Anda di halaman 1dari 20

PENGENDALIAN HAMA TERPADU

PADA TANAMAN KAPAS (Gossypium sp.)

Oleh : Kelompok 4
1. Listiawati (G111 14 332)
2. Nur Septyarini Justa (G111 14 329)
3. Surya (G111 14 512)
4. Andika Mandala Putra (G111 14 5
5. Muharsam Syarif (G111 14

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pengendalian hama terpadu (Integrated Pest Management) merupakan suatu konsep
pengelolaan agroekosistem secara komperhensif yang bertujuan untuk mempertahankan
populasi hama dan kerusakan tanaman yang diakibatkan pada aras yang tidak merugikan
secara ekonomi dan dampak negatif dari metode yang digunakan terhadap lingkungan dapat
diperkecil. Konsep ini dilakukan dengan memadukan dan memanfaatkan semua metode
pengendalian hama secara bijaksana, termasuk pemanfaatan predator dan parasitoid, varietas
tahan hama, teknik bercocok tanam dan yang lainnya, serta bila perlu menggunakan pestisida
selektif. Dengan kata lain program PHT tidak mengandalkan kepada satu cara saja (misalnya
dengan menggunakan pestisida bersprektrum luas) tetapi dilaksanakan dengan
mengkombinasikan berbagai cara untuk mengendalikan hama tanpa mengganggu musuh
alami serangga ataupun ekosistem.
Kapas (Gossypium herbaceum L.) merupakan salah satu komoditi perkebunan yang
penting Dalam pembangunan sub sektor perkebunan antara lain untuk memenuhi kebutuhan
domestik maupun sebagai komoditi ekspor penghasil devisa negara. Di Indonesia, kapas
memiliki nama lokal diantaranya adalah Gossypium arboreum Linn, kapas merah (umum),
kapas beureum (Sunda), kapas jawa (Jawa), Gossypium barbadense Linn, kapas rampit,
kapas kayu, Gossypium hirsutum Cav, kapas mori (Jawa) dan kapas kejerat (Sumatra). Kapas
juga merupakan semak atau pohon kecil tahunan tinggi mencapai hinga 3 m, hampir di semua
bagian terdapat titik-titik kelenjar minyak berwarna hitam. Daun tersusun spiral, tepi rata,
tulangdaun menjari. Bunga soliter, biasanya dengan cabang simpodial; kelopak bentuk
cangkir, mahkota 5 tersusun seperti genting, kuning, putih, merah atau ungu, biasannya
dengan titik merah, tua atau ungu pada bagian tengah. Buah kapsul, membulat hingga bulat
telur. Biji bulat telur yang ditutupi oleh rambut panjang seperti wol dan kadang juga oleh
rambut yang pendek.
Dalam program PHT, tujuannya bukan memberantas hama (dan juga organisme yang
berguna) dengan menggunakan insektisida, tetapi menjaga agar populasi hama tidak
mencapai tingkat yang membahayakan secara ekonomi, tanpa mengganggu keseimbangan
ekosistem atau membunuh organisme yang berguna. PHT sangat mengutamakan
berfungsinya mekanisme pengendalian alami yang secara dinamik dapat menjaga populasi
hama agar tetap berada pada aras keseimbangan umum yang rendah. Pengendalian alami
populasi hama dilaksanakan oleh aktivitas bersama kompleks musuh alami serta faktor-
faktor density dependent lainnya, seperti kompetisi intraspesifik dan interspesifik. Semua
teknik pengendalian hama yang lain seperti rotasi tanaman, penanaman serempak,
penggunaan varietas tahan hama, serta pemupukan berimbang digabungkan untuk membuat
agroekosistem yang dapat menstimulasikan proses keseimbangan alami. Konsep PHT
merupakan suatu konsep atau cara pendekatan hama yang secara prinsip berbeda dengan
konsep pengendalian hama konvensional yang selama ini masih sangat tergantung pada
penggunaan pestisida. Konsep ini timbul dan berkembang di seluruh dunia karena kesadaran
manusia terhadap bahaya penggunaan pestisida yang terus meningkat bagi lingkungan hidup
dan kesejahteraan masyarakat.
Perbedaannya dengan pendekatan konvensional ialah bahwa dalam PHT, pestisida hanya
digunakan secara selektif apabila diperlukan, yaitu sewaktu populasi hama -karena sebab-
sebab tertentu- telah melampaui ambang pengendalian atau ambang ekonomi. Tingkat
Ambang Ekonomi (TAE) (economic threshold level) dan Tingkat Kerusakan Ekonomi (TKE)
(economic injury level) dapat dijadikan sebagai penentu kapan digunakannya insektisida.
Menurut definisinya tingkat ambang ekonomi adalah tingkat kepadatan populasi hama
dimana pengendalian harus segera dilakukan untuk mencegah bertambahnya populasi ke
tingkat kerusakan ekonomi. Sedangkan tingkat kerusakan ekonomi adalah kepadatan populasi
terendah yang dapat merugikan ekonomi. Ambang pengendalian atau ambang ekonomi
merupakan ambang penentuan keputusan untuk setiap hama yang besarnya ditentukan
melalui penelitian secara empirik. Populasi hama pada aras tersebut mengakibatkan
kerusakan tanaman yang nilainya sama dengan besarnya biaya pengendalian yang dibutuhkan
sehingga apabila populasi di atas ambang tersebut secara ekonomis pengeluaran biaya untuk
pengendalian dibenarkan. Secara empirik ambang ekonomi dapat ditentukan sebagai batas
adanya populasi hama yang dapat ditoleransi oleh petani setempat yang dirasakan belum
mendatangkan kerugian yang nyata.
Pengendalian hama terpadu pada dasarnya merupakan penerapan ekologi khususnya
ekologi serangga, yaitu usaha untuk membuat ekosistem pertanian yang terkendali dengan
memperhatikan faktor-faktor mortalitas seperti predator dan parasitasi serta faktor ekologis
lainnya yang dipergunakan untuk menekan populasi agar tetap berada di bawah ambang
ekonomi. Dengan mengetahui komponen-komponen yang saling berinteraksi dan peran dari
masing-masing komponen ekosistem itu, maka dapat dilakukan taktik pengendalian serangga
hama.
1.2. Rumusan Masalah
1.2.1 Organisme apa sajakah yang menjadi hama pada tanaman kapas (Gossypium sp.)?

1.2.2 Bagaimana cara pengendalian hama pada tanaman kapas (Gossypium sp.)?

1.2.3 Bagaimana cara hidup dan faktor lingkungan yang mempengaruhi hama tanaman kapas
(Helicoverpa armigera)?
BAB II
ISI

2.1 Organisme Pengganggu pada Tanaman Kapas


Tanaman kapas umumnya sangat peka terhadap serangan serangga hama. Namun
demikian, kapas bukan merupakan tanaman inang yang paling disukai oleh
serangga hama utama, H. armigera. Seperti halnya tanaman lain, tanaman kapas juga
memiliki mekanisme pertahanan terhadap serangan hama, baik secara morfologi maupun
biokimia . Ketahanan secara morfologis berpengaruh secara fisik terhadap serangga hama,
sedangkan ketahanan biokimia disebabkan adanya kandungan senyawa terpenoid aldehid
yang toksik terhadap hama.
Beberapa karakter morfologi tanaman kapas yang berhubungan erat dengan
serangan hama antara lain bentuk daun (normal atau menjari), bulu (berbulu dan tanpa bulu),
bentuk braktea (normal atau frego = berpilin = melingkar-lingkar), dan keberadaan kelenjar
nektar. Semua karakter morfologi tersebut dapat mengubah lingkungan
tanaman kapas menjadi kurang menarik, dan juga menyebabkan serangga hama menjadi lebih
terekspos dan mudah dikendalikan oleh faktor mortalitas biotik (predator, parasitoid) dan
abiotik (temperatur dan curah hujan tinggi). Modifikasi bentuk braktea dari normal menjadi
frego (berpilin) berhubungan dengan mutasi gen resesif .
Tanaman kapas yang mengalami mutasi gen biasanya memiliki braktea yang
memanjang, sempit, dan berpilin sehingga posisinya relatif jauh dari kuncup bunga atau buah
dan banyak menyisakan celah sehingga kuncup bunga atau buah mudah terlihat. Braktea
berpilin (frego bract) pada tanaman kapas diketahui ada kaitannya dengan ketahanan
terhadap serangga hamamenyatakan bahwa braktea berpilin dan sempit berpotensi
mengurangi serangan hama penggerek buah dibanding braktea yang berukuran besar dan
lebar. Hal ini disebabkan braktea berpilin dan sempit kurang memberi kenyamanan
bagi hama penggerek buah, khususnya H. armigera, pada saat makan maupun meletakkan
telur baik pada braktea atau buah. Braktea berpilin dan sempit biasanya menyisakan celah
pada kuncup bunga atau buah kapas sehingga lebih mudah terekspos sinar matahari. Dari
aspek pengendalian, adanya celah pada kuncup bunga maupun buah kapas menyebabkan
cairan semprot mudah mengenai permukaan kuncup bunga atau buah, sehingga buah
terhindar dari serangan hama penggerek. Selain itu, buah dengan braktea berpilin dan sempit
juga memberi peluang bagi musuh alami (parasitoid dan predator) untuk lebih mudah
menemukan mangsa maupun inang serangganya, sehingga perannya sebagai faktor mortalitas
biotik berlangsung secara alami. Tipe braktea berpilin dan sempit erat hubungannya dengan
efektivitas pengendalian melalui penyemprotan (foliar application). Buah kapas dengan
braktea berpilin dan sempit efektif menurunkan tingkat kerusakan buah dibanding braktea
berbentuk normal. Hal ini disebabkan braktea normal, apalagi yang berukuran besar dan lebar
cenderung menutupi seluruh badan buah, sehingga cairan semprot atau musuh alami kesulitan
mencapainya (Parrot et al.,1973).
Berkaitan dengan hal tersebut, Ahuja et al. (1998) menyatakan bahwa
kultivar kapas yang brakteanya berbentuk normal biasanya potensi produksinya tinggi tetapi
kurang tahan terhadap serangan hama penggerek. Sebaliknya, kultivar yang bentuk
brakteanya berpilin dan sempit selain potensi produksinya tinggi juga cenderung tahan
serangan hama penggerek.
Li-feng et al. (1997) membuktikan bahwa peletakan telur oleh H. armigera
pada kapas dengan braktea berpilin mengalami penurunan hingga 36,0%, serangan hama ulat
berkurang hingga 28,4%, dan kerusakan kuncup bunga dan buah menurun hingga 34,0%. Di
sisi lain, braktea normal memiliki variasi ukuran yang berbeda-beda dalam kapasitasnya
melindungi kuncup bunga atau buah.
2.1.1 Hama pada Tanaman Kapas
Buah kapas dapat tertutup braktea mulai 50% hingga 100% atau bahkan lebih. Oleh
karena itu, penting mengetahui eksistensi variasi genetik pada braktea berbagai aksesi kapas,
terutama kaitannya dengan serangan hama penggerek buah, H. armigera. Berdasarkan hasil-
hasil penelitian tersebut, maka diduga banyak sedikitnya bagian buah tertutup oleh braktea
akan berpengaruh terhadap tinggi rendahnya serangan H. armigera.
Adapun jenis organisme pengganggu pada tanaman kapas adalah sebagai berikut:
1. Kutu Kebul (Bemisia tabaci).
Hama ini sangat kecil, panjang dewasa hanya 1,5 mm. Nimfa dan dewasa memakan
bagian bawah daun kapas. Kalau jumlah kutu besar, tanaman dapat tumbuh kerdil, hilang
daun, dan buah rontok. Selain kapas, kutu kebul juga memakan daun ubikayu, ubijalar,
tembakau, tomat, kacang-kacangan, kentang, kubis dan lada.
Siklus hidupnya dimulai dari telur yang berbentuk sangat kecil diletakkan pada bagian
bawah daun. Menetas setelah 5–9 hari. Nimfa bergerak mencari tempat di daun untuk makan.
Setelah mengganti kulit, nimfa hanya menempel pada daun dan tidak dapat bergerak lagi.
Nimfa menghasilkan cairan manis (seperti kutu daun). Serat kapas yang kena cairan ini nanti
tertutup dengan jamur kehitaman, yang mengurangi mutunya. Pada fase dewasa kutu kebul
dapat terbang dan kawin, juga menghisap cairan tanaman. Kutu kebul betina dapat hidup
selama 60 hari.
2. Ulat anomis (Anomis flava).
Ulat ini suka memakan daun kapas tua, dimulai dari bawah, ke pucuk tanaman. ulat
yang masih muda mengorek/mengikis daging daun, ataupun bisa makan daun sampai hanya
tertinggal tulang-tulang. Daun yang terserang oleh ulat yang tua menjadi berlubang di antara
tulang daun. Selain kapas, ulat ini juga memakan daun tomat, kacang dll. Ada beberapa jenis
parasitoid yang membantu mengendalikan hama ini, termasuk tawon trichogramma yang
menyerang telurnya, tawon bracon yang menyerang ulat, dan tawon chalcid yang menyerang
kepompongnya.
Siklus hidup dari ulat ini bermula dari telur bulat berwarna hijau kebiruan diletakkan
satu per satu pada daun. Telur bulat dengan diameter 0,7 mm. Panjang ulat bisa mencapai 36
mm. Sebelum membuat kepompong, ulat menggulung atau melipat daun tua sehingga
terbentuk suatu ruang untuk berkepompong. Warna kepompong coklat tua. Ngengat keluar
dari kepompong dan terbang, kemudian kawin. Betina bertelur sekitar 350 butir.
3. Tungau Merah (Tetranychus sp.)
Hama kecil ini sering terlihat pada cuaca kering. Kelompok tungau dapat ditemukan
pada bagian bawah daun, dan juga kadangkala pada bagian atas. Daun yang terserang
menjadi kuning, lalu merah, kemudian mengering dan rontok. Tungau membuat sarang yang
digunakannya untuk berpindah dari satu bagian tanaman ke bagian lain. Tungau berwarna
kuning-kejinggaan, merah sampai ke ungu tua. Hama ini menyerang banyak macam tanaman,
termasuk kapas, terung, kacang-kacangan, ubikayu dan ubijalar. Gulma juga terserang.
Tungau merupakan hidangan lezat bagi kumbang kubah, sayap jala, lalat apung, serta
beberapa pemangsa lain.
Bentuk telur tungau bulat kecil diletakkan secara tersendiri pada daun merupakan siklus
hidup tungau merah ini. Nimfa menetas setelah 1–2 hari dan mulai memakan daun. Masa
nimfa mungkin selama 4–5 hari. Betina dewasa meletakkan ratusan telur, sehingga hama ini
dapat berkembangbiak dengan sangat cepat bila kondisi sesuai. Nimfa berkaki enam, tapi
tungau dewasa berkaki delapan, mirip dengan laba-laba yang sangat kecil. 
2.1.2 Hama Utama pada Tanaman Kapas
Salah satu penyebab menurunnya produktivitas kapas di Indonesia adalah karena
adanya serangan hama dan penyakit. Penyakit pada tanaman kapas dapatdisebabkan oleh
berbagai patogen. Ada beberapa jenis hama penting yang dikenal antara lain adalah :
1. Hama wereng Empoasca sp. (Homoptera : Ciccadellidae).
2. Hama perusak daun : ulat tanah Agrotis epsilon (Lepidoptera : Noctuidae), ulat
grayak Spodoptera litura (Lepidoptera : Noctuidae) .
3. Hama perusak buah : Earias sp. dan Helicoverpa armigera (Lepidoptera : Noctuidae).
Selain itu, dikenal pula beberapa hama yang dapat menurunkan perkembangan dan
pertumbuhan tanaman dintaranya adalah :
1) Ulat penggerek pucuk (Earias vittela)

Gambar 1. Ulat Penggerek pucuk (Earias vittela)


Ulat penggerek pucuk memakan pucuk tanaman kapas, sehingga pucuk itu mati.
Kuncup bunga dan buah muda rontok. Buah besar juga dibolongkan, tapi tidak rontok. Selain
kapas, ulat penggerek pucuk juga memakan tanaman roselle, gombo (okra), kembang sepatu,
dan beberapa tanaman gulma.
Siklus hidup dari Earias vittela adalah telur diletakkan pada pucuk, buah atau bunga
kapas secara tersendiri atau dalam kelompok yang terdiri dari 3–5 butir.Telur menetas setelah
4 hari . Ulat memakan daun, bunga dan buah kapas, mulai dari pucuk. Ulat berumur 14–18
hari, berganti kulit 5 kali. Bila sudah besar, membuat kepompong yang terletak pada tanaman
atau di atas tanah. Masa kepompong selama 10–12 hari, kemudian keluar ngengat dewasa.
Ngengat aktif malam hari. Seekor betina dapat meletakkan 200–400 telur dan hidup selama
8–12 hari.
2) Ulat buah (hama penggerek buah)/ Helicoverpa armigera

Gambar 2. Ulat buah (Helicoverpa armigera)


Ulat buah adalah hama penting pada kapas. Hama ini memakan daun, bunga dan buah kapas.
Helicoverpa armigera dapat merusak buah kapas dengan melubangi bagian bawah. Buah
yang terserang sering menjadi busuk. Selain kapas, ulat buah juga memakan banyak tanaman
lain, seperti kacang kacangan (polong yang dimakan), jagung (tongkol), tembakau (kuncup),
tomat (buah), kentang. dan juga memakan beberapa jenis gulma.
Telur (ukuran sekitar 0,5 mm) diletakkan pada permukaan daun muda dan pada buah
kecil. Telur menetas dalam 2,5–5 hari. Ulat memakan kuncup, bunga dan buah kapas. Sering
terlihat sedang makan, dengan kepala berada dalam buah. Ulat berumur 16–19 hari,
mengganti kulit 5 kali. Ulat jatuh ke tanah dan menjadi kepompong berwarna merah berkilat,
panjangnya 14–18 mm. Ngengat dewasa keluar dari kepompong pada malam hari. Naik ke
atas tanaman untuk mengeringkan sayapnya, baru terbang dan kawin. Mulai meletakkan telur
dalam waktu 3 hari setelah menjadi dewasa. Seekor betina dapat meletakkanlebih dari 1000
butir telur.
3) Penggerek buah warna jingga (Pectinophora gossypiella).

Gambar 3. Ulat Penggerek buah (Pectinophora gossypiella)


Ulat ini menyerang bunga dan buah kapas. Bunga yang terserang diikat tutup dengan
sutera, mengakibatkan bunga tidak mekar. Ulat memakan biji akan mengotori serat kapas.
Telur putih kecil diletakkan dekat buah muda. Telur menjadi jingga sebelum menetas 4–5
hari setelah diletakkan. Ulat baru putih, panjangnya sekitar 1 mm. Langsung masuk ke dalam
bunga atau buah muda. Membuat sarang sehingga bunga tidak dapat membuka. Kalau sudah
ada di dalam bunga atau buah, aman dari musuhnya dan dari penyemprotan. Ulat buah
menjadi jingga bila sudah ganti kulitnya 3 kali. Umur larva 7–14 hari. Ulat keluar dari bagian
atas buah dan menjadi kepompong di bawah tanah. Masa kepompong sekitar 9 hari.Ngengat
dewasa keluar dari kepompong, terbang dan kawin. Dewasa aktif malam hari; selama siang
hari bersembunyi di bawah daun kering dan di dalam tanah. Lain dengan ulat, tidak makan
tanaman, tetapi mengisap nektar dari bunga.Hidup selama 12 hari, seekor betina dapat
meletakkan 200–400 butir telur.
4) Wereng kapas/Amrasca (Sundapteryx biguttula).

Gambar 4. Wereng kapas (Sundapteryx biguttula)


Nimfa dan dewasa wereng ini duaduanya memarut permukaan daun kapas dan
mengisap cairan tanaman. Daun yang terserang menjadi kuning seolah olah terbakar dan
selanjutnya rontok. Biasanya menyerang daun di bagian bawah. Tanaman yang terserang
menjadi kerdil dan tidak menghasilkan buah. Telur diletakkan pada tulang atau ranting daun
dan sulit diamati. Nimfa keluar dari telur dan dapat hidup selama 9–17 hari sebelum menjadi
dewasa. Dewasa hidup selama 13–36 hari. Seekor betina dapat meletakkan sampai dengan
300 butir telur.

2.2 Pengendalian Hama Tanaman Kapas


Salah satu faktor pembatas dalam usaha menaikkan produksi tanaman adalah adanya
serangan hama. Kerugian yang disebabkan oleh serangan hama di dunia diperkirakan 13%
dan produksi total. Di Amerika Serikat diperkirakan lebih dari 10 ribu juta dolar digunakan
untuk mengatasi persoalan hama. Di Indonesia, pada tahun 1976-1977 lebih dari 450.000 ha
sawah yang ditanami padi diserang oleh hama wereng coklat dan kerugian yang disebabkan
oleh hama tersebut mencapai 100 juta dolar . Hama yang menyerang suatu jenis tanaman
adalah suatu kompleks hama. Misalnya tanaman padi sering didatangi oleh hama, tidak hanya
wereng coklat tetapi hama Iain seperti penggerek batang, ulat pemakan daun, wereng
punggung putih dan hijau, aphid, dan lain sebagainya. Tanaman kapas juga mempunyai
kompleks hama yang berbeda dengan tanaman padi. Hama-hama kapas adalah penggerek
daun, penggerek batang, penggerek buah, dan Iain sebagainya. Demikian pula dengan jagung,
kedelai, dan tanaman lain yang juga mempunyai beberapa hama utama dan hama minornya.
Diantara beberapa hama dan penyakit tanaman kapas, maka berikut merupakan cara
pengendalian beberapa hama yaitu sebagai berikut:
1)  Pengendalian dengan undang-undang atau peraturan
Salah satu usaha untuk mencegah pemasukan, penyebaran dan meluasnya organisme
pengganggu tanaman berbahaya dari satu daerah ke daerah lainnya atau dari satu Negara ke
Negara lainnya adalah dengan peraturan atau tindakan karantina. Tindakan karantina adalah
tindakan dari pemerintah untuk mencegah masuk atau tersebarnya organisme pengganggu
tanaman berbahaya dengan berdasarkan pertaturan perundang-undangan yang berlaku.
Contoh peraturan tersebut adalah undang-undang no.2 tahun 1961 tentang pengeluaran dan
pemasukan tanaman dan bibit tanaman yang merupakan landasan hukum pelaksanaan
karantina tanaman di Indonesia. Undang-undang karantina bertujuan untuk mencegah
meluasnya hama dan penyakit yang telah diketahui atau mencegah masuknya hama dan
penyakit baru ke dalam suatu daerah atau Negara. Contoh lain dari pengendalian dengan
peraturan adalah dengan peraturan sertifikasi benih dan bibit.
2) Pengendalian secara kultur teknik
Pengendalian kultur teknik adalah pengendalian serangga hama dengan memodifikasi
kegiatan pertanian tertentu agar lingkungan pertanian menjadi tidak menguntungkan bagi
perkembangan serangga hama, tetapi tidak mengganggu persyaratan pertumbuhan tanaman. 
Sebelum melakukan pengendalian kultur teknik ini, maka kita perlu terlebih dahulu
mengetahui cara-cara hidup serangga hama yang akan dikendalikan. Teknik pengendalian ini
adalah dengan membuat atau melakukan cara-cara kultur teknik sedemikian rupa sehingga
serangga hama tidak dapat kesempatan untuk berkembang biak secara maksimal atau tidak
mendapat kesempatan merusak tanaman. Pada prinsipnya usaha yang termasuk dalam
pengendalian secara kultur teknik ini adalah semua cara pengendalian dengan memanfaatkan
lingkungan guna menekan populasi serangga hama. 
Salah satu pengendalian secara kultur teknik adalah sebagai berikut:
i. Penanaman tanaman perangkap
Penanaman perangkap adalah tanaman yang lebih disukai oleh suatu jenis serangga hama
dan ditanam di sekitar atau ditengah-tengah pertanaman (petakan) tanaman utama. Jadi,
fungsi tanaman perangkap adalah untuk menarik serangga hama agar datang dan hanya
menyerang tanaman perangkap dan menjauhi tanaman utama sehingga kerusakan tanaman
utama dapat dikurangi.
Contoh tanaman jagung dipergunakan sebagai tanaman perangkap untuk mengendalikan
serangga hama penggerek kuncup dan buah kapas,
Helicoperva (Heliothis) armigera (Lepidoptera: Noctuidae). Rambut tongkol jagung sangat
menarik ngengat serangga tersebut untuk meletakkan telurnya, sehingga sebagian besar
populasi serangga hama tersebut akan berada pada pertanaman jagung. Jagung ditanam dua
baris diantara 12 baris tanaman kapas yang berjarak 50×50 cm. Agar cara tersebut berhasil,
maka sewaktu tanaman kapas berbunga sampai mulai berbuah, tanaman jagung telah keluar
tongkolnya. Setelah serangga hama ini berkumpul pada tanaman jagung (tanaman
perangkap), segera dibabat agar serangga hama ini tidak kembali lagi ke tanaman kapas
(tanaman utama). Dilaporkan teknik ini dapat mengurangi kerusakan buah kapas sampai 35%
pada umur 75 hari setelah tanam.
Gen Bacillus thuringiensis (transgenik), parasitoid telur (Trichogramma sp.) sebagai
pengendali ulat buah Helicoverpa armigera. Pemanfaatan musuh alami kelompok parasitoid
dan pemangsa Geocoris sp. untuk mengendalikan ulat grayak dan Lalat Tachinid (parasitoid)
untuk mengendalikan ulat buah H. armigera.
ii. Pemakaian varietas tahan
Teknologi lain yang dapat dipakai untuk pengendalian hama adalah pemakaian varietas
tahan. Di Indonesia, varietas tahan yang telah digunakan untuk pengendalian hama wereng
coklat adalah varietas unggul tahan wereng (VUTW). Namun demikian, tidak semua hama
mempunyai varietas tahan dan jika ada sumber plasma nutfah yang mengandung gen tahan
terhadap hama tertentu jumlahnya sangat terbatas. Misalnya pada tanaman padi, hanya gen
tahan wereng coklat dan wereng hijau yang telah diidentifikasi dan dapat digunakan dalam
proses perbaikan tanaman untuk tahan hama, sedangkan hama lainnya seperti penggerek
batang dan hama pemakan daun, sampai saat ini belum ditemukan gen tahan yang dapat
dipakai dalam proses pemuliaan. Demikian juga dengan tanaman lain seperti jagung, kapas,
dan kedelai. Dengan berkembangnya teknologi rekombinan DNA telah membuka pintu untuk
merakit tanaman tahan hama dengan rekayasa genetika.
Teknologi ini mempunyai beberapa kelebihan jika dibandingkan dengan teknologi
konvensional, yaitu:
(1) memperluas pengadaan sumber gen resistensi karena dengan teknologi ini kita dapat
menggunakan gen resisten dari berbagai sumber, tidak hanya dari tanaman dalam satu
spesies tetapi juga dari tanaman yang berbeda spesies, genus atau famili, dari bakteri,
fungi, dan mikroorganisme lain,
(2) dapat memindahkan gen spesifik ke lokasi yang spesifik pula di tanaman,
(3) dapat menelusuri stabilitas gen yang dipindahkan atau yang diintroduksi ke tanaman
dalam setiap generasi tanaman,
(4) dapat mengintroduksi beberapa gen tertentu dalam satu event transformasi sehingga
dapat memperpendek waktu perakitan tanaman multiple resistant,
(5) perilaku dari gen yang diintroduksi di dalam lingkungan tertentu dapat diikuti dan
dipelajari, seperti kemampuan gen tersebut di dalam tanaman tertentu untuk pindah ke
tanaman lain yang berbeda spesiesnya (outcrossing), dan dampak negatif dari gen
tersebut di dalam tanaman tertentu terhadap lingkungan dan organisme bukan target.
Disamping beberapa keuntungan seperti yang telah disebutkan diatas, teknik
pengendalian serangga dengan penggunaan varietas tahan juga memiliki beberapa
kelemahan, yaitu:

 Memerlukan tenaga, waktu dan biaya yang banyak untuk mengembangkannya


 Timbulnya biotipe serangga hama, yakni timbulnya strain serangga hama baru yang
dapat mematahkan ketahanan tanaman sebagai proses koevolusi
 Keterbatasan sumber ketahanan, sebab tidak semua sumber ketahanan  terhadap banyak
jenis serangga hama maupun biotipe serangga hama dapat kita peroleh dari koleksi
plasma nutfah
 Sifat ketahanan yang berlawanan, artinya tanaman memiliki sifat ketahanan terhadap
suatu jenis serangga hama tertentu, akan tetapi peka terhadap jenis serangga hama
lainnya. Misalnya, pada tanaman kapas varietas tertentu terdapat bulu-bulu yang tidak
disukai oleh hama wereng kapas sebagai sumber pakan, tetapi sifat berbulu ini disenangi
oleh beberapa hama seperti Helicoverpa armegera (Lepidoptera: Noctulidae)
 Memerlukan usaha penyuluhan yang sangat insentif dan memakan waktu untuk
memperkenalkan varietas baru kepada petani.
Mekanisme resistensi pada tanaman dapat terjadi melalui tiga hal, yaitu
nonpreferensi,antibiotis dan toleran. Nonpreferensi (ketidaksukaan), menunjukkan sifat
ketahanan yang mengakibatkan serangga hama menjauhi dan tidak menyukai tanaman, baik
sebagai tempat untuk bertelur, makan, ataupun tempat bersembunyi. Ada dua hal yang
medasari ketahanan pada nonpreferensi, yaitu varietas yang tahan mungkin tidak memiliki
suatu sifat atau sifat-sifat yang kuantitatif yang menimbulkan rangsangan yang menyebabkan
serangga hama tertarik, dan varietas yang tahan mungkin memiliki sifat-sifat yang menolak
(repelan) yang menggantikan atau menyaingi atau mengalahkan sifat-sifat yang membuat
hama tertarik.
Antibiotis adalah semua keadaan dimana tanaman tahan memberikan efek yang
merugikan pada kehidupan serangga hama. Apabila suatu jenis serangga hama kita pindahkan
dari tanaman atau varietas yang tidak memiliki antibiotik ke tanaman yang memiliki
antibiotik terlihat terjadinya gejala penyimpangan fisiologis pada serangga hama tersebut.

Toleran adalah kemampuan tanaman untuk tetap hidup dan bertahan pada tingkat
serangan serangga hama tertentu dimana pada tanaman peka biasanya telah mati. Toleransi
lebih diperankan oleh tanaman itu sendiri. Kemampuan suatu varietas untuk tumbuh kembali
mengganti bagian-bagiannya yang telah dimakan atau dirusak, atau memperbaikinya
meskipun diinvestasi oleh sejumlah spesies hama, adalah sifat-sifat toleransi. Sebaliknya,
tanaman yang rentan apabila diinvestasi oleh sejumlah spesies hama yang sama jumlahnya
tidak memiliki kemampuan demikian dan sudah lama mati.    
3) Pengendalian secara mekanik
Pengendalian secara mekanik dilakukan dengan alat, tangan manusia atau bahan lainnya
dengan tujuan mematikan, menghalangi, memindahkan atau menghalau serangga hama. Cara
ini cukup sederhana namun harus dilakukan secara terus menerus. Beberapa teknik
pengendalian secara mekanik yang sering dilakukan dalam pengendalian serangga hama
antara lain:
 Pengambilan telur, larva, nimfa, pupa atau imago serangga hama dengan tangan,
kemudian membunuhnya. Cara ini hanya dilakukan pada areal yang terbatas dan bila
tersedia cukup tenaga.
 Penggunaan perangkap. Serangga hama diperangkap dengan berbagai jenis perangkap
yang dibuat sesuai dengan jenis serangga hama dan fase hama yang akan ditangkap.
Ada juga perangkap yang menggunakan zat kimia sebagai penarik (atraktan) atau
sebagai cairan pembunuh serangga. Misalnya, perangkap lalat buah, Bactrocera spp.
(Diptera: Tephritidae) diberi zat penarik yang berupa feromon atraktan
“metileugenol”. Senyawa ini memiliki aroma khas yang bersifat sebagai pemikat yang
sangat kuat terhadap lalat buah jantan. Setelah lalat buah jantan terkumpul, kemudian
dibinasakan atau metileugenol tersebut dicampur dengan insektisida kontak sehingga
dapat langsung membunuh lalat jantan yang menyentuhnya.
 Memotong atau menghilangkan bagian tanaman yang terserang serangga hama untuk
menghilangkan sumber infeksi.
4) Pengendalian secara kimiawi
Teknologi yang sampai saat ini sering dipakai untuk pengendalian hama adalah
pemakaian insektisida. Teknologi ini merupakan teknologi yang populer karena efeknya
dapat dilihat dalam waktu tidak lama setelah aplikasi dan mudah diperoleh bila diperlukan.
Namun teknologi ini relatif mahal terutama bagi petani di negara yang sedang berkembang.
Di samping itu, teknologi insektisida berbahaya bagi manusia, hewan, dan spesies bukan
sasaran serta lingkungan jika dilakukan tidak sesuai dengan prosedur. Penggunaan pestisida
secara tidak bijaksana dapat menimbulkan persoalan (1) hama resisten, (2) petani keracunan
pestisida, (3) residu pestisida pada hasil pertanian, (4) pengrusakan pada agen pengendali
hayati dan serangga polinator, (5) polusi pada air tanah, dan (6) menurunkan biodiversitas
serta mempunyai pengaruh negatif pada hewan bukan target termasuk mamalia, burung, dan
ikan.
Selain itu pula, Pemerintah menganjurkan pengendalikan dilakukan dengan pendekatan
pengendalian hama terpadu. Yaitu menekankan pada penggunaan bahan non kimiawi,
melalui pemanfaatan agensia hayati. Memang, cara ini tidak secepat dan setuntas bila
dibandingkan denga racun pestisida. Hanya saja harga pestisida jauh lebih mahal ketimbang
menggunakan musuh alami dari hama maupun penyakit yang menyerang kapas. Jadi, kalau
masih menguntungkan, penggunaan pestisida bisa dilakukan. Pengendalian dengan pestisida
maupun varietas tahan (tradisional maupun transgenik) mengalami permasalahan, yaitu
resistensi serangga hama terhadap bahan aktif baik di pestisida maupun dalam tanaman.
Resistensi adalah suatu proses di rnana populasi hama terseleksi dan setelah beradaptasi,
dapat hidup dan berkembang biak jika dihadapkan pada suatu jenis pestisida atau tanaman
tahan di mana terjadinya proses seleksi dan adaptasi tersebut. Untuk mengendalikan populasi
hama tanaman yang telah resisten terhadap pestisida maupun varietas tahan, selain sulit, juga
memerlukan biaya yang besar. Resistensi hama mempunyai basis genetik, lingkungan, dan
faktor ekologi yang mempengaruhi perkembangan resistensi tersebut. Resistensi ini
seyogyanya dapat dikendalikan dengan manajemen resistensi yang sesuai. 
Pada saat ini, lebih dari 40 tanaman transgenik telah dilepas secara komersial di
dunia. Jumlah ini akan terus meningkat pada tahun-tahun rnendatang. Pengalaman
membuktikan bahwa hama serangga dapat beradaptasi dengan faktor resisten, sehingga
perhatian akan perkembangan serangga menjadi resisten dan cara untuk mengontrol resistensi
tersebut harus diperhatikan secara serius. Masalah yang disebabkan oleh daya adaptasi
serangga terhadap pestisida dan varietas tahan, baik yang dibuat secara konvensional maupun
dengan rekayasa genetika dapat menyebabkan biaya yang tinggi. Biaya ini dapat berupa
hilangnya kepercayaan masyarakat petani pada pemerintah/perusahaan penghasil benih dan
lembaga terkait lainnya dan dapat menyebabkan masa pakai/jual yang pendek terhadap
produk yang dihasilkan.

2.3 Cara Hidup dan Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Hama Tanaman Kapas
(Helicoverpa armigera)
Helicoverpa armigera merupakan family Noctuide. Telur berwarna putih kemudian
berubah menjadi coklat. Larva terdari dari enam instar. Instar pertama berukuran 1-3 mm
dengan warna kepala coklat kehitaman atau kuning keputihan. Tubuh berwana gelap. Instar
kedua memilki panjang 4-7 mm, instar tiga 8-13 mm, instar empat 14-23 mm, instar lima 24-
28 mm, dan instar enam 29-30+ mm. Pupa berwarna coklat dan berbentuk oval . Imago
memilki rentang sayap 30-45 mm,sayap depan berwarna coklat atau coklat kemerahan. Sayap
belakang berwarna pucat dengan margin terluar gelap.
Ngengat betina muncul sehari lebih dahulu dari pada ngengat jantan. Ngengat jantan
mudah dibedakan dari ngengat betina karena ngengat betina mempunyai pola bercak-bercak
berwarna pirang tua, sedang ngengat jantan tidak mempunyai pola seperti itu. Nisbah kelamin
jantan dan betina 1 : 1. Daur hidup H. armigera dari telur hingga ngengat mati berkisar antara
52 - 58 hari.
Ngengat betina meletakkan telur satu persatu pada pucuk daun, sekitar bunga dan
cabang. Telur berbentuk bulat dan berwarna putih agak kekuning-kuningan, kemudian
berubah menjadi kuning tua dan ketika akan menetas terlihat adanya bintik hitam. Stadium
telur berkisar antara 10 - 18 hari dan persentase penetasan telur berkisar 63 - 82 persen.
Stadium larva berkisar antara 12 - 23 hari.  Ketika baru keluar dari telur, larva  berwarna
kuning  muda  dan  tubuhnya  berbentuk  silinder.  Larva muda kemudian berubah warna dan
terdapat variasi warna dan pola antar sesama larva.  Larva  H. armigera  terdiri  dari  lima
instar,  instar  pertama, kedua, ketiga, keempat dan kelima, masing-masing berumur 2 - 3
hari, 2 - 4 hari 2 - 5 hari, 2 - 6 hari dan 4 - 7 hari.
Pupa dibentuk di dalam tanah. Pupa yang baru terbentuk berwarna kuning, kemudian
berubah kehijauan dan akhirnya berwarna kuning kecoklatan. Lama stadium pupa 15 - 21
hari. Hama ulat buah tersebut menyebar di daerah sentra produksi tomat di Sumatera, Jawa
dan Sulawesi.
Suhu optimum H.armigera adalaah 25ºC. H.armigera meletakan telur pada daun dan
bunga secara sendiri-sendiri atau berkelompok. Setelah 4-6 hari telur menetas. Larva
memakan daun, dan buah. Stadia larva berlangsung selama 14 hari yang terdiri dari enam
larva. Larva yang menyerang buah cabai menggorok ke dalam buah. Setelah itu larva menuju
tanah den masuk ke dalam tanah sedalam 10 cm. Stadia pupa berlangsung selama 10-12 hari.
Imago mampu hidup selama 10 hari. H.armigera dapat meletakan 1000 telur selama
hidupnya. Imago mengkonsumsi nektar untuk kebutuhan pakannya.
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

Ahuja, S.L., S.K. Banerjee, S. Jagmail , and J. Singh . 1998. Genotype vs environment


interaction of morphotypes in cotton (Gossypium hirsutum L.). India J.Agric.
Res. 32: 93-100.

Depermana Yoga. 2012.Entomology. https://yogadpermana. wordpress.com/ category/


entomology/. Diakses pada 26 September 2016 pukul 22.56 WITA

Driska. 2011. Perlindungan Hama Terpadu. http://driska-yuki.blogspot.co.id/


2011/02/perlindungan-hama-terpadu.html. Diakses pada 25 September 2016 pukul
22.54 WITA

Ghaida Mubqi. 2011. Helicoverpa armigera. http://dr-plant. blogspot.co.id/


2011/09/helicoverpa- armigera.html. Diakses pada 26 September 2016 pukul 22.14
WITA

H. Simanjuntak, BSc, SH, Msi., 2000, Musuh alami dan hama pada kapas, Proyek
Pengendalian Hama Terpadu Perkebunan Rakyat, Direktorat Proteksi Tanaman
Perkebunan, Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Jakarta.

Hardiyanti Siti. 2013. Konsep Pengendalian Hama Terpadu. https:// hardiyanti1992.


wordpress.com/ 2013/12/25/konsep-pengendalian-hama-terpadu/. Diakses pada
25 September 2016 pukul 22.30 WITA

Kalshoven. L.G.E. 1981. Pest of Crops in Indonesia. PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta.

Li-feng, W.U., Cai-Quingnian , and Zhang-Qingwen . 1997. The resistance of cotton lines


with different morphological characteristics and their F1 hybrids to cotton
bollworm. Acta Entomologica-Sanica, 40: 102-109.

Parker, B. 1995. Insect Pests of Selected Vegetables in Tropical and Subtropical Asia.


Parrot, W.L., J.N. Jenkis , and D.B. Smith . 1973. Frego bract cotton and normal bract
cotton. How morphology affects control of boll weevils by insecticides. J. Econ.
Entomol. 66: 222-225.

Yuerno Teguh. 2015. Nama Latin Tanaman Kapas.http:// namalatins. blogspot.com/


2015/04/nama-latin-tanaman-kapas-klasifikasi.html. Diakses pada 25 September
2016 pukul 23.21 WITA

Anda mungkin juga menyukai