Anda di halaman 1dari 9

1

IMPLEMENTASI PENGENDALIAN HAMA TERPADU PADA TANAMAN


KUBIS (Brasisca oleracea L.) UNTUK MENGENDALIKAN
HAMA Plutella xylostella

MAKALAH

OLEH:

MAULIDA KHAIRIZA NAWAR


NIM: 197001012

Dosen : Prof. Dr. Ir. Dharma Bakti, MS

MATAKULIAH PENGENDALIAN HAMA TERPADU LANJUTAN


PROGRAM MASGISTER AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2019
2

PENDAHULUAN
Pengendalian hama terpadu didefinisikan sebagai cara pendekatan atau cara berfikir
tentang pengendalian organisme pengganggu tumbuhan (OPT) yang didasarkan pada
pertimbangan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan agroekosistem yang
berwawasan lingkungan berkelanjutan. Karena PHT merupakan suatu sistem pengendalian
yang menggunakan pendekatan ekologi, maka pemahaman tentang biologi dan ekologi hama
dan penyakit menjadi sangat penting (Pedigo and Higley, 1992).
Pelaksanaan program pengendalian hama terpadu (Integrated Pest Managment)
merupakan langkah yang sangat strategis dalam kerangka tuntutan masyarakat dunia terhadap
berbagai produk yang aman dikonsumsi, menjaga kelestarian lingkungan, serta pengelolaan
sumber daya alam yang berkelanjutan yang memberikan manfaat antar waktu dan antar
generasi. Salah satu pertimbangan dasar, pentingnya melakukan introduksi teknologi PHT,
adalah adanya pergeseran strategi pembangunan dari pendekatan pertumbuhan, top down,
dan bersifat jangka pendek (pola pembangunan konvensional) ke arah pendekatan
pembangunan pemerataan, partisipatif, jangka panjang dan pembangunan berkelanjutan.
Kabupaten Karo adalah salah satu sentra produksi kubis di Sumatra Utara.
Komoditas ini diekspor ke negara tetangga Singapura dan Malaysia. Menurut catatan sejak
tahun 1980-an ekspor kubis sering mengalami penolakan oleh konsumen luar negeri. Dalam
usaha tani kubis masalah utama yang dihadapi adalah serangan hama. Salah satu hama utama
yang biasanya menyerang tanaman ini adalah hama Plutella xylostella. Hama ini termasuk
ordo Lepidoptera dari famili Plutelliadae dengan nama sinonimnya P. Maculipenis dan
P.cruceferarum. Serangan ini umumnya dikenal sebagai “diamond back moth” karena pada
sayap depan terdapat tiga titik seperti intan (Kalshoven, 1981). Imago P. xylostella berupa
ngengat yang ramping dan ber warna coklat kelabu. Panjangnya 1,5–1,7 mm dengan rentang
sayap 14,5–17,5 mm. Bagian tepi sayap depan berwarna terang (Suyanto, 1994).
Serangga P. xylostella merusak tanaman pada stadium larva. Larva yang baru menetas
akan merayap kepermukaan daun dan melubangi epidermis. Pada umumnya larva memakan
permukaan daun bagian bawah, sehingga tinggal tulang-tulang daun dan epidermis daun
bagian atas. Jika jumlah larva relatif banyak dapat menghabiskan tanaman kubis yang
berumur satu bulan dalam waktu 3 – 5 hari. Umumnya larva menyerang tanaman muda,
tetapi kadang-kadang dapat pula merusak tanaman yang sedang membentuk bunga
(Rukmana, 1994).
Sastrosiswojo dan Setiawati (1993) juga menyatakan bahwa P. xylostella menyerang
tanaman kubis yang muda sebelum membentuk krop. Tingkat populasi larva yang biasanya
3

terjadi pada 6-8 minggu setelah tanam, dan dalam kondisi seperti ini serangan dapat
mengakibatkan kerusakan berat pada tanaman kubis. Kehilangan hasil yang ditimbulkan oleh
hama P. xylostella pada tanaman kubis dapat mencapai 58 – 100 persen (Rukmana, 1994).
Petani kubis dalam mengendalikan hama P. xylostella kebanyakan menggunakan
insektisida yang beraneka ragam konsentrasi tinggi serta interval penyemprotan terlalu dekat
sehingga dapat menimbulkan efek residu pestisida yang dapat mengurangi harga saing
ekspor. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatra Utara pada Tahun Anggaran
2000 telah melakukan uji adaptasi beberapa agensia hayati dari Puslit Kopi dan Kakao
Jember (Jamur Beauveria bassiana). B. bassiana yang diaplikasikan dua kali seminggu pada
tanaman kubis dapat menginfeksi larva P. xylostella 3 – 5 hari hingga mati sampai 66,20
persen (Abda, 1998). Demikian juga jamur Metarrhizium spp. Ditemukan dapat mematikan
P. xylostella (Soper, 1985).

Plutella xylostella
Plutella xylostella adalah serangga kosmopolitan pada daerah tropis dan daerah
subtropis. Di Indonesia saat ini penyebaranya bukan hanya di daerah pegunungan tetapi saat
ini sudah menyebar sampai di dataran rendah. P. xylostella memiliki kisaran inang yang luas.
Banyak jenis kubis, sawi dan beberapa tanaman silangan lainnya, termasuk Raphanaus
sativius (lobak). Ulat kubis banyak memakan daun muda dan daun tua. Jenis kerusakan oleh
ulat kubis ini sangat khas: daun menampilkan jendela putih tidak teratur, jarang lebih besar
dari 0,5 cm yang kemudian memecah ke lubang bentuk (Kalshoven, 1981).
Stadium telur antara 3-6 hari. Larva instar pertama setelah keluar dari telur segera
menggerek masuk ke dalam daging daun. Instar berikutnya baru keluar dari daun dan tumbuh
sampai instar keempat. Pada kondisi lapangan, perkembangan larva dari instar I-IV selama 3-
7; 2-7; 2-6; dan 2-10 hari. Larva atau ulat mempunyai pertumbuhan maksimum dengan
ukuran panjang tubuh mencapai 10-12 mm. Prepupa berlangsung selama lebih kurang 24
jam, setelah itu memasuki stadium pupa. Panjang pupa bervariasi sekitar 4,5-7,0 mm dan
lama umur pupa 5-15 hari (Hermintato, 2010).
4

Larva P. xylostella berukuran kecil, sekitar 0,33 inci ketika tumbuh penuh. Tubuh
larva melebar di bagian tengah dan meruncing ke arah anterior dan posterior dengan dua
proleg pada segmen terakhir (posterior) membentuk huruf-V. Ketika terganggu, larva
bergerak panik atau cepat menempel pada garis sutra menuju daun. Larva sebagian besar
makan daun luar atau daun tua baik pada tanaman tua maupun titik-titik tumbuh tanaman
muda. Larva juga akan memakan tangkai bunga dan kuncup bunga (Kalshoven, 1981).
Siklus hidup larva berlangsung 10 sampai 14 hari dan membentuk kokon pada daun
atau tangkai untuk pupasi. Telur imago ulat kubis (ngengat) berukuran sangat kecil, agak
bulat telur. Diletakkan secara tunggal pada sisi bawah daun. Produksi telur adalah 180-320
per. Telur yang diletakkan secara terpisah pada permukaan daun yang lebih rendah
(Hermintato, 2010).

Menurut Hermintato (2010) serangga dewasa atau ngengat berbentuk ramping,


berwarna coklat-kelabu. Sayap depan bagian dorsal memiliki corak khas seperti berlian,
sehingga hama ini terkenal dengan nama ngengat punggung berlian (diamondback moth).
Nama lain dari serangga tersebut adalah ngengat tritip dan ngengat kubis (cabbage moth).
Ngengat memakan sari bunga dan merupakan penerbang yang lemah serta sering terlihat
pada waktu senja.
5

Gejala Serangan dan Kerusakan


Infestasi P. xylostella yaitu dengan meletakan telur didekat urat daun pada
permukaan daun. Larva yang baru menetas memakan bagian dalam jaringan daun, dan
menimbulkan gejala pada daun yang khas (Hermintato, 2010).
Kegiatan makannya meninggalkan pola bergaris pada permukaan daun. Larva yang
lebih dewasa, yang biasanya berwarna hijau keabu-abuan dan berubah menjadi hijau cerah,
akan memakan permukaan daun. Larva tidak memakan urat daun, hanya jaringan di
antaranya, membuat efek “jendela” pada tanaman yang mengalami serangan serius. Larva
meliuk dengan cepat saat diganggu dan bergantung pada utas sutra. Larva dewasa
membentuk kepompong berwarna hijau muda atau coklat muda di dalam gulungan sutra pada
batang atau bagian bawah daun (Rukmana, 2010).
6

TEKNOLOGI PENGENDALIAN HAMA Plutella xylostella PADA TANAMAN


KUBIS (Brasisca oleracea L.) DENGAN MENGGUNAKAN Bacillus thuringiensis

Adanya kekhawatiran akan pengaruh negatif tentang pemakaian agrokhemikal telah


meningkatkan perhatian masyarakat kepada bioinsektida sebagai alternatif teknologi untuk
menurunkan populasi hama. Bacillus thuringiensis (Bt), merupakan famili bakteri yang
memproduksi kristal protein di inclusion body-nya pada saat ia bersporulasi. Bioinsektida Bt
merupakan 90-95 % dari bioinsektida yang dikomersilkan untuk dipakai oleh petani di
berbagai negara. Dengan kemajuan teknologi, gen insektisi-dal Bt ini telah dapat diisolasi dan
diklon sehingga membuka kemungkinan untuk diintroduksikan kedalam tanaman. Tanaman
yang mengekspresikan gen Bt ini dikenal dengan sebutan tanaman transgenik Bt. Tanaman
transgenik Bt pertama kali dikomersilkan pda tahun 1995/96 dan sejak saat itu luas
pertanaman ini meningkat (James, 2000).
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatra Utara pada Tahun Anggaran
2000 telah melakukan uji adaptasi beberapa agensia hayati dari Puslit Kopi dan Kakao
Jember (Jamur Beauveria bassiana). B. bassiana yang diaplikasikan dua kali seminggu pada
tanaman kubis dapat menginfeksi larva P. xylostella 3 – 5 hari hingga mati sampai 66,20
persen (Abda, 1998). Demikian juga jamur Metarrhizium spp. Ditemukan dapat mematikan
P. xylostella (Soper, 1985).

Cara Kerja
B. thuringiensis adalah bakteri yang menghasilkan kristal protein yang bersifat
membunuh serangga (insektida) sewaktu mengalami proses sporulasinya. Kristal protein
yang bersifat insektisida iini sering disebut dengan endotoksin. Kristal ini sebenarnya hanya
merupakan protoksin yang jika larut dalam usus serangga akan berubah menjadi poli-peptida
yang lebih pendek serta mempunyai sifat insektisida. Pada umumnya kristal Bt di alam
bersifat protoksin karena adanya aktivitas proteolisis dalam sistem pencemaran serangga
dapat mengubah Bt-protoksin menjadi polipeptida yang lebih pendek dan bersifat toksin.
Toksin yang telah aktif berinteraksi dengan sel – sel epithelium di migdut serangga. Bukti-
bukti telah menunjukkan bahwa toksin Bt ini menyebabkan terbentuknya pori-pori (lubang
yang sangat kecil) di sel membran di saluran pencernaan dan mengganggu keseimbangan
osmotik dari sel-sel tersebut. Karena keseimbangan osmotik terganggu, sel menjadi bengkak
dan pecah dan menyebabkan matinya serangga (Hofte dan Whiteley, 1989).
7

Untuk mengurangi adanya efek residu insektisida, maka BPTP Sumatra Utara telah
melakukan pengkajian di Kabupaten Karo pada tahun 2001, mengenai pengendalian hama P.
xylostella dengan agensia hayati menggunakan bakteri Bacillis thuringiensis, Beauveria
bassiana, perlakuan petani (insektisida ) dan kontrol (tanpa perlakuan). Pengkajian dilakukan
dengan sistem demplot di lahan petani yang diikuti 18 koperator, yang dibagi menjadi 3
kelompok. Masing-masing kelompok seluas 4.000 m2 termasuk tanaman pinggiran, tiap
kelompok sebagai ulangan. Luas petak tiap perlakuan 650 m2, kecuali kontrol 250 m2, jarak
antar perlakuan 1,5 m, jarak tanaman pinggiran dengan perlakuan 1,5 m. Hasil pengkajian
menunjukkan bahwa perlakuan B. thuringiensis, B. bassiana dan perlakuan petani dapat
menekan P. xylostella, sebelum aplikasi populasi larva masing-masing mencapai 0,6 ; 0,8 ;
dan 0,6 . Tetapi setelah aplikasi perlakuan yang ke 4 populasi larva P .xylostella menjadi 0
larva/tanaman, perlakuan kontrol masih mencapai 21,7 larva/tanaman. Intensitas kerusakan
daun saat 64 hari setelah tanam (hst) masing–masing perlakuan 0 persen, kecuali perlakuan
kontrol mencapai 74,35 persen. Produksi tertinggi terdapat pada perlakuan B. thuringiensis
(67.250 kg/ha), B.bassiana (66.000 kg/ha), sedangkan perlakuan kontrol hanya mencapai
6.000 kg/ha.
Pada penelitian Nazir dan Winarto (2004) yang menggunakan teknologi pengendalian
hama Plutella xylostella dengan insektisida dan agensi hayati pada kubis di Kabupaten Karo
menunjukkan bahwa B. thuringiensis, B. bassiana dan perlakuan petani (insektisida) dapat
menekan populasi hama P. xylostella masing–masing pada 15 HST populasi larva 0,6; 0,8
dan 0,6/tanaman tetapi setelah diaplikasikan mencapai 0 larva/ tanaman pada 64 HST.
Perlakuan B. thuringiensis, B. bassiana dan insektisida dapat menekan kerusakan daun kubis 0 persen,
tetapi pada kontrol kerusakan daun mencapai 74,35 persen .Produksi tertinggi, terdapat pada
perlakuan B. thuringiensis, B. bassiana kemudian diikuti perlakuan insektisida masing-masing
mencapai 67 ton/ha dan 66 ton/ha dan 59,25 ton/ha, kontrol hanya mencapai 6 ton/ha.
8

KESIMPULAN
Teknologi pengendalian hama Plutella xylostella pada tanaman kubis menggunakan
Bacillus thuringiensis dapat menekan populasi hama P. xylostella dan dapat menekan
kerusakan daun kubis serta dapat meningkatkan produksi tanaman kubis .
9

DAFTAR PUSTAKA
Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 2001. Teknologi Pengendalian
Hama Plutella xylostella dengan Insektisida dan Agensi Hayati Pada Kubis Di
Kabupaten Karo. Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Medan.

Hermintato, K. 2010.

Hofte, H. and H.R. Whiteley. 1989. Insecticidal crystal proteins of Bacillus thuringiensis.
Microbiol. Rev. 53: 42-255.

James, C. 2000. Global review of commercial transgenic crops: 2000. ISAAA Briefs. No. 21:
Preview. ISAAA: Ithaca, New York.

Kalshoven, L.G.E. 1981. The Pest of Crops in Indonesia. PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.
Jakarta.p 583.

Nazir, D dan Winarto, L. 2004. Teknologi Pengendalian Hama Plutella xylostella Dengan
Insektisida dan Agensi Hayati Pada Kubis Di Kabupaten Karo. BPTP. Medan.

Pideo, L.P and L.G. Higley. 1992. The Economic Injury level Concept and Environmental
Quality. American Entomologist.

Rukmana, R. 1994. Budidaya Kubis dan Brokoli. Kanisius, Yogyakarta. Hal : 27

Sastrsiswojo, S dan W. Setiawati. 1993. Hama-hama Tanaman Kubis dan Cara Pengendalian.
Balai Penelitian Hortikultura Lembang. Hal. 39-41.

Soper, R.S. 1985. Pathogen of Leaf Hoppers and Planthop Pers. In The Leaf Hoppers and
Plant Hoppers (Ed. By Nault IB and J.G Rodriguez). John Willey and Sens Inc.

Suyanto, A. 1994. Hama Sayuran dan Buah. Penebar Swadaya. Jakarta. Hal 53

Anda mungkin juga menyukai