Anda di halaman 1dari 17

PENGENDALIAN PENYAKIT TUMBUHAN SECARA ORGANIK

(MEMPERKENALKAN PEMBUATAN PESTISIDA NABATI,


FORMULASI AGENSIA HAYATI TRICHODERMA)
(Laporan Praktikum Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman)

Oleh:

Vernanda Saktilas
2014161009

JURUSAN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2021
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penggunaan biopestisida, khususnya pestisida nabati merupakan kearifan lokal


bangsa Indonesia. Pemanfaatan pestisida nabati mendapat perhatian penting
seiring dengan munculnya dampak negatif penggunaan pestisida sintetis terhadap
kesehatan dan lingkungan. Permintaan akan pestisida nabati meningkat seiring
dengan berkembangnya pertanian organik maupun adanya larangan penggunaan
pestisida kimia sintetis. Indonesia merupakan negara kedua terbesar di dunia
setelah Brasil yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati, termasuk tanaman
bahan pestisida nabati. Beberapa formula pestisida nabati yang terbukti manjur
untuk mengendalikan OPT telah diproduksi dan sebagian diekspor ke negara
tetangga. Namun, pengembangan pestisida nabati menghadapi beberapa kendala,
antara lain: (1) daya kerjanya lambat sehingga petani lebih memilih pestisida
sintetis yang cara kerjanya cepat terlihat; (2) banyaknya pestisida sintetis yang
beredar di pasaran sehingga petani mempunyai banyak pilihan dan kemudahan
untuk memperoleh pestisida dan tidak tertarik pada pestisida nabati; (3) sulitnya
memperoleh bahan baku dalam jumlah banyak karena masyarakat enggan
mengembangkannya dan hanya mengandalkan pada alam; dan (4) sulitnya proses
pendaftaran dan perizinan karena umumnya pestisida nabati dikembangkan oleh
pengusaha kecil (Kardinan, 2011).

Bahan aktif pestisida nabati adalah produk alam yang berasal dari tanaman yang
mempunyai kelompok metabolit sekunder yang mengandung beribu-ribu senyawa
bioaktif seperti alkaloid, terpenoid, fenolik, dan zat – zat kimia sekunder lainnya.
Senyawa bioaktif tersebut apabila diaplikasikan ke tanaman yang terinfeksi OPT,
tidak berpengaruh terhadap fotosintesis pertumbuhan ataupun aspek fisiologis
tanaman lainnya, namun berpengaruh terhadap sistem saraf otot, keseimbangan
hormone, reproduksi, perilaku berupa penarik, anti makan dan sistem pernafasan
OPT. Kelompok pestisida sintetik yang sudah dikembangkan dan dipasarkan saat
ini banyak yang berasal dari pestisida nabati seperti karbamat dan piretroid. Pada
tahun 1800-an ekstrak tembakau dan asap nikotin telah digunakan untuk
mengendalikan hama. Di Asia dan sekitarnya para petani lebih mengenal bubuk
pohon deris, yang mengandung bahan aktif rotenon sebagai zat pembunuh. Bahan
aktif pirenthin I dan II serta anerin I dan II, yang diperoleh dari bunga Pyrentrum
aneraria juga banyak digunakan. Penggunaan pestisida nabati kurang berkembang
karena berbagai hal antara lain karena kalah bersaing dengan pestisida sintetis,
dan juga karena ekstrak dari tanaman/tumbuhan umumnya mempunyai kadar
bahan aktifnya tidak tetap, bervariasi dan tidak stabil (Setiawati, dkk., 2008)

Genus Trichoderma terdiri dari sejumlah besar strain jamur berfilamen


rhizokompeten yang ditemukan di berbagai ekosistem. Jamur ini sebagian besar
diisolasi dari hutan atau tanah pertanian di semua garis lintang dan dapat dengan
mudah dibudidayakan secara in vitro. Mereka menyajikan sporulasi hijau yang
khas dan beberapa spesies menghasilkan bau manis atau 'kelapa' yang khas karena
senyawa volatil yang aktif secara biologis (6-pentil-α-piron). Sifat mikoparasit
(kemampuan menyerang jamur lain dan memanfaatkan nutrisinya) Trichoderma
dan potensi penggunaannya sebagai agen biokontrol jamur patogen tanaman telah
dikenal selama lebih dari enam dekade. Selama periode ini, beberapa strain
Trichoderma, beberapa di antaranya juga merupakan simbion tanaman
oportunistik, telah dikembangkan sebagai agen biokontrol terhadap penyakit
tanaman, sementara yang lain seperti Trichoderma reesei adalah jamur berfilamen
selulolitik yang penting dalam industry (Brotman, dkk., 2010).

Trichoderma sp merupakan jamur yang dapat menjadi agen biokontrol karena


bersifat antagonis bagi jamur lainnya.Aktivitas antagonis tersebut meliputi
persaingan, parasitisme, predasi, atau pembentukkan toksin seperti antibiotik.
Trichoderma sp merupakan jamur yang habitatnya di tanah, termasuk class
Ascomycetes yang mempunyai spora hijau. Jamur ini mempunyai potensi
degradasi dekomposisi berbagai macam substrat heterogen di tanah, interaksi
positif dengan inang, memproduksi enzim untuk perbaikan nutrisi bagi tanaman.
Spesies Trichoderma diantaranya adalah Trichoderma reesei, Trichoderma viride,
dan Trichoderma harzianum (Schuster dan Schmoll, 2010). Trichoderma sp
efektif menghambat pertumbuhan Sclerotinia sclerotiorum, Fusarium oxysprum,
dan Altenaria brassicicola yang merupakan patogen tanaman (Manokaran, 2016).
Hasil penelitian Alfizar dkk (2013), Trichoderma sp dapat menghambat
pertumbuhan cendawan patogen C. capsici, Fusarium sp, dan S. rolfsii secara in
vitro. Daya hambat Trichoderma sp yang paling tinggi terdapat pada patogen C.
capsici, diikuti dengan daya hambat terhadap patogen Fusarium sp dan S. rolfsii.

1.2 Tujuan

Tujuan dari praktikum ini adalah sebagai berikut :


1. Untuk mengetahui pengendalian apa saja yang dapat diaplikasikan pada
tanaman.
2. Untuk mengetahui jenis-jenis agensi hayati apa saja yang dapat diaplikasikan
pada tanaman.
II. TINJAUAN PUSTAKA

Pestisida adalah substansi kimia dan bahan lain yang digunakan untuk
mengendalikan berbagai hama. Bagi petani jenis hama yaitu tungau, tumbuhan
pengganggu, penyakit tanaman yang disebabkan oleh fungi (jamur), bakteria, dan
virus, nematoda (cacing yang merusak akar), siput, tikus, burung dan hewan lain
yang dianggap merugikan (Djojosumarto, 2008). Dahulunya, manusia
menggunakan pestisida nabati dalam pembasmian hama, namun sejak
ditemukannya diklorodifenil trikloroetan (DDT) tahun 1939, penggunaan
pestisida nabati sedikit demi sedikit ditinggalkan sehingga manusia beralih ke
pestisida kimia. Penggunaan pestisida kimia yang tidak rasional menimbulkan
dampak buruk dari segi lingkungan maupun dari segi kesehatan manusia
(Ariyanti, dkk, 2017).

Pestisida nabati adalah pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan yang
relatif mudah dibuat dengan kemampuan yang terbatas, karena pestisida nabati ini
bersifat mudah terurai di alam sehingga tidak mencemari lingkungan dan relatif
aman bagi manusia, serta ternak. Pestisida nabati ini berperan sebagai racun
kontak dan racun perut. Pestisida nabati dapat berfungsi sebagai : (1) penghambat
nafsu makan (anti feedant); (2) penolak (repellent); (3) penarik (atractant); (4)
menghambat perkembangan; (5) menurunkan keperidian; (6) pengaruh langsung
sebagai racun dan (7) mencegah peletakkan telur (Setiawati, dkk, 2008).

Bahan aktif pestisida nabati adalah produk alam yang berasal dari tanaman yang
mempunyai kelompok metabolit sekunder yang mengandung beribu-ribu senyawa
bioaktif seperti alkaloid, terpenoid, fenolik, dan zat – zat kimia sekunder lainnya.
Senyawa bioaktif tersebut apabila diaplikasikan ke tanaman yang terinfeksi OPT,
tidak berpengaruh terhadap fotosintesis pertumbuhan ataupun aspek fisiologis
tanaman lainnya, namun berpengaruh terhadap sistem saraf otot, keseimbangan
hormone, reproduksi, perilaku berupa penarik, anti makan dan sistem pernafasan
OPT (Setiawati, dkk, 2008).

Trichoderma sp. merupakan jamur saprofit di tanah yang secara alami memiliki
kemampuan menyerang jamur patogen pada tanaman. Trichoderma sp. diketahui
memiliki spektrum pengendalian yang luas. Trichoderma dikenal sebagai jamur
yang menguntungkan karena sifat antagonistik yang kuat dalam menghambat
pertumbuhan jamr patogen. Trichoderma memiliki mekanisme pengendalian yang
bersifat spesifik target sehingga diyakini mampu meningkatkan produktivitas
tanaman (Muksin et al, 2013).

Trichoderma merupakan genus jamur yang bersifat antagonis terhadap banyak


patogen pada tumbuhan. Mekanisme antagonis yang terjadi antara mikroba
patogen dengan jamur antagonis dapat terjadi melalui proses antibiosis, kompetisi,
serta mikoparasitisme (Purwandriya, 2016). Kemampuan Trichoderma dalam
menghambat pertumbuhan jamur patogen sering dikaitkan dengan kemampuannya
dalam menghasilkan enzim kitinase (Habazar & Yaherwandi, 2006). Enzim ini
menyebabkan kerusakan sel jamur patogen yang akhirnya dapat menyebabkan
kematian sel (Sunarwati dan Yoza, 2010).
III. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Waktu dilaksanakannya praktikum ini adalah pada hari Rabu, 3 November 2021
yang bertempat di desa Taman Endah, kecamatan Purbolinggo, kabupaten
Lampung Timur.

3.2 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah jurnal penelitian
tentang pembuatan pestisida nabati, alat tulis, dan power point.

3.3 Langkah Kerja

Prosedur kerja yang dilakukan pada praktikum ini adalah sebagai berikut:
1. Dilakukan pemutaran video.
2. Dilakukan penjelasan power point tentang pestisida nabati dan Trichoderma.
IV. PEMBAHASAN

4.1 Pembahasan

Pestisida nabati adalah pestisida yang berasal dari tumbuhan, sedangkan arti
pestisida itu sendiri adalah bahan yang dapat digunakan untuk mengendalikan
populasi OPT. Pestisida nabati bersifat mudah terdegradasi di alam (Bio-
degredable), sehingga residunya pada tanaman dan lingkungan tidak signifikan.
Indonesia di kenal dengan negara yang memiliki kekayaan keanekaragaman
hayati (Mega-biodiversity) terbesar kedua di dunia setelah Brazil, termasuk
memiliki sejumlah tanaman yang dapat digunakan sebagai bahan dasar pestisida,
baik yang dapat langsung digunakan atau dengan ekstraksi sederhana dengan air,
ekstraksi dengan pelarut organik lainnya ataupun dengan cara penyulingan,
tergantung kepada tujuan dari formula yang akan dibuat (Syakir, 2012).

Pestisida hayati merupakan formulasi yang mengandung mikroba tertentu baik


berupa jamur, bakteri, maupun virus yang bersifat antagonis terhadap mikroba
lainnya (penyebab penyakit tanaman) atau menghasilkan senyawa tertentu yang
bersifat racun baik bagi serangga (hama) maupun nematoda (penyebab penyakit
tanaman). Formulasi Beuveria bassiana (isolat Segunung) mampu
mengendalikan hama kumbang moncong yang merupakan hama utama anggrek
dan serta mengendalikan kumbang mawar serta kutu daun pada tanaman krisan
(Djunaedy dan Achmad, 2009).
Pemanfaatan pestisida nabati membawa dampak positif diantaranya adalah bahan
bakunya melimpah di alam, proses pembuatannya tidak membutuhkan teknologi
tinggi, cukup dengan kemampuan dan pengetahuan yang ada. Di lain pihak,
karena bahan aktifnya berasal dari alam, pestisida nabati mudah terurai (bio-
degradable) sehingga relatif aman bagi kehidupan. Sebagai contoh, insektisida
nabati dari ekstrak bunga piretrum yang diaplikasikan untuk mengendalikan hama
pada tanaman lada, sudah terdegradasi dalam waktu 24 jam. Insektisida nabati
juga memiliki pengaruh cepat dalam menghambat nafsu makan serangga sehingga
dapat menekan kerusakan tanaman. Keunggulan lainnya, pestisida nabati
memiliki spectrum pengendalian yang luas dan dapat mengendalikan hama yang
telah resisten terhadap insektisida sintetis. Karena tingkat toksisitasnya terhadap
mamalia relatif rendah, pestisida nabati aman bagi kehidupan (Wiratno et al.
2008).

Di samping kelebihan yang ditawarkan, pestisida nabati memiliki beberapa


kekurangan, yaitu bahan aktifnya mudah terurai sehingga pestisida ini tidak tahan
disimpan dalam jangka waktu lama. Selain itu, daya kerja pestisida nabati relatif
lambat sehingga aplikasinya harus lebih sering dibanding pestisida sintetis.
Umumnya pestisida nabati mempunyai tingkat toksisitas rendah sehingga tidak
langsung mematikan hama sasaran. Produksinya juga belum dapat dilakukan
secara massal karena keterbatasan bahan baku. Namun, keterbatasan bahan baku
ini dapat diatasi mengingat melimpahnya spesies tanaman yang tumbuh liar di
sekitar kebun. Hal yang dibutuhkan petani adalah pengetahuan tentang spesies
tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan aktif pestisida nabati. Oleh
karena itu, agar pemanfaatan pestisida nabati di tingkat petani semakin cepat,
sosialisasi cara ekstraksi bahan aktif, formulasi, dan aplikasi pestisida di lapangan
menjadi salah satu factor kunci yang perlu diperhatikan oleh pemangku kebijakan
(Wiranto, 2013).

Di dalam penelitian yang dilakukan oleh Rani et al., (2017) pestisida nabati yang
digunakan yaitu ekstrak daun papaya dan belimbing wuluh. Metode penelitian yang
digunakan untuk mengestrak daun pepaya dan belimbing wuluh adalah maserasi.
Maserasi merupakan teknik ekstraksi yang dilakukan untuk bahan yang tidak tahan
panas dengan cara perendaman di dalam pelarut tertentu selama waktu tertentu.
Maserasi dilakukan pada suhu ruang untuk mencegah penguapan pelarut secara
berlebihan karena faktor suhu dan dilakukan pengadukan selama 15 menit agar
bahan dan pelarut tercampur. Penyaringan dilakukan setelah proses maserasi selesai
yaitu 1 hari, 3 hari, 5 hari, 7 hari, 9 hari. Tahap-tahap penelitian proses pembuatan
pestisida terdiri dari persiapan, perendaman bahan baku, filtrasi (penyaringan),
pemisahan alkohol, pengujian metabolit sekunder (uji warna), dan pengujian pada
hewan uji (larva nyamuk).

Bahan baku yang digunakan adalah daun papaya dan belimbing wuluh. Bahan
baku yang telah didapatkan dicuci menggunakan air sampai bahan baku bersih,
selanjutnya dikeringkan di bawah sinar matahari sampai kering. Setelah bahan
kering lalu diblender kemudian diayak sehingga mendapatkan ukuran partikel
range 80-100 mesh. Pelarut yang digunakan adalah etanol. Ekstrasi maserasi
dilakukan dengan cara mencampurkan bahan dengan pelarut dengan rasio 1 : 4
(yaitu 100 g bahan baku terdiri dari 50 gram daun pandan wangi dan 50 g umbi
bawang putih dan 400 ml pelarut etanol 70 %) di dalam suatu wadah yang ditutup
rapat dengan waktu variasi ekstraksi maserasi (1 hari, 3 hari, 5 hari, 7 hari dan 9
hari) yang disertai dengan pengadukan dengan cara mengaduk wadah yang berisi
pelarut dan bahan baku. Penutupan wadah ini bertujuan agar pelarut yang
digunakan tidak menguap sebelum waktu penyaringan, sedangkan pengadukan
bertujuan membuat bahan tercampur sempurna.

Setelah bahan baku direndam menggunakan pelarut, selanjutnya dilakukan


penyaringan menggunakan kertas saring whatman, setelah disaring didapatkan
ekstrak encer. Penyaringanbertujuan untuk menghilangkan bahan yang berukuran
besar dari larutan sehingga didapatkan filtrat yang bebas dari bahan yang
sebelumnya dihaluskan Setelah dilakukan penyaringan ekstrak dilanjutkan dengan
proses destilasi dengan temperatur 80oC dengan waktu ± 50 menit yang ditandai
dengan tidak menetesnya alkohol pada erlemeyer (tempat penampung alkohol).
Pemisahan dengan destilasi di lakukan untuk menghasilkan larutan yang bebas
dari alkohol yang berdasarkan perbedaan titik didih sehingga pelarut yang volatile
berpindah dari larutan yang homogen ke tempat yang telah disediakan untuk
menampung pelarut yang digunakan untuk melakukan maserasi.
V. KESIMPULAN

Kesimpulan dari kegiatan ini adalah sebagai berikut :


1. Pestisida nabati adalah pestisida yang berasal dari tumbuhan.
2. Trichoderma merupakan genus jamur yang bersifat antagonis terhadap banyak
patogen pada tumbuhan.
3. Pestisida hayati merupakan formulasi yang mengandung mikroba tertentu
baik berupa jamur, bakteri, maupun virus.
DAFTAR PUSTAKA

Alfizar., Marlina., dan Susanti, F. 2013. Kemampuan Antagonis Trichoderma sp


Terhadap Beberapa Jamur Patogen In Vitro. J. Floratek 8, 45-51.

Ariyanti, R., Yenie, E., & Elystia, S. (2017). Pembuatan pestisida nabati dengan \
cara ekstraksi daun pepaya dan belimbing wuluh (Doctoral dissertation, Riau
University).

Djunaedy, Achmad. 2009. Biopestisida Sebagai Pengendali Organisme


Pengganggu Tanaman (OPT) yang Ramah Lingkungan. Jurnal Embryo,
6(1):9

Habazar, T dan Yaherwandi. 2006. Pengendalian Hayati Hama dan Penyakit


Tumbuhan. Andalas University Press. Padang.

Kardinan, A. 2011. Penggunaan Pestisida Sebagai Kearifan Lokal dalam


Pengendalian Hama Tanaman Menuju Sistem Pertanian Organik. Jurnal
Pengembangan Inovasi Pertanian. 4(4), : 262-278.

Manokaran, R. 2016. Fast Isolation and Regeneration Method for Protoplast


Production in Trichoderma harzianum.

Muksin, R., Rosmini dan Panggeso J. 2013. Uji Antagonisme Trichoderma sp.
terhadap Jamur Patogen Alternaria porri Penyebab Penyakit Bercak Ungu
pada Bawang Merah Secara In-vitro. EJournal Agrotekbis. 1(2): 140 – 144.

Purwandriya, F. 2016. Kemampuan Trichoderma sp. dalam Menghambat


Curvularia lunata Penyebab Penyakit Bercak Daun pada Tanaman Nenas
(Ananas comosus L Merr. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung.

Rani, A., Elvi, Y., Shinta, E. 2017. Pembuatan Pestisida Nabati dengan Cara
Ekstraksi Daun Pepaya. Jurnal FTEKNIK, 4(2):1

Schuster, A., dan Schmoll, M. 2010. Biology and biotechnology of Trichoderma.


Appl Microbiol Biotechnol, 87(3): 787–799.
Setiawati, W. 2008. Tumbuhan Bahan Pestisida Nabati. Prima Tani Balista.
Jakarta.

Setiawati, W., Murtiningsih, R., Gunaeni, N., & Rubiati, T. (2008). Tumbuhan
bahan pestisida nabati dan cara pembuatannya untuk pengendalianor
ganisme pengganggu tumbuhan (OPT).

Djojosumarto, P.,2008. Pestisida dan Aplikasinya. Jakarta: PT. Agromedia


Pustaka, Jakarta.

Sunarwati, D. & R. Yoza. 2010. Kemampuan Trichoderma dan Penicillium dalam


Menghambat Pertumbuhan Cendawan Penyebab Penyakit Busuk Akar
Durian (Phytophthora palmivora) Secara In Vitro. Balai Penelitian Tanaman
Buah Tropika. Seminar Nasional Program dan Strategi Pengembangan Buah
Nusantara

Syakir. 2012. Pestisida Nabati. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan.


Bogor.

Wiranto, Siswanto, Trisawa. 2013. Perkembangan penelitian, formulasi, dan


pemanfaatan pestisida nabati. J. Litbang Pertanian. Vol. 32 No. 4 150-155

Wiratno, D. Taniwiryono, I.M.C.M. Rietjens, and A.J. Murk. 2008. Bioactivity of


plant extracts to T. castaneum. Effectiveness and safety of botanical
pesticides applied in black pepper. Wageningen University, Wageningen. p.
126.

Yariv Brotman, J. Gupta Kapuganti, and Ada Viterbo. 2010. Trichoderma.


Current Biology Vol 20 No 9.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai