Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dengan meningkatnya pembangunan nasional dan juga terjadinya

peningkatan industrialisasi diperlukan saran-sarana yang mendukung lancarnya

proses industrialisasi tersebut, yaitu dengan meningkatkan sektor pertanian.

Menurut Suwanto (1994), kondisi pertanian di Indonesia di masa

mendatang banyak yang akan diarahkan untuk kepentingan agroindustri. Salah

satu bentuknya akan mengarah pada pola pertanian yang makin monokultur, baik

itu pada pertanian darat maupun akuakultur. Dengan kondisi tersebut, maka

berbagai jenis penyakit yang tidak dikenal atau menjadi masalah sebelumnya

akan menjadi kendala bagi peningkatan hasil berbagai komoditi agroindustri.

Peningkatan sektor pertanian memerlukan berbagai sarana yang

mendukung agar dapat dicapai hasil yang memuaskan dan terutama dalam hal

mencukupi kebutuhan nasional dalam bidang pangan/sandang dan meningkatkan

perekonomian nasional dengan mengekspor hasil ke luar negeri.

Sarana-sarana yang mendukung peningkatan hasil di bidang pertanian ini

adalah alat-alat pertanian, pupuk, bahan-bahan kimia yang termasuk di dalamnya

adalah pestisida.

Ton (1991) mengatakan bahwa di negara-negara dunia ketiga yang sedang

berkembang yang mencukup kebutuhannya sendiri dalam bidang pangan/sandang,

penggunaan bahan-bahan kimia pertanian membantu pada kemajuan dan

1
perkembangan pertanian selanjutnya. Tetapi di negara-negara berkembang telah

mengurangi penggunaan dari bahan-bahan kimia pertanian karena merupakan

salah satu penyebab utama dari pencemaran lingkungan.

Pencemaran lingkungan terutama lingkungan pertanian disebabkan oleh

penggunaan bahan-bahan kimia pertanian. Telah dapat dibuktikan secara nyata

bahwa bahan-bahan kimia pertanian dalam hal ini pestisida, meningkatkan

produksi pertanian dan membuat pertanian lebih efisien dan ekonomi.

Pencemaran oleh pestisida tidak saja pada lingkungan pertanian tapi juga dapat

membahayakan kehidupan manusia dan hewan dimana residu pestisida

terakumulasi pada produkproduk pertanian dan pada perairan.

Bagaimana cara untuk meningkatkan produksi pertanian disamping juga

menjaga keseimbangan lingkungan agar tidak terjadi pencemaran akibat

penggunaan pestisida yang dapat mengganggu stabilitas lingkungan pertanian.

Untuk itu perlu diketahui peranan dan pengaruh serta penggunaan yang

aman dari pestisida dan adanya alternatif lain yang dapat .menggantikan peranan

pestisida pada lingkungan pertanian dalam mengendalikan hama, penyakit dan

gulma.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana mengetahui dampak negative dari penggunaan pestisida

2. Bagaimana mengetahui dampak penggunaan pestisida terhadap pemetaan

penggunaan lahan

2
3. Bagaimana mengetahui dampak negative penggunaan pestisida terhadap

lingkungan dan kesehatan manusia

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pestisida

Pestisida adalah bahan kimia yang digunakan untuk mengendalikan

perkembangan/pertumbuhan dari hama, penyakit dan gulma. Tanpa

menggunakan pestisida akan terjadi penurunan hasil pertanian.

Pestisida secara umum digolongkan kepada jenis organisme yang akan

dikendalikan populasinya. Insektisida, herbisida, fungsida dan nematosida

digunakan untuk mengendalikan hama, gulma, jamur tanaman yang patogen dan

nematoda. Jenis pestisida yang lain digunakan untuk mengendalikan hama dari

tikus dan siput (Alexander, 1977).

Berdasarkan ketahanannya di lingkungan, maka pestisida dapat

dikelompokkan atas dua golongan yaitu yang resisten dimana meninggalkan

pengaruh terhadap lingkungan dan yang kurang resisten. Pestisida yang termasuk

organochlorines termasuk pestisida yang resisten pada lingkungan dan

meninggalkan residu yang terlalu lama dan dapat terakumulasi dalam jaringan

melalui rantai makanan, contohnya DDT, Cyclodienes, Hexachlorocyclohexane

(HCH), endrin. Pestisida kelompok organofosfat adalah pestisida yang

mempunyai pengaruh yang efektif sesaat saja dan cepat terdegradasi di tanah,

contohnya Disulfoton, Parathion, Diazinon, Azodrin, Gophacide, dan lain-lain

(Sudarmo, 1991).

4
Dalam bidang pertanian pestisida merupakan sarana untuk membunuh

jasad pengganggu tanaman. Dalam konsep Pengendalian Hama Terpadu,

pestisida berperan sebagai salah satu komponen pengendalian, yang mana harus

sejalan dengan komponen pengendalian hayati, efisien untuk mengendalikan

hama tertentu, mudah terurai dan aman bagi lingkungan sekitarnya. Penerapan

usaha intensifikasi pertanian yang menerapkan berbagai teknologi, seperti

penggunaan pupuk, varietas unggul, perbaikan pengairan, pola tanam serta usaha

pembukaan lahan baru akan membawa perubahan pada ekosistem yang sering

kali diikuti dengan timbulnya masalah serangan jasad penganggu. Cara lain untuk

mengatasi jasad penganggu selain menggunakan pestisida kadang-kadang

memerlukan waktu, biaya dan tenaga yang besar dan hanya dapat dilakukan pada

kondisi tertentu. Sampai saat ini hanya pestisida yang mampu melawan jasad

penganggu dan berperan besar dalam menyelamatkan kehilangan hasil (Sudarmo,

1991).

Informasi yang terperinci tentang tingkat keracunan, keberadaan dalam

tanah, jalan pengangkutan yang lebih dominan dari berbagai herbisida, insektisida

dan fungisida hendaknya diketahui. Kondisi cuaca penting diperhatikan pada

saat pengaplikasian (Loehr, 1984).

Pestisida adalah bahan kimia atau campuran dari beberapa bahan kimia

yang digunakan untuk mengendalikan atau membasmi organisme pengganggu

(hama/pest). Pestisida digunakan di berbagai bidang atau kegiatan, mulai dari

rumah tangga, kesehatan, pertanian, dan lain-lain. Keuntungan dari penggunaan

pestisida antara lain, perlindungan tanaman dari serangan hama, menjamin

5
ketersediaan bahan pangan, mencegah kerusakan harta benda, dan pengendalian

penyakit (yang ditularkan melalui vektor). Idealnya, pestisida mempunyai efek

toksik hanya pada organisme targetnya, yaitu hama. Namun, pada kenyataannya,

sebagian besar bahan aktif yang digunakan tidak cukup spesifik toksisitasnya,

sehingga berdampak negatif terhadap kesehatan (manusia) (Costa, 2008). Selain

itu, penggunaan pestisida juga berdampak negatif terhadap lingkungan dan

ekosistem (WHO, 2008).

Dampak pajanan pestisida terhadap kesehatan tergantung dari jenis atau

bahan aktif pestisida. Secara umum, pestisida dikelompokkan berdasarkan jenis

bahan aktifnya (klasifikasi kimia) dan mekanisme kerjanya, yaitu golongan

karbamat, organoklorin, organofosfat, dan piretroid (Weiss et al., 2004). Pajanan

akut dalam dosis tinggi oleh pestisida dapat menyebabkan keracunan. Tanda-

tanda klinis keracunan akut pestisida golongan organopospat dan karbamat,

berkaitan dengan stimulasi kolinergik yang berlebihan, seperti kelelahan, muntah-

muntah, mual, diare, sakit kepala, penglihatan kabur, salivasi, berkeringat banyak,

kecemasan, gagal nafas dan gagal jantung. Sementara keracunan kronis ditandai

dengan adanya tanda-tanda kolinergik dan penurunan aktivitas enzim

kolinesterase di plasma, sel darah merah dan otak (Office of Environmental

Health Hazard, 2007).

Pajanan ringan jangka pendek, mungkin hanya menyebabkan iritasi pada

selaput mata atau kulit, namun pajanan ringan jangka panjang berpotensi

menimbulkan berbagai dampak kesehatan, seperti gangguan terhadap sistem

hormon bahkan keganasan. Pestisida merupakan bahan kimia yang tergolong

6
sebagai endocrine disrupting chemicals (EDCs), yaitu senyawa kimia di

lingkungan yang mengganggu sintesis, sekresi, transport, metabolisme, aksi

pengikatan, dan eliminasi dari hormon-hormon dalam tubuh yang berfungsi

menjaga keseimbangan (homeostasis), reproduksi, dan proses tumbuh-kembang

(Diamanti et al., 2009). Sementara Crofton, memberikan sebutan thyroid

disrupting chemicals (TDCs), untuk bahanbahan kimia di lingkungan yang

mengganggu struktur atau fungsi kelenjar tiroid, mengganggu system pengaturan

enzim yang berhubungan dengan keseimbangan hormontiroid, dan mengubah

sirkulasi serta kadar hormontiroid di jaringan (Crofton, 2008).

2.2. Dampak Penggunaan Pestisida


Kita mengetahui bahwa pestisida sangat berguna dalam membantu petani
merawat pertaniannya. Pestisida dapat mencegah tanaman cabai dari serangan
OPT. Hal ini berarti jika para petani menggunakan pestisida, hasil panen tanaman
cabai akan meningkat dan akan membuat hidup para petani cabai menjadi
semakin sejahtera. Dengan adanya pemahaman tersebut, pestisida sudah
digunakan di hampir setiap lahan pertanian.Tetapi. Di lain pihak dengan
penggunaan pestisida , maka kehilangan hasil akibat OPT dapat ditekan, tetapi
menimbulkan dampak terhadap lingkungan.
Memang dapat diakui , pestisida banyak memberi manfaat dan keuntungan.
Diantaranya, cepat menurunkan populasi jasad penganggu tanaman dengan
periode pengendalian yang lebih panjang, mudah dan praktis cara penggunaannya,
mudah diproduksi secara besar-besaran serta mudah diangkut dan disimpan.
Manfaat yang lain, secara ekonomi penggunaan pestisida relatif menguntungkan.
Namun, bukan berarti penggunaan pestisida tidak menimbulkan dampak buruk.
Akhir-akhir ini disadari bahwa pemakaian pestisida, khususnya pestisida
sintetis ibarat pisau bermata dua. Dibalik manfaatnya yang besar bagi peningkatan
produksi pertanian, terselubung bahaya yang mengerikan. Tak bisa dipungkiri,
bahaya pestisida semakin nyata dirasakan masyarakat, terlebih akibat penggunaan

7
pestisida yang tidak bijaksana. Kerugian berupa timbulnya dampak buruk
penggunaan pestisida, dapat dikelompokkan atas 3 bagian :
(1). Pestisida berpengaruh negatif terhadap kesehatan manusia,
(2). Pestisida berpengaruh buruk terhadap kualitas lingkungan, dan
(3). Pestisida meningkatkan perkembangan populasi jasad penganggu
tanaman.
2.3. Pengaruh pestisida terhadap lingkungan

Peningkatan kegiatan agroindustri selain meningkatkan produksi

pertanian juga menghasilkan limbah dari kegiatan tersebut. Penggunaan

pestisida, disamping bermanfaat untuk meningkatkan produksi pertanian tapi juga

menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan pertanian dan juga terhadap

kesehatan manusia.

Dalam penerapan di bidang pertanian, ternyata tidak semua pestisida

mengenai sasaran. Kurang lebih hanya 20 persen pestisida mengenai sasaran

sedangkan 80 persen lainnya jatuh ke tanah. Akumulasi residu pestisida tersebut

mengakibatkan pencemaran lahan pertanian. Apabila masuk ke dalam rantai

makanan, sifat beracun bahan pestisida dapat menimbulkan berbagai penyakit

seperti kanker, mutasi, bayi lahir cacat, CAIDS (Chemically Acquired Deficiency

Syndrom) dan sebagainya (Sa’id, 1994).

Pada masa sekarang ini dan masa mendatang, orang lebih menyukai

produk pertanian yang alami dan bebas dari pengaruh pestisida walaupun produk

pertanian tersebut di dapat dengan harga yang lebih mahal dari produk pertanian

yang menggunakan pestisida (Ton, 1991).

8
Pestisida yang paling banyak menyebabkan kerusakan lingkungan dan

mengancam kesehatan manusia adalah pestisida sintetik, yaitu golongan

organoklorin. Tingkat kerusakan yang disebabkan oleh senyawa organoklorin

lebih tinggi dibandingkan senyawa lain, karena senyawa ini peka terhadap sinar

matahari dan tidak mudah terurai (Sa’id, 1994).

Penyemprotan dan pengaplikasian dari bahan-bahan kimia pertanian

selalu berdampingan dengan masalah pencemaran lingkungan sejak bahanbahan

kimia tersebut dipergunakan di lingkungan. Sebagian besar bahanbahan kimia

pertanian yang disemprotkan jatuh ke tanah dan didekomposisi oleh

mikroorganisme. Sebagian menguap dan menyebar di atmosfer dimana akan

diuraikan oleh sinar ultraviolet atau diserap hujan dan jatuh ke tanah (Uehara,

1993).

Pestisida bergerak dari lahan pertnaian menuju aliran sungai dan danau

yang dibawa oleh hujan atau penguapan, tertinggal atau larut pada aliran

permukaan, terdapat pada lapisan tanah dan larut bersama dengan aliran air tanah.

Penumpahan yang tidak disengaja atau membuang bahanbahan kimia yang

berlebihan pada permukaan air akan meningkatkan konsentrasi pestisida di air.

Kualitas air dipengaruhi oleh pestisida berhubungan dengan keberadaan dan

tingkat keracunannya, dimana kemampuannya untuk diangkut adalah fungsi dari

kelarutannya dan kemampuan diserap oleh partikel-partikel tanah.

Berdasarkan data yang diperoleh Theresia (1993) dalam Sa’id (1994), di

Indonesia kasus pencemaran oleh pestisida menimbulkan berbagai kerugian. Di

9
Lembang dan Pengalengan tanah disekitar kebun wortel, tomat, kubis dan buncis

telah tercemar oleh residu organoklorin yang cukup tinggi. Juga telah tercemar

beberapa sungai di Indonesia seperti air sungai Cimanuk dan juga tercemarnya

produk-produk hasil pertanian.

Sedangkan menurut Pestisida berkontribusi pada polusi udara ketika

disemprotkan melalui pesawat terbang. Pestisida dapat tersuspensi di udara

sebagai partikulat yang terbawa oleh angin ke area selain target dan

mengkontaminasinya.Pestisida yang diaplikasikan ke tanaman dapat menguap dan

ditiup oleh angin sehingga membahayakan ekosistem di luar kawasan pertanian.

Kondisi cuaca seperti temperatur dan kelembaban juga menjadi penentu kualitas

pengaplikasian pestisida karena seperti halnya fluida yang mudah menguap,

penguapan pestisida amat ditentukan oleh kondisi cuaca. Kelembaban yang

rendah dan temperatur yang tinggi mempermudah penguapan. Pestisida yang

menguap ini dapat terhirup oleh manusia dan hewan di sekitar. Selain itu, tetesan

pestisida yang tidak larut atau tidak dilarutkan oleh air dapat bergerak

sebagai debu sehingga dapat mempengaruhi kondisi cuaca dan kualitas presipitasi.

Penyemprotan pestisida dekat dengan tanah memiliki risiko persebaran

lebih rendah dibandingkan penyemprotan dari udara. Petani dapat menggunakan

zona penyangga di sekitar tanaman pertanian yang terdiri dari lahan yang kosong

atau ditumbuhi tanaman non-pertanian seprti pohon yang berfungsi sebagai

pemecah angin yang menyerap pestisida dan mencegah persebaran ke area lain.

Di Belanda, para petani diperintahkan untuk membangun pemecah angin.

10
 Persebaran di perairan

Gambar 1. Jalur pergerakan pestisida

Di Amerika Serikat, pestisida diketahui telah mencemari setiap aliran

sungai dan 90% sumur yang diuji oleh USGS. Residu pestisida juga telah

ditemukan di air hujan dan air tanah. Pemerintah Inggris juga telah mempelajari

bahwa konsentrasi pestisida di berbagai sungai dan air tanah melebihi ambang

batas keamanan untuk dijadikan air minum.

Dampak pestisida pada sistem perairan seringkali dipelajari menggunakan

model transportasi hidrologi untuk mempelajari pergerakan dan akhir dari

pergerakan zat kimia di aliran sungai. Pada awal tahun 1970an, analisis kuantitatif

aliran pestisida dilakukan dengan tujuan untuk memprediksi jumlah pestisida

yang akan mencapai permukaan air.

Terdapat empat jalur utama bagi pestisida untuk mencapai perairan:

terbang ke area di luar yang disemprotkan, melalui perkolasi menuju ke dalam

tanah, dibawa oleh aliran air permukaan, atau ditumpahkan secara sengaja

maupun tidak.Pestisida juga bergerak di perairan bersama dengan erosi tanah.

11
Faktor yang mempengaruhi kemampuan pestisida dalam mengkontaminasi

perairan mencakup tingkat kelarutan, jarak pengaplikasian pestisida dari badan air,

cuaca, jenis tanah, keberadaan tanaman di sekitar, dan metode yang digunakan

dalam mengaplikasikannya. Fraksi halus sedimen penyusun dasar perairan juga

berperan dalam persebaran pestisida DDT dan turunannya.

Berbagai negara membatasi konsentrasi maksimum pestisida yang

diizinkan di perairan umum, seperti di Amerika Serikat yang diatur oleh

Environmental Protection Agency, di Inggris yang diatur oleh Environmental

Quality Standards, dan Uni Eropa.

 Persebaran di tanah

Berbagai senyawa kimia yang digunakan sebagai pestisida

merupakan bahan pencemar tanah yang persisten, yang dapat bertahan selama

beberapa dekade. Penggunaan pestisida mengurangi keragaman hayati secara

umum di tanah. Tanah yang tidak disemprot pestisida diketahui memiliki kualitas

yang lebih baik dan mengandung kadar organik yang lebih tinggi sehingga

meningkatkan kemampuan tanah dalam menahan air. Hal ini diketahui memiliki

dampak positif terhadap hasil pertanian di musim kering. Telah diketahui

bahwa pertanian organik menghasilkan 20-40% lebih banyak dibandingkan

pertanian konvensional ketika musim kering berlangsung. Kadar organik yang

rendah juga meningkatkan kemungkinan pestisida meninggalkan lahan dan

menuju perairan, karena bahan organik tanah mampu mengikat pestisida. Bahan

organik tanah juga bisa mempercepat proses pelapukan bahan kimia pestisida.

12
Tingkat degradasi dan pengikatan merupakan faktor yang mempengaruhi

tingkat persistensi pestisida di tanah. Tergantung pada sifat kimiawi pestisida,

proses tersebut mengendalikan perpindahan pestisida dari tanah ke air secara

langsung, yang lalu berpindah ke tempat lainnya termasuk udara dan bahan

pangan. Pengikatan mempengaruhi bioakumulasi pestisida yang tingkat

aktivitasnya bergantung pada kadar organik tanah. Asam organik yang lemah

diketahui memiliki kemampuan pengikatan oleh tanah yang rendah karena tingkat

keasaman dan strukturnya. Bahan kimia yang telah terikat oleh partikel tanah juga

telah diketahui memiliki dampak yang rendah bagi mikrorganisme, dan bahan

organik tanah mempercepat pengikatan tersebut. Mekanisme penyimpanan dan

pelapukan pestisida di tanah masih belum diketahui banyak, namun lamanya

waktu singgah (residence time) di tanah sebanding dengan peningkatan resistensi

degradasi pestisida.

Dampak pestisida terhadap Manusia & pertaniannya

Gambar 2. Pestisida berimlikasi dalam kesehatan manusia.

13
Pestisida berimplikasi dalam kesehatan manusia karena polusi dalam

penerapannya, tidak semua pestisida sampai ke sasaran. Kurang dari 20%

pestisida sampai ke tumbuhan. Selebihnya lepas begitu saja. Akumulasi dari

pestisida dapat mencemari lahan pertanian dan apabila masuk dalam rantai

makanan dapat menimbulkan macam mcam penyakit, misalnya kangker, mutasi ,

bayi lahir cacat, dan CAIDS.

Pestisida yang paling merusak adalah pestisida sintesis, yaitu

golongan organoklorin. Tingkat kerusakan yang dihasilkan lebih tinggi

ketimbang senyawa lain, mengingat jenis ini peka akan sinar matahari dan tidak

mudah terurai. Di Indonesia, kasus pencemaran karena pestisida telah

menimbulkan kerugian.

Gambar 3. Penyemprotan pestisida pada tanaman

Pestisida menghalangi proses pengikatan nitrogen yang dibutuhkan untuk

pertumbuhan tanaman. Insektisida DDT, metil paration, dan pentaklorofenol

14
diketahui mengganggu hubungan kimiawi antara tanaman legum dan

bakteri rhizobium. Dengan berkurangnya hubungan simbiotik antara keduanya

menyebabkan pengikatan nitrogen menjadi terganggu sehingga mengurangi hasil

tanaman pertanian. Bintil akar pengikat nitrogen yang terbentuk pada tanaman ini

diketahui telah berkontribusi US$ 10 miliar setiap tahunnya dalam

penghematan pupuk nitrogen sintetis.

Pestisida dapat membunuh lebah dan berakibat buruk terhadap

proses penyerbukan tumbuhan, hilangnya spesies tumbuhan yang bergantung

pada lebah dalam penyerbukannya, dan keruntuhan koloni lebah. Penerapan

pestisida pada tanaman yang sedang berbunga dapat membunuh lebah madu yang

akan hinggap di atasnya. USDA dan USFWS memperkirakan petani di Amerika

Serikat kehilangan setidaknya US$ 200 juta per tahunnya akibat berkurangnya

polinator untuk tanaman mereka.

Di sisi lain, pestisida juga memiliki dampak langsung yang merugikan

bagi tumbuhan, seperti rendahnya pertumbuhan rambut akar, penguningan tunas,

dan terhambatnya pertumbuhan.

Fish and Wildlife Service memperkirakan 72 juta burung di Amerika

Serikat terbunuh karena pestisida setiap tahunnya. Burung predator merupakan

hewan yang terdampak secara tidak langsung karena berada di puncak rantai

makanan; residu pestisida terus terakumulasi dari satu tingkatan predatori ke

tingkatan berikutnya. Di Inggris, populasi sepuluh spesies burung berkurang

hingga 10 juta ekor sejak tahun 1979 hingga 1999, sebuah fenomena yang

15
diperkirakan akibat hilangnya keragaman hayati tanaman dan inverteberata yang

menjadi makanan burung tersebut. Di seluruh Eropa, 116 spesies burung saat ini

dalam status terancam. Pengurangan populasi burung diketahui terkait dengan

waktu dan tempat di mana pestisida tersebut digunakan. Pestisida DDE diketahui

menyebabkan penipisan cangkang telur pada burung di Amerika Utara dan Eropa.

Fungisida yang digunakan pada usaha budi daya kacang tanah diketahui

dapat membunuh cacing tanah, sehingga mengancam keberadaan burung dan

mamalia yang memangsa mereka. Beberapa pestisida tersedia dalam wujud

butiran, sehingga burung dan hewan lainnya dapat memakan butiran tersebut

karena disangka sebagai biji-bijian. Herbisida ketika mengalami kontak dengan

telur burung, akan mengakibatkan pertumbuhan embrio yang abnormal dan

mengurangi jumlah telur yang akan menetas. Herbisida juga dapat

mengurangi populasi burung karena begitu banyaknya tumbuhan

penunjang habitat mereka yang mati.

Penurunan populasi amfibi

Pada beberapa dekade yang lalu, penurunan populasi amfibi terjadi di

seluruh dunia, karena alasan yang tak bisa dijelaskan yang bervariasi tapi

beberapa pestisida kemungkinan ikut menjadi penyebab.

Campuran beberapa pestisida menunjukkan efek racun yang kumulatif

pada kodok. Kecebong dari kolam dengan beberapa pestisida menunjukkan di

dalam air bahwa si kecebong bermetamorfosis dalam bentuk yang lebih kecil,

16
menurunkan kemampuan mereka dalam menangkap mangsa dan menghindar

dari predator.

Sebuah studi dari Kanada menunjukkan bahwa kecebong yang terpapar

endosulfan, sebuah pestisida organoklorida pada level yang sepertinya

menunjukkan kematian pada habitat dekat bidang yang disiram dengan

pembunuhan kimia pada kecebong dan menyebabkan keanehan pada perilaku

pertumbuhan.

Herbisida atrazin telah menyebabkan perubahan kodok jantan hermafrodit,

menurunkan kemampuan mereka untuk berreproduksi.[36] Baik efek reproduktif

maupun nonreproduktif pada reptil dan amfibi air telah ditemukan. Buaya,

beberapa spesies kura-kura, dan beberapa kadal tidak memiliki kromosom

pembeda seks hingga peristiwa organogenesis pasca fertilisasi terjadi, tergantung

pada temperatur lingkungan. Paparan berbagai PCB (poly chlorinated biphenyl)

pada tahap embrio pada kura-kura menunjukan gejala pembalikan kelamin. Di

berbagai tempat di Amerika Serikat dan Kanada, berbagai gejala seperti

berkurangnya jumlah telur yang menetas, feminisasi, luka pada kulit, dan ketidak

normalan pertumbuhan terjadi.

Kehidupan akuatik

17
Gambar 4. Penggunaan algisida, pestisida untuk alga

Ikan dan biota akuatik lainnya dapat mengalami efek buruk dari perairan

yang terkontaminasi pestisida. Aliran permukaan yang membawa pestisida hingga

sungai membawa dampak yang mematikan bagi kehidupan di perairan, dan dapat

membunuh ikan dalam jumlah besar.

Penerapan herbisida di perairan dapat membunuh ikan ketika tanaman

yang mati membusuk dan proses pembusukan tersebut mengambil banyak

oksigen di dalam air, sehingga membuat ikan kesulitan bernafas. Beberapa

herbisida mengandung tembaga sulfit yang beracun bagi ikan dan hewan air

lainnya. Penerapan herbisida pada perairan dapat mematikan tanaman air yang

menjadi makanan dan penunjang habitat ikan, menyebabkan berkurangnya

populasi ikan.

Pestisida dapat terakumulasi di perairan dalam jangka panjang dan mampu

membunuh zooplankton, sumber makanan utama ikan kecil. Beberapa ikan

memakan serangga; kematian serangga akibat pestisida dapat menyebabkan ikan

kesulitan mendapatkan makanan.

18
Semakin cepat pestisida terurai di lingkungan, dampak dan bahayanya

semakin berkurang. Selain itu, telah diketahui bahwa insektisida secara umum

memiliki dampak yang lebih berbahaya bagi biota akuatik dibandingkan herbisida

dan fungisida.

2.4 Pestisida Berpengaruh Buruk Terhadap Kualitas Lingkungan

Masalah yang banyak diprihatinkan dalam pelaksanaan program

pembangunan yang berwawasan lingkungan adalah masalah pencemaran yang

diakibatkan penggunaan pestisida di bidang pertanian, kehutanan, pemukiman,

maupun di sektor kesehatan. Pencemaran pestisida terjadi karena adanya residu

yang tertinggal di lingkungan fisik dan biotis disekitar kita. Sehingga akan

menyebabkan kualitas lingkungan hidup manusia semakin menurun.

Pestisida sebagai bahan beracun, termasuk bahan pencemar yang

berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Pencemaran dapat terjadi

karena pestisida menyebar melalui angin, melalui aliran air dan terbawa melalui

tubuh organisme yang dikenainya. Residu pestisida sintesis sangat sulit terurai

secara alami. Bahkan untuk beberapa jenis pestisida, residunya dapat bertahan

hingga puluhan tahun. Dari beberapa hasil monitoring residu yang dilaksanakan,

diketahui bahwa saat ini residu pestisida hampir ditemukan di setiap tempat

lingkungan sekitar kita. Kondisi ini secara tidak langsung dapat menyebabkan

pengaruh negatif terhadap organisma bukan sasaran. Oleh karena sifatnya yang

beracun serta relatif persisten di lingkungan, maka residu yang ditinggalkan pada

lingkungan menjadi masalah.

19
Residu pestisida telah diketemukan di dalam tanah, ada di air minum, air

sungai, air sumur, maupun di udara. Dan yang paling berbahaya racun pestisida

kemungkinan terdapat di dalam makanan yang kita konsumsi sehari-hari, seperti

sayuran dan buah-buahan.

Aplikasi pestisida dari udara jauh memperbesar resiko pencemaran,

dengan adanya hembusan angin. Pencemaran pestisida di udara tidak terhindarkan

pada setiap aplikasi pestisida. Sebab hamparan yang disemprot sangat luas. Sudah

pasti, sebagian besar pestisida yang disemprotkan akan terbawa oleh hembusan

angin ke tempat lain yang bukan target aplikasi, dan mencemari tanah, air dan

biota bukan sasaran.

Pencemaran pestisida yang diaplikasikan di sawah beririgasi sebahagian

besar menyebar di dalam air pengairan, dan terus ke sungai dan akhirnya ke laut.

Memang di dalam air terjadi pengenceran, sebahagian ada yang terurai dan

sebahagian lagi tetap persisten. Meskipun konsentrasi residu mengecil, tetapi

masih tetap mengandung resiko mencemarkan lingkungan. Sebagian besar

pestisida yang jatuh ke tanah yang dituju akan terbawa oleh aliran air irigasi.

Di dalam air, partikel pestisida tersebut akan diserap oleh mikroplankton-

mikroplankton. Oleh karena pestisida itu persisten, maka konsentrasinya di dalam

tubuh mikroplankton akan meningkat sampai puluhan kali dibanding dengan

pestisida yang mengambang di dalam air. Mikroplankton-mikroplankton tersebut

kelak akan dimakan zooplankton. Dengan demikian pestisida tadi ikut termakan.

Karena sifat persistensi yang dimiliki pestisida, menyebabkan konsentrasi di

dalam tubuh zooplankton meningkat lagi hingga puluhan mungkin ratusan kali

20
dibanding dengan yang ada di dalam air. Bila zooplankton zooplankton tersebut

dimakan oleh ikan-ikan kecil, konsentarsi pestisida di dalam tubuh ikan-ikan

tersebut lebih meningkat lagi. Demikian pula konsentrasi pestisida di dalam

tubuh ikan besar yang memakan ikan kecil tersebut. Rantai konsumen yang

terakhir yaitu manusia yang mengkonsumsi ikan besar, akan menerima

konsentrasi tertinggi dari pestisida tersebut.

Model pencemaran seperti yang dikemukakan, terjadi melalaui rantai

makanan, yang bergerak dari aras tropi yang terendah menuju aras tropi yang

tinggi. Mekanisme seperti yang dikemukakan, diduga terjadi pada kasus

pencemaran Teluk Buyat di Sulawesi, yang menghebohkan sejak tahun lalu.

Diduga logam-logam berat limbah sebuah industri PMA telah terakumulasi di

perairan Teluk Buyat. Sekaligus mempengaruhi secara negatif biota perairan,

termasuk ikan-ikan yang dikonsumsi masyarakat setempat.

Kasus pencemaran lingkungan akibat penggunaan pestisida dampaknya

tidak segera dapat dilihat. Sehingga sering kali diabaikan dan terkadang dianggap

sebagai akibat sampingan yang tak dapat dihindari. Akibat pencemaran

lingkungan terhadap organisma biosfer, dapat mengakibatkan kematian dan

menciptakan hilangnya spesies tertentu yang bukan jasad sasaran. Sedangkan

kehilangan satu spesies dari muka bumi dapat menimbulkan akibat negatif jangka

panjang yang tidak dapat diperbaharui. Seringkali yang langsung terbunuh oleh

penggunaan pestisida adalah spesies serangga yang menguntungkan seperti lebah,

musuh alami hama, invertebrata, dan bangsa burung.

21
Di daerah Simalungun, diketahui paling tidak dua jenis spesies burung

yang dikenal sebagai pengendali alami hama serangga, saat ini sulit diketemukan

dan mungkin saja sedang menuju kepunahan. Penyebabnya, salah satu adalah

akibat pengaruh buruk pestisida terhadap lingkungan, yang tercemar melalui

rantai makanan.

Spesies burung Anduhur Bolon, disamping pemakan biji-bijian, juga

dikenal sebagai predator serangga, khususnya hama Belalang (famili Locustidae)

dan hama serangga Anjing Tanah (famili Gryllotalpidae). Untuk mencegah

gangguan serangga Gryllotalpidae yang menyerang kecambah padi yang baru

tumbuh, pada saat bertanam petani biasanya mencampur benih padi dengan

pestisida organoklor seperti Endrin dan Diendrin yang terkenal sangat ampuh

mematikan hama serangga. Jenis pestisida ini hingga tahun 60-an masih diperjual-

belikan secara bebas, dan belum dilarang penggunaaanya untuk kepentingan

pertanian.

Akibat efek racun pestisida, biasanya 2 – 3 hari setelah bertanam

serangga-serangga Gryllotalpidae yang bermaksud memakan kecambah dari

dalam tanah, mengalami mati massal dan menggeletak diatas permukaan

tanah. Bangkai serangga ini tentu saja menjadi makanan yang empuk bagi

burung-burung Anduhur Bolon, tetapi sekaligus mematikan spesies burung

pengendali alami tersebut.

Satu lagi, spesies burung Tullik. Burung berukuran tubuh kecil ini

diketahui sebagai predator ulat penggerek batang padi (Tryporiza sp). Bangsa

burung Tullik sangat aktif mencari ulat-ulat yang menggerek batang padi,

22
sehingga dalam kondisi normal perkembangan serangga hama penggerek batang

padi dapat terkontrol secara alamiah berkat jasa burung tersebut. Tetapi seiring

dengan pesatnya pemakaian pestisida, terutama penggunaan pestisida sistemik,

populasi burung tersebut menurun drastis. Bahkan belakangan ini, spesies tersebut

sulit diketemukan. Hilangnya spesies burung ini, akibat efek racun yang

terkontaminasi dalam tubuh ulat padi, yang dijadikan burung Tullik sebagai

makanan utamanya.

Belakangan ini, penggunaan pestisida memang sudah diatur dan

dikendalikan. Bahkan pemerintah melarang peredaran jenis pestisida tertentu yang

berpotensi menimbulkan dampak buruk. Tetapi sebahagian sudah terlanjur. Telah

banyak terjadi degradasi lingkungan berupa kerusakan ekosistem, akibat

penggunaan pestisida yang tidak bijaksana. Salah satu contohnya adalah

hilangnya populasi spesies predator hama, seperti yang dikemukakan diatas.

2.5 Pestisida Meningkatkan Perkembangan Populasi Jasad Penganggu

Tanaman

Tujuan penggunaan pestisida adalah untuk mengurangi populasi hama.

Akan tetapi dalam kenyataannya, sebaliknya malahan sering meningkatkan

populasi jasad pengganggu tanaman, sehingga tujuan penyelamatan kerusakan

tidak tercapai. Hal ini sering terjadi, karena kurang pengetahuan dan perhitungan

tentang dampak penggunaan pestisida. Ada beberapa penjelasan ilmiah yang

dapat dikemukakan mengapa pestisida menjadi tidak efektif, dan malahan

sebaliknya bisa meningkatkan perkembangan populasi jasad pengganggu tanaman.

23
Berikut ini diuraikan tiga dampak buruk penggunaan pestisida, khususnya

yang mempengaruhi peningkatan perkembangan populasi hama.

a.) Munculnya Ketahanan (Resistensi) Hama Terhadap Pestisida

Timbulnya ketahanan hama terhadap pemberian pestisida yang terus

menerus, merupakan fenomena dan konsekuensi ekologis yang umum dan logis.

Munculnya resistensi adalah sebagai reaksi evolusi menghadapi suatu

tekanan (strees). Karena hama terus menerus mendapat tekanan oleh pestisida,

maka melalui proses seleksi alami, spesies hama mampu membentuk strain baru

yang lebih tahan terhadap pestisida tertentu yang digunakan petani. Pada tahun

1947, dua tahun setelah penggunaan pestisida DDT, diketahui

muncul strain serangga yang resisten terhadap DDT. Saat ini, telah didata lebih

dari 500 spesies serangga hama telah resisten terhadap berbagai jenis kelompok

insektisida.

Mekanisme timbulnya resistensi hama dapat dijelaskan sebagai berikut.

Apabila suatu populasi hama yang terdiri dari banyak individu, dikenakan pada

suatu tekanan lingkungan, misalnya penyemprotan bahan kimia beracun, maka

sebagian besar individu populasi tersebut akan mati terbunuh. Tetapi dari sekian

banyak individu, ada satu atau beberapa individu yang mampu bertahan hidup.

Tidak terbunuhnya individu yang bertahan tersebut, mungkin

disebabkan terhindar dari efek racun pestisida, atau sebahagian karena sifat

genetik yang dimilikinya. Ketahanan secara genetik ini, mungkin disebabkan

kemampuan memproduksi enzim detoksifikasi yang mampu menetralkan daya

racun pestisida. Keturunan individu tahan ini, akan menghasilkan populasi yang

24
juga tahan secara genetis. Oleh karena itu, pada generasi berikutnya anggota

populasi akan terdiri dari lebih banyak individu yang tahan terhadap pestisida.

Sehingga muncul populasi hama yang benar-benar resisten.

Dari penelaahan sifat-sifat hama, hampir setiap individu memiliki potensi

untuk menjadi tahan terhadap pestisida. Hanya saja, waktu dan besarnya

ketahanan tersebut bervariasi, dipengaruhi oleh jenis hama, jenis pestisida yang

diberikan, intensitas pemberian pestisida dan faktor-faktor lingkungan lainnya.

Oleh karena sifat resistensi dikendalikan oleh faktor genetis, maka fenomena

resistensi adalah permanent, dan tidak dapat kembali lagi. Bila sesuatu jenis

serangga telah menunjukkan sifat ketahanan dalam waktu yang cukup lama,

serangga tersebut tidak akan pernah berubah kembali lagi menjadi serangga yang

peka terhadap pestisida.

Di Indonesia, beberapa jenis-jenis hama yang diketahui resisten terhadap

pestisida antara lain hama Kubis Plutella xylostella, hama Kubis Crocidolomia

pavonana, hama penggerek umbi Kentang Phthorimaea operculella, dan Ulat

Grayak Spodoptera litura. Demikian juga hama hama-hama tanaman padi seperti

wereng coklat (Nilaparvata lugens), hama walang sangit (Nephotettix

inticeps) dan ulat penggerek batang (Chilo suppressalis). dilaporkan mengalami

peningkatan ketahanan terhadap pestisida. Dengan semakin tahannya hama

terhadap pestisida, petani terdorong untuk semakin sering melakukan

penyemprotan dan sekaligus melipat gandakan tinggkat dosis. Penggunaan

pestisida yang berlebihan ini dapat menstimulasi peningkatan populasi hama.

25
Ketahanan terhadap pestisida tidak hanya berkembang pada serangga atau

binatang arthropoda lainnya, tetapi juga saat ini telah banyak kasus timbulnya

ketahanan pada pathogen/penyakit tanaman terhadap fungisida, ketahanan gulma

terhadap herbisida dan ketahanan nematode terhadap nematisida.

b.) Resurgensi Hama

Peristiwa resurgensi hama terjadi apabila setelah diperlakukan aplikasi

pestisida, populasi hama menurun dengan cepat dan secara tiba-tiba justru

meningkat lebih tinggi dari jenjang polulasi sebelumnya. Resurgensi sangat

mengurangi efektivitas dan efesiensi pengendalian dengan pestisida.

Resurjensi hama terjadi karena pestisida, sebagai racun yang berspektrum

luas, juga membunuh musuh alami. Musuh alami yang terhindar dan bertahan

terhadap penyemprotan pestisida, sering kali mati kelaparan karena populasi

mangsa untuk sementara waktu terlalu sedikit, sehingga tidak tersedia makanan

dalam jumlah cukup. Kondisi demikian terkadang menyebabkan musuh alami

beremigrasi untuk mempertahankan hidup. Disisi lain, serangga hama akan berada

pada kondisi yang lebih baik dari sebelumnya. Sumber makanan tersedia dalam

jumlah cukup dan pengendali alami sebagai pembatas pertumbuhan populasi

menjadi tidak berfungsi. Akibatnya populasi hama meningkat tajam segera

setelah penyemprotan.

Resurgensi hama, selain disebabkan karena terbunuhnya musuh alami,

ternyata dari penelitian lima tahun terakhir dibuktikan bahwa ada jenis-jenis

pestisida tertentu yang memacu peningkatan telur serangga hama . Hasil ini telah

26
dibuktikan International Rice Research Institute terhadap hama Wereng Coklat

(Nilaparvata lugens).

c.) Ledakan Populasi Hama Sekunder

Dalam ekosistem pertanian, diketahui terdapat beberapa hama utama dan

banyak hama-hama kedua atau hama sekunder. Umumnya tujuan penggunaan

pestisida adalah untuk mengendalikan hama utama yang paling merusak.

Peristiwa ledakan hama sekunder terjadi, apabila setelah perlakuan pestisida

menghasilkan penurunan populasi hama utama, tetapi kemudian terjadi

peningkatan populasi pada spesies yang sebelumnya bukan hama utama, sampai

tingkat yang merusak. Ledakan ini seringkali disebabkan oleh terbunuhnya musuh

alami, akibat penggunaan pestisida yang berspektrum luas. Pestisida tersebut tidak

hanya membunuh hama utama yang menjadi sasaran, tetapi juga membunuh

serangga berguna, yang dalam keadaan normal secara alamiah efektif

mengendalikan populasi hama sekunder.

Peristiwa terjadinya ledakan populasi hama sekunder di

Indonesia, dilaporkan pernah terjadi ledakan hama ganjur di hamparan

persawahan Jalur Pantura Jawa Barat, setelah daerah tersebut disemprot intensif

pestisida Dimecron dari udara untuk memberantas hama utama penggerek padi

kuning Scirpophaga incertulas. Penelitian dirumah kaca membuktikan, dengan

menyemprotkan Dimecron pada tanaman padi muda, hama ganjur dapat

berkembang dengan baik, karena parasitoidnya terbunuh. Munculnya hama

wereng coklat Nilaparvata lugens setelah tahun 1973 mengganti kedudukan hama

penggerek batang padi sebagai hama utama di Indonesia, mungkin disebabkan

27
penggunaan pestisida golongan khlor secara intensif untuk mengendalikan

hama sundep dan weluk.

28
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
1. Pembasmi hama atau Pestisida adalah bahan yang digunakan untuk
mengendalikan, menolak, memikat, atau membasmi organisme pengganggu.
2. Tak bisa dipungkiri, bahaya pestisida semakin nyata dirasakan masyarakat,
terlebih akibat penggunaan pestisida yang tidak bijaksana. Kerugian berupa
timbulnya dampak buruk penggunaan pestisida, dapat dikelompokkan atas 3
bagian : (1). Pestisida berpengaruh negatif terhadap kesehatan manusia, (2).
Pestisida berpengaruh buruk terhadap kualitas lingkungan, dan (3). Pestisida
meningkatkan perkembangan populasi jasad penganggu tanaman.
3. Kecelakaan akibat pestisida pada manusia sering terjadi, terutama dialami
oleh orang yang langsung melaksanakan penyemprotan. Mereka dapat
mengalami pusing-pusing ketika sedang menyemprot maupun sesudahnya, atau
muntah-muntah, mulas, mata berair, kulit terasa gatal-gatal dan menjadi luka,
kejang-kejang, pingsan, dan tidak sedikit kasus berakhir dengan kematian.
4. Pencemaran dapat terjadi karena pestisida menyebar melalui angin, melalui
aliran air dan terbawa melalui tubuh organisme yang dikenainya. Residu
pestisida sintesis sangat sulit terurai secara alami.
3.2. Saran
Saran yang kami usulkan pada mengenai dari isi makalah ini adalah
kiranya penggunaan pestisida sebaiknya perlahan-lahan dikurangi untuk
kepentingan bersama baik untuk manusia maupun untuk lingkungan dan
terkhusus pada sector pertanian.

29
DAFTAR PUSTAKA

Anonim 2013. http://usitani.wordpress.com/2009/02/26/dampak-negatif-


penggunaan - pestisida/. Diakses pada tanggal 10 mei 2013 pukul 16:45.
Anonim b, 2013. http://www.tanindo.com/index.php?option=com _content &
view = section & layout = blog & id=9&Itemid=15. Diakses pada tanggal
10 mei 2013 pukul 16:45.
Hidayat Natawigena dan G. Satari. 1981. Kecenderungan Penggunaan Pupuk dan
Pestisida dalam Intensifikasi Pertanian dan Dampak Potensialnya
Terhadap Lingkungan. Seminar terbatas 19 Maret 1981 Lembaga Ekologi
Unpad Bandung.
Mulyani, S. dan M. Sumatera. 1982. Masalah Residu Pestisida pada Produk
Hortikultura. Simposium Entomologi, Bandung 25 – 27 September 1982.
Oka, Ida Nyoman. 1995. Pengendalian Hama Terpadu dan Implementasinya di
Indonesia. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Untung, K. 1993. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gajah Mada University
Press. Yogyakarta.
T. Partono; H. Razak; I. Gunawan (2009)."Pestisida organoklorin di sedimen
pesisir muara Citarum, Teluk Jakarta: peran penting fraksi halus sedimen
sebagai pentransport DDT dan proses diagenesanya" (PDF). e-Jurnal Ilmu
dan Teknologi Kelautan Tropis.

30

Anda mungkin juga menyukai