Anda di halaman 1dari 24

Analisis Dampak Lingkungan Akibat Penggunaan Pestisida Kimia di Kecamatan

Anggeraja, Kabupaten Enrekang

I. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Pada asasnya penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia

didasarkan pada asas tanggung jawab Negara, asas berkelanjutan dan asas manfaat

yang bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan

lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan

pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertaqwa kepada

Tuhan yang Maha Esa.2 Asas-asas ini kemudian berubah menjadi 14 asas pada

UUPPLH yang meliputi tanggung jawab negara; kelestarian dan keberlanjutan;

keserasian dan keseimbangan; keterpaduan; manfaat; kehati-hatian; keadilan;

ekoregion; keanekaragaman hayati; pencemar membayar; partisipatif; kearifan lokal;

tata kelola pemerintahan yang baik; dan otonomi daerah.

Persoalan pengelolaan lingkungan hidup, (hak dan kewajiban) bukan semata-

mata menjadi tanggung jawab pemerintah. Keterlibatan (peran serta) pihak swasta dan

masyarakat juga sangat penting artinya dalam melaksanakan kebijaksanaan

pengelolaan lingkungan hidup. Sebab setiap dalam hal ini mempunyai hak dan

kewajiban berperan serta yang sama dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup.

Berbagai instrumen peraturan memberikan jaminan terhadap hak dan kewajiban untuk

turut berperanserta3 dalam pengelolaan lingkungan tersebut. Terutama dalam hal ini

adalah, meletakkan peran serta masyarakat (partisipasi) sabagai bagian dari hak atas

lingkungan (turunan dari HAM), yang dengan demikian seharusnya berimplikasi pada

adanya jaminan-jaminan hukum terhadap pelaksanaannya.


Pada tahun 1984 Indonesia menguasai 20% dari pangsa pasar pestisida dunia,

dalam periode 1982 – 1987 terjadi peningkatan pemakaian pestisida sebesar 36%

dibanding periode sebelumnya, sedangkan untuk herbisida peningkatan mencapai 70%

dan total pemakaian insektisida pada tahun 1986 mencapai 1723 ton, yang berarti

setiap hektar lahan pertanian menggunakan 1,69 kilogram insektisida.

Di dalam sektor pertanian termasuk diantaranya sub sektor tanaman pangan,

hortikultura, dan perkebunan. Angkatan kerja yang termasuk petani adalah mereka

yang bekerja pada pertanian tanaman pangan (seperti padi, jagung, sagu), pemetik teh,

kelapa, kopra dan tanaman hortikultura. Petani tanaman pangan masih merupakan

jumlah terbesar, sehingga kesehatan petani sebagai modal awal untuk bekerja, maupun

risiko ketika bekerja harus dikelola dengan baik dan profesional untuk mendukung

produktivitas wilayah.

Dalam bidang pertanian, pestisida merupakan sarana untuk membunuh jasad

pengganggu tanaman. Menurut FAO pestisida adalah setiap zat atau campuran yang

diharapkan sebagai pencegahan, menghancurkan atau pengawasan setiap hama

termasuk vektor terhadap manusia dan penyakit pada binatang, tanaman yang tidak

disukai dalam proses produksi. Penggunaan pestisida pertanian Indonesia maju pesat

dan juga petani menjadi senang dengan melihat hasil tanam yang bagus serta tidak

rusak diganggu dengan hama dan gulma.

Pestisida yang banyak digunakan biasanya merupakan bahan kimia toksikan

yang unik, karena dalam penggunaannya, pestisida ditambahkan atau dimasukkan

secara sengaja ke dalam lingkungan dengan tujuan untuk membunuh beberapa bentuk

kehidupan. Idealnya pestisida hanya bekerja secara spesifik pada organisme sasaran
yang dikehendaki saja dan tidak pada organisme lain yang bukan sasaran. Tetapi

kenyataanya, kebanyakan bahan kimia yang digunakan sebagai pestisida tidak selektif

dan malah merupakan toksikan umum pada berbagai organisme, termasuk manusia

dan organisme lain yang diperlukan oleh lingkungan (Keman, 2001).

Seperti disebutkan sebelumnya, penggunaan pestisida dalam aktifitas manusia

sangat beragam. Diantaranya adalah penggunaan pestisida di bidang pertanian, yang

merupakan salah satu upaya untuk peningkatan produk pertanian. Penggunaan

pestisida ini tidak akan menimbulkan masalah apabi la sesuai dengan aturan yang

diperbolehkan. Penggunaan pestisida yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku

dapat membahayakan kesehatan masyarakat dan lingkungan, baik secara langsung

maupun tidak langsung. Hal ini sehubungan dengan sifatnya yang toksik , serta

kemampuan dispersinya yang tinggi yaitu mencapai 100% (Mangkoedihardja, 1999).

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa banyak dampak negatif dari

penggunaan pestisida, dampak negatif tersebut diantaranya kasus keracunan pada

manusia, ternak, polusi lingkungan dan resistensi hama. Data yang dikumpulkan WHO

menunjukkan 500.000-1.000.000 orang per tahun di seluruh dunia telah mengalami

keracunan pestisida dan sekitar 500-1000 orang per tahun diantaranya mengalami

dampak yang sangat fatal seperti kanker, cacat, kemandulan dan gangguan pada

hepar. Penggunaan pestisida yang tidak terkendali akan menimbulkan bermacam-

macam masalah kesehatan dan pencemaran lingkungan. Penggunaan pestisida yang

dipengaruhi oleh daya racun, volume dan tingkat pemajanan secara signifikan

mempengaruhi dampak kesehatan. Semakin tinggi daya racun pestisida yang

digunakan semakin banyak tanda gejala keracunan yang dialami petani.


Semakin banyak pestisida digunakan semakin baik karena produksi pertanian

menjadi semakin tinggi. Inilah pandangan umum yang masih berlaku di dunia sampai

saat ini termasuk juga Indonesia. Disamping segala keberhasilannya manusia semakin

merasakan dampak negatif pestisida yang semakin memprihatinkan rasa kemanusiaan

dan juga rasa tanggungjawabnya terhadap kelangsungan hidup manusia di biosfer ini.

Bukti-bukti semakin berdatangan tentang banyak korban pestisida baik binatang

berharga, ternak dan manusia sendiri. Residu pestisida pada makanan dan lingkungan

semakin menakutkan. Hampir semua diantara kita pernah mendengar kata pestisida,

herbisida, insektisida atau nama lainnya. Hampir dalam semua sisi kehidupan kita tidak

bisa lepas dari pestisida dalam berbagai bentuknya. Dari gunung sampai pantai, dari

desa sampai kota. Petani di pegunungan pun tidak lepas dari penggunaan pestisida.

Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1973, tentang “Pengawasan atas

Peredaran dan Penggunaan Pestisida” yang dimaksud dengan Pestisida adalah

sebagai berikut ; “Semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang

digunakan untuk memberantas atau mencegah hama-hama dan penyakit-penyakit yang

merusak tanaman, memberantas rerumputan, mematikan daun dan mencegah

pertumbuhan yang tidak diinginkan, mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman

atau bagian-bagian tanaman tidak termasuk pupuk, memberantas atau mencegah

hama-hama air, memberantas atau mencegah binatang-binatang yang dapat

menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan

penggunaan pada tanaman, tanah dan air”. Penggunaan pestisida dalam

pembangunan di berbagai sektor seperti pertanian, kesehatan masyarakat,

perdagangan dan industri semakin meningkat.


Pestisida terbukti mempunyai peranan yang penting dalam peningkatan

kesejahteraan rakyat. Pada bidang pertanian termasuk pertanian rakyat maupun

perkebunan yang dikelola secara profesional dalam skala besar menggunakan

pestisida yang sebagian besar adalah golongan organofosfat. Demikian pula pada

bidang kesehatan masyarakat pestisida yang digunakan sebagian besar adalah

golongan organofosfat. Karena golongan ini lebih mudah terurai di alam. Penggunaan

pestisida di bidang pertanian saat ini memegang peranan penting. Sebagian besar

masih menggunakan pestisida karena kemampuannya untuk memberantas hama

sangat efektif. Pestisida adalah bahan yang beracun dan berbahaya, yang bila tidak

dikelola dengan baik dapat menimbulkan dampak negatif yang tidak diinginkan.

Dampak negatif tersebut akan menimbulkan berbagai masalah baik secara langsung

ataupun tidak, akan berpengaruh terhadap kesehatan dan kesejahteraan manusia

seperti keracunan. Dampak negatif yang terjadi dari penggunaan pestisida pada

pengendalian hama adalah keracunan, khususnya para petani yang sering/ intensif

menggunakan pestisida (BIMAS, 1990).

Peranan pestisida dalam sistem pertanian sudah menjadi dilema yang xix sangat

menarik untuk dikaji. Berpihak pada upaya pemenuhan kebutuhan produksi pangan

sejalan dengan peningkatan pertumbuhan penduduk Indonesia, maka pada konteks

pemenuhan kuantitas produksi pertanian khususnya produk hortikultura pestisida sudah

tidak dapat lagi dikesampingkan dalam sistem budidaya pertanian. Di pihak lain

penggunaan pestisida membawa bencana yang sangat hebat terhadap kesehatan

petani dan konsumen akibat mengkonsumsi produk hortikultura yang mengandung

residu pestisida. Dampak lain yang tidak kalah pentingnya adalah timbulnya
pencemaran air, tanah dan udara yang dapat mengganggu sistem kehidupan

organisme lainnya di biosfer. Di Kabupaten Enrekang kebanyakan petani

membudidayakan bawang merah yang merupakan komoditi tanaman hortikultura

dimana dalam pengelolaannya mayoritas petani menggunaan pestisida dalam

melakukan pemberantasan hama dan penyakit. Perilaku petani dalam penggunaan

pestisida kimia di kabupaten Enrekang tergolong tidak sesuai karena berdasarkan

frekuensi penggunaanya 2-3 penyemprotan dalam seminggu dan dosis yang digunkan

tidak sesuai pada aturan, pencampuran pestisida saat penyemprotan bias mencapai 3

jenis pestisida dalam sekali penyemprotan dari perilaku tersebut jelas berdampak

terhadap lingkungan (tanah, air dan udara). Berdasarkan dari permasalahan di atas,

akan dilakukan kajian lebih lanjut mengenai analisis kerusakan lingkungan akibat

penggunaan pestisida kimia di Kecamatan Anggeraja Kabupaten Enrekang Sulawesi

Selatan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan permasalah diatas maka penelitian ini membuat rumusan masalah

yakni sebagai berikut:

1.

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada rumusan masalah pada sub bab sebelumnya maka tujuan

yang ingin dicapai dari penelitian ini yakni sebagai berikut:

1.
II. Tinjauan Pustaka

2.1 Pengertian Pestisida

Penggunaan pestisida kimia pertama kali diketahui sekitar 4.500 tahun yang lalu

(2.500 SM) yaitu pemanfaatan asap sulfur untuk mengendalikan tungau di Sumeria.

Sedangkan penggunaan bahan kimia beracun seperti arsenic, mercury dan serbuk

timah diketahui mulai digunakan untuk memberantas serangga pada abad ke15.

Kemudian pada abad ke-17 nicotin sulfate yang diekstrak dari tembakau mulai

digunakan sebagai insektisida. Pada abad ke-19 diintroduksi dua jenis pestisida alami

yaitu, pyretrum yang diekstrak dari chrysanthemum dan rotenon yang diekstrak dari

akar tuba Derris eliptica (Miller, 2002).

Pada tahun 1874 Othmar Zeidler adalah orang yang pertama kali mensintesis

DDT (Dichloro Diphenyl Trichloroethane), tetapi fungsinya sebagai insektisida baru

ditemukan oleh ahli kimia Swiss, Paul Hermann Muller pada tahun 1939 yang dengan

penemuannya ini dia dianugrahi hadiah nobel dalam bidang Physiology atau Medicine

pada tahun 1948 (NobelPrize.org). Pada tahun 1940an mulai dilakukan produksi

pestisida sintetik dalam jumlah besar dan diaplikasikan secara luas (Daly et al., 1998).

Beberapa literatur menyebutkan bahwa tahun 1940an dan 1950an sebagai “era

pestisida” (Murphy, 2005).

Menyadari besarnya bahaya penggunaan pestisida kimia, sehingga di beberapa

negara maju, penjualan dan penggunaan pestisida diatur oleh pemerintah. Sebagai

contoh pada tahun 1972 di Amerika Serikat dibentuk Environmental Protection Agency
(EPA) yang bertanggung jawab atas regulasi pestisida (Willson, 1996). Akan tetapi

dalam implementasinya penggunaan pestisida sulit untuk dikontrol, maka pada tahun

1979 Presiden Carter mendirikan Interagency Integrated Pest Management

Coordinating Committe untuk memberi jaminan pengembangan dan penerapan

pengendalian hama terpadu (PHT) atau Integrated Pest Management (IPM). PHT

merupakan sistem yang mendukung dalam pengambilan keputusan untuk memilih dan

menggunakan taktik pengendalian hama, satu cara atau lebih yang dikoordinasi secara

harmonis dalam satu strategi manajemen, dengan dasar analisa biaya dan keuntungan

yang berpatokan pada kepentingan produsen, masyarakat dan lingkungan (Kogan,

1998).

Pestisida adalah subtansi yang digunakan untuk membunuh atau mengendalikan

berbagai hama. Kata pestisida berasal dari kata pest yang berarti hama dan cida yang

berarti pembunuh. Jadi secara sederhana pestisida diartikan sebagai pembunuh hama

yaitu tungau, tumbuhan pengganggu, penyakit tanaman yang disebabkan oleh fungi,

bakteri, virus, nematode, siput, tikus, burung dan hewan lain yang dianggap merugikan

(Djojosumarto, 2008).

Pestisida berasal dari kata pest yang berarti hama dan cida artinya pembunuh.

Pestisida dapat diartikan secara sederhana sebagai pembunuh hama (Soemirat, 2003).

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1973 pasal 1 mengenai “ Pengawasan

atas Peredaran dan Penggunaan Pestisida” yang dimaksud dengan pestisida adalah

semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang dipergunakan untuk

memberantas atau mencegah hamahama dan penyakit-penyakit yang merusak

tanaman, memberantas rerumputan, mematikan daun dan mencegah pertumbuhan


yang tidak diinginkan, mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-

bagian tanaman tidak termasuk pupuk, memberantas atau mencegah hama-hama air,

memberantas atau mencegah binatang-binatang yang menyebabkan penyakit pada

manusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan pada tanaman ,

tanah dan air.

Menurut Rhudy (2003), pembagian jenis pestisida dapat dapat dibagi

berdasarkan tujuannnya, bahan aktifnya, dan cara kerjanya. Berdasarkan tujuannya,

pestisida dibagi menjadi beberapa jenis: a. Insektisida : untuk serangga. b. Fungisida :

untuk cendawan (fungus). c. Herbisida : untuk tanaman pengganggu. d. Bakterisida :

untuk bakteri.

2.2 Partisipasi Masyarakat

Partisipasi masyarakat sangat penting karena, pertama, merupakan metode

untuk mendapatkan informasi tentang keadaan, kebutuhan dan sikap masyarakat

terhadap sebuah program; kedua, masyarakat akan merasa memiliki dan menjamin

keberlanjutannya apabila dilibatkan dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan

monitoring dan evaluasinya; ketiga partisipasi merupakan hak setiap warga Negara

yang dilindungi oleh undang-undang [1]. Alasan tersebut merupakan dasar

pertimbangan pentingnya penelitian ini untuk mengetahui partisipasi masyarakat di

desa Mojokrapak khususnya dalam pengelolaan lingkungan. Penelitian ini juga

diharapkan menjadi dasar pengambilan keputusan dalam penetapan strategi

pembangunan di daerah terutama pelaksanaan program lingkungan hidup.

Partisipasi ialah proses keterlibatan masyarakat dalam proses penentuan arah

strategi dan kebijakan pembangunan yang dilakukan pemerintah, dan ikut berperan dan
bertanggung jawab dalam pelaksanaan program pembangunan secara adil. Partisipasi

masyarakat dapat berupa partisipasi aktif dan pasif. Partisipasi pasif ialah masyarakat

dilibatkan dalam kegiatan yang telah dirancang, dilaksakan dan dikontrol oleh orang/

pihak lain. Sedangkan partisipasi aktif ialah proses melibatkan masyarakat Sebagai

subyek yang memiliki kekuatan untuk mengambil keputusan dan bertindak sendiri

Untuk menerapkan pembangunan berdasar partisipasi perlu ditentukan desain

model partisipasi publik sesuai dengan kebutuhan, terutama lingkup partisipasi yang

sesuai. Di sisi lain, pelaksanaan konsep perencanaan berdasar partisipasi masyarakat

tidak akan maksimal tanpa didukung beberapa hal mengenai perubahan sosio kultur

dalam masyarakat daerah, yaitu: a) keterlibatan seluruh pengambil stakeholder, b)

upaya pengembangan kelembagaan di masyarakat yang kuat dan memiliki legitimasi,

c) adanya proses dialog dan komunikasi yang mengaeah pada kesepakatan bersama

(collective agreement), dan d) adanya usaha pemberdayaan masyarakat sehingga

masyarakat dapat mengetahui permasalahan, kebutuhan, potensi dan mampu

mengidentifikasi alternatif solusi untuk menyelesaikan permasalahan tersebut; serta

memilih alternatif terbaik yang paling sesuai dengan kapasitasnya.

Menurut Sastroputro tingkat partisipasi masyarakat dipengaruhi oleh program

pembangunan, kondisi sosial ekonomi masyarakat dan kondisi fisik geografis

lingkungan. Kondisi sosial ekonomi antara lain meliputi tingkat pendidikan, pendapatan,

kultur dan strata sosial dalam sistem kemasyarakatan. Program pembangunan ialah

kegiatan yang disusun dan direncanakan oleh pemerintah, berupa organisasi

masyarakat dan strategi kebijaksanaan. Kondisi fisik geografis lingkungan misalnya

waktu dan jarah tempuh, akses transportasi dan lain-lain. Tokoh masyarakat, tokoh
adat, tokoh agama, pimpinan desa/ kelurahan merupakan komponen yang sangat

berpengaruh dalam menggerakkan partisipasi masyarakat.

Menurut Arnstein, partisipasi masyarakat sangat erat kaitannya dengan

kekuasaan masyarakat (Citizen Participation Is Citizen Power). Arnstein membagi

partisipasi masyarakat dalam model tangga dengan delapan tingkat (Eight Rungs on

Ladder of Citizen Participation), berdasar tingkat peran, wewenang dan tanggung jawab

dalam proses pengambilan keputusan, mulai dari derajat tanpa partisipasi masyarakat

(Non Participation), partisipasi semu (Degrees Of Tokenism) sampai dengan kontrol

kekuasaan masyarakat (Degrees Of Citizen Powers). Tingkat partisipasi masyarakat

dalam pengelolaan lingkungan hidup dianalisis berdasarkan peran serta masyarakat

dengan melihat kehadiran dalam pembahasan program kerja, keaktifan dalam

menyampaikan masukan/ saran/ usulan dalam pembahasan program, keaktifan dan

mengikuti dan menentukan materi pelatihan, pelaksanaan kegiatan fisik, keterlibatan

dalam pengelolaan anggaran dana serta indikator dalam pembagian hasil kegiatan.

Keterlibatan dalam menghadiri pembahasan program masuk dalam kategori

manipulasi, artinya responden merasa tidak pernah mendapatkan undangan atau turut

serta menentukan agenda dan jadwal pertemuan. Pembahasan dan penetapan

keputusan mengenai agenda dan jadwal pertemuan dilakukan oleh pemegang

keputusan dalam hal ini pemegang kekuasaan. Manipulasi merupakan tingkatan peran

serta yang paling rendah, dimana masyarakat hanya dianggap obyek saja dalam

penentuan agenda dan jadwal pertemuan.

Keaktifan dalam menyampaikan masukan/ saran dan usulan dalam kategori

kemitraan, artinya masyarakat memiliki hak yang luas untuk menyampaikan pendapat,
sejajar dengan pengambil keputusan. Partisipasi responden dalam menentukan dan

mengikuti pelatihan masuk dalam kategori manipulasi, artinya tidak ada peran

responden dalam tahapan tersebut. Ketidakterlibatan seluruh masyarakat dalam

pelatihan mengakibatkan hanya sebagian masyarakat yang memiliki kemampuan,

keahlian dan pengetahuan terkait lingkungan hidup. Hal ini terlihat, bahwa misalnya

masyarakat secara umum tidak bisa mengatasi problem hama pada sayuran mereka,

masih terdapat sampah anorganik di dalam tong komposter, atau tidak memiliki

kemampuan membuat produk olahan dari produk KRPL.

Terhadap tingkatan peran serta dalam kegiatan fisik masuk dalam kategori

pendelegasian kekuasaan. Artinya masyarakat terlibat dalam menentukan dan

melaksanakan sebagian kegiatan fisik. Kategori pendelegasian masyarakat termasuk

dalam stratifikasi control kekuasaan masyarakat, artinya masyarakat memiliki

kekuasaan dalam membagi, menentukan dan melaksanakan kegiatan fisik dalam Desa

Berseri maupun KRPL. Keterlibatan dalam kegiatan fisik telah melibatkan semua

kelompok, termasuk diantaranya kelompok miskin dan marginal. Tingkatan partisipasi

juga terlihat bahwa sebagian masyarakat lebih banyak terlibat dalam kegiatan fisik,

dibandingkan dengan berpartisipasi dalam bentuk lain.

2.3 Dampak Penggunaan Pestisida

Efek yang dapat ditimbulkan oleh penggunaan pestisida berlebih yaitu

Penggunaan pestisida dapat menimbulkan dampak yang negatif, baik itu bagi

kesehatan manusia maupun bagi kelestarian lingkungan. Oleh karena itu,

penggunaannya harus dilakukan sesuai dengan aturan. Dampak negatif ini akan terus
terjadi seandainya kita tidak hati-hati dalam memilih jenis dan cara penggunaannya.

Adapun dampak negatif yang mungkin terjadi akibat penggunaan pestisida diantaranya:

1. Tanaman yang diberi pestisida dapat menyerap pestisida yang kemudian

terdistribusi ke dalam akar, batang, daun, dan buah. Pestisida yang sukar terurai

akan berkumpul pada hewan pemakan tumbuhan tersebut termasuk manusia.

Secara tidak langsung dan tidak sengaja, tubuh mahluk hidup itu telah tercemar

pestisida. Bila seorang ibu menyusui memakan makanan dari tumbuhan yang

telah tercemar pestisida maka bayi yang disusui menanggung resiko yang lebih

besar untuk teracuni oleh pestisida tersebut daripada sang ibu. Zat beracun ini

akan pindah ke tubuh bayi lewat air susu yang diberikan. Dan kemudian racun ini

akan terkumpul dalam tubuh bayi (bioakumulasi).

2. Pestisida yang tidak dapat terurai akan terbawa aliran air dan masuk ke dalam

sistem biota air (kehidupan air). Konsentrasi pestisida yang tinggi dalam air

dapat membunuh organisme air diantaranya ikan dan udang. Sementara dalam

kadar rendah dapat meracuni organisme kecil seperti plankton. Bila plankton ini

termakan oleh ikan maka ia akan terakumulasi dalam tubuh ikan. Tentu saja

akan sangat berbahaya bila ikan tersebut termakan oleh burungburung atau

manusia. Salah satu kasus yang pernah terjadi adalah turunnya populasi burung

pelikan coklat dan burung kasa dari daerah Artika sampai daerah Antartika.

Setelah diteliti ternyata burungburung tersebut banyak yang tercemar oleh

pestisida organiklor yang menjadi penyebab rusaknya dinding telur burung itu

sehingga gagal ketika dierami. Bila dibiarkan terus tentu saja perkembangbiakan

burung itu akan terhenti, dan akhirnya jenis burung itu akan punah.
3. Ada kemungkinan munculnya hama spesies baru yang tahan terhadap takaran

pestisida yang diterapkan. Hama ini baru musnah bila takaran pestisida

diperbesar jumlahnya. Akibatnya, jelas akan mempercepat dan memperbesar

tingkat pencemaran pestisida pada mahluk hidup dan lingkungan kehidupan,

tidak terkecuali manusia yang menjadi pelaku utamanya. Upaya mengurangi

efek negatif pestisida.

Peningkatan kegiatan agroindustri selain meningkatkan produksi pertanian juga

menghasilkan limbah dari kegiatan tersebut. Penggunaan pestisida, disamping

bermanfaat untuk meningkatkan produksi pertanian tapi juga menimbulkan dampak

negatif terhadap lingkungan pertanian dan juga terhadap kesehatan manusia.

Dalam penerapan di bidang pertanian, ternyata tidak semua pestisida mengenai

sasaran. Kurang lebih hanya 20 persen pestisida mengenai sasaran sedangkan 80

persen lainnya jatuh ke tanah. Akumulasi residu pestisida tersebut mengakibatkan

pencemaran lahan pertanian. Apabila masuk ke dalam rantai makanan, sifat beracun

bahan pestisida dapat menimbulkan berbagai penyakit seperti kanker, mutasi, bayi lahir

cacat, CAIDS (Chemically Acquired Deficiency Syndrom) dan sebagainya (Sa’id, 1994).

Pada masa sekarang ini dan masa mendatang, orang lebih menyukai produk pertanian

yang alami dan bebas dari pengaruh pestisida walaupun produk pertanian tersebut di

dapat dengan harga yang lebih mahal dari produk pertanian yang menggunakan

pestisida (Ton, 1991).

Pestisida yang paling banyak menyebabkan kerusakan lingkungan dan

mengancam kesehatan manusia adalah pestisida sintetik, yaitu golongan organoklorin.

Tingkat kerusakan yang disebabkan oleh senyawa organoklorin lebih tinggi


dibandingkan senyawa lain, karena senyawa ini peka terhadap sinar matahari dan tidak

mudah terurai (Sa’id, 1994). Penyemprotan dan pengaplikasian dari bahan-bahan kimia

pertanian selalu berdampingan dengan masalah pencemaran lingkungan sejak

bahanbahan kimia tersebut dipergunakan di lingkungan. Sebagian besar bahanbahan

kimia pertanian yang disemprotkan jatuh ke tanah dan didekomposisi oleh

mikroorganisme. Sebagian menguap dan menyebar di atmosfer dimana akan diuraikan

oleh sinar ultraviolet atau diserap hujan dan jatuh ke tanah (Uehara, 1993).

Pestisida bergerak dari lahan pertnaian menuju aliran sungai dan danau yang

dibawa oleh hujan atau penguapan, tertinggal atau larut pada aliran permukaan,

terdapat pada lapisan tanah dan larut bersama dengan aliran air tanah. Penumpahan

yang tidak disengaja atau membuang bahanbahan kimia yang berlebihan pada

permukaan air akan meningkatkan konsentrasi pestisida di air. Kualitas air dipengaruhi

oleh pestisida berhubungan dengan keberadaan dan tingkat keracunannya, dimana

kemampuannya untuk diangkut adalah fungsi dari kelarutannya dan kemampuan

diserap oleh partikel-partikel tanah.

Berdasarkan data yang diperoleh Theresia (1993) dalam Sa’id (1994), di

Indonesia kasus pencemaran oleh pestisida menimbulkan berbagai kerugian. Di

Lembang dan Pengalengan tanah disekitar kebun wortel, tomat, kubis dan buncis telah

tercemar oleh residu organoklorin yang cukup tinggi. Juga telah tercemar beberapa

sungai di Indonesia seperti air sungai Cimanuk dan juga tercemarnya produk-produk

hasil pertanian.

Retno Adriyani (2006) Pestisida masih diperlukan dalam kegiatan pertanian.

Penggunaan pestisida yang tidak bijaksana dan tidak sesuai dengan aturan yang
berlaku dapat menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan dan kesehatan manusia.

Berikut ini diuraikan beberapa dampak negatif yang mungkin timbul akibat penggunaan

pestisida dalam bidang pertanian, yang tidak sesuai dengan aturan.

1. Pencemaran air dan tanah Di lingkungan perairan, pencemaran air oleh pestisida

terutama terjadi melalui aliran air dari tempat kegiatan manusia yang

menggunakan pestisida dalam usaha mena ikkan produksi pertanian dan

peternakan. Jenis-jenis pestisida yang persisten (DDT, Aldrin, Dieldrin) tidak

mengalami degradasi dalam tanah, tapi malah akan berakumulasi. Dalam air,

pestisida dapat mengakibatkan biology magnification, pada pestisida yang

persisten dapat mencapai komponen terakhir, yaitu manusia melalui rantai

makanan. Pestisida dengan formulasi granula, mengalami proses dalam tanah

dan air sehingga ada kemungkinan untuk dapat mencemari tanah dan air.

2. Pencemaran udara Pestisida yang disemprotkan segera bercampur dengan

udara dan langsung terkena sinar matahari. Pestisida dapat mengalami

fotodekomposisi di udara. Pestisida mengalami perkolasi atau ikut terbang

menurut aliran angin. Makin halus butiran larutan makin besar kemungkinan ikut

perkolasi dan makin jauh ikut diterbangkan arus angin.

3. Timbulnya spesies hama yang resisten Spesies hama yang akan diberantas

dapat menjadi toleran terhadap pestisida, sehingga populasinya menjadi tidak

terkendali. Ini berarti bahwa jumlah individu yang mati sedikit sekali atau tidak

ada yang mati, meskipun telah disemprot dengan pestisida dosis normal atau

dosis lebih tinggi sekalipun. Populasi dari spesies hama dapat pulih kembali

dengan cepat dari pengaruh racun pestisida serta bisa menimbulkan tingkat
resistensi pestisida tertentu pada populasi baru yang lebih tinggi, hal ini biasanya

disebabkan oleh pestisida golongan organoklorin.

4. Timbulnya spesies hama baru atau ledakan hama sekunder Penggunaan

pestisida yang ditujukan untuk memberantas jenis hama tertentu, bahkan dapat

menyebabkan munculnya jenis hama yang lain. Ledakan hama sekunder

tersebut dapat terjadi beberapa saat setelah penggunaan pestisida, atau pada

akhir musim tanam atau malah pada musim tanam berikutnya. Ledakan hama

sekunder dapat lebih merusak daripada hama sasaran sebelumnya.

5. Resurgensi Bila suatu jenis hama setelah memperoleh perlakuan pestisida

berkembang menjadi lebih banyak dibanding dengan yang tanpa perlakuan

pestisida, maka fenomena itu disebut resurgensi. Faktor penyebab terjadinya

resurgesi antara lain adalah (a) butir semprotan pestisida tidak sampai pada

tempat hama berkumpul dan makan; (b) kurangnya pengaruh residu pestisida

untuk membunuh nimfa hama yang menetas sehingga resisten terhadap

pestisida; (c) predator alam mati terbunuh pestisida; (d) pengaruh fisiologis

insektisida kepada kesuburan hama. Hama bertelur lebih banyak dengan angka

kematian hama yang menurun; (e) pengaruh fisiologis pestisida kepada tanaman

sedemikian rupa sehingga hama dapat hidup lebih subur (Djojosumarto, 2000)..

6. Merusak keseimbangan ekosistem Penggunaan pestisida seperti insektisida,

fungisida dan herbisida untuk membasmi hama tanaman, hewan, dan gulma

(tanaman benalu) yang bisa mengganggu produksi tanaman sering menimbulkan

komplikasi lingkungan (Supardi, 1994). Penekanan populasi insekta hama

tanaman dengan menggunakan insektisida, juga akan mempengaruhi predator


dan parasitnya, termasuk serangga lainnya yang memangsa spesies hama

dapat ikut terbunuh. Misalnya, burung dan vertebrata lain pemakan spesies yang

terkena insektisida akan terancam kehidupannya. Sehingga dengan demikian

bersamaan dengan menurunnya jumlah individu spesies hama, menurun pula

parasitnya. Sebagai contoh misalnya kasus di Inggris,, dilaporkan bahwa di

daerah pertanian dijumpai residu organochlorin yang tidak berpengaruh pada

rodentia tanah . Tapi sebaliknya, pada burung pemangsa Falcotinnunculus dan

Tyto alba, yang semata-mata makanannya tergantung pada rodentia tanah

tersebut mengandung residu tinggi, bahkan pada tingkat yang sangat fatal. Se

bagai akibatnya, banyak burung-burung pemangsa yang mati. Begitu juga pada

binatang jenis kelelawar. Golongan ini ternyata tidak terlepas dari pengaruh

pestisida. Dari 31 ekor kelelawar yang diteliti, semuanya mengandung residu

senyawa Organochhlorin dengan DDE (Hendrawan, 2002).

2.4 Penelitian Terdahulu

Pada penelitian Andriani Retno (2006) Penggunaan pestisida di bidang

pertanian, mulai dari tahap pembenihan hingga hasil pertanian merupakan suatu hal

yang sangat sulit dihindari. Penggunaan pestisida di bidang pertanian haruslah

bijaksana dan tepat, mengingat konsumen akhir dari produk pertanian adalah manusia.

Selain dapat memberikan dampak negatif pada kesehatan manusia, penggunaan

pestisida yang tidak tepat dapat mencemari lingkungan dan merusak keseimbangan

ekosistem secara luas, yang pada akhirnya akan berdampak secara tidak langsung

pada kelangsungan kehidupan manusia. Pencemaran oleh pestisida dapat dicegah

dengan berbagai cara antara lain dengan pengelolaan dan penggunaan pestisida yang
benar dan aman, pengawasan kegiatan yang be rkaitan dengan pestisida dan terutama

bagi sektor pertanian . Pencemaran pestisida dapat ditekan dengan penerapan sistem

pertanian back to nature.

Pengertian lingkungan yang memasukkan manusia dan tingkah lakunya sebagai

bagian dari lingkungan, ternyata telah menempatkan manusia pada posisi strategis.

Secara logis manusia di satu sisi adalah (bagian) lingkungan itu sendiri, di sisi lain

manusia adalah pengelola lingkungan. Selanjutnya, cakupan upaya pengelolaan

lingkungan kembali memberikan posisi penting kepada manusia (masyarakat) untuk

terlibat, hingga melahirkan istilah (hak dan kewajiban) peranserta/partisipasi

masyarakat. Pengaturan dan pelaksanaannya tampak pada rumusan pasal-pasal yang

terdapat pada undang-undang lingkungan maupun undang-undang sektoral lainnya,

mengenai hak dan kewajiban yang mencakup antara lain hak mendapatkan informasi

berdampingan dengan kewajiban memberi informasi, serta berbagai bentuk peranserta

seperti misalnya; pengawasan sosial, pemberian saran, pendapat, usul, keberatan,

pengaduan, perlindungan dan lain-lainnya (Kahpi, 2015).

Pada penelitian Kurniawan ( 2015) di Desa Mojokrapak, Kecamatan Tembelang

ialah salah satu Desa di Kabupaten Jombang yang berhasil merintis dan

mengembangkan Program Desa Berseri dan Program Kawasan Rumah Pangan Lestari

(KRPL) secara bersama. Secara keseluruhan tingkat partisipasi masyarakat dalam

pengelolaan lingkungan hidup di Desa Mojokrapak melalui program Desa Berseri dan

KRPL dianalisis berdasarkan keterlibatan dan peran serta masyarakat dalam kehadiran

dalam pembahasan program kerja, keaktifan dalam menyampaikan

masukan/saran/usulan dalam pembahasan program, keaktifan dan mengikuti dan


menentukan materi pelatihan, pelaksanaan kegiatan fisik, keterlibatan dalam

pengelolaan anggaran dana serta indikator dalam pembagian hasil kegiatan masuk

dalam kategori Pemberian Informasi atau dikategorikan dalam derajat Partisipasi Semu.

Karakteristik sumbangan masyarakat dalam kegiatan pengelolaan lingkungan hidup

lebih banyak memberikan bantuan dalam bentuk tenaga, dibandingkan memberikan

bantuan dalam bentuk uang, pemikiran atau yang lain. Motivasi masyarakat untuk

terlibat sebagian besar karena faktor internal individu, yaitu harapan dan keinginan

untuk hidup di lingkungan desa yang indah, bersih dan nyaman. Sedangkan alasan

untuk tidak terlibat, sebagian karena alasan hambatan internal individu masing-masing

antara lain waktunya tersita untuk mencari nafkah dan persepsi bahwa lingkungan desa

sudah baik. Secara umum partisipasi masyarakat di Desa Mojokrapak dalam program

KRPL dan Desa berseri berhubungan dengan status kepemilikan rumah dan

pengetahuan awal tentang program.

Aprianto (2008) Pengelolaan lingkungan Kampung Rawajati merupakan salah

satu bentuk pengelolaan lingkungan berbasis masyarakat. Pengelolaan ini menekankan

pada pentingnya peran masyarakat dalam mendefinisikan sendiri kebutuhan, keinginan

dan aspirasi serta membuat keputusan demi kesejahteraannya. Secara umum, tingkat

partisipasi warga dalam pengelolaan lingkungan di Kampung Rawajati sudah tergolong

tinggi. Dalam tahapan partisipasi, menunjukkan bahwa tahap pengambilan keputusan

merupakan tahap yang paling rendah sedangkan tahap pelaksanaan, menikmati hasil

dan evaluasi sudah tergolong tinggi. Hal ini disebabkan oleh trust mereka terhadap elit
RW dan pengelola, kesadaran untuk mengelola lingkungan yang tinggi, dan

kebanggaan terhadap penghargaan yang telah didapatkan yang mendorong warga

untuk tetap mengelola lingkungannya.

Pada Penelitian Yandi dan Ma’ruf (2019) Partisipasi masyarakat menjadi hal

yang penting dalam pelaksanaan program pemerintah. Berjalan atau tidaknya program

pemerintah terlihat dari respon dan peran masyarakat dalam program tersebut.

Program Kasih Setia sebagai program pengelolaan lingkungan di Kota Mojokerto yang

melibatkan masyarakat. Seperti kerja bakti, penanaman benih, perawatan tanaman,

pengelolaan sampah. Dalam program ini masyarakat Kota Mojokerto terutama

masyarakat RW 03 Kelurahan Wates cukup berpartisipasi. Tujuan dari penelitian ini

adalah untuk mendeskripsikan jenis-jenis partisipasi yang dilakukan masyarakat RW 03

Kelurahan Wates.Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif dengan pendekatan

kualitatif. Fokus dari penelitian ini adalah jenis-jenis partisipasi masyarakat dalam

program pemerintah meliputi: partisipasi pemikiran, partisipasi tenaga, partisipasi

ketrampilan, partisipasi barang, partisipasi uang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan melalui program kasih setia di

lingkungan RW 03 Kelurahan Wates ternyata sudah berjalan cukup baik. Terutama

dalam hal partisasi tenaga dan partisipasi barang. Dalam pelaksanaan kegiatan

pengelolaan lingkungan masyarakat mengikuti dengan kerja bakti, merawat tanaman,

menyumbang ide serta menyumbangkan beberapa alat kerja untuk kerja bakti dan

menyumbangkan uang untuk menciptakan lingkungan yang bersih, sehat, teduh, indah

dan aman. Jadi dapat disimpulkan bahwa partisipasi masyarakat dalam pengelolaan

lingkungan di RW 03 Kelurahan Wates sudah cukup baik. Hal tersebut berdasarkan


temuan peneliti dilapangan terkait rutinitas warga mengikuti kerja bakti serta

keterlibatan barang pribadi dan uang pribadi masyarakat dalam kegiatan pengelolaan

lingkungan di RW 03 Kelurahan Wates, Meskipun dalam memberikan ide dan

ketrampilan banyak warga yang belum sepenuhnya terlibat. Adapun saran yang

diajukan peneliti adalah Masyarakat lebih aktif lagi dalam menyumbangkan ide atau

pemikiran agar semua kegiatan yang direncanakan sesuai dengan ebutuhan

lingkungan dan kegiatanya bisa efektif serta karang taruna Kelurahan Wates lebih

dilibatkan dalam kegiatan lingkungan agar kegiatanya bisa berjalan dengan baik

2.5 Kerangka Pemikiran

Bawang merah merupakan tanaman musiman yang umurnya relatif pendek

sehingga perlu penanggulangan yang cepat jika ada permasalahan dalam

budidayanya. Permasalahan utama dalam budidaya sayuran adalah terjadinya

serangan hama dan penyakit tanaman yang dapat menurunkan kualitas dan kuantitas

produksi. Secara umum budidaya sayuran secara monokultur dalam hamparan yang

luas akan meningkatkan potensi terjadinya serangan hama dan penyakit tanaman.

Penggunaan pestisida sintetik merupakan pilihan petani dalam mengatasi

permasalahan hama dan penyakit yang menyerang sayuran agar kehilangan hasil

produksi dapat ditekan sekecil mungkin.

Pada umumnya petani menggunakan pestisida berdasarkan pengalaman dan

informasi yang mereka dapatkan dari petani lainnya. Berdasarkan penelitian Wahyuni

(2010), diketahui bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku petani dalam

penggunaan pestisida adalah pengaruh teman seprofesi, kurangnya sosialisasi

kebijakan, serta persepsi petani yang masih keliru tentang pestisida. Hal ini berdampak
pada penggunaan pestisida yang tidak sesuai dengan petunjuk dan aturan yang tepat.

Pola penggunaan pestisida harus tepat jenis, dosis, waktu penggunaan, cara

penggunaan, sasaran, dan kombinasi (Djojosumarto, 2008).

Pestisida yang disemprotkan pada tanaman berpotensi meninggalkan residu

pada tanaman. Pestisida yang digunakan selain mengenai hama sasaran dan musuh

alami juga dapat mengenai tanaman, tanah, dan air. Pestisida yang mengenai hama

sasaran sekitar 20% dan sisanya jatuh ke tanah dan terakumulasi di dalam tanah

(Sa’id, 1994; Dwifianti, 2013). Residu ini dapat bertahan lama dalam tanah sampai

beberapa tahun tergantung jenis pestisidanya. Residu pestisida ini dapat

mempengaruhi kehidupan arthropoda di dalam tanah dan terakumulasi di dalam tubuh

arthropoda tanah (Hardjowigeno, 1995).

Di dalam ekosistem pertanian, arthropoda tanah sangat beranekaragam dan

berfungsi dalam mengaduk dan mengaerasi tanah, menghancurkan bahan-bahan

organik, dan mengatur jumlah populasi fauna lainnya (Moldenke, 2001). Pengunaan

bahan kimia seperti pestisida dan pupuk kimia sangat berpengaruh terhadap

keanekaragaman arthropoda tanah. Penggunaan pestisida dengan konsentrasi yang

tinggi dapat menurunkan keragaman spesies arthropoda tanah (Agustine, 2000).

Penggunaan pestisida yang tepat pada kebun jeruk menunjukkan keanekaragaman

arthropoda tanah lebih tinggi dibandingkan dengan kebun jeruk dengan pemakaian

pestisida yang tidak sesuai dengan aturan (Khairia, 2009)

Pengunaan pestisida di Kecamatan Anggeraja perlu mendapat perhatian supaya

tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Pada penelitian ini dilakukan

kajian tentang dampak penggunaan pestisida oleh petani bawang merah di Kecamatan
Anggeraja terhadap residu pestisida di Kecamatan Anggeraja. Frekuensi penggunaan

pestisida oleh petani dengan penggunaan 2 sampai 3 kali penyemprotan perminggunya

di Kecamatan Anggeraja. Frekuensi penggunaan pestisida yang dilakukan oleh petani

pada umumnya tergantung dari faktor psikologis yaitu adanya rasa ketakutan dan

kekhawatiran akan gagal panen (Rahman 2018). Kerangka pemikiran penelitian dapat

dilihat pada Gambar 1

Petani Bawang Merah di Kecamatan


Anggeraja

Penggunaan Pestisida:
Jenis Pestisida
Frekuensi Penggunaan

Dampak negative
pada Lingkungan

Tanah Air Udara

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Analisis Dampak Lingkungan akibat Penggunaan


Pestisida oleh Petani Bawang Merah di Kecamatan Anggeraja Kabupaten
Enrekang

Anda mungkin juga menyukai