dari bulu

kasar tersebut berupa cairan yang jika terkena tangan terasa gatal dan panas

(Hidayat, 2013).

Ulat api menyerang daun kelapa sawit terutama daun nomor 9-25 yaitu

daun yang memegang dalam keadaan aktif dan merupakan hama yang utama di

Sumatera Utara. Kupu kupunya bewarna coklat dengan garis-garis pada sayap

dengan rentang sayap 20-30 mm telurnya bewarna kekuningan diletakkan

berderatan (3 – 4 deretan) pada daun sebanyak 40 butir pada setiap peletakkan

telur. Ulat dewasa mencapai 35 mm. Kokon berbentuk oval bewarna hitam

kecoklatan dengan diameter 15-20 mm (Lubis, 2008).

4
B. Siklus Hidup Hama Ulat Api (Setothosea asigna)

Siklus hidup hama ulat pemakan daun kelapa sawit (UPDKS) melalui

empat stadium yaitu telur, larva (ulat), pupa (kepompong), dan imago (dewasa).

Laju perkembangan populasi didukung oleh kemampuan berkembang biak dan

waktu yang diperlukan dalam menyelesaikan siklus hidupnya. Semakin tinggi

kemampuan hama untuk merusak, toleransi tingkat batas kritis populasi menjadi

rendah (Lubis, 2008).

Tabel 1. Siklus hidup Setothosea asigna


Stadia Lama (Hari) Keterangan

Telur 6 Jumlah telur 300 – 400 butir

Larva 50 Terdiri dari 9 instar, konsumsi daun 300-500 cm2

Pupa 40 Habitat di tanah

Imago - Jantan lebih kecil dari betina

Total 96 Tergantung pada kondisi dan lingkungan

Sumber : Early Wearning System (EWS)

1. Telur

Telur ulat api bewarna kuning kehijauan,berbentuk oval,sangat berukuran

tipis dan transparan. Telur diletakan berderat 3-4 baris sejajar pada permukaan

daun bagian bawah, biasanya pada pelepah daun ke-6 dan ke 17. Satu tumpukan

telur berisi sekitar 44 butir dan seekor ngengat betina mampu menghasilkan telur

sebesar 300-400 butir. Telur menetas 4-8 hari setelah diletakan (Wawan, 2013).

5
Gambar 1. Telur setothosea asigna

2. Larva

Larva yang baru menetas hidupnya secara berkelompok, memakan bagian

permukaan bawah daun. Larva instar 2-3 memakan helaian daun mulai dari ujung

ke arah bagian pangkal daun. Selama perkembangannya larva mengalami

pergantian instar sebanyak 7-8 kali atau 8-9 kali dan mampu menghabiskan

helaian daun seluas 400 cm².

Larva bewarna hijau kekuningan dengan duri-duri yang kokoh di bagian

punggung dan bercak bersambung sepanjang punggung, bewarna coklat sampai

ungu keabu-abuan dan putih. Warna larva dapat berubah-ubah sesuai dengan

instarnya, semakin tua umurnya akan menjadi semakin gelap. Larva instar

terakhir (instar ke-9) berukuran panjang 36 mm dan lebar 14.5 mm, sedangkan

apabila sampai instar ke-8 ukurannya sedikit lebih kecil.

6
Gambar 2. Larva Setothosea asigna

3. Pupa

Pupa berasal didalam kokon yang terbuat dari campuran air liur ulat dan

tanah, berbentuk bulat telur dan berwarna coklat gelap, terdapat dibagian tanah

yang relatif gembur disekitar piringan atau pangkal batang kelapa sawit. Pupa

jantan dan betina masing-masing berukuran sama berlangsung selama ± 39,7 hari

(Wawan, 2012).

Gambar 3. Pupa dari Setothosea asigna

7
4. Kepompong

Larva yang berkepompong membentuk kokon dengan ukuran 16 x 13 mm

untuk jantan dan 20 x 16.5 mm untuk betina. Masa kepompong ± 40 hari.

Kepompong diselubungi oleh kokon yang terbuat dari air liur ulat, berbentuk bulat

telur dan berwarna coklat gelap.

Serangga dewasa (ngengat) jantan dan betina masing-masing lebar

rentangan sayapnya 41 mm dan 51 mm. Sayap depan berwarna coklat tua dengan

garis transparan dan bintik-bintik gelap, sedangkan sayap belakang berwarna

coklat muda.

Gambar 4. Kepompong dari Sethotosea asigna

8
5. Kupu-kupu

Kupu-kupu mempunyai periode hidup yang pendek yaitu 7 hari. Waktu

yang pendek tersebut hanya digunakan untuk kawin dan bertelur dengan produksi

telur antara 300-400 butir/induk (Wawan, 2013).

Gambar 5. Imago Sethotosea asigna betina dan jantan

C. Gejala Serangan dan Tingkat Kerugian

1. Cara Menyerang

Ulat yang baru menetas (instar 1) biasanya bergerombol disekitar tempat

peletakan telur dan mengikis (memakan) daging daun, yaitu permukaan bawah

daun kelapa sawit serta meninggalkan epidermis daun bagian atas. Bekas

serangan terlihat jelas seperti jendela-jendela memanjang pada helaian daun, daun

yang terserang berat akan kering dan mati seperti bekas terbakar. Ulat instar ke 3

biasanya memakan semua helaian daun dan meninggalkan lidinya saja dan sering

disebut gejala melidi. Apabila serangan yang terjadi sangat berat maka tanaman

tidak dapat menghasilkan selama 2 - 3 tahun.

9
2. Kriteria Serangan

Pengendalian hama dilakukan untuk menurunkan populasi hama sampai

pada tingkat ambang batas sehingga tidak merugikan secara ekonomi dan tidak

melampaui batas kritis.

Kriteria serangan digunakan untuk mengetahui tingkat serangan dari hama

dan juga untuk menentukan tindakan pengendalian yang harus dilakukan untuk

menurunkan tingkat serangan.

Kriteria tingkat serangan ulat api Setothosea asigna yaitu:

- Ringan : bila terdapat < 5 ekor ulat api per pelepah

- Sedang : bila terdapat 5 – 10 ekor ulat api per pelepah

- Berat : bila terdapat >10 ekor ulat api per pelepah

Sumber : PPKS Aek Pancur

Kerugian yang ditimbulkan Setothosea asigna, yaitu menimbulkan

penurunan produksi sampai 69% pada tahun pertama setelah serangan dan lebih

kurang 27% pada tahun kedua setelah serangan, bahkan jika serangan berat,

tanaman kelapa sawit tidak dapat berbuah selama 1-2 tahun berikutnya.

10
Gambar 6. Gejala serangan ulat api

Ulat api dapat menyerang pada semua umur kelapa sawit namun

penyebaran akan lebih tinggi pada tanaman berumur diatas 8 tahun. Hal ini

dikarenakan tajuk antara tanaman yang satu dengan yang lainnya sudah

bersinggungan.

D. Metode Pengendalian Hama Ulat Api (Setothosea asigna)

1. Sistem Monitoring

Monitoring populasi dilakukan dengan dua pengamatan yaitu dengan

pengamatan global dan pengamatan efektif.

11
a. Pengamatan Global

 Pusingan/rotasi 1 kali/bulan; 1 pohon/ha

 Pelepah pada pohon contoh diamati. Pada tanaman muda daunnya

cukup digantol/dikait dan pada tanaman tua pelepahnya dipotong

 Dihitung ulat, telur, dan kepompongnya kemudian dijumlahkan

 Tentukan kelas serangannya dan gambarkan pada formulir

pengamatan.

- Ringan = R; beri tanda simbol 0 / warna biru

- Sedang = S; beri tanda simbol + / warna kuning

- Berat = B; beri tanda simbol * / warna merah

b. Pengamatan Efektif

 Dilakukan bila tingkat serangan hama pada umumnya mencapai

kelas S (sedang)

 Sensus dipercepat 1 kali tiap 2 minggu

 Pohon contoh ditambah menjadi 6 pohon/ha, dengan menambah

titik sensus menjadi selang baris 6 dan selang pohon 6.

 Caranya seperti sensus global

12
2. Pengendalian Secara Mekanis

Pengendalian mekanis dapat dilakukan dengan cara handpicking larva

stadia larva berukuran sedang sampai besar untuk tanaman < 5 tahun, handpicking

pupa saat stadia pupa untuk semua umur tanaman.

Gambar 7. Pengambilan ulat api secara handpicking

Pemerangkapan imago saat stadia imago dengan perangkap cahaya lampu

(lighttrap), menggunakan lampu petromak dan ember plastik yang diisi air

deterjen.

Gambar 8. Perangkap cahaya lampu (lighttrap)

13
3. Pengendalian Secara Biologis (Insektisida Biologi dan Musuh Alami)

a. Pemanfaatan musuh alami dapat dilakukan dengan cara melindungi,

melestarikan, dan membantu meningkatkan perkembangbiakan musuh

alami yang sudah ada di dalam ekosistem pertanaman kelapa sawit.

b. Melakukan introduksi dan augmentasi (menambahkan populasi musuh

alami) pada areal serangan UPDKS di lapangan baik yang berasal dari

lingkungan perkebunan kelapa sawit atau dari hasil pengembangbiakan

di insektarium.

c. Pelestarian tumbuhan yang bermanfaat bagi serangga parasitoid dan

predator di areal perkebunan kelapa sawit misalnya parasitoid yaitu

Fornicia celonica; predator yaitu Sycanus dichotomus; serta penanaman

beberapa jenis dari tumbuhan tersebut seperti : Turnera subulata dan

Cassia tora di sepanjang pinggir jalan utama dan jalan koleksi.

d. Penggunaan insektisida biologis seperti insektisida yang berbahan aktif

bakteri Bacillus thuringiensis atau pengendalian hama dengan virus.

4. Pengendalian Secara Kimiawi

Pengendalian Ulat Pemakan Daun Kelapa Sawit (UPDKS) dengan

menggunakan insektisida kimia merupakan cara umum dilakukan di perkebunan

kelapa sawit untuk mengatasi ledakan populasi ulat.

Bahan kimia akan digunakan untuk mengendalikan hama bilamana

pengendalian lain yang telah dilakukan terdahulu tidak mampu menurunkan

populasi hama yang sedang menyerang tanaman.

14
Pengendalian ulat pemakan daun kelapa sawit dengan menggunakan

insektisida kimia merupakan cara umum yang dilakukan di perkebunan kelapa

sawit untuk mengatasi ledakan populasi ulat. Ulat api dikendalikan dengan

pengasapan (fogging) atau dengan injeksi batang (trunk injection)

5. Pengendalian Secara Hayati

Pengendalian alami terhadap perkembangan populasinya dilakukan oleh

lebah Trichogrammatidae sebagai parasit telur, lalatkepik Pentatomidae dan virus

sebagai parasit ulat. Sedangkan jamur Cordyceps militaris efektif untuk

kepompong. Pelepasan sejumlah besar predator secara periodik merupakan salah

satu tehnik pemanfaatan predator untuk mengendalikan ulat pemakan daun kelapa

sawit. Dalam jangka pendek tindakan ini diharapkan akan dapat menekan populasi

hama sasaran secara langsung, sedangkan dalam jangka panjang diharapkan dapat

menggeser keseimbangan alami kearah yang lebih menguntungkansehingga

ledakan populasi hama berikatnya dapat dicegah. Dan dengan cara ini keadaan

lingkungan lebih terjamin dan lebih murah biayanya (Lubis, 2008).

6. Pengendalian Hama Terpadu

Pengendalian hama terpadu merupakan perpaduan atau kombinasi

pengendalian hama secara terpadu (biologi) dan penegndalian secara kimia.

Dalam hal serangan hama yang terjadi di perkebunan kelapa sawit.pihak

perkebunan mempunyai cara masing-masing dalam pengendaliannya seperti

pemakaian insektisida kimia, mengunakan musuh alami serta mengunakan

jebakan hama.

15
Penerapan sistem pengendalian hama terpadu (PHT). Tindakan

pengendalian dilakukan sesuai dengan hasil monitoring populasi dan hanya

dilakukan apabila populasi hama tersebut melampaui padat populasi kritis yang

ada didalam ekosistem kelapa sawit (Parinduri, 2011).

Implementasi Sistem PHT di Perkebunan Kelapa Sawit.

a. Melaksanakan sistem monitoring populasi hama sebaik mungkin,

sehingga dapat diketahui kehadiran hama secara dini, serta dapat

dipetakan dengan jelas dan terperinci kelompok-kelompok populasi

hama diareal tanaman kelapa sawit yang terserang. Perlu di amati

juga keberadaan serangga parasitoid dan predator serta di masukkan

sebagai pertimbangan didalam mengambil keputusan untuk

melaksanakan tindakan pengendalian.

b. Mengendalikan kelompok-kelompok populasi yang melampaui pada

populasi kritis dengan menggunakan virus atau Bacillus

thuringiensis. Khusus untuk ulat api, dapat dilakukan kombinasi

pengendalian ulat dengan virus dan predator Eocanthecona

furcellata, serta pengendalian kepompong dengan jamur Cordyceps

militaris.

c. Melepaskan serangga parasitoid dan predator serta menyebarkan

inokulum jamur C.militaris pada areal kelapa sawit yang tidak

dijumpai adanya musuh alami UPDKS, baik diambil dari areal

16
kelapa sawit lainnya, maupun dari hasil pembiakan massal di

laboratorium.

d. Meninggalkan kepompong yang terinfeksi secara alami oleh

jamur C. militaris di dalam areal kelapa sawit atau ditularkan ke

areal kelapa sawit lainnya yang tidak dijumpai jamur

entomopatogenik tersebut pada saat dilakukan pengutipan

kepompong.

e. Menjaga keberadaan tumbuhan liar yang berguna bagi

keberlangsungan hidup imago serangga parasitoid atau menanamnya

dipinggiran kebun kelapa sawit.

f. Mengangkap ngengat UPDKS dengan lampu perangkap. Namun

mengingat aktivitas ngengat, khususnya Setothosea asigna, untuk

mendatangi lampu perangkap hanya berlangsung mulai dari pukul

19.00 s.d 20.30 maka kegiatan pemasangan lampu perangkap

ngengat hanya dilakukan pada periode waktu tersebut.

g. Apabila pengendalian terpaksa dilakukan dengan insektisida kimia

sintetik, yakni pada saat ledakan populasi yang meliputi hamparan

luas, maka harus dipilih jenis dan teknik aplikasi insektisida yang

seaman mungkin bagi parasitoid dan predator. Selanjutnya apabila

populasi hama sudah terkendali, maka segera kembali dilakukan

langkah-langkah pengendalian seperti tersebut di atas atau langkah 1

s/d 6.

17
Sementara itu Pengendalian Hama Terpadu (PHT) berdasarkan UU No.12

tahun 1991 tentang budidaya tanaman dan PP No.5 tahun 1996 tentang

perlindungan tanaman adalah usaha untuk mengoptimimkan hasil penegndalian

hama secara ekonimik dan ekologik.yang dapat dicapai dengan mengunakan

berbagai taktik secara kompatibel agar tetap mempertahankan kerusakan akibat

hama dibawah ambang kerusakan ekonomi dan melindungi terhadap ancaman

atau bahaya bagi manusia, binatang dan lingkungan. (Gunawan, 2012)

7. Metode Aplikasi

A. Fogging

Aplikasi fogging merupakan salah satu pengendalian ulat api dan ulat

bulu secara kimiawi dengan menggunakan alat pembuat asap yang

disebut swingfog. Swigfog merupakan system pengendalian dengan cara

pengabutan dengan campuran insektisia kimia dan solar sebagai pelarut.

Pada alat pengabut bertekanan/ aliran uara selain berfungsi sebagai

pengangkut butira-butiran racun (insektisida) melalui nozzle, sehingga

menghasilkan butiran-butiran yang lebih halus.

18
Gambar 9. Alat fogging

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas alat semprot antara

lain: Kebersihan alat semprot, formulasi bahan kimia, perbandingan

bahan kimia bahan campuran, kondisi alat semprot harus dalam keadaan

baik dan tidak bocor.

Keuntungan dan kekurangan alat fogging:

 Keuntungan : Cakupan luas ± 10 - 15 ha, sangat efektif untuk

insektisida kontak, efektif untuk tanaman tinggi.

 Kelemahan : Hanya dapat diaplikasikan pada malam hari/dini

hari, diperlukan tenaga kerja yang terlatih, tidak sesuai untuk

areal yang bergelombang, tidak sesuai untuk tanaman dibawah 7

tahun, dan tergantung cuaca (hujan dan angin).

Secara teoritis pertumbuhan populasi hama akan diikuti oleh

pertumbuhan populasi.

19
Tabel 2. Metodologi Metode Pengendalian Hama UPDKS
Umur Tanaman Metode Pengendalian
< 3 tahun Bila rata-rata larva < 10 ekor per pelepah dan areal

terbatas maka dilakukan handpicking.

Bila rata-rata populasi larva > 10 per pelepah maka

dilakukan penyemprotan insektisida atau virus

dengan knapsack sprayer atau mist blower.

3 – 7 tahun Semprot insektisida atau virus menggunakan mist

blower atau fulsfog.

Infus akar dengan insektisida sistemik bila areal

serangan terbatas

7-15 tahun Semprot insektisida atau virus menggunakan fulfog.

Infus akar dengn insektisida sistemik bila areal

serangan terbatas.

 15 tahun Semprot insektisida atau virus menggunakan fulgog.

Infus akar/trunk injection dengan insektisida

sisitemik bila areal serangan terbatas.

Sumber : (Pahan dan Gunawan, 1997)

20

Anda mungkin juga menyukai