“JAMUR”
Disusun Oleh:
NIM: 2203016073
JURUSAN AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2023
DAFTAR ISI
I PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
II TEKNIK PENGENDALIAN
III PENELITIAN-PENELITIAN
3.1 Uji Antagonis Jamur Endofit Terhadap Patogen Sclerotium rolfsii Sacc. Penyebab
Penyakit Busuk Batang Pada Tanaman Kacang Tanah
3.7 Potensi Jamur Perakaran sebagai Agens Pengendalian Hayati Penyakit Moler (Fusarium
oxysporum f.sp. Cepae) pada Bawang Merah
3.11 Uji Antagonisme Jamur Trichoderma sp. Terhadap Patogen Fusarium sp. Pada Tanaman
Bawang Merah Allium cepa Isolat Lokal Tonsewer Secara In vitro
IV KESIMPULAN
V DAFTAR PUSTAKA
I
PENDAHULUAN
Dalam proses pertumbuhan tanaman, sering kali muncul gangguan penyakit, baik
mulai dari tahap benih hingga tanaman tumbuh di lapangan. Ketika tanaman terpengaruh oleh
patogen atau kondisi lingkungan yang tidak mendukung pertumbuhannya, maka tanaman
dapat mengalami ketidaknormalan dalam proses fisiologinya, yang kemudian dianggap
sebagai penyakit. Penyakit ini muncul ketika terjadi interaksi antara tanaman, lingkungan,
dan patogen. Tanaman yang rentan akan penyakit jika terinfeksi oleh patogen yang kuat dan
didukung oleh kondisi lingkungan yang menguntungkan patogen tersebut. Jika kondisi
lingkungan terus menguntungkan pertumbuhan patogen, maka serangan penyakit di area
tersebut akan menjadi cukup serius. Umumnya, petani sering menggunakan pestisida kimia
untuk mengatasi penyakit karena pestisida kimia dapat memberikan hasil yang cepat dan
terlihat secara nyata.
Namun saat ini, kesadaran masyarakat global terhadap bahaya penggunaan bahan
kimia secara berkelanjutan semakin meningkat. Orang semakin bijak dalam memilih
makanan yang aman bagi kesehatan dan lingkungan. Gaya hidup sehat telah menjadi tren dan
kebutuhan sehari-hari. Kesadaran ini telah membuat orang menyadari dampak negatif dari
penggunaan pestisida kimia, meskipun belum sepenuhnya menghentikannya (Anonimous,
2002). Pemerintah dan masyarakat harus memberikan perhatian khusus pada penerapan
teknologi pertanian yang ramah lingkungan untuk membangun pertanian yang sehat dan
berkelanjutan. Dalam konsep pengendalian penyakit tanaman, ada dua strategi utama yang
dikembangkan: mengurangi jumlah inokulum awal dan mengurangi tingkat infeksi.
Pendekatan pengendalian penyakit tanaman dengan menggunakan metode biologis
memiliki peran yang sangat penting. Ini karena metode ini mampu mengendalikan
pertumbuhan patogen dalam jangka waktu yang cukup lama, tanpa menimbulkan risiko bagi
tanaman atau ekosistem.
Pemanfaatan jamur sebagai agen biokontrol telah luas diterapkan dan memiliki
potensi yang baik. Contohnya, Trichoderma sp. Digunakan sebagai jamur antagonis untuk
mengendalikan Ganoderma sp. Serta sebagai musuh alami untuk Fusarium sp. Dan
Collectotrichum sp. Sementara itu, Beauveria bassiana digunakan sebagai jamur patogenik
untuk mengatasi hama serangga.
Meskipun pengendalian hayati memiliki potensi besar, masih sedikit petani dan
masyarakat yang menerapkannya. Pestisida tetap menjadi kebutuhan penting dalam upaya
mengendalikan serangga hama dalam pertanian. Pestisida adalah senyawa kimia yang sering
digunakan untuk menghilangkan gangguan seperti gulma, serangga, jamur, dan hama pada
tanaman dengan tujuan untuk mendapatkan hasil yang optimal. Penggunaan pestisida yang
tidak bijaksana dapat menimbulkan berbagai dampak negatif, baik pada manusia maupun
lingkungan.
1.3 Tujuan
Jamur adalah organisme heterotrof, artinya mereka tidak dapat membuat makanan
mereka sendiri. Namun, berbeda dengan hewan, jamur tidak mencerna makanannya. Mereka
menyerap nutrisi dari lingkungan sekitarnya. Dalam ekosistem, jamur memiliki peran sebagai
dekomposer, parasit, dan berpartisipasi dalam hubungan mutualisme. Sebagai dekomposer,
jamur menguraikan dan menyerap nutrisi dari benda mati dan sisa-sisa organik. Ketika
berperan sebagai parasit, mereka menyerap nutrisi dari inang yang masih hidup. Fungsi
mutualisme mengharuskan jamur dan inangnya untuk saling menguntungkan dalam
pertukaran nutrisi. Struktur tubuh jamur paling umum adalah bentuk filamen multiselular dan
sel tunggal seperti khamir atau ragi.
Jamur umumnya memiliki struktur tubuh yang terdiri dari serangkaian benang kecil
yang disebut hifa. Setiap hifa memiliki dinding sel yang berbentuk tabung yang melingkupi
selaput plasma dan sitoplasma di dalam selnya. Tidak seperti dinding sel tumbuhan yang
mengandung selulosa, dinding sel jamur diperkuat oleh kitin. Kumpulan hifa ini membentuk
massa yang bersilangan dan saling terhubung yang disebut miselium, yang memiliki peran
penting dalam menyebar ke lingkungan sekitarnya dan menembus inangnya.
Perlu dicatat bahwa jamur tidak memiliki kemampuan bergerak untuk mencari
makanan mereka; sebaliknya, mereka memanfaatkan hifa dengan merambat ke daerah-daerah
tertentu. Beberapa jenis fungi memiliki hifa yang sangat terspesialisasi, yang memungkinkan
mereka menyerap nutrisi dari tubuh hewan hidup. Sebagai contoh, dalam kasus Arthrobotrys,
suau jenis fungi tanah, hifa dapat berubah menjadi lingkaran dan menangkap nematoda
(cacing gilig) dengan sangat cepat, dalam waktu kurang dari satu detik. Spesies fungi lainnya
memiliki hifa terspesialisasi yang disebut haustoria, yang digunakan untuk mengekstraksi
nutrisi dari inangnya atau melakukan pertukaran nutrisi dengan inang tersebut.
Dalam 50 tahun terakhir, bidang kontrol mikroba terhadap hama dan penyakit
tanaman telah mengalami kemajuan signifikan, dengan hasil yang terlihat jelas dalam kondisi
laboratorium yang dioptimalkan. Pada tahun 1890, Konstantinus dan Matruchot berhasil
mengembangkan keturunan kultur murni dari jamur, dan ilmuwan Duggar melanjutkan
pekerjaan ini pada tahun 1905 dengan berhasil menciptakan pertumbuhan baru dari sampel
jaringan jamur dewasa. Ini membuka jalan bagi perkembangan bioteknologi jamur di masa
mendatang. Selain itu, genus jamur seperti Penicillium ditemukan sebagai sumber antibiotik.
Pada tahun 1890-an, seorang ahli kimia bernama Eduard Buchner menemukan bahwa ragi
bisa digunakan untuk memicu fermentasi gula. Pada abad ke-20, bioteknologi molekuler
jamur mulai digunakan untuk menghasilkan molekul yang diinginkan. Beberapa hasil penting
termasuk penemuan antibiotik baru dan peningkatan hasil produksi jamur tertentu. Jamur
sebagai agen pengendalian hayati mampu melawan dan mengendalikan organisme lain, dan
berikut ini akan diuraikan beberapa pemanfaatan penting dari jamur dalam peran ini.
Serangga, yang merupakan bagian dari kelas Arthropoda, memiliki peran penting dalam
beragam ekosistem. Namun, beberapa serangga dapat menjadi hama yang merusak tanaman.
Dalam upaya pengendalian biologis, jamur entomopatogenik digunakan untuk menginfeksi
dan menyebabkan penyakit pada serangga dan Arthropoda lainnya. Jamur entomopatogenik
yang paling umum digunakan termasuk Metarhizium anisopliae dan Beauveria bassiana.
Proses infeksi dimulai dengan pelepasan spora aseksual yang, setelah menginfeksi inangnya,
berkembang menjadi hifa dan akhirnya menghasilkan spora baru.
2. Pendekatan Tradisional dan Baru dalam Aplikasi Jamur Entomopatogenik:
Jamur juga dapat berperan sebagai antagonis terhadap patogen tanaman. Mereka
menggunakan berbagai mekanisme, seperti produksi senyawa metabolit (seperti antibiotik),
kompetisi untuk sumber daya, parasitisme, atau bahkan meningkatkan respons pertumbuhan
tanaman inang. Salah satu contohnya adalah genus Trichoderma, yang dikenal karena
kemampuannya dalam melawan patogen tanaman. Mereka mampu menghambat
pertumbuhan patogen seperti Rhizoctonia solani yang menyebabkan penyakit pada berbagai
tanaman.
PENELITIAN-PENELITIAN
3.1 Uji Antagonis Jamur Endofit Terhadap Patogen Sclerotium rolfsii Sacc. Penyebab
Penyakit Busuk Batang Pada Tanaman Kacang Tanah
Penyakit yang signifikan dalam pertanaman kacang tanah adalah penyakit busuk
batang yang disebabkan oleh Sclerotium rolfsii. S. rolfsii adalah patogen yang menular
melalui tanah, dan dapat mengakibatkan penurunan hasil panen serta kerugian dalam
produksi polong. Umumnya, pengendalian penyakit tanaman seperti ini melibatkan
penggunaan fungisida kimia. Namun, penggunaan bahan kimia dalam pengendalian penyakit
tanaman semakin dihindari karena dampak negatifnya terhadap lingkungan.
Salah satu alternatif untuk mengendalikan penyakit pada tanaman kacang tanah adalah
dengan menggunakan agen hayati, seperti jamur endofit yang ada di dalam jaringan tanaman.
Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengidentifikasi jamur endofit yang memiliki potensi
sebagai agen antagonis dan untuk memahami mekanisme di balik kemampuan jamur endofit
tersebut dalam menghambat pertumbuhan jamur S. rolfsii.
Kelapa sawit, yang memiliki nama ilmiah Elaeis guineensis Jacq., adalah jenis
tanaman perkebunan yang tumbuh dalam bentuk pohon berbatang lurus. Tanaman ini
termasuk dalam keluarga Arecaceae dan subfamili Cocoideae. Salah satu masalah yang
sering dihadapi dalam pertanian kelapa sawit adalah serangan oleh kumbang tanduk (Oryctes
rhinoceros), yang merusak batang tanaman. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi
efektivitas cendawan entomopatogen dalam mengendalikan larva kumbang tanduk pada
kelapa sawit (O. rhinoceros L.).
Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah persentase mortalitas larva O.
rhinoceros dan gejala serangan yang ditunjukkan oleh larva yang terinfeksi cendawan
entomopatogen.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase mortalitas larva O. rhinoceros paling
tinggi tercapai pada perlakuan M4 dan B4, yaitu mencapai 100% dan 93,33% setelah 12 hari
pengamatan. Gejala kematian larva ini tampak dari perubahan warna larva yang awalnya
menjadi pucat, kemudian berubah menjadi coklat atau hitam. Setelah larva mati, mereka
mengeras dan menyerupai mumi dengan ukuran yang lebih kecil di bagian posteriornya.
Kesimpulan:
1. Persentase Kematian Larva O. rhinoceros pada pengamatan setelah 12 hari paling tinggi
terjadi pada perlakuan M4, mencapai 100%, dan perlakuan B4 dengan 93,33%.
2. Gejala kematian larva O. rhinoceros ditandai dengan perubahan warna tubuh larva yang
awalnya pucat secara merata, kemudian berubah menjadi coklat atau hitam. Setelah larva
mati, mereka mengeras dan menyerupai mumi dengan bagian posterior yang mengecil.
3.3 POTENSI PENGENDALIAN HAYATI HAMA SPODOPTERA FRUGIPERDA
UNTUK KEBERLANJUTAN PRODUKSI JAGUNG
Oleh karena itu, perlu dicari metode pengendalian lain yang bersifat ramah
lingkungan dan mempertimbangkan aspek ekonomi dan ekologi, yaitu melalui pengendalian
hayati. Pengendalian hayati melibatkan pemanfaatan musuh alami sebagai agen pengendali
hayati untuk mengelola populasi hama, yang merupakan bagian penting dalam ekosistem
pertanian. Dalam upaya mengendalikan hama S. frugiperda pada tanaman jagung,
penggunaan musuh alami seperti parasitoid telur Telenomus sp. dan Trichogramma sp.,
parasitoid larva seperti Glyptapanteles creatonoti (Viereck) dan Campoletis chlorideae
Uchida, serta patogen entomopatogen seperti Nomuraea rileyi (Farl.) Samson, telah terbukti
efektif.
SIMPULAN
Pendekatan pengendalian hama dan penyakit secara hayati telah menjadi fokus,
menggantikan penggunaan bahan kimia berlebihan. Penggunaan agen hayati, terutama jamur
dan bakteri, telah banyak dikembangkan sebagai alternatif yang efektif. Pendekatan ini tidak
hanya efektif dalam mengendalikan patogen tanaman, tetapi juga lebih ramah lingkungan.
Agensia hayati seperti jamur dan bakteri memiliki banyak keunggulan, seperti dapat
ditemukan dengan mudah, mencegah ledakan serangan sekunder organisme pengganggu
tanaman, menghasilkan produk tanaman bebas dari residu pestisida, mengurangi
ketergantungan petani pada pestisida sintetis, menghemat biaya produksi, aman bagi
kesehatan manusia, dan ramah lingkungan.
Mikoparasit
Phytium oligandrum Pesaing,proteksi silang
Sporodesmium dengan
sclerotivorumGliocladium
virens
Jenis Fusarium yang tidak
Laccaria laccata Lactarius
sp
Virulen
Fusarium solani, F.
Oxysporum
Mikoparasit
Ampelomyces quisqualis
Bakteri Bacillus cereus, B. subtilis, Antibiosis
B.pumilus, Erwinia
herbicola
Pesaing, Antibiosis dan
Pseudomona s sp
Steptomyces praecox, S. kolonisasi
griseus
Salah satu kelompok jamur yang dikenal dengan kemampuan antagonisnya adalah
Trichoderma spp, yang telah diformulasikan menjadi biofungisida terdaftar untuk
pengendalian hayati beberapa patogen dalam pertanian dan kehutanan.
Penyakit akar putih pada tanaman karet, yang disebabkan oleh patogen Rigidoporus
microporus, seringkali sulit untuk dikendalikan karena patogen ini memiliki struktur bertahan
dalam tanah yang disebut klamidospora. Oleh karena itu, pengendalian hayati dengan
memanfaatkan jamur antagonis menjadi pilihan yang sangat potensial untuk mengatasi
patogen tular tanah ini. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Tanaman
Industri dan Penyegar selama periode Februari hingga Juli 2012. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk melakukan seleksi dan identifikasi jamur antagonis yang memiliki potensi
dalam mengendalikan patogen R. microporus pada tanaman karet.
Penelitian ini terdiri dari dua tahap utama. Tahap pertama adalah pengambilan sampel
dari berbagai perkebunan karet yang tersebar di daerah Lampung, Sumatera Selatan, Jawa
Tengah, dan Jawa Barat. Tahap kedua melibatkan isolasi, seleksi, karakterisasi morfologi,
dan identifikasi jamur-jamur antagonis yang ditemukan dalam sampel tersebut. Hasil isolasi
dari rizosfer dan akar tanaman karet menghasilkan sebanyak 209 isolat jamur antagonis.
Penyakit busuk jamur akar putih (JAP) telah diakui sebagai salah satu Organisme
Pengganggu Tumbuhan (OPT) utama yang mengancam tanaman jambu mete di Indonesia.
Penyakit ini memiliki potensi untuk menyebabkan kegagalan produksi dan bahkan kematian
tanaman jambu mete. Penelitian untuk mengatasi penyakit JAP pada tanaman jambu mete
telah dilaksanakan di Desa Kayangan, Kabupaten Lombok Barat, NTB, serta di Laboratorium
Fitopatologi Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat selama periode 2002-2004.
Perlakuan terbaik yang muncul dari penelitian ini adalah penggunaan fungisida nabati
cengkeh (Mitol 20 EC) yang disertai dengan pemberian pupuk organik yang mengandung
Bacillus pantotkentikus dan Trichoderma lactae. Hasil isolasi mikroorganisme dari tanah
menunjukkan bahwa pupuk organik 1 didominasi oleh Trichoderma spp., sedangkan pupuk
organik 2 didominasi oleh Bacillus spp. Kepadatan populasi mikroorganisme dalam masing-
masing perlakuan, terutama Bacillus sp., Trichoderma sp., dan Pseudomonas fluorescens,
memiliki korelasi erat dengan tingkat serangan penyakit busuk akar jamur putih pada
tanaman jambu mete.
SIMPULAN
Kombinasi penggunaan pupuk organik yang telah diperkaya dengan agensia hayati,
bersama dengan aplikasi fungisida nabati dan pemupukan NPK sebanyak ¼
kg/tanaman/tahun, memiliki potensi besar untuk digunakan dalam pengendalian penyakit JAP
pada tanaman jambu mete. Salah satu perlakuan yang paling efektif adalah penggunaan
fungisida nabati cengkeh (Mitol 20 EC) bersama dengan pupuk organik B yang diperkaya
dengan Bacillus pantotkentikus dan Trichoderma lactae. Perlakuan ini berhasil menurunkan
intensitas serangan menjadi 13,34% atau mencapai efektivitas sekitar 84,75% dibandingkan
dengan kontrol. Selain itu, penggunaan ekstrak biji nimba bersama dengan pupuk organik B
juga efektif dengan intensitas serangan sekitar 15,34% atau efektivitas sebesar 82,82%.
3.7 Potensi Jamur Perakaran sebagai Agens Pengendalian Hayati Penyakit Moler
(Fusarium oxysporum f.sp. Cepae) pada Bawang Merah
Penyakit umum yang sering menyerang tanaman bawang merah adalah penyakit
busuk daun yang disebabkan oleh Fusarium oxysporum f. sp. cepae (FOCe). Penelitian ini
bertujuan untuk mengeksplorasi potensi cendawan pengkolonisasi akar dalam mengendalikan
penyakit ini pada tanaman bawang merah. Penelitian ini terdiri dari dua tahap, yakni uji
laboratorium dan uji rumah kaca, yang menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
dalam pelaksanaannya.
Pada tahap uji rumah kaca, perlakuan yang diberikan melibatkan empat jenis jamur
yang telah terbukti memiliki kemampuan terbaik dalam menghambat pertumbuhan FOCe.
Setiap perlakuan diulang sebanyak tiga kali dalam eksperimen ini. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa cendawan pengkolonisasi akar mampu mengurangi intensitas penyakit
bawang merah akibat FOCe, tetapi belum memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
Karet memiliki peran yang sangat vital dalam perekonomian Indonesia. Namun,
rendahnya produktivitas karet di Indonesia diakibatkan oleh beberapa kendala, seperti
kurangnya penerapan teknologi dalam budidaya karet, gangguan cuaca, iklim yang tidak
selalu mendukung, serta serangan hama dan penyakit. Salah satu penyakit penting yang
menyerang tanaman karet adalah jamur akar putih yang disebabkan oleh patogen
Rigidoporus microporus. Sebagai alternatif dalam pengendalian penyakit ini, pemanfaatan
jamur Trichoderma spp. Telah dipertimbangkan.
Trichoderma spp. Memiliki beberapa mekanisme pengendalian terhadap patogen
tanaman, termasuk kompetisi dalam pemanfaatan sumber daya dan tempat tumbuh, produksi
senyawa antibiosis, serta kemampuan parasitisme. Senyawa antibiosis memiliki peran
penting dalam proses pengendalian, dan sering kali berhubungan erat dengan mekanisme lain
seperti kompetisi dan mikoparasitisme. Pentingnya mekanisme antagonisme ini adalah bahwa
tidak satu pun dari mekanisme tersebut dapat berdiri sendiri untuk mencapai pengendalian
yang efektif. Keberhasilan konsep pengendalian penyakit dengan menggunakan agen hayati
seperti Trichoderma spp. Tergantung pada keseimbangan faktor-faktor seperti suhu, pH, dan
kelembaban yang optimal. Mekanisme antagonisme yang dimiliki oleh Trichoderma spp.
Memiliki potensi besar sebagai alat pengendalian terhadap patogen tanah Rigidoporus
microporus yang menjadi penyebab penyakit jamur akar putih pada tanaman karet.
Kesimpulan:
3. Mekanisme antagonisme yang dimiliki oleh Trichoderma spp. Memiliki potensi besar
sebagai alat pengendalian terhadap patogen tular tanah Rigidoporus microporus, yang
merupakan penyebab penyakit jamur akar putih pada tanaman karet.
Penelitian ini berfokus pada penggunaan cendawan endofit yang berasal dari
tumbuhan rambusa sebagai agen pengendali penyakit Fusarium sp. Yang bersifat ramah
lingkungan. Eksperimen ini dilakukan di Laboratorium Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan,
Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman, antara bulan April hingga Juni 2021.
Rancangan eksperimental yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan dua
perlakuan, yakni cendawan endofit yang berasal dari daun dan batang, dan diulang sebanyak
lima kali, sehingga terdapat sepuluh unit percobaan secara keseluruhan. Data hasil
pengamatan kemudian dianalisis secara deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa isolat cendawan endofit yang diambil dari baik
batang maupun daun mampu menghambat pertumbuhan cendawan Fusarium sp. Ini
mengindikasikan bahwa cendawan endofit yang berasal dari kedua sumber tersebut memiliki
kemampuan yang serupa dalam mengontrol penyakit Fusarium sp. Daya hambat tertinggi
terjadi pada isolat cendawan endofit yang diambil dari daun, mencapai 55,27% pada
pengujian pada hari ketujuh. Sementara itu, isolat cendawan endofit yang diambil dari batang
juga menunjukkan hasil yang baik, dengan tingkat daya hambat sebesar 52,64%. Berdasarkan
kemampuan daya hambat ini, kedua isolat cendawan endofit yang diambil dari batang dan
daun memiliki potensi sebagai agen pengendali hayati penyakit Fusarium sp.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa cendawan endofit yang diambil dari
daun maupun batang tumbuhan rambusa memiliki peran sebagai agen antagonis terhadap
patogen Fusarium sp. Hasil uji menunjukkan bahwa daya hambat tertinggi terhadap
pertumbuhan Fusarium sp. Terjadi pada isolat cendawan endofit yang berasal dari daun,
mencapai 55,27%, sedangkan isolat yang diambil dari batang memiliki daya hambat sebesar
52,64%. Oleh karena itu, kedua isolat cendawan endofit ini memiliki potensi sebagai agen
pengendali hayati terhadap penyakit layu Fusarium sp. Pada tanaman rambusa.
3.10 APLIKASI Trichoderma sp. DALAM MENEKAN PENYAKIT MOLER PADA
TANAMAN BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan Trichoderma sp. Dengan dosis 400
Kg/Ha menghasilkan peningkatan yang signifikan dalam tinggi tanaman, jumlah daun, berat
berangkasan basah, dan berat berangkasan kering. Selain itu, perlakuan ini juga berhasil
mengurangi waktu kemunculan penyakit, intensitas serangan, dan tingkat keparahan penyakit
moler pada tanaman bawang merah.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa penggunaan Trichoderma sp. Dengan dosis 400
Kg/Ha mampu secara efektif mengurangi penyakit moler pada tanaman bawang merah. Hal
ini terbukti dengan rata-rata waktu kemunculan penyakit yang lebih lambat, yaitu sekitar 8,16
hari, serta intensitas serangan yang lebih rendah sekitar 20,23% dan tingkat keparahan
penyakit hanya sekitar 18,61%.
Selain itu, penggunaan Trichoderma sp. Pada dosis tersebut juga dapat signifikan
meningkatkan pertumbuhan tanaman, terutama dalam hal tinggi tanaman, jumlah daun, berat
berangkasan basah, berat berangkasan kering, dan produktivitas bawang merah.
3.11 Uji Antagonisme Jamur Trichoderma sp. Terhadap Patogen Fusarium sp. Pada
Tanaman Bawang Merah Allium cepa Isolat Lokal Tonsewer Secara In vitro
Penelitian dilakukan di Tonsewer, sebuah desa besar dalam produksi bawang merah
di Kabupaten Minahasa. Sayangnya, hasil panen bawang merah mengalami penurunan karena
serangan penyakit moler yang disebabkan oleh jamur Fusarium sp. Oleh karena itu,
diperlukan pengendalian yang efektif untuk menghambat pertumbuhan jamur Fusarium sp.
tanpa merusak lingkungan. Salah satu pendekatan yang digunakan adalah pengendalian
hayati menggunakan jamur Trichoderma sp. yang memiliki mekanisme antagonis seperti
kompetisi, parasitisme, dan antibiosis, yang mengakibatkan lisis jamur patogen. Penelitian ini
bertujuan untuk memahami pengaruh Trichoderma sp. sebagai agen biokontrol terhadap
Fusarium sp. dan mengukur seberapa efektifnya dalam menghambat pertumbuhan Fusarium
sp. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode biakan ganda secara in vitro selama
beberapa bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Trichoderma sp. mampu menghambat
pertumbuhan Fusarium sp. melalui berbagai mekanisme, mencakup kompetisi untuk sumber
daya dan ruang tumbuh, serta parasitisme dan antibiosis. Hasil pengamatan menunjukkan
bahwa Trichoderma sp. berhasil menghambat pertumbuhan Fusarium sp. hingga mencapai
100% pada hari ketujuh.
Dalam rangka penelitian ini, simpulan yang dapat ditarik adalah bahwa Trichoderma
sp. berhasil bersaing dengan Fusarium sp. baik dalam hal pemanfaatan sumber daya dan
ruang tumbuh, maupun melalui mekanisme kompetisi mikroskopis seperti mikoparasitisme
dan antibiosis. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa daya hambat jamur antagonis
Trichoderma sp. terhadap jamur patogen Fusarium sp. mencapai 100% pada hari ketujuh
penelitian.
Kesimpulan:
Penggunaan jamur sebagai agen pengendalian hayati dalam mengatasi hama tanaman dan
penyakit tanaman telah terbukti cukup efektif. Beberapa jenis jamur seperti Trichoderma
Fusarium solani, F. Oxysporum digunakan secara luas dalam pengendalian hayati.
1. Pengendalian Hama Tanaman:
2. Pengendalian Penyakit Tanaman:
- Beberapa jamur mikoriza arbuskula (AMF) digunakan untuk meningkatkan kesehatan
tanaman dan mengendalikan penyakit seperti fusarium dan verticillium wilts.
- Trichoderma spp. digunakan sebagai pengendali hayati terhadap penyakit seperti
phytophthora, rhizoctonia, dan sclerotinia.
Dampak penggunaan jamur sebagai agen pengendalian hayati terhadap produktivitas
pertanian adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan Produktivitas Tanaman:
- Penggunaan jamur sebagai agen pengendalian hayati dapat mengurangi kerugian yang
disebabkan oleh hama dan penyakit tanaman, sehingga meningkatkan produktivitas pertanian
secara keseluruhan.
- Tanaman yang terhindar dari serangan hama dan penyakit memiliki kesempatan yang
lebih baik untuk tumbuh dan menghasilkan hasil panen yang lebih tinggi.
Aldila Yunia Putri*, Ulfah Utami. Studi Bioteknologi Pengendalian Hayati dengan Berbagai
Jamur. Vol. 3, No. 1, Desember 2020 Hal. 543 - 551. Universitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim Malang, Indonesia
Alkapi Sukra. UPTD Balai Pengawasan dan Pengujian Mutu Benih dan Perlindungan
Tanaman Perkebunan. THE EFFECTIVENESS TEST OF ENTOMOPATHOGENIC
FUNGI AGAINST OIL PALM STEM BORER LARVAE (Oryctes rhinoceros L.) IN
THE LABORATORY. Jurnal Riset Perkebunan Vol 2, Nomor 2 September 2021
Dos Santos, I., & Bettiol, W. (2003). Effect of sewage sludge on the rot and seedling
damping-off of bean plants caused by Sclerotium rolfsii. Crop Protection, 22(9),
1093–1097
Intan Berlian, Budi Setyawan, dan Hananto Hadi. Mechanism of Antagonism of Trichoderma
spp. Againts Several Soil Borne Pathogens.
Kamel, S., Farag, F., Arafa, R., & Essa, T. (2020). Bio-Control Potentials of Trichoderma
spp. Against Sclerotium rolfsii the Causative of Root and Crown Rot in Tomato,
Common Bean and Cabbage. Egyptian Journal of Phytopathology, 48(1), 122–136.
Nianria Melyanti Pasalo1*, Febby Ester Fany Kandou1, Marina Flora Oktavine Singkoh1.
Uji Antagonisme Jamur Trichoderma sp. Terhadap Patogen Fusarium sp. Pada
Tanaman Bawang Merah Allium cepa Isolat Lokal Tonsewer Secara In vitro. Jurnal
Ilmu Alam dan Lingkungan 13 (2), (2022). 1 - 7
Nur Hidayat1*, Arini Rajab2, La Mudi1. UJI INVITRO DAYA HAMBAT CENDAWAN
ENDOFIT ASAL TUMBUHAN RAMBUSA (Passiflora foetida) SEBAGAI AGENS
PENGENDALI HAYATI PENYAKIT LAYU FUSARIUM. Jurnal Agrotech 11 (2)
64-70, Desember 2021
Siska Adielfina a,1,*, Liliek Sulistyowati a,2, Luqman Qurata Aini, a,3 , Alfi Inayati b,4. Uji
Antagonis Jamur Endofit Terhadap Patogen Sclerotium rolfsii Sacc. Penyebab
Penyakit Busuk Batang Pada Tanaman Kacang Tanah. AgroSainTa: Widyaiswara
Mandiri Membangun Bangsa, Juli 2022.
Sumartini. (2018). Penyakit tular tanah. Jurnal Litbang Pertanian, 31(1), 27–34.
Widi Amaria, Efi Taufiq, dan Rita Harni. SELECTION AND IDENTIFICATION OF
ANTAGONISTIC FUNGI AS BIOLOGICAL AGENTS OF WHITE ROOT DISEASE
(Rigidoporus microporus) IN RUBBER. Balai Penelitian Tanaman Industri dan
Penyegar Jalan Raya Pakuwon km 2 Parungkuda, Sukabumi Indonesia 43357.