Anda di halaman 1dari 16

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kelapa sawit merupakan tanaman yang paling produktif dengan produksi

minyak per ha yang paling tinggi dari penghasil minyak nabati lainnya. Indonesia

merupakan produsen kelapa sawit terbesar kedua di dunia setelah Malaysia.

Sebanyak 85% lebih pasar dunia kelapa sawit dikuasai oleh Indonesia dan

Malaysia (Tarigan, 2012).

Budidaya kelapa sawit pada saat ini menghadapi berbagai kendala, salah

satu diantaranya yaitu adanya gangguan hama dan penyakit. Beberapa jenis hama

penting yang menyerang tanaman kelapa sawit misalnya hama babi, tikus,

kumbang tanduk, maupun hama ulat pemakan daun kelapa sawit (UPDKS)

(Daeli, 2010).

Ulat pemakan daun kelapa sawit merupakan hama utama pada perkebunan

kelapa sawit. Ada dua kelompok UPDKS yang penting yaitu ulat api dan ulat

kantong. Beberapa jenis hama ulat api yang menyerang tanaman kelapa sawit

sehingga dapat menurunkan produksi secara signifikan antara lain ulat api

Setathosea asigna, Darna trima, Setora nitens, ulat kantong Mahasena corbetti

dan Metisa plana (Prawirosukarto dkk, 1997)

Ulat api merupakan salah satu hama penting tanaman kelapa sawit.

Terdapat banyak spesies ulat api yang menyerang pertanaman kelapa sawit di

Sumatera Utara antara lain: Setothosea asigna, Setora nitens, Darna trima,

Birthosea bisura, dll. Hasil pengamatan Kepala Unit Pembinaan Perlindungan

Tanaman (UPPT) Damuli Kabupaten Labuhanbatu Utara menunjukkan bahwa

pada Bulan Januari 2013, terdapat eksplosif serangan hama ulat api di perkebunan
2

kelapa sawit milik petani di Dusun X Desa Bandar Manis Desa Kuala Beringin

Kecamatan Kualuh Hulu dengan luas serangan berat ±50 Ha dan ringan 100 Ha

(Syahnen dan Ida, 2010).

Ulat kantong merupakan hama yang menyeang daun kelapa sawit baik pada

tanaman belum menghasilkan (TBM) maupun tanaman menghasilkan (TM).

Tanaman pada semua umur rentan terhadap ulat kantong, ulat pada stadia muda

akan memakan epidermis permukaan atas daun, sehingga apabila populasi ulat ini

tinggi akan terlihat mongering seperti terbakar (Borror, 1996).

Tujuan Praktikum

Adapun tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui tingkat

kerusakan yang ditimbulkan hama tanaman kelapa sawit pada tanaman inang di

Laboratorium.

Kegunaan Penulisan

Adapun kegunaan dari laporan ini adalah sebagai salah satu syarat untuk

dapat memenuhi komponen penilaian di Laboratorium Hama Tanaman

Perkebunan Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas

Sumatera Utara, Medan.


3

TINJAUAN PUSTAKA

Biologi Ulat Api Setothosea asigna

Klasifikasi S. nitens menurut Kalshoven (1981) adalah sebagai berikut :

Phylum : Arthropoda Class : Insekta Ordo : Lepidoptera Family : Limacodidae

Genus : Setothosea Species : Setothosea asigna

S. asigna mempunyai siklus hidup 106-138 hari (Hartley 1979). Telur

berwarna kuning kehijauan, berbentuk oval, sangat tipis dan transparan. Telur

diletakkan berderet 3-4 baris sejajar dengan permukaan daun sebelah bawah,

biasanya pada pelepah daun ke 6-17. Satu tumpukan telur berisi sekitar 44 butir

dan seekor ngengat betina mampu menghasilkan telur 300-400 butir. Telur

menetes 4-8 hari setelah diletakkan (Satriawan, 2011)

Ulat berwarna hijau kekuningan dengan bercak-bercak yang khas di

bagian punggungnya. Selain itu di bagian punggung juga dijumpai duri-duri yang

kokoh. Ulat instar terakhir (instar ke-9) berukuran panjang 36 mm dan lebar 14,5

mm. Stadia ulat ini berlangsung selama 49-50,3 hari (Satriawan, 2011).

Ulat berkepompong pada permukaan tanah yang relatif gembur di sekitar

piringan atau pangkal batang kelapa sawit. Kepompong diselubungi oleh kokon

yang terbuat dari air liur ulat, berbentuk bulat telur dan berwarna coklat gelap.

Kokon jantan dan betina masing-masing berukuran 16 x 13 mm dan 20 x 16,5

mm. Stadia kepompong berlangsung selama ± 39,7 hari (Satriawan, 2011).

Serangga dewasa (ngengat) jantan dan betina masing-masing lebar

rentangan sayapnya 41 mm dan 51 mm. Sayap depan berwarna coklat tua dengan

garis transparan dan bintik-bintik gelap, sedangkan sayap belakang berwarna

coklat muda (Satriawan, 2011).


4

Gejala Serangan

Ulat yang baru menetas hidup berkelompok, mengikis daging daun dari

permukaan bawah dan meninggalkan epidermis bagian atas permukaan daun.

Pada instar 2-3 ulat memakan daun mulai dari ujung ke arah bagian pangkal daun

selama perkembangannya, ulat berganti kulit 7-8 kali dan mampu menghabiskan

helaian daun seluas 400 cm² (Satriawan, 2011).

Pengendalian

Beberapa teknik pengendalian ulat api yang dapat dilakukan adalah sebagai

berikut :

Pengendalian secara mekanik, yaitu pengutipan ulat ataupun pupa di

lapangan kemudian dimusnahkan 2. pengendalian secara hayati, dilakukan dengan

: penggunaan parasitoid larva seperti Trichogramma sp dan predator berupa

Eocanthecona sp

Penggunaan virus seperti Granulosis Baculoviruses, MNPV (Multiple

Nucleo Polyhedro Virus) dan jamur Bacillus thuringiensis

Penggunaan insektisida, dilakukan dengan : Penyemprotan (spraying)

dilakukan pada tanaman yang berumur 2,5 tahun dengan menggunakan

penyemprotan tangan, sedangkan tanaman yang berumur lebih dari 5 tahun

penyemprotan dilakukan dengan mesin.

Penggunaan feromon seks sintetik efektif untuk merangkap ngengat jantan

ulat api S. asigna selama 45 hari. (Arifin, 1997).


5

Biologi Ulat Api Setora nitens Walker

Klasifikasi S. nitens menurut Kalshoven (1981) adalah sebagai berikut :

Phylum : Arthropoda Class : Insekta Ordo : Lepidoptera Family : Limacodidae

Genus : Setora Species : Setora nitens Walker

Telur hampir sama dengan telur S. asigna hanya saja peletakan telur antara

satu sama lain tidak saling tindih. Telur menetas setelah 4 – 7 hari

(Susanto, 2005).

Larva mula-mula berwarna hijau kekuningan, kemudian hijau dan biasanya

berubah menjadi kemerahan menjelang masa kepompong. Ulat dicirikan dengan

adanya satu garis membujur di tengah punggung yang berwarna biru keunguan.

Perilaku ulat ini sama dengan ulat S. asigna dan stadia berlangsung sekitar 50 hari

(Prawirosukarto, 2003).

Kepompong mirip dengan kepompong S. asigna dan juga terletak di

permukaan tanah sekitar piringan atau di bawah pangkal batang kelapa sawit.

Stadia kepompong berkisar antara 17 – 27 hari (Sipayung, 1991).

Ngengat jantan berukuran 35 mm dan yang betina sedikit lebih besar. Sayap

depan berwarna coklat dengan garis-garis yang berwarna lebih gelap. Ngengat

aktif pada senja dan malam hari, sedangkan pada siang hari hinggap di pelepah-

pelepah tua atau pada tumpukan daun yang telah dibuang dengan posisi terbalik

(Desmier de Chenon, 1982).

Gejala Serangan

Ulat muda biasanya bergerombol di sekitar tempat peletakkan telur dan

mengikis daun mulai dari permukaan bawah daun kelapa sawit serta

meninggalkan epidermis daun bagian atas. Bekas serangan terlihat jelas seperti
6

jendela-jendela memanjang pada helaian daun, sehingga akhirnya daun yang

terserang berat akan mati kering seperti bekas terbakar.Mulai instar ke 3 biasanya

ulat memakan semua helaian daun dan meninggalkan lidinya saja dan sering

disebut gejala melidi (Buana dan Siahaan, 2003).

Ambang ekonomi dari hama ulat api untuk S. asigna dan S. nitens pada

tanaman kelapa sawit rata-rata 5 - 10 ekor perpelepah untuk tanaman yang

berumur tujuh tahun ke atas dan lima ekor larva untuk tanaman yang lebih muda

(Prawirosukarto, 2003). rdyceps militaris efektif untuk mengendalikan

pupa/kepompong hama tersebut (Syahnen dan Ida, 2010).

Pengendalian

Beberapa teknik pengendalian ulat api yang dapat dilakukan adalah sebagai

berikut :

Pengendalian secara mekanik, yaitu pengutipan ulat ataupun pupa di

lapangan kemudian dimusnahkan 2. pengendalian secara hayati, dilakukan dengan

: penggunaan parasitoid larva seperti Trichogramma sp dan predator berupa

Eocanthecona sp

Penggunaan virus seperti Granulosis Baculoviruses, MNPV (Multiple

Nucleo Polyhedro Virus) dan jamur Bacillus thuringiensis

Penggunaan insektisida, dilakukan dengan : Penyemprotan (spraying)

dilakukan pada tanaman yang berumur 2,5 tahun dengan menggunakan

penyemprotan tangan, sedangkan tanaman yang berumur lebih dari 5 tahun

penyemprotan dilakukan dengan mesin.

Penggunaan feromon seks sintetik efektif untuk merangkap ngengat jantan

ulat api S. asigna selama 45 hari. (Arifin, 1997).


7

Biologi Ulat Kantung (Mahasena corbetii)

Menurut Triharso (1994), sistematika hama ulat kantong

(Mahasena corbetti Tams.) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animali ;

Filum : Arthropoda ; Kelas : Insecta ; Ordo : Lepidoptera ; Family : Psychidae ;

Genus : Mahasena ; Species : Mahasena corbetti Tams.

Telur ulat kantong menetas di dalam kantong, jumlah telur ulat kantong ini

dapat mencapai hingga tiga ribu butir yang diletakkan secara berkelompok di

dalam kantongnya (Pracaya,2004).

Panjang ulat betina berkisar antar 5 cm sedangkan ulat jantan berkisar 3

cm. ruas dada ulat berwarna coklat kemerahan. Umur ulat dapazt mencapai empat

bulan. Ulat ini memakan daun, bunga, serta kulit tanaman dengan sangat rakus.

Umumnya ulat ini memakan segala tanaman atau polyphag. (Pracaya,  2004).

Ulat berkepompong dalam kantong dengan posisi berubah, yaitu

kepalanya di belakang. Pupa yang jantan akan menjadi ngengat bersayap,

sedangkan yang betina bentuknya tetap seperti ulat, tidak berubah menjadi

ngengat. Umur pupa kurang lebih satu bulan.

Imago ulat kantong berbentuk ngengat tetapi hanya ulat jantan yang akan

menjadi ngengat bersayap. Sedangkan ulat betina tetap menjdi ngengat  tidak

bersayap. Ulat betina dapat bertelur hingga tiga ribu butir (Pracaya,2004).

Gejala Serangan

Ulat muda sudah dapat mengeluarkan benang sutra untuk menggantung,

yang kemudian digunakan untuk menyebar dengan bantuan angina, setelah

menetap di sutu tempat ulat kantong membentuk kantong sendiri. Ulat ini

bergerak dengan mengeluarkan kepala dan sebagian dadanya untuk memakan


8

daun, bunga, ataupun kulit tanaman sehingga menyebabkan daun berlubang dan

menggulung karena ulat ini membentuk kantong. Ulat yang sngat muda hanya

memakan permukaan bawah daun. Ulat dewasa menghabiskan daun dan pinggir

sampai ke lidi. Serangan berawal dari pelepah daun yang lebih tua mengarah ke

pelepah daun yang lebih muda. Daun yang terserang menjadi rusak, berlubang dan

tidak utuh lagi kemudian daun menjadi kering dan berwarna abu-abu Serangan

hama menyebabkan daun berlubang-lubang (Pracaya,2004).

Pengendalian

Parasitoid yang sering digunakan untuk mengendalikan hama ulat kantong

antara lain parasitoid primer dan sekunder, serta predator mempengaruhi populasi

ulat Mahasena corbetti. Telah ditemukan 33 jenis parasitoid dan 11 jenis predator

hama pemakan daun. Penggunaan Bacillus thuringiensis (Bt) sebagai insektisida

biologi. Contoh produk Bt yaitu Dipel WP, Turex WP, Bactospene WP.

(Prawirosukarto, 2002).

Pengendalian hama secara mekanis mencakup usaha untuk menghilangkan

secara langsung hama serangga yang menyerang tanaman. Pengendalian mekanis

ini biasanya bersifat manual, yaitu dengan cara pemangkasan pelepah yang

terdapat banyak larva ulat, mengambil larva yang sedang menyerang dengan

tangan secara langsung, menumpuk dan kemudian membakarnya

Pengendalian hama terpadu merupakan perpaduan atau kombinasi

pengendalian hama secara terpadu (biologi) dan pengendalian secara kimia.

Dalam hal serangan hama yang terjadi di perkebunan kelapa sawit, pihak

perkebunan mempunyai cara masing-masing dalam pengendaliannya seperti

pemakaian insektisida kimia, menggunakan musuh alami (Suyatno,1994).


9

Biologi Ulat Kantong Metisa plana Walker

Menurut Borror (1996), adapun klasifikasi ulat kantong adalah sebagai

berikut: Kingdom : Animalia; Phyllum : Artropoda ; Class : Insecta ;

Ordo : Lepidoptera ; Family : Psychidae ; Genus : Metisa ;

Species : Metisa plana Walker

Telur baru ulat kantong berwarna kekuningan, diletakkan berkelompok

antara 200-300 telur dan tertutup dengan selaput. Telur mempunyai ukuran

diameter 200 μm dan panjang 300 μm. Permukaan telur dilapisi oleh lendir.

Setelah 5-8 hari inkubasi telur akan menjadi transparan berisi neonat (larva kecil)

yang sedang berkembang. Neonat berwarna coklat gelap dengan warna bercak

hitan yang berbeda pada bagian tengah (Basri dan Kevan 1995).

Larva memiliki kantong yang dapat dilepas. Rata-rata jumlah neonat yang

menetas dari satu kelompok telur adalah berkisar 140-210 neonat. Larva ulat

kantong bersifat polifag. Larva dapat merusak jaringan daun sebesar 66.8%.

Sekitar 60-90% neonat akan berkembang menjadi larva instar 2. Perbedaan tiap

instar larva dapat dilihat dari perbedaan panjang dari kantongnya. Instar 1

panjangnya 1.6 mm, instar 2 panjangnya 4.6 mm, instar 3 panjangnya 5.9 mm,

instar 4 panjangnya 9.5 mm, instar 5 panjangnya 11,3 mm, instar 6 panjangnya 13

mm (Rhainds et al., 1995).

Pada masa pupa, larva melekat pada kantong yang berwarna coklat

kekuningan. Pupa berukuran 6.1 mm, lebih pendek dari larva. Sex rasio

pembentukan imago betina berbanding jantan berkisar antara 10:1 hingga 2:1

(Kok et al., 2011)


10

Imago M. plana berbentuk ngengat. Imago betina berukuran panjang 5.5

mm dengan diameter 2 mm. Imago jantan berukuran panjang 10-13 mm. Imago

betina akan mati beberapa jam setelah mengeluarkan telur dengan jumlah yang

besar pada kantongnya dan imago jantan akan hidup sekitar 3-4 hari. Sayap ulat

kantong berwarna kecoklatan dengan tubuh yang berwarna hitam dan memiliki

rambut (Rhainds et al., 1995).

Gejala Serangan

Kerusakan yang terjadi akibat serangan hama ini sangat kecil dan akan

terjadi kerusakan besar ketika mereka ada dalam jumlah yang sangat besar. Larva

muda memakan jaringan epidermis dan larwa yang lebih tua mampu membuat

lubang pada daun kelapa sawit. Akan terjadi nekrosis dan skeletonisasi pada

jaringan daun. Kerusakan ini akan berdampak pada pertanaman kelapa sawit ke

depannya (Basri dan Kevan 1995).

Tanaman dapat kehilangan hasil hingga 40% pada tahun pertama setelah

terjadi serangan hama terhadap ratusan hektar pertanaman yang telah mengalami

defoliasi. Pada tahun berikutnya pengendalian tidak mampu dilakukan secara

sempurna. Batas populasi kritis untuk ulat kantong adalah 5 ekor ulat/pelepah.

Ketika jumlah ulat melampaui batas populasi kritis maka akan dilakukan

pengendalian (Pahan, 2006).

Pengendalian

Dibawah ini merupakan beberapa tindakan pengendalian yang dapat dilakukan

untuk mencegah dan mengurangi serangn ulat kantong:

Kelompok-kelompok populasi hama yang melampaui padat populasi kritis

dikendalikan dengan menggunakan virus atau Bacillus thuringiensis.


11

Apabila pengendalian terpaksa dilakukan dengan insektisida kimia

sintetik, yakni pada saat terjadi ledakan populasi yang meliputi hamparan luas dan

kepadatan populasinya di atas batas maksimum padat populasi kritis, maka dipilih

jenis dan teknik aplikasi insektisida yang aman terhadap parasitoid dan predator.

Pada 3-15 hari setelah pelaksanaan pengendalian (tergantung jenis bahan

dan teknik pengendalian yang digunakan), dilakukan evaluasi hasil pengendalian

dengan melaksanakan pengamatan efektif ulang terhadap populasi hama.

Apabila masih dijumpai populasi hama di atas padat populasi kritis, maka

harus dilakukan pengendalian ulangan. Jika perlu dilakukan penggantian jenis

bahan serta teknik pengendalian yang digunakan (Pahan, 2006).


12

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Praktikum

Praktikum dilaksanakan di Laboratorium Hama Tanaman Perkebunan

Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara,

Medan pada ketinggian ± 25 meter diatas permukaan laut, pada hari Selasa

tanggal 19 Septermber 2017 pada pukul 13.00 WIB sampai dengan selesai.

Bahan dan Alat

Adapun bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah ulat Setothosea

asigna, Setora nitens, Mahasena corbetti, dan Metisa plana sebagai objek

praktikum, tanaman kelapa sawit sebagai objek praktikum, air sebagai bahan

untuk menyiram tanaman, tanah sebagai media tanam tanaman, kain kasa sebagai

penutup tanaman (sungkup), label nama sebagai penanda.

Adapun alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah polibag sebagai

wadah tanam, kayu sebagai pembuat kerangka sungkup, handsprayer sebagai alat

untuk menyiram tanaman, alat tulis untuk mencatat hasil praktikum.

Prosedur Percobaan

1. Siapkan sungkup dan tanaman inang sesuai kebutuhan

2. Sediakan serangga hama

3. Sebelumnya dilakukan adaaptasi baik pada tanaman maupun serangga hama di

insektarium selama 3 hari

4. Masukkan serangga hama kedalam sungkup sebanyak 10 ekor setiap sungkup

5. Amati tingkat kerusakan dan gejala yang ditimbulkan hama setiap hari selama

2 minggu. Di lakukan pemeliharaan selama pengamatan.


13

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

No Hama Intensitas Serangan

1 Mahasena corbeetii (1x0) + (2x0) + (3x2) + (4x2) + (5x1)


x 100 %
5x5
76 %
2. Metisa plana (1x0) + (2x0) + (3x2) + (4x2) + (5x1)
x 100 %
5x5
76 %
3. Setothossea asigna (1x5) + (2x2) + (3x2) + (4x0) + (5x0)
x 100 %
5x5
60 %
4. Setora nitens (1x1) + (2x1) + (3x0) + (4x2) + (5x0)
x 100 %
5x5
12 %

Pembahasan

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, diperoleh data bahwa pada

daun kelapa sawit yang diserang oleh ulat kantong Mahasena corbetii, intensitas

serangannya adalah 76% dengan gejala berupa terdapat lubang-lubang bekas

gigitan pada daun bagian atasnya. Hal ini sesuai dengan literatur Pracaya (2004)

yang menyatakan bahwa aun yang terserang menjadi rusak, berlubang dan tidak

utuh lagi kemudian daun menjadi kering dan berwarna abu-abu, serangan hama

menyebabkan daun berlubang-lubang 

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, diperoleh data bahwa pada

daun kelapa sawit yang diserang oleh ulat kantong Metisa plana, intensitas

serangannya adalah 76 % dengan gejala berupa terdapat bekas gigitan berupa


14

lubang-lubang pada daunnya. Hal ini sesuai dengan literatur Basri dan Kevan

(1995) yang menyatakan bahwa larva muda memakan jaringan epidermis dan

larwa yang lebih tua mampu membuat lubang pada daun kelapa sawit.

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, diperoleh data bahwa pada

daun kelapa sawit yang diserang oleh ulat api Setothossea asigna, intensitas

serangannya adalah 60% terdapat bekas gigitan pada bagian bawah daun. Hal ini

sesuai dengan literatur Satriawan (2011) yang menyatakan bahwa ulat yang baru

menetas hidup berkelompok, mengikis daging daun dari permukaan bawah dan

meninggalkan epidermis bagian atas permukaan daun.

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, diperoleh data bahwa pada

daun kelapa sawit yang diserang oleh ulat api Setora nitens, intensitas

serangannya adalah 12% dengan gejala berupa terdapat satu helaian daun bawah

yang diserang pada bagian pinggiran daunnya. Sehingga meninggalkan bekas

memanjang pada pinggiran daun. Hal ini sesuai dengan literatur Buana dan

Siahaan (2003) yang menyatakan bahwa bekas serangan Setora nitens terlihat

jelas seperti jendela-jendela memanjang pada helaian daun.


15

KESIMPULAN

1. Hama-hama yang pada umumnya menyerang pertanaman Kelapa Sawit

adalah Ulat Api dan Ulat Kantong.

2. Intensitas serangan dari Ulat Kantong Mahasena corbetii adalah 76%

3. Intensitas serangan dari Ulat Kantong Metisa plana adalah 76%

4. Intensitas serangan dari Ulat Api Setothossea asigna adalah 60%

5. Intensitas serangan dari Ulat Api Setora nitens adalah 60%


16

DAFTAR PUSTAKA

Boror and Delong. 1970. An Introduction to The Study of Insect. third edition.
The State University of Ohio, United State

Buana dan Siahaan. 2003. Ulat Pemakan Daun Kelapa Sawit. Pertemuan Teknis
Kelapa Sawit 21 : 56-77

Kalshoven, L.G.E. 1981. The Pest of Crops In Indonesia. P.A. Van Der Laan. PT.
Ichtiar Baru-Van Hoeve, Jakarta.

Klinik Pertanian. 2011. Budidaya Tanaman Kelapa Sawit. http:// klinik pertanian
PPKS Marihat. Diakses pada 1 Oktober 2013.

Pahan, I., 2006. Panduan Lengkap Kelapa sawit Manajemen Agribisnis . Penebar
Swadaya, Jakarta

Prawirosukarto, S., Y.P, Roerrha., U.Condro., dan Susanto. 2002. Pengenalan dan


            Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman Kelapa Sawit. Pusat Penelitian
Kelapa Sawit. Medan. Sumut.

Satriawan, 2011. Kelimpahan Populasi Ulat Api dan Ulat Kantong serta Predator
Pada Perkebunan Kelapa Sawit Cikidang Plantation Estate, Sukabumi.
Skripsi. IPB, Bogor

Sipayung, A. 1991. Survai/Inventarisasi Hama dan Musuh Alamiah pada


Perkebunan Kelapa Sawit di Kalimantan Barat dan Timur. Dalam
Prosiding Temu Ilmu Ilmiah, Entomologi Perkebunan Indonesia.
Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang Sumatera Utara-Aceh. Hal.
105-117.

Soehardjo., Habib., Razali., Asmah., Alvidiana.,Sri dan Kusmahadi. 1996. Kelapa


Sawit. PTPN IV (PERSERO), Bah Jambi Pematang Siantar, Medan.

Standar Prosedur Operasional PTPN IV. 2012. Pedoman Pemeliharaan Tanaman


Kelapa Sawit. Bagian Tanaman Kantor Pusat, Medan.

Syahnen dan RT Ida. 2010. Rekomendasi Pengendalian Hama Ulat Api Pada
Tanaman Kelapa Sawit di Dusun X Bandar Manis Desa Kuala Beringin
Kecamatan Kualuh Hulu Kabupaten Labuhan Batu Utara. DepBun,
Medan.

Anda mungkin juga menyukai