Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PRAKTIKUM PENGENDALIAN HAYATI

EKSPLORASI ENTOMOPATOGEN

Oleh :
Nama : Rotua Pangaribuan
NPM : E1J019070

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI


JURUSAN BUDIDAYA PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pengendalian hayati dan pengelolaan habitat adalah suatu upaya menjaga
pertumbuhan tanman dan menjaga lingkungan agar sesuai untuk tanaman dan
agen hayati serta tidak sesuai untuk perkembangan pathogen. Musuh alami hama
dapat berupa parasitoid maupun mikroorganisme lainnya. Penggunaan musuh
alami memang tidak seefektif menggunakan pestisida kimia, tetapi kelebihan dari
menggunakan musuh alami adalah lebih ramah lingkungan dan lebih ekonomis.
Karena dapat mengurangi biaya produksi pertanian, yaitu dari biaya pengendalian
hama. Jamur entomopatogen adalah jamur yang berperan sebagai musuh alami
dan dapat mengendalikan jumlah hama. Karena sebagian jamur memiliki
kemampuan untuk mengganggu fungsi fisiologis serangga. Bahkan dapat bersifat
mematikan bagi serangga hama (Priyatno, 2016).
Jamur entomopatogen menyerang serangga yang masih hidup, kemudian ia
akan mengganggu fungsi fisiologis serangga. Setelah jamur membuat serangga
mati, jamur masih dapat hidup bahkan setelah serangga berubah menjadi bangkai.
Keanekaragaman hayati merupakan kekayaan atau bentuk kehidupan di bumi,
baik tumbuhan, hewan, mikroorganisme, maupun ekosistem, serta proses ekologi
yang dibangun menjadi lingkungan hidup. Tingginya jumlah keanekaragaman
hayati yang dimiliki ini merupakan aset yang tidak ternilai harganya yang dapat
dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat. Namun pemanfaatan potensi alam ini
masih terkendala oleh kurangnya informasi dan data mengenai potensi
keanekaragaman hayati tersebut. Hal ini dikarenakan masih terbatasnya kegiatan
eksplorasi, identifikasi maupun inventarisasi keanekaragaman hayati yang
dilakukan (Afifah, 2013).

1.2 Tujuan
Untuk mendapatkan patogen serangga dari beberapa lokasi sehingga bisa
digunakan sebagai agen pengendalian hayati.
BAB II
LANDASAN TEORI

Pengendalian hama dan penyakit secara konvensional pada tanaman


dengan menggunakan pestisida kimia saat ini sudah tidak merupakan solusi bijak
lagi, hal ini terkait dengan berbagai dampak negatif, berupa residu bahan kimia
pada lingkungan yang dapat menimbulkan pencemaran tanah dan air serta residu
tersebut juga akan terdapat pada hasil panen pada tanaman pangan, dapat
menyebabkan hama sasaran menjadi kebal terhadap bahan kimia yang terkandung
dalam pestisida tersebut (Sofyan, 2017).
Keanekaragaman hayati merupakan kekayaan atau bentuk kehidupan di
bumi, baik tumbuhan, hewan, mikroorganisme, maupun ekosistem, serta proses
ekologi yang dibangun menjadi lingkungan hidup. Tingginya jumlah
keanekaragaman hayati yang dimiliki ini merupakan aset yang tidak ternilai
harganya yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat. Namun
pemanfaatan potensi alam ini masih terkendala oleh kurangnya informasi dan data
mengenai potensi keanekaragaman hayati tersebut ( F. Herdattiarni, 2014).
Hal ini dikarenakan masih terbatasnya kegiatan eksplorasi, identifikasi
maupun inventarisasi keanekaragaman hayati yang dilakukan. Salah satu jenis
organisme yang belum banyak diteliti adalah fungi entomopatogen yang
merupakan mikroorganisme potensial yang hidup berasosiasi dengan serangga.
Fungi ini berpotensi untuk bisa dimanfaatkan sebagai agen pengendali hayati
hama tanaman. Fungi entomopatogen merupakan musuh alami dan regulator
paling efisien bagi populasi inangnya. Upaya koleksi bakteri dan jamur
entomopatogenik yang memiliki ciri-ciri potensi yang jelas sebagai agen
pengendali hayati sangat diperlukan dalam mengembangkan formulasi tersebut
menjadi produk yang bisa dimanfaatkan untuk pengendalian hama secara
ekonomis dan efisien ((RO. Khastiini, 2017).
Hama dapat menyebabkan kehilangan hasil pertanian setiap tahun. Saat ini,
penggunaan agen pengendali hayati asal mikroba untuk pengendalian hama
tanaman mengalami kemajuan pesat. Beberapa mikroba dari kelompok bakteri
dan fungi dilaporkan dapat menyebabkan kematian serangga atau bersifat
entomopatogenik. Kelompok bakteri entomopatogen yang banyak digunakan
diantaranya Bacillus thuringiensis, B. popilliae, dan B. lentimorbus; sedangkan
dari kelompok jamur entomopatogen yaitu Metarhizium anisopliae, Metarhizium
flavoviridae, Beaveria bassiana, Nomuraea rileyi, dan Verticillium lecanii.
Penelitian untuk ekplorasi entomopatogen sangat bermanfaat antara lain
untuk menyeleksi strain-strain baru yang adaptif terhadap perubahan lingkungan,
meningkatkan efek mematikan kandidat agen biokontrol melalui rekayasa
genetika, dan aplikasi teknologi formulasi mikroba yang lebih virulen untuk
mengendalikan serangga hama. Berdasarkan hal tersebut penelitian untuk
eksplorasi mikroba dari berbagai daerah di Indonesia yang memiliki potensi
entomopatogenik, khususnya kelompok jamur dan bakteri sangat penting
dilakukan. Selain itu upaya koleksi bakteri dan jamur entomopatogenik yang
memiliki ciri-ciri potensi yang jelas sebagai agen pengendali hayati sangat
diperlukan dalam mengembangkan formulasi tersebut menjadi produk yang bisa
dimanfaatkan untuk pengendalian hama secara ekonomis dan efisien
(E.Darmawan, 2016).
Keuntungan penggunaan fungi entomopatogenik antara lain relatif aman,
kapasitas reproduksi tinggi, siklus hidup pendek, bersifat selektif, kompatibel
dengan pengendalian lainnya, relatif murah diproduksi dan kemungkinan
menimbulkan resistensi amat kecil atau lambat, dan dapat membentuk spora yang
dapat bertahan lama, bahkan dalam kondisi yang tidak menguntungkan sekalipun.
Potensi lainnya adalah sebagai bahan baku untuk pengembangan obat. Fungi
entomopatogen merupakan sumber metabolit sekunder yang penting dalam bidang
farmakologi. Jamur entomopatogen yang banyak digunakan dalam pengendalian
serangga hama di lapangan yaitu jamur Metarhizium sp. Jamur ini dapat
melakukan penetrasi ke dalam tubuh serangga inang melalui 2 cara yaitu tekanan
mekanik dan bantuan toksin yang di keluarkan jamur entomopatogen tersebut
(Hasyim et al., 2016). Menurut Septiana et al., (2019), melakukan identifikasi
terhadap jamur yang dapat dijadikan sebagai agens hayati yaitu Aspergillus sp.,
Geotrichum sp. dan Penicillium sp. Jamur menyerang serangga dicirikan dengan
tubuh serangga menjadi kaku dan keras, membuat serangga seperti mumi serta
dari tubuh serangga tersebut akan keluar hifa yang tergantung dari jamur tersebut
yang menyerang serangga (Ayudya et al., 2019)
BAB III
METODE PELAKSANAAN

3.1 Tempat dan Waktu


Pengamatan dilaksanakan pada hari rabu, 29 September 2021 s/d hari senin,
04 Oktober 2021 di Daerah Unib Belakang gang Juwita 3
3.2 Bahan dan Alat
Bahan : Alat :
1. Tanah yang tidak terlalu kering 1. Kantong plastic
dan tidak terlalu lembab (1.5 kg)- 2. Nampan plastic
tanah perbanyakan pisang dan 3. Kain kasa
manga.
2. Ulat hongkong (20 ekor)

3.3 Pelaksaan Praktikum


1. Mengambil tanah yang tidak terlalu kering dan tidak terlalu lembab dari
beberapa sampel tanah di lahan sekitar rumah yang kemudian dikomposit
menjadi satu didalam kantong plastik sebanyak 1.5 kg.
2. Kemudian, mengambil ulat hongkong sebanyak 20 ekor (dibeli di simpang 3,
Pematang Gubernur).
3. Memasukkan tanah kedalam nampan plastic, kemudian 20 ekor ulat hongkong
tersebut dimasukkan kedalam nampan berisi tanah tersebut.

4. Nampan berisi tanah dan ulat hongkong kemudian disiram agar lembab.
Setelah itu, ditutup menggunakan kain kasa.
5. Kemudian diamati
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan

Pengamatan yang dilakukan pada ulat hongkong didalam nampan berisi tanah
beberapa mengalami perubahan yaitu ulat bergerak semakin lambat dan warna
badan berubah menjadi orange keputih putihan/pucat. Ulat masih hidup dan
beberapa bertambah ukuran tubuhnya.

4.2 Pembahasan
Pengamatan pada ulat hongkong didalam nampan berisi tanah belum
mengalami perubahan atau belum diserang jamur endomopatogen. Hal ini
dikarenakan pengamatan masih dilakukan selama 4 hari. Namun ulat sudah
menunjukkan tanda tanda seperti bergerak semakin lambat, dan warna badan
semakin pucat.
Lahan yang tidak diaplikasikan pestisida dapat meningkatkan mikroorganisme
di dalam tanah tersebut. Hal ini dikarenakan mikroorganisme tersebut tidak
musnah akibat residu pestisida. Kerapatan spora yang tinggi pada masing-masing
perlakuan bisa menyebabkan tingkat mortalitas berbeda. Hal ini disebabkan oleh
tingkat virulensi dari jamur entomopatogen. Bisa dikarenakan perlakuan yang
berbeda dimana proses perendaman pakan yang diberikan pada serangga lebih
cepat diserap oleh pakan. Sehingga serangga langsung memakan pakan yang
sudah ada jamur entomopatogen, dengan dimakan pakan tersebut memudahkan
jamur berkecambah di dalam tubuh serangga dan membuat serangga cepat mati.
Sedangkan jamur entomopatogen yang menempel di tubuh serangga memerlukan
waktu dan dapat di pengaruhi oleh suhu dan kelembaban (Ardiyati et al., 2015).
Ciri-ciri serangga yang terserang jamur entomopatogen, pertama bergerak
lambat, kemudian serangga tersebut mati, serangga yang mati tubuhnya keras dan
kaku. Tubuh serangga tersebut tidak berubah, yaitu warna tetap orange. Setelah 2-
3 hari baru mulai warna berubah menjadi putih yang ditutupi oleh hifa jamur.
Hari kelima miselia cendawan berwarna putih mengalami perubahan menjadi
warna hijau. Menurut Permadi et al. (2019), serangga yang terserang jamur M.
anisopliae setelah lima hari tubuh diselimuti oleh hifa jamur yang berwana hijau.
Serangga yang terserang jamur entomopatogen, akan mengalami perubahan, yaitu
serangga yang ada di dalam tanah akan naik pada permukaan tanah, terus
serangga tersebut akan mengalami mumifikasi (Wibowo et al., 2018). Serangga
yang termumifikasi akan mengalami perubahan warna pada tubuhnya (Ulya et al.,
2016).
Penelitian untuk ekplorasi entomopatogen sangat bermanfaat antara lain untuk
menyeleksi strain-strain baru yang adaptif terhadap perubahan lingkungan,
meningkatkan efek mematikan kandidat agen biokontrol melalui rekayasa
genetika, dan aplikasi teknologi formulasi mikroba yang lebih virulen untuk
mengendalikan serangga hama. Keuntungan penggunaan fungi entomopatogenik
antara lain relatif aman, kapasitas reproduksi tinggi, siklus hidup pendek, bersifat
selektif, kompatibel dengan pengendalian lainnya, relatif murah diproduksi dan
kemungkinan menimbulkan resistensi amat kecil atau lambat, dan dapat
membentuk spora yang dapat bertahan lama, bahkan dalam kondisi yang tidak
menguntungkan sekalipun.
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Ciri-ciri serangga yang terserang jamur entomopatogen, pertama bergerak
lambat, kemudian serangga tersebut mati, serangga yang mati tubuhnya keras dan
kaku. Tubuh serangga tersebut tidak berubah, yaitu warna tetap orange. Setelah 2-
3 hari baru mulai warna berubah menjadi putih yang ditutupi oleh hifa jamur. Hari
kelima miselia cendawan berwarna putih mengalami perubahan menjadi warna
hijau. Jamur entomopatogen dijadikan pengendalian hayati karena penggunaannya
aman, kapasitas reproduksi tinggi, siklus hidup pendek, bersifat selektif,
kompatibel dengan pengendalian lainnya, relatif murah diproduksi dan
kemungkinan menimbulkan resistensi amat kecil atau lambat, dan dapat
membentuk spora yang dapat bertahan lama, bahkan dalam kondisi yang tidak
menguntungkan sekalipun.
DAFTAR PUSTAKA

Afifah, L., Rahardjo, B. T., & Tarno, H. (2013). Eksplorasi nematoda


entomopatogen pada lahan tanaman jagung, kedelai dan kubis di Malang
serta virulensinya terhadap Spodoptera litura Fabricius. Jurnal Hama dan
Penyakit Tumbuhan, 1(2), pp-1.
Arsi, A., Pujiastuti, Y., Kusuma, S. S. H., & Gunawan, B. (2020). Eksplorasi,
isolasi dan identifikasi Jamur entomopatogen yang menginfeksi serangga
hama. Jurnal Proteksi Tanaman Tropis, 1(2), 70-76.
DARMAWAN, E. (2016). EKSPLORASI JAMUR ENTOMOPATOGEN
Beauveria bassiana, Metarrhizium anisopliae, dan JAMUR ANTAGONIS
Trichoderma sp PADA BEBERAPA SAMPEL TANAH PERTANAMAN
TEMBAKAU.
Herdatiarni, F., Himawan, T., & Rachmawati, R. (2014). Eksplorasi cendawan
entomopatogen Beauveria sp. menggunakan serangga umpan pada
komoditas jagung, tomat dan wortel organik di Batu, Malang. Jurnal
Hama dan Penyakit Tumbuhan, 2(1), pp-130.
Indrayani I. 2017. Potensi jamur Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorokin untuk
pengendalian secara hayati hama uret tebu Lepidiota stigma (Coleoptera:
Scarabaeidae). Perspektif 16(1): 24–32.
Khastini RO, Wahyuni I. 2017. Eksplorasi keragaman fungi entomopatogen di
Desa Cikeusik-Baduy Dalam, Banten. Jurnal Scientium 6(1): 1–10.
Khastini, R. O., & Wahyuni, I. (2017). Eksplorasi Keragaman Fungi
Entomopatogen di Desa Cikeusik-Baduy Dalam, Banten. Jurnal
Scientium, 6(1), 1-10.
Nadrawati, N., & Tri, S. EKSPLORASI, ISOLASI DAN SELEKSI
CENDAWAN ENTOMOPATOGEN TERHADAP HAMA TANAMAN
JERUK DIAPHORINA CITRI KUWAYAMA. Jurnal Akta
Agrosia, 17(1), 41-48.
Nunilahwati, H., Herlinda, S., Irsan, C., & Pujiastuti, Y. (2012). Eksplorasi,
isolasi dan seleksi jamur entomopatogen Plutella xylostella (Lepidoptera:
Yponomeutidae) pada pertanaman caisin (Brassica chinensis) di Sumatera
Selatan. J. HPT Tropika, 12(1), 1-11.
Permadi MA, Lubis RA, Siregar IK. 2019. Studi keragaman cendawan
entomopatogen dari berbagai rizosfer tanaman hortikultura di Kota
Padangsidimpuan. Jurnal Penelitian dan Pembelajaran MIPA 4(1): 1-9.
Permadi, M. A., Lubis, R. A., & Sari, D. (2018). Eksplorasi cendawan
entomopatogen dari berbagai rizosfer tanaman hortikultura di beberapa
wilayah Kabupaten Mandailing Natal Provinsi Sumatera Utara. Agritech:
Jurnal Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah
Purwokerto, 20(1), 23-32.
Pramono SB, Purnomo H. 2020. Patogenisitas jamur entomopatogen Aschersonia
sp. sebagai pengendalian hama kutu sisik Citricola Coccus
pseudomagnoliarium (Kuw.) (Homoptera: Coccidae) pada tanaman jeruk.
Jurnal Pengendalian Hayati 2(1): 17-22.
Prayogo Y. 2017. Perbandingan metode aplikasi jamur entomopatogen Beauveria
bassiana untuk pengendalian Cylas formicarius (Coleoptera:
Curculionidae). Jurnal Hama dan Penyakit Tumbuhan Tropika 17(1): 84-
95.
Priyatno TP, Samudrai IM, Manzila I, Susilowati DN, Suryadi Y. 2016.
Eksplorasi dan Karakterisasi entomopatogen asal berbagai inang dan
lokasi. Jurnal Ilmu-ilmu Hayati 15(1): 69- 79.
Safitri A, Herlinda S, Setiawan, A. 2018. Entomopathogenic fungi of soils of
freshwater swamps, tidal lowlands, peatlands, and highlands of south
Sumatra, Indonesia. Biodiversitas 19(6): 2365–2373.
Septiana N, Rosa E, Ekowati CN. 2019. Isolasi dan identifikasi jamur
entomopatogen sebagai kandidat bioinsektisida lalat rumah (Musca
domestica). BIOSFER: Jurnal Tadris Biologi 10(1): 87-94
Sunardi, T., Nadrawati, N., & Ginting, S. B. (2013). EKSPLORASI
ENTOMOPATOGEN DAN PATOGENESITASNYA PADA APHIS
CRACCIVORA KOCH.
Utami RS, Ambarwati R. 2014. Eksplorasi dan karakterisasi cendawan
entomopatogen Beauveria bassiana dari Kabupaten Malang dan Magetan.
Jurnal Lentera Bio 3(1): 59–66.

Anda mungkin juga menyukai