Anda di halaman 1dari 28

PENGENDALIAN HAYATI

“JAMUR”

Tugas mata kuliah: Pengelolaan Terpadu OPT

Dosen Pengampu: Ir. Hj. Sopialena, MP, Ph.D

Disusun Oleh:

Nama: Aminah Nor Safitri

NIM: 2203016073

JURUSAN AGROEKOTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS MULAWARMAN

SAMARINDA
2023
DAFTAR ISI

I PENDAHULUAN

I.I Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan

II TEKNIK PENGENDALIAN

2.1 Karakteristik Jamur

2.2 Perkembangan Bioteknologi dalam Pemanfaatan Jamur untuk Pengendalian Hayati

III PENELITIAN-PENELITIAN

3.1 Uji Antagonis Jamur Endofit Terhadap Patogen Sclerotium rolfsii Sacc. Penyebab
Penyakit Busuk Batang Pada Tanaman Kacang Tanah

3.2 UJI EFEKTIVITAS JAMUR ENTOMOPATOGEN TERHADAP LARVA


PENGGEREK BATANG KELAPA SAWIT (Oryctes rhinoceros L.) DI LABORATORIUM

3.3 POTENSI PENGENDALIAN HAYATI HAMA SPODOPTERA FRUGIPERDA


UNTUK KEBERLANJUTAN PRODUKSI JAGUNG

3.4 PENGGUNAAN JAMUR DAN BAKTERI DALAM PENGENDALIAN PENYAKIT


TANAMAN SECARA HAYATI YANG RAMAH LINGKUNGAN

3.5 SELEKSI DAN IDENTIFIKASI JAMUR ANTAGONIS SEBAGAI AGENS HAYATI


JAMUR AKAR PUTIH (Rigidoporus microporus) PADA TANAMAN KARET

3.6 PEMANFAATAN PESTISIDA NABATI DAN AGENSIA HAYATI UNTUK


PENGENDALIAN PENYAKIT BUSUK JAMUR AKAR PUTIH PADA JAMBU METE

3.7 Potensi Jamur Perakaran sebagai Agens Pengendalian Hayati Penyakit Moler (Fusarium
oxysporum f.sp. Cepae) pada Bawang Merah

3.8 MEKANISME ANTAGONISME Trichoderma spp. TERHADAP BEBERAPA


PATOGEN TULAR TANAH
3.9 UJI INVITRO DAYA HAMBAT CENDAWAN ENDOFIT ASAL TUMBUHAN
RAMBUSA (Passiflora foetida) SEBAGAI AGENS PENGENDALI HAYATI PENYAKIT
LAYU FUSARIUM

3.10 APLIKASI Trichoderma sp. DALAM MENEKAN PENYAKIT MOLER PADA


TANAMAN BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.)

3.11 Uji Antagonisme Jamur Trichoderma sp. Terhadap Patogen Fusarium sp. Pada Tanaman
Bawang Merah Allium cepa Isolat Lokal Tonsewer Secara In vitro

3.12 UJI ANTAGONISME Trichoderma spp. TERHADAP Ganoderma sp. YANG


MENYERANG TANAMAN SENGON SECARA IN-VITRO

IV KESIMPULAN

V DAFTAR PUSTAKA
I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pertumbuhan dan produktivitas tanaman sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor,


termasuk ketersediaan hara dan air di tanah, praktik pemeliharaan, kondisi lingkungan seperti
cahaya, suhu, tingkat keasaman tanah, serta upaya pengendalian hama dan penyakit. Untuk
dianggap sehat, tanaman harus mampu menjalankan fungsi-fungsi fisiologisnya dengan baik.
Ini mencakup proses seperti pembelahan sel yang normal, diferensiasi, penyerapan bahan
hara dan air dari tanah, serta pengiriman mereka ke berbagai bagian tanaman, proses
fotosintesis, dan distribusi produk fotosintesis, serta perkembangan lainnya (Agrios, 1997).

Dalam proses pertumbuhan tanaman, sering kali muncul gangguan penyakit, baik
mulai dari tahap benih hingga tanaman tumbuh di lapangan. Ketika tanaman terpengaruh oleh
patogen atau kondisi lingkungan yang tidak mendukung pertumbuhannya, maka tanaman
dapat mengalami ketidaknormalan dalam proses fisiologinya, yang kemudian dianggap
sebagai penyakit. Penyakit ini muncul ketika terjadi interaksi antara tanaman, lingkungan,
dan patogen. Tanaman yang rentan akan penyakit jika terinfeksi oleh patogen yang kuat dan
didukung oleh kondisi lingkungan yang menguntungkan patogen tersebut. Jika kondisi
lingkungan terus menguntungkan pertumbuhan patogen, maka serangan penyakit di area
tersebut akan menjadi cukup serius. Umumnya, petani sering menggunakan pestisida kimia
untuk mengatasi penyakit karena pestisida kimia dapat memberikan hasil yang cepat dan
terlihat secara nyata.

Namun saat ini, kesadaran masyarakat global terhadap bahaya penggunaan bahan
kimia secara berkelanjutan semakin meningkat. Orang semakin bijak dalam memilih
makanan yang aman bagi kesehatan dan lingkungan. Gaya hidup sehat telah menjadi tren dan
kebutuhan sehari-hari. Kesadaran ini telah membuat orang menyadari dampak negatif dari
penggunaan pestisida kimia, meskipun belum sepenuhnya menghentikannya (Anonimous,
2002). Pemerintah dan masyarakat harus memberikan perhatian khusus pada penerapan
teknologi pertanian yang ramah lingkungan untuk membangun pertanian yang sehat dan
berkelanjutan. Dalam konsep pengendalian penyakit tanaman, ada dua strategi utama yang
dikembangkan: mengurangi jumlah inokulum awal dan mengurangi tingkat infeksi.
Pendekatan pengendalian penyakit tanaman dengan menggunakan metode biologis
memiliki peran yang sangat penting. Ini karena metode ini mampu mengendalikan
pertumbuhan patogen dalam jangka waktu yang cukup lama, tanpa menimbulkan risiko bagi
tanaman atau ekosistem.

Pengendalian hayati adalah upaya mengatur populasi organisme dengan bantuan


musuh alaminya sehingga tingkat kepadatan rata-rata organisme tersebut tetap rendah
dibandingkan dengan yang tidak memiliki pengendali alami. Dalam konteks manusia, musuh
alam ini dimanfaatkan untuk mengendalikan hama, sehingga fluktuasi kepadatan rata-rata
populasi tanaman selalu berada pada tingkat yang rendah. Musuh alam ini mencakup
berbagai jenis, seperti predator, parasitoid, patogen serangga (seperti virus, bakteri, jamur,
nematoda), dan vertebrata (seperti mamalia, burung, amfibi, ikan). Penggunaan jamur adalah
salah satu alternatif untuk mengurangi ketergantungan pada pestisida. Organisme biologis
atau musuh alami yang dapat digunakan sebagai agen pengendalian hayati, seperti predator,
parasitoid, patogen, atau antagonis, telah dikenal sebagai bagian penting dari pendekatan
pengendalian hama dan penyakit yang terpadu. Pendekatan pengendalian ini semakin
berkembang sejalan dengan meningkatnya perhatian masyarakat terhadap kesehatan dan
pelestarian lingkungan. Agen biologis diakui sebagai alternatif untuk mengurangi
ketergantungan pada pestisida.

Pemanfaatan jamur sebagai agen biokontrol telah luas diterapkan dan memiliki
potensi yang baik. Contohnya, Trichoderma sp. Digunakan sebagai jamur antagonis untuk
mengendalikan Ganoderma sp. Serta sebagai musuh alami untuk Fusarium sp. Dan
Collectotrichum sp. Sementara itu, Beauveria bassiana digunakan sebagai jamur patogenik
untuk mengatasi hama serangga.

Meskipun pengendalian hayati memiliki potensi besar, masih sedikit petani dan
masyarakat yang menerapkannya. Pestisida tetap menjadi kebutuhan penting dalam upaya
mengendalikan serangga hama dalam pertanian. Pestisida adalah senyawa kimia yang sering
digunakan untuk menghilangkan gangguan seperti gulma, serangga, jamur, dan hama pada
tanaman dengan tujuan untuk mendapatkan hasil yang optimal. Penggunaan pestisida yang
tidak bijaksana dapat menimbulkan berbagai dampak negatif, baik pada manusia maupun
lingkungan.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana efektivitas penggunaan jamur sebagai agen pengendalian hayati dalam
mengatasi hama tanaman dan penyakit tanaman, serta apa dampaknya terhadap produktivitas
pertanian dan kelestarian lingkungan?

1.3 Tujuan

Tujuan dari penyusunan makalah ini antara lain:

1. Menilai efektivitas jamur sebagai agen pengendalian hayati dalam mengendalikan


hama dan penyakit tanaman.
2. Menganalisis dampak penggunaan jamur sebagai alternatif pengendalian terhadap
kesehatan manusia dan lingkungan.
3. Mengukur kontribusi pengendalian hayati menggunakan jamur terhadap peningkatan
produktivitas pertanian secara berkelanjutan.
4. Mengevaluasi keberlanjutan penggunaan jamur sebagai agen pengendalian hayati
dalam jangka panjang.
5. Mencari cara-cara peningkatan efisiensi dan penerapan praktis dari metode
pengendalian hayati menggunakan jamur di sektor pertanian.
II

TEKNIK PENGENDALIAN HAYATI

2.1 Karakteristik Jamur

Jamur adalah organisme heterotrof, artinya mereka tidak dapat membuat makanan
mereka sendiri. Namun, berbeda dengan hewan, jamur tidak mencerna makanannya. Mereka
menyerap nutrisi dari lingkungan sekitarnya. Dalam ekosistem, jamur memiliki peran sebagai
dekomposer, parasit, dan berpartisipasi dalam hubungan mutualisme. Sebagai dekomposer,
jamur menguraikan dan menyerap nutrisi dari benda mati dan sisa-sisa organik. Ketika
berperan sebagai parasit, mereka menyerap nutrisi dari inang yang masih hidup. Fungsi
mutualisme mengharuskan jamur dan inangnya untuk saling menguntungkan dalam
pertukaran nutrisi. Struktur tubuh jamur paling umum adalah bentuk filamen multiselular dan
sel tunggal seperti khamir atau ragi.

Gambar 1. Jenis Jamur: 1) uniseluler/khamir, 2) multiseluler/kapang, 3) multiseluler/jamur


https://www.utakatikotak.com/Bentuk-dan-Struktur-Jamur/kongkow/detail/15979

Jamur umumnya memiliki struktur tubuh yang terdiri dari serangkaian benang kecil
yang disebut hifa. Setiap hifa memiliki dinding sel yang berbentuk tabung yang melingkupi
selaput plasma dan sitoplasma di dalam selnya. Tidak seperti dinding sel tumbuhan yang
mengandung selulosa, dinding sel jamur diperkuat oleh kitin. Kumpulan hifa ini membentuk
massa yang bersilangan dan saling terhubung yang disebut miselium, yang memiliki peran
penting dalam menyebar ke lingkungan sekitarnya dan menembus inangnya.

Perlu dicatat bahwa jamur tidak memiliki kemampuan bergerak untuk mencari
makanan mereka; sebaliknya, mereka memanfaatkan hifa dengan merambat ke daerah-daerah
tertentu. Beberapa jenis fungi memiliki hifa yang sangat terspesialisasi, yang memungkinkan
mereka menyerap nutrisi dari tubuh hewan hidup. Sebagai contoh, dalam kasus Arthrobotrys,
suau jenis fungi tanah, hifa dapat berubah menjadi lingkaran dan menangkap nematoda
(cacing gilig) dengan sangat cepat, dalam waktu kurang dari satu detik. Spesies fungi lainnya
memiliki hifa terspesialisasi yang disebut haustoria, yang digunakan untuk mengekstraksi
nutrisi dari inangnya atau melakukan pertukaran nutrisi dengan inang tersebut.

2.2 Perkembangan Bioteknologi dalam Pemanfaatan Jamur untuk Pengendalian Hayati

Penerapan pengendalian hayati skala besar pertama yang berhasil dengan


menggunakan konidiospora dari jamur Metarhizium anisopliae tercatat di Ukraina, di mana
jamur ini digunakan untuk melawan kumbang penggerek pada tahun 1897. Pada periode yang
sama, seorang ilmuwan Rusia memanfaatkan Metarhizium anisopliae untuk mengendalikan
Anisoplia austriaca. Berdasarkan penelitian laboratorium dan lapangan, terbukti bahwa
Jamur Entomo Patogenik (EPF) memiliki potensi untuk memberikan pengendalian yang
efektif dan aman terhadap berbagai hama serangga (El ghani, 2018).

Dalam 50 tahun terakhir, bidang kontrol mikroba terhadap hama dan penyakit
tanaman telah mengalami kemajuan signifikan, dengan hasil yang terlihat jelas dalam kondisi
laboratorium yang dioptimalkan. Pada tahun 1890, Konstantinus dan Matruchot berhasil
mengembangkan keturunan kultur murni dari jamur, dan ilmuwan Duggar melanjutkan
pekerjaan ini pada tahun 1905 dengan berhasil menciptakan pertumbuhan baru dari sampel
jaringan jamur dewasa. Ini membuka jalan bagi perkembangan bioteknologi jamur di masa
mendatang. Selain itu, genus jamur seperti Penicillium ditemukan sebagai sumber antibiotik.
Pada tahun 1890-an, seorang ahli kimia bernama Eduard Buchner menemukan bahwa ragi
bisa digunakan untuk memicu fermentasi gula. Pada abad ke-20, bioteknologi molekuler
jamur mulai digunakan untuk menghasilkan molekul yang diinginkan. Beberapa hasil penting
termasuk penemuan antibiotik baru dan peningkatan hasil produksi jamur tertentu. Jamur
sebagai agen pengendalian hayati mampu melawan dan mengendalikan organisme lain, dan
berikut ini akan diuraikan beberapa pemanfaatan penting dari jamur dalam peran ini.

1. Kontrol Arthropoda dengan Menggunakan Jamur:

Serangga, yang merupakan bagian dari kelas Arthropoda, memiliki peran penting dalam
beragam ekosistem. Namun, beberapa serangga dapat menjadi hama yang merusak tanaman.
Dalam upaya pengendalian biologis, jamur entomopatogenik digunakan untuk menginfeksi
dan menyebabkan penyakit pada serangga dan Arthropoda lainnya. Jamur entomopatogenik
yang paling umum digunakan termasuk Metarhizium anisopliae dan Beauveria bassiana.
Proses infeksi dimulai dengan pelepasan spora aseksual yang, setelah menginfeksi inangnya,
berkembang menjadi hifa dan akhirnya menghasilkan spora baru.
2. Pendekatan Tradisional dan Baru dalam Aplikasi Jamur Entomopatogenik:

Penggunaan jamur entomopatogenik dapat dilakukan melalui dua pendekatan berbeda.


Pendekatan tradisional melibatkan pelepasan spora jamur langsung ke lingkungan yang
menginfeksi hama target, sedangkan dalam pendekatan baru, spora jamur dilekatkan pada
serangga penyerbuk (vector) yang tidak rentan. Vector kemudian dilepaskan di lapangan, di
mana mereka menularkan jamur kepada hama target melalui kontak dengan tanaman yang
telah diinfeksi oleh vector.

3. Pengendalian Patogen Tanaman dengan Jamur:

Jamur juga dapat berperan sebagai antagonis terhadap patogen tanaman. Mereka
menggunakan berbagai mekanisme, seperti produksi senyawa metabolit (seperti antibiotik),
kompetisi untuk sumber daya, parasitisme, atau bahkan meningkatkan respons pertumbuhan
tanaman inang. Salah satu contohnya adalah genus Trichoderma, yang dikenal karena
kemampuannya dalam melawan patogen tanaman. Mereka mampu menghambat
pertumbuhan patogen seperti Rhizoctonia solani yang menyebabkan penyakit pada berbagai
tanaman.

4. Pengendalian Hayati dengan Jamur dalam Konteks Teknologi Modern:

Penggunaan jamur dalam pengendalian hayati dapat ditingkatkan dengan menerapkan


teknologi modern, seperti modifikasi genetik. Teknik seperti fusi protoplas dan rekayasa
genetika memungkinkan peningkatan kinerja jamur entomopatogenik. Misalnya, dengan
modifikasi genetik, jamur seperti Beauveria bassiana dapat menghasilkan varietas yang lebih
efektif dalam mengendalikan hama seperti Ostrinia nubalis atau bahkan mengurangi
penyebaran penyakit malaria melalui vektor Anopheles gambiae. Teknik ini membuka
potensi baru dalam pengendalian hayati menggunakan jamur.
III

PENELITIAN-PENELITIAN

3.1 Uji Antagonis Jamur Endofit Terhadap Patogen Sclerotium rolfsii Sacc. Penyebab
Penyakit Busuk Batang Pada Tanaman Kacang Tanah

Penyakit yang signifikan dalam pertanaman kacang tanah adalah penyakit busuk
batang yang disebabkan oleh Sclerotium rolfsii. S. rolfsii adalah patogen yang menular
melalui tanah, dan dapat mengakibatkan penurunan hasil panen serta kerugian dalam
produksi polong. Umumnya, pengendalian penyakit tanaman seperti ini melibatkan
penggunaan fungisida kimia. Namun, penggunaan bahan kimia dalam pengendalian penyakit
tanaman semakin dihindari karena dampak negatifnya terhadap lingkungan.
Salah satu alternatif untuk mengendalikan penyakit pada tanaman kacang tanah adalah
dengan menggunakan agen hayati, seperti jamur endofit yang ada di dalam jaringan tanaman.
Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengidentifikasi jamur endofit yang memiliki potensi
sebagai agen antagonis dan untuk memahami mekanisme di balik kemampuan jamur endofit
tersebut dalam menghambat pertumbuhan jamur S. rolfsii.

Metode penelitian melibatkan eksplorasi jamur endofit, isolasi jamur patogen,


identifikasi jamur patogen, uji postulat Koch, uji antagonis, uji mekanisme antagonis, serta
analisis data. Hasil penelitian menunjukkan adanya 28 isolat jamur endofit yang
diidentifikasi. Selanjutnya, dilakukan pengujian antagonis, dan isolat Trichoderma spp.
menunjukkan tingkat penghambatan sebesar 90,24%. Selain itu, hasil pengamatan juga
mengungkapkan bahwa mekanisme antagonis yang terjadi adalah berupa mikoparasitisme.
Dalam proses ini, hifa dari jamur Trichoderma spp. akan mengkolonisasi hifa dari S. rolfsii,
menyebabkan kerusakan pada hifa tersebut seperti lisis, dan mengubah pertumbuhan hifa
menjadi abnormal dan berbentuk keriting.
Kesimpulan:
Dari pertanaman kacang tanah yang sehat, kami melakukan eksplorasi untuk mengisolasi
jamur endofit dan berhasil mendapatkan 28 isolat jamur endofit. Ketika kami melakukan uji
antagonis dengan jamur S. rolfsii, kami menemukan bahwa isolat jamur Trichoderma spp.
memiliki tingkat penghambatan tertinggi, mencapai 90,24%. Mekanisme antagonis yang
digunakan oleh Trichoderma spp. dalam mengontrol S. rolfsii adalah melalui
mikoparasitisme.
Dalam uji in vitro, kami mengamati bahwa hifa dari Trichoderma spp. mengkolonisasi hifa
dari S. rolfsii, yang mengakibatkan kerusakan pada hifa S. rolfsii, termasuk lisis, dan
menyebabkan pertumbuhan hifa S. rolfsii menjadi tidak normal.

3.2 UJI EFEKTIVITAS JAMUR ENTOMOPATOGEN TERHADAP LARVA


PENGGEREK BATANG KELAPA SAWIT (Oryctes rhinoceros L.) DI
LABORATORIUM

Kelapa sawit, yang memiliki nama ilmiah Elaeis guineensis Jacq., adalah jenis
tanaman perkebunan yang tumbuh dalam bentuk pohon berbatang lurus. Tanaman ini
termasuk dalam keluarga Arecaceae dan subfamili Cocoideae. Salah satu masalah yang
sering dihadapi dalam pertanian kelapa sawit adalah serangan oleh kumbang tanduk (Oryctes
rhinoceros), yang merusak batang tanaman. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi
efektivitas cendawan entomopatogen dalam mengendalikan larva kumbang tanduk pada
kelapa sawit (O. rhinoceros L.).

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 9 kelompok


perlakuan dan masing-masing kelompok diulang sebanyak 3 kali. Perlakuan yang digunakan
melibatkan berbagai dosis cendawan entomopatogen, yaitu

M0 = kontrol tanpa perlakuan

M1 = M. anisopliae dengan dosis 5 g per tanaman

M2 = M. anisopliae dengan dosis 10 g per toples

M3 = M. anisopliae dengan dosis 15 g per toples

M4 = M. anisopliae dengan dosis 20 g per toples

serta B1 = B. bassiana dengan dosis 5 g per toples

B2 = B. bassiana dengan dosis 10 g per toples

B3 = B. bassiana dengan dosis 15 g per toples, dan

B4 = B. bassiana dengan dosis 20 g per toples.

Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah persentase mortalitas larva O.
rhinoceros dan gejala serangan yang ditunjukkan oleh larva yang terinfeksi cendawan
entomopatogen.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase mortalitas larva O. rhinoceros paling
tinggi tercapai pada perlakuan M4 dan B4, yaitu mencapai 100% dan 93,33% setelah 12 hari
pengamatan. Gejala kematian larva ini tampak dari perubahan warna larva yang awalnya
menjadi pucat, kemudian berubah menjadi coklat atau hitam. Setelah larva mati, mereka
mengeras dan menyerupai mumi dengan ukuran yang lebih kecil di bagian posteriornya.

Kesimpulan:

1. Persentase Kematian Larva O. rhinoceros pada pengamatan setelah 12 hari paling tinggi
terjadi pada perlakuan M4, mencapai 100%, dan perlakuan B4 dengan 93,33%.
2. Gejala kematian larva O. rhinoceros ditandai dengan perubahan warna tubuh larva yang
awalnya pucat secara merata, kemudian berubah menjadi coklat atau hitam. Setelah larva
mati, mereka mengeras dan menyerupai mumi dengan bagian posterior yang mengecil.
3.3 POTENSI PENGENDALIAN HAYATI HAMA SPODOPTERA FRUGIPERDA
UNTUK KEBERLANJUTAN PRODUKSI JAGUNG

Potensi Pengendalian Hayati pada Serangan Ulat Grayak (Spodoptera frugiperda)


pada Tanaman Jagung yang Berkelanjutan. Ulat grayak (Spodoptera frugiperda), yang
dikenal merusak tanaman jagung, merupakan salah satu hama invasif yang menjadi perhatian.
Ulat grayak (S. Frugiperda) merusak tanaman jagung dengan mengkonsumsi jaringan daun
dari satu sisi, membuat lubang pada daun, dan memakan daun dari tepi ke dalam,
mengakibatkan daun berlubang. Penggunaan insektisida dalam upaya pengendalian menjadi
tidak praktis karena perilaku makan larva instar kedua dan ketiga yang terlindungi di dalam
daun.

Oleh karena itu, perlu dicari metode pengendalian lain yang bersifat ramah
lingkungan dan mempertimbangkan aspek ekonomi dan ekologi, yaitu melalui pengendalian
hayati. Pengendalian hayati melibatkan pemanfaatan musuh alami sebagai agen pengendali
hayati untuk mengelola populasi hama, yang merupakan bagian penting dalam ekosistem
pertanian. Dalam upaya mengendalikan hama S. frugiperda pada tanaman jagung,
penggunaan musuh alami seperti parasitoid telur Telenomus sp. dan Trichogramma sp.,
parasitoid larva seperti Glyptapanteles creatonoti (Viereck) dan Campoletis chlorideae
Uchida, serta patogen entomopatogen seperti Nomuraea rileyi (Farl.) Samson, telah terbukti
efektif.

Pemanfaatan musuh alami ini membantu mengurangi ketergantungan pada pestisida


sintetik dan menjaga hasil panen jagung yang berkelanjutan, sesuai dengan prinsip-prinsip
pertanian berkelanjutan. Dalam konteks pertanian berkelanjutan, langkah-langkah
agroekologi juga diterapkan untuk mengurangi populasi S. frugiperda pada tanaman jagung,
termasuk pengelolaan kesuburan tanah yang berkelanjutan dengan mempertimbangkan
simpanan karbon organik, penggunaan tumpang sari tanaman yang tepat, dan diversifikasi
lingkungan pertanian melalui pengelolaan habitat (semi) alami pada berbagai skala spasial.

SIMPULAN

Penggunaan pengendalian hayati dengan memanfaatkan musuh alami seperti parasitoid,


predator, dan patogen telah terbukti efektif dalam mengendalikan perkembangan hama
Spodoptera frugiperda pada tanaman jagung. Keberhasilan pengendalian ini dipengaruhi oleh
sejumlah faktor, termasuk faktor internal dan eksternal yang saling berinteraksi. Penggunaan
musuh alami ini memiliki dampak positif secara ekonomi, ekologis, dan sosial dalam konteks
produksi jagung yang berkelanjutan.

3.4 PENGGUNAAN JAMUR DAN BAKTERI DALAM PENGENDALIAN


PENYAKITTANAMAN SECARA HAYATI YANG RAMAH LINGKUNGAN

Rendahnya produktivitas dalam pertanian di negara kita seringkali disebabkan oleh


serangan penyakit tanaman. Untuk mengatasi masalah ini, pengendalian penyakit tanaman
biasanya dilakukan dengan pestisida kimia. Namun, penggunaan berlebihan pestisida
memiliki dampak negatif terhadap lingkungan. Kini, kesadaran tentang dampak negatif dari
penggunaan pestisida semakin meningkat, termasuk risiko residu berbahaya bagi kesehatan
manusia. Oleh karena itu, program pengendalian hama dan penyakit terpadu telah menjadi
strategi penting untuk mencapai tujuan pemerintah dalam menjaga lingkungan, sumber daya
alam, dan produksi pangan yang aman.

Pendekatan pengendalian hama dan penyakit secara hayati telah menjadi fokus,
menggantikan penggunaan bahan kimia berlebihan. Penggunaan agen hayati, terutama jamur
dan bakteri, telah banyak dikembangkan sebagai alternatif yang efektif. Pendekatan ini tidak
hanya efektif dalam mengendalikan patogen tanaman, tetapi juga lebih ramah lingkungan.
Agensia hayati seperti jamur dan bakteri memiliki banyak keunggulan, seperti dapat
ditemukan dengan mudah, mencegah ledakan serangan sekunder organisme pengganggu
tanaman, menghasilkan produk tanaman bebas dari residu pestisida, mengurangi
ketergantungan petani pada pestisida sintetis, menghemat biaya produksi, aman bagi
kesehatan manusia, dan ramah lingkungan.

Beberapa Agensia hayati

Agensia hayati Nama Ilmiah Mekanisme Pengendalian


Jamur Trichoderma viride, T. Mikoparasit, pesaing,
harzianum,T. koningii, T. antibiotik dan enzimatik
hamatum, T. Pseudokoningii

Penicillium sp Peniophora Pesaing dan antibiosis.


gigantean

Mikoparasit
Phytium oligandrum Pesaing,proteksi silang
Sporodesmium dengan
sclerotivorumGliocladium
virens
Jenis Fusarium yang tidak
Laccaria laccata Lactarius
sp
Virulen

Fusarium solani, F.
Oxysporum
Mikoparasit

Ampelomyces quisqualis
Bakteri Bacillus cereus, B. subtilis, Antibiosis
B.pumilus, Erwinia
herbicola
Pesaing, Antibiosis dan
Pseudomona s sp
Steptomyces praecox, S. kolonisasi

griseus

Kemampuan jamur untuk menetap di lingkungan tertentu, seperti tanah atau


permukaan bagian tanaman, seringkali dipengaruhi oleh interaksi kompleks dengan mikro-
organisme lainnya. Beberapa jamur memiliki hubungan antagonis dengan mikro-organisme
lain, yang membuat mereka menjadi agensia hayati yang potensial. Contoh jamur-jamur yang
memiliki sifat antagonis ini termasuk Trichoderma spp, Penicillium spp, dan Gliocladium.
Jamur-jamur ini dapat bersifat antagonis terhadap patogen tanaman, baik yang ada di tanah,
permukaan inang seperti biji atau benih, maupun di dekat area yang terinfeksi.

Salah satu kelompok jamur yang dikenal dengan kemampuan antagonisnya adalah
Trichoderma spp, yang telah diformulasikan menjadi biofungisida terdaftar untuk
pengendalian hayati beberapa patogen dalam pertanian dan kehutanan.

Beberapa golongan jamur, seperti Ascomycetes, Basidiomycetes, dan jamur imperfect,


seringkali memiliki kemampuan untuk menghasilkan senyawa antibiotik. Senyawa antibiotik
ini bersifat toksik terhadap patogen dan memiliki potensi untuk mengendalikan pertumbuhan
mereka. Kemampuan jamur untuk menghasilkan senyawa toksin ini merupakan salah satu
faktor penting dalam persaingan ekologis.

Selain itu, penting juga untuk mempertimbangkan kemampuan jamur dalam


mengkolonisasi berbagai lingkungan mikro yang berbeda dan memanfaatkan substrat yang
beragam. Sebagai contoh, jamur ektomikoriza dapat berperan sebagai agensia hayati dalam
mengendalikan patogen yang menginfeksi akar tanaman, menunjukkan fleksibilitasnya dalam
beradaptasi dengan berbagai kondisi lingkungan.

3.5 SELEKSI DAN IDENTIFIKASI JAMUR ANTAGONIS SEBAGAI AGENS


HAYATI JAMUR AKAR PUTIH (Rigidoporus microporus) PADA TANAMAN
KARET

Penyakit akar putih pada tanaman karet, yang disebabkan oleh patogen Rigidoporus
microporus, seringkali sulit untuk dikendalikan karena patogen ini memiliki struktur bertahan
dalam tanah yang disebut klamidospora. Oleh karena itu, pengendalian hayati dengan
memanfaatkan jamur antagonis menjadi pilihan yang sangat potensial untuk mengatasi
patogen tular tanah ini. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Tanaman
Industri dan Penyegar selama periode Februari hingga Juli 2012. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk melakukan seleksi dan identifikasi jamur antagonis yang memiliki potensi
dalam mengendalikan patogen R. microporus pada tanaman karet.

Penelitian ini terdiri dari dua tahap utama. Tahap pertama adalah pengambilan sampel
dari berbagai perkebunan karet yang tersebar di daerah Lampung, Sumatera Selatan, Jawa
Tengah, dan Jawa Barat. Tahap kedua melibatkan isolasi, seleksi, karakterisasi morfologi,
dan identifikasi jamur-jamur antagonis yang ditemukan dalam sampel tersebut. Hasil isolasi
dari rizosfer dan akar tanaman karet menghasilkan sebanyak 209 isolat jamur antagonis.

Berdasarkan penilaian daya hambat terhadap patogen R. microporus, terpilih 12 isolat


jamur antagonis yang menunjukkan potensi yang tinggi. Dari 12 isolat tersebut, 8 di
antaranya berasal dari rizosfer (termasuk Trichoderma virens, 2 isolat Trichoderma
hamatum, 2 isolat Trichoderma amazonicum, Penicillium pinophilum, Paecilomyces
lilacinus, dan Aspergillus fijiensis), sementara 4 isolat lainnya ditemukan sebagai endofit
(melibatkan Eupenicillium javanicum, Penicillium simplicissimum, Penicillium citrinum, dan
Hypocrea atroviridis).
Kedua belas isolat ini memiliki potensi sebagai jamur antagonis yang efektif dalam
mengendalikan penyakit akar putih pada tanaman karet, memberikan harapan untuk
pengembangan metode pengendalian yang lebih ramah lingkungan.
SIMPULAN
Dari hasil isolasi jamur antagonis yang berasal dari rizosfer dan akar tanaman karet, sebanyak
209 isolat berhasil ditemukan. Setelah dilakukan seleksi berdasarkan persentase daya hambat,
terpilih 12 isolat jamur antagonis yang menunjukkan potensi tinggi dalam mengendalikan
penyakit akar putih (JAP) pada tanaman karet. Dari 12 isolat tersebut, 8 di antaranya
merupakan isolat rizosfer (termasuk Trichoderma virens, 2 isolat Trichoderma hamatum, 2
isolat Trichoderma amazonicum, Penicillium pinophilum, Paecilomyces lilacinus, dan
Aspergillus fijiensis), sementara 4 isolat lainnya merupakan isolat endofit (meliputi
Eupenicillium javanicum, Penicillium simplicissimum, Penicillium citrinum, dan Hypocrea
atroviridis). Kedua belas isolat ini memiliki potensi sebagai agensia pengendalian hayati
yang efektif dalam mengatasi penyakit JAP pada tanaman karet.

3.6 PEMANFAATAN PESTISIDA NABATI DAN AGENSIA HAYATI UNTUK


PENGENDALIAN PENYAKIT BUSUK JAMUR AKAR PUTIH PADA JAMBU
METE

Penyakit busuk jamur akar putih (JAP) telah diakui sebagai salah satu Organisme
Pengganggu Tumbuhan (OPT) utama yang mengancam tanaman jambu mete di Indonesia.
Penyakit ini memiliki potensi untuk menyebabkan kegagalan produksi dan bahkan kematian
tanaman jambu mete. Penelitian untuk mengatasi penyakit JAP pada tanaman jambu mete
telah dilaksanakan di Desa Kayangan, Kabupaten Lombok Barat, NTB, serta di Laboratorium
Fitopatologi Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat selama periode 2002-2004.

Pendekatan teknologi yang digunakan dalam penelitian ini mencakup penggunaan


agensia hayati, pupuk organik, dan fungisida nabati. Hasil uji coba menunjukkan bahwa
kombinasi penggunaan fungisida nabati, seperti yang berasal dari cengkeh dan nimba, yang
diberikan bersama dengan pupuk organik yang telah diperkaya dengan agensia hayati
(termasuk Bacillus sp., Trichoderma sp., dan Cytopaga sp.) mampu mengurangi serangan
penyakit JAP secara signifikan, yakni sekitar 47 hingga 80%. Hasil ini berbeda secara nyata
dengan kondisi tanaman kontrol yang tidak mendapatkan perlakuan tersebut.

Perlakuan terbaik yang muncul dari penelitian ini adalah penggunaan fungisida nabati
cengkeh (Mitol 20 EC) yang disertai dengan pemberian pupuk organik yang mengandung
Bacillus pantotkentikus dan Trichoderma lactae. Hasil isolasi mikroorganisme dari tanah
menunjukkan bahwa pupuk organik 1 didominasi oleh Trichoderma spp., sedangkan pupuk
organik 2 didominasi oleh Bacillus spp. Kepadatan populasi mikroorganisme dalam masing-
masing perlakuan, terutama Bacillus sp., Trichoderma sp., dan Pseudomonas fluorescens,
memiliki korelasi erat dengan tingkat serangan penyakit busuk akar jamur putih pada
tanaman jambu mete.
SIMPULAN

Penggunaan berbagai komponen teknologi telah berhasil menekan tingkat serangan


penyakit JAP (Jamur Akar Putih) dengan penurunan yang signifikan dalam intensitas
serangan selama dua tahun setelah perlakuan. Hasilnya sangat berbeda jika dibandingkan
dengan kondisi kontrol, di mana intensitas serangan penyakit meningkat mencapai 89,67%.
Setelah perlakuan, intensitas serangan penyakit menurun dari sekitar 40-50% menjadi
berkisar antara 13,67 hingga 32,72%.

Kombinasi penggunaan pupuk organik yang telah diperkaya dengan agensia hayati,
bersama dengan aplikasi fungisida nabati dan pemupukan NPK sebanyak ¼
kg/tanaman/tahun, memiliki potensi besar untuk digunakan dalam pengendalian penyakit JAP
pada tanaman jambu mete. Salah satu perlakuan yang paling efektif adalah penggunaan
fungisida nabati cengkeh (Mitol 20 EC) bersama dengan pupuk organik B yang diperkaya
dengan Bacillus pantotkentikus dan Trichoderma lactae. Perlakuan ini berhasil menurunkan
intensitas serangan menjadi 13,34% atau mencapai efektivitas sekitar 84,75% dibandingkan
dengan kontrol. Selain itu, penggunaan ekstrak biji nimba bersama dengan pupuk organik B
juga efektif dengan intensitas serangan sekitar 15,34% atau efektivitas sebesar 82,82%.

Hasil isolasi mikroorganisme dari pupuk organik A dan B menunjukkan perbedaan


yang signifikan dibandingkan dengan kondisi kontrol. Pupuk organik A didominasi oleh
Trichoderma spp., sedangkan pupuk organik B didominasi oleh Bacillus spp. Semakin tinggi
populasi Trichoderma spp. dan Bacillus spp. pada pupuk organik berkorelasi dengan
penurunan serangan penyakit dan peningkatan produksi tanaman

3.7 Potensi Jamur Perakaran sebagai Agens Pengendalian Hayati Penyakit Moler
(Fusarium oxysporum f.sp. Cepae) pada Bawang Merah
Penyakit umum yang sering menyerang tanaman bawang merah adalah penyakit
busuk daun yang disebabkan oleh Fusarium oxysporum f. sp. cepae (FOCe). Penelitian ini
bertujuan untuk mengeksplorasi potensi cendawan pengkolonisasi akar dalam mengendalikan
penyakit ini pada tanaman bawang merah. Penelitian ini terdiri dari dua tahap, yakni uji
laboratorium dan uji rumah kaca, yang menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
dalam pelaksanaannya.

Pada tahap uji rumah kaca, perlakuan yang diberikan melibatkan empat jenis jamur
yang telah terbukti memiliki kemampuan terbaik dalam menghambat pertumbuhan FOCe.
Setiap perlakuan diulang sebanyak tiga kali dalam eksperimen ini. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa cendawan pengkolonisasi akar mampu mengurangi intensitas penyakit
bawang merah akibat FOCe, tetapi belum memiliki pengaruh yang signifikan terhadap

komponen pertumbuhan tanaman bawang merah. Hasil terbaik ditemukan pada


kombinasi AJ01, AJ12, AJ17, AJ18, di mana intensitas penyakit mencapai tingkat terendah
sebesar 20%. Dengan demikian, cendawan pengkolonisasi akar memiliki potensi dalam
pengendalian penyakit moler pada tanaman bawang merah.
Kesimpulan
Jamur pengkolonisasi akar pada bawang merah memiliki potensi untuk mengurangi serangan
FOCe, tetapi belum dapat meningkatkan komponen pertumbuhan tanaman bawang merah.
Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengkaji dosis optimal agen hayati
yang harus diberikan agar hasil yang diperoleh lebih akurat dan efektif dalam pengendalian
penyakit.

3.8 MEKANISME ANTAGONISME Trichoderma spp. TERHADAP BEBERAPA


PATOGEN TULAR TANAH

Karet memiliki peran yang sangat vital dalam perekonomian Indonesia. Namun,
rendahnya produktivitas karet di Indonesia diakibatkan oleh beberapa kendala, seperti
kurangnya penerapan teknologi dalam budidaya karet, gangguan cuaca, iklim yang tidak
selalu mendukung, serta serangan hama dan penyakit. Salah satu penyakit penting yang
menyerang tanaman karet adalah jamur akar putih yang disebabkan oleh patogen
Rigidoporus microporus. Sebagai alternatif dalam pengendalian penyakit ini, pemanfaatan
jamur Trichoderma spp. Telah dipertimbangkan.
Trichoderma spp. Memiliki beberapa mekanisme pengendalian terhadap patogen
tanaman, termasuk kompetisi dalam pemanfaatan sumber daya dan tempat tumbuh, produksi
senyawa antibiosis, serta kemampuan parasitisme. Senyawa antibiosis memiliki peran
penting dalam proses pengendalian, dan sering kali berhubungan erat dengan mekanisme lain
seperti kompetisi dan mikoparasitisme. Pentingnya mekanisme antagonisme ini adalah bahwa
tidak satu pun dari mekanisme tersebut dapat berdiri sendiri untuk mencapai pengendalian
yang efektif. Keberhasilan konsep pengendalian penyakit dengan menggunakan agen hayati
seperti Trichoderma spp. Tergantung pada keseimbangan faktor-faktor seperti suhu, pH, dan
kelembaban yang optimal. Mekanisme antagonisme yang dimiliki oleh Trichoderma spp.
Memiliki potensi besar sebagai alat pengendalian terhadap patogen tanah Rigidoporus
microporus yang menjadi penyebab penyakit jamur akar putih pada tanaman karet.

Kesimpulan:

1. Trichoderma spp. Memiliki mekanisme antagonisme yang melibatkan kompetisi untuk


sumber daya dan tempat tumbuh, produksi senyawa antibiosis, serta kemampuan parasitisme.

2. Pentingnya kerjasama antara mekanisme penghambatan yang dimiliki oleh Trichoderma


spp. Adalah bahwa satu mekanisme tunggal tidak mampu memberikan pengendalian yang
signifikan. Keberhasilan konsep pengendalian penyakit dengan menggunakan agen hayati
seperti Trichoderma spp. Tergantung pada keseimbangan antara faktor-faktor yang
memengaruhi.

3. Mekanisme antagonisme yang dimiliki oleh Trichoderma spp. Memiliki potensi besar
sebagai alat pengendalian terhadap patogen tular tanah Rigidoporus microporus, yang
merupakan penyebab penyakit jamur akar putih pada tanaman karet.

3.9 UJI INVITRO DAYA HAMBAT CENDAWAN ENDOFIT ASAL TUMBUHAN


RAMBUSA (Passiflora foetida) SEBAGAI AGENS PENGENDALI HAYATI
PENYAKIT LAYU FUSARIUM

Penelitian ini berfokus pada penggunaan cendawan endofit yang berasal dari
tumbuhan rambusa sebagai agen pengendali penyakit Fusarium sp. Yang bersifat ramah
lingkungan. Eksperimen ini dilakukan di Laboratorium Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan,
Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman, antara bulan April hingga Juni 2021.
Rancangan eksperimental yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan dua
perlakuan, yakni cendawan endofit yang berasal dari daun dan batang, dan diulang sebanyak
lima kali, sehingga terdapat sepuluh unit percobaan secara keseluruhan. Data hasil
pengamatan kemudian dianalisis secara deskriptif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa isolat cendawan endofit yang diambil dari baik
batang maupun daun mampu menghambat pertumbuhan cendawan Fusarium sp. Ini
mengindikasikan bahwa cendawan endofit yang berasal dari kedua sumber tersebut memiliki
kemampuan yang serupa dalam mengontrol penyakit Fusarium sp. Daya hambat tertinggi
terjadi pada isolat cendawan endofit yang diambil dari daun, mencapai 55,27% pada
pengujian pada hari ketujuh. Sementara itu, isolat cendawan endofit yang diambil dari batang
juga menunjukkan hasil yang baik, dengan tingkat daya hambat sebesar 52,64%. Berdasarkan
kemampuan daya hambat ini, kedua isolat cendawan endofit yang diambil dari batang dan
daun memiliki potensi sebagai agen pengendali hayati penyakit Fusarium sp.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa cendawan endofit yang diambil dari
daun maupun batang tumbuhan rambusa memiliki peran sebagai agen antagonis terhadap
patogen Fusarium sp. Hasil uji menunjukkan bahwa daya hambat tertinggi terhadap
pertumbuhan Fusarium sp. Terjadi pada isolat cendawan endofit yang berasal dari daun,
mencapai 55,27%, sedangkan isolat yang diambil dari batang memiliki daya hambat sebesar
52,64%. Oleh karena itu, kedua isolat cendawan endofit ini memiliki potensi sebagai agen
pengendali hayati terhadap penyakit layu Fusarium sp. Pada tanaman rambusa.
3.10 APLIKASI Trichoderma sp. DALAM MENEKAN PENYAKIT MOLER PADA
TANAMAN BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.)

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan Trichoderma sp. Bertujuan


untuk mengurangi penyakit moler pada tanaman bawang merah. Penelitian ini dilakukan di
Desa Seuneubok Aceh, Kecamatan Peusangan, Kabupaten Bireuen, pada periode Juni hingga
Agustus 2021. Rancangan eksperimen yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok
(RAK) Non Faktorial. Variabel yang diteliti adalah penggunaan Trichoderma sp. Dengan
empat dosis berbeda: T0 (Kontrol), T1 (300 Kg/Ha), T2 (350 Kg/Ha), dan T3 (400 Kg/Ha).
Parameter yang diamati meliputi waktu kemunculan penyakit moler, intensitas serangan
penyakit pada umur 15, 30, dan 45 hari setelah tanam (HST), tinggi tanaman, jumlah daun
pada umur 10, 20, dan 30 HST, jumlah umbi perumpun setelah panen, serta berat
berangkasan basah dan berat berangkasan kering.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan Trichoderma sp. Dengan dosis 400
Kg/Ha menghasilkan peningkatan yang signifikan dalam tinggi tanaman, jumlah daun, berat
berangkasan basah, dan berat berangkasan kering. Selain itu, perlakuan ini juga berhasil
mengurangi waktu kemunculan penyakit, intensitas serangan, dan tingkat keparahan penyakit
moler pada tanaman bawang merah.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa penggunaan Trichoderma sp. Dengan dosis 400
Kg/Ha mampu secara efektif mengurangi penyakit moler pada tanaman bawang merah. Hal
ini terbukti dengan rata-rata waktu kemunculan penyakit yang lebih lambat, yaitu sekitar 8,16
hari, serta intensitas serangan yang lebih rendah sekitar 20,23% dan tingkat keparahan
penyakit hanya sekitar 18,61%.

Selain itu, penggunaan Trichoderma sp. Pada dosis tersebut juga dapat signifikan
meningkatkan pertumbuhan tanaman, terutama dalam hal tinggi tanaman, jumlah daun, berat
berangkasan basah, berat berangkasan kering, dan produktivitas bawang merah.

3.11 Uji Antagonisme Jamur Trichoderma sp. Terhadap Patogen Fusarium sp. Pada
Tanaman Bawang Merah Allium cepa Isolat Lokal Tonsewer Secara In vitro

Penelitian dilakukan di Tonsewer, sebuah desa besar dalam produksi bawang merah
di Kabupaten Minahasa. Sayangnya, hasil panen bawang merah mengalami penurunan karena
serangan penyakit moler yang disebabkan oleh jamur Fusarium sp. Oleh karena itu,
diperlukan pengendalian yang efektif untuk menghambat pertumbuhan jamur Fusarium sp.
tanpa merusak lingkungan. Salah satu pendekatan yang digunakan adalah pengendalian
hayati menggunakan jamur Trichoderma sp. yang memiliki mekanisme antagonis seperti
kompetisi, parasitisme, dan antibiosis, yang mengakibatkan lisis jamur patogen. Penelitian ini
bertujuan untuk memahami pengaruh Trichoderma sp. sebagai agen biokontrol terhadap
Fusarium sp. dan mengukur seberapa efektifnya dalam menghambat pertumbuhan Fusarium
sp. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode biakan ganda secara in vitro selama
beberapa bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Trichoderma sp. mampu menghambat
pertumbuhan Fusarium sp. melalui berbagai mekanisme, mencakup kompetisi untuk sumber
daya dan ruang tumbuh, serta parasitisme dan antibiosis. Hasil pengamatan menunjukkan
bahwa Trichoderma sp. berhasil menghambat pertumbuhan Fusarium sp. hingga mencapai
100% pada hari ketujuh.

Dalam rangka penelitian ini, simpulan yang dapat ditarik adalah bahwa Trichoderma
sp. berhasil bersaing dengan Fusarium sp. baik dalam hal pemanfaatan sumber daya dan
ruang tumbuh, maupun melalui mekanisme kompetisi mikroskopis seperti mikoparasitisme
dan antibiosis. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa daya hambat jamur antagonis
Trichoderma sp. terhadap jamur patogen Fusarium sp. mencapai 100% pada hari ketujuh
penelitian.

3.12 UJI ANTAGONISME Trichoderma spp. TERHADAP Ganoderma sp. YANG


MENYERANG TANAMAN SENGON SECARA IN-VITRO

Penelitian tersebut membahas pertumbuhan koloni Ganoderma sp. Dan Trichoderma


spp. Pada berbagai media in vitro. Hasil menunjukkan bahwa Ganoderma sp. Tumbuh lebih
cepat pada media PDA dibandingkan dengan MEA. Sementara itu, Trichoderma spp.
Memiliki laju pertumbuhan yang berbeda-beda tergantung pada jenisnya, dengan T.
Pseudokoningii tumbuh paling cepat di media MEA. Selain itu, T. Harzianum memiliki
kemampuan penghambatan tertinggi terhadap pertumbuhan Ganoderma sp. Dengan
persentase penghambatan sebesar 73,60%. Penelitian ini memberikan wawasan penting
terkait interaksi antara kedua jenis jamur ini dalam konteks penyakit busuk akar pada
tanaman sengon.

Kesimpulan:

Penelitian ini menunjukkan bahwa Trichoderma spp. Efektif dalam menghambat


pertumbuhan koloni Ganoderma sp. Pada cawan petri dalam kondisi in vitro. T. Harzianum
secara khusus menonjol dengan daya hambat tertinggi sebesar 74% terhadap pertumbuhan
koloni Ganoderma sp., dibandingkan dengan T. Viride dan T. Pseudokoningii. Proses
penghambatan ini terjadi melalui mekanisme antagonis yang dapat diamati dari adanya zona
penghambatan.
KESIMPULAN

Penggunaan jamur sebagai agen pengendalian hayati dalam mengatasi hama tanaman dan
penyakit tanaman telah terbukti cukup efektif. Beberapa jenis jamur seperti Trichoderma
Fusarium solani, F. Oxysporum digunakan secara luas dalam pengendalian hayati.
1. Pengendalian Hama Tanaman:
2. Pengendalian Penyakit Tanaman:
- Beberapa jamur mikoriza arbuskula (AMF) digunakan untuk meningkatkan kesehatan
tanaman dan mengendalikan penyakit seperti fusarium dan verticillium wilts.
- Trichoderma spp. digunakan sebagai pengendali hayati terhadap penyakit seperti
phytophthora, rhizoctonia, dan sclerotinia.
Dampak penggunaan jamur sebagai agen pengendalian hayati terhadap produktivitas
pertanian adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan Produktivitas Tanaman:
- Penggunaan jamur sebagai agen pengendalian hayati dapat mengurangi kerugian yang
disebabkan oleh hama dan penyakit tanaman, sehingga meningkatkan produktivitas pertanian
secara keseluruhan.
- Tanaman yang terhindar dari serangan hama dan penyakit memiliki kesempatan yang
lebih baik untuk tumbuh dan menghasilkan hasil panen yang lebih tinggi.

2. Penggunaan Bahan Kimia yang Lebih Rendah:


- Pengendalian hayati dengan menggunakan jamur dapat mengurangi ketergantungan pada
pestisida kimia. Dengan demikian, penggunaan jamur dapat membantu mengurangi dampak
negatif pestisida terhadap lingkungan dan kesehatan manusia.
3. Lebih Ramah Lingkungan:
- Penggunaan jamur sebagai agen pengendalian hayati cenderung lebih ramah lingkungan
karena jamur tersebut merupakan organisme alami yang tidak mencemari tanah atau air.
- Selain itu, jamur juga dapat berperan dalam meningkatkan kualitas tanah dan siklus hara
yang berguna bagi pertanian berkelanjutan.
Namun, efektivitas pengendalian hayati dengan jamur tergantung pada berbagai faktor seperti
spesies jamur yang digunakan, kondisi lingkungan, dan pengelolaan pertanaman yang baik.
Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian yang lebih lanjut untuk meningkatkan efektivitas
penggunaan jamur sebagai agen pengendalian hayati dalam pertanian.
DAFTAR PUSTAKA

Abo-Elyousr, K. A. M., Abdel-Hafez, S. I. I., & Abdel-Rahim, I. R. (2014). Isolation of


Trichoderma and evaluation of their antagonistic potential against Alternaria porri.
Journal of Phytopathology, 162(9), 567–574.

Aldila Yunia Putri*, Ulfah Utami. Studi Bioteknologi Pengendalian Hayati dengan Berbagai
Jamur. Vol. 3, No. 1, Desember 2020 Hal. 543 - 551. Universitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim Malang, Indonesia

Alkapi Sukra. UPTD Balai Pengawasan dan Pengujian Mutu Benih dan Perlindungan
Tanaman Perkebunan. THE EFFECTIVENESS TEST OF ENTOMOPATHOGENIC
FUNGI AGAINST OIL PALM STEM BORER LARVAE (Oryctes rhinoceros L.) IN
THE LABORATORY. Jurnal Riset Perkebunan Vol 2, Nomor 2 September 2021

Andhika Wahyu Nugroho1), Hadiwiyono2), Sudadi2). Potensi Jamur Perakaran sebagai


Agens Pengendalian Hayati Penyakit Moler (Fusarium oxysporum f.sp. Cepae) pada
Bawang Merah. Agrosains 17(1): 4-8, 2015.

Benyamin Dendang. (In-Vitro Antagonism Experiment of Trichoderma spp. to Ganoderma


sp. Which Attacks Sengon Trees). Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea

Dos Santos, I., & Bettiol, W. (2003). Effect of sewage sludge on the rot and seedling
damping-off of bean plants caused by Sclerotium rolfsii. Crop Protection, 22(9),
1093–1097

Intan Berlian, Budi Setyawan, dan Hananto Hadi. Mechanism of Antagonism of Trichoderma
spp. Againts Several Soil Borne Pathogens.

Kamel, S., Farag, F., Arafa, R., & Essa, T. (2020). Bio-Control Potentials of Trichoderma
spp. Against Sclerotium rolfsii the Causative of Root and Crown Rot in Tomato,
Common Bean and Cabbage. Egyptian Journal of Phytopathology, 48(1), 122–136.

Nianria Melyanti Pasalo1*, Febby Ester Fany Kandou1, Marina Flora Oktavine Singkoh1.
Uji Antagonisme Jamur Trichoderma sp. Terhadap Patogen Fusarium sp. Pada
Tanaman Bawang Merah Allium cepa Isolat Lokal Tonsewer Secara In vitro. Jurnal
Ilmu Alam dan Lingkungan 13 (2), (2022). 1 - 7

Nur Hidayat1*, Arini Rajab2, La Mudi1. UJI INVITRO DAYA HAMBAT CENDAWAN
ENDOFIT ASAL TUMBUHAN RAMBUSA (Passiflora foetida) SEBAGAI AGENS
PENGENDALI HAYATI PENYAKIT LAYU FUSARIUM. Jurnal Agrotech 11 (2)
64-70, Desember 2021

Nurhayati. PENGGUNAAN JAMUR DAN BAKTERI DALAM PENGENDALIAN


PENYAKIT TANAMAN SECARA HAYATI YANG RAMAH LINGKUNGAN.
Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya
Kampus Unsri

Mariana. APPLICATIONS Trichoderma sp. IN SUPPLYING MOLER DISEASE ON ONION


PLANTS (Allium ascalonicum L.)

Mesak Tombe. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik.


PEMANFAATAN PESTISIDA NABATI DAN AGENSIA HAYATI UNTUK
PENGENDALIAN PENYAKIT BUSUK JAMUR AKAR PUTIH PADA JAMBU
METE. Bul. Littro. Vol. XIX No. 1, 2008, 68 - 77.

Siska Adielfina a,1,*, Liliek Sulistyowati a,2, Luqman Qurata Aini, a,3 , Alfi Inayati b,4. Uji
Antagonis Jamur Endofit Terhadap Patogen Sclerotium rolfsii Sacc. Penyebab
Penyakit Busuk Batang Pada Tanaman Kacang Tanah. AgroSainTa: Widyaiswara
Mandiri Membangun Bangsa, Juli 2022.

Sumartini. (2018). Penyakit tular tanah. Jurnal Litbang Pertanian, 31(1), 27–34.

Widi Amaria, Efi Taufiq, dan Rita Harni. SELECTION AND IDENTIFICATION OF
ANTAGONISTIC FUNGI AS BIOLOGICAL AGENTS OF WHITE ROOT DISEASE
(Rigidoporus microporus) IN RUBBER. Balai Penelitian Tanaman Industri dan
Penyegar Jalan Raya Pakuwon km 2 Parungkuda, Sukabumi Indonesia 43357.

Yustina M.S.W. Pu’u1*), Syatrawati2. POTENSI PENGENDALIAN HAYATI HAMA


SPODOPTERA FRUGIPERDA UNTUK KEBERLANJUTAN PRODUKSI
JAGUNG. AGRICA: Journal of Sustainable Dryland Agriculture, 15 (2): 144-160
(2022).

Anda mungkin juga menyukai