Anda di halaman 1dari 77

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan sektor pertanian telah mengakibatkan peningkatan
pencemaran lingkungan oleh bahan kimia buatan manusia. Di antara
polutan-polutan tersebut, terdapat polutan organik yang disebut
organoklorin. Organoklorin merupakan polutan yang bersifat persisten
dan dapat terbioakumulasi di alam serta bersifat toksik terhadap
manusia dan makhluk hidup lainnya. Organoklorin tidak reaktif, stabil,
memiliki kelarutan yang sangat tinggi di dalam lemak, dan memiliki
kemampuan degradasi yang rendah (Ebichon dalam Soemirat, 2005).
Organoklorin termasuk ke dalam golongan pestisida yang bagus
dan ampuh, namun memiliki banyak dampak negatif terhadap
lingkungan. Sebagai pestisida, sifat persistensinya sangat
menguntungkan untuk mengontrol hama. Terdapat pula kemungkinan
terjadinya bioakumulasi dan biomagnifikasi. Dikarenakan
karakteristiknya yang sulit terbiodegradasi dan kelarutannya yang tinggi
dalam lemak, organoklorin dapat terakumulasi dalam jaringan hewan
yang prosesnya disebut biokonsentrasi. Biomagnifikasi dapat terjadi
pada hewan yang terlibat dalam rantai makanan. Insektisida jenis ini
masih digunakan di negara-negara berkembang, terutama di daerah
khatulistiwa.

2

Hal ini dikarenakan harganya yang sangat murah, keefektifannya, dan
persistensinya. Kebanyakan negara berkembang terletak di daerah
yang beriklim tropis dimana pada umumnya memiliki temperatur dan
curah hujan yang tinggi. Iklim yang seperti itu dapat membuat
perpindahan residu melalui udara dan air secara cepat dan akhirnya
berkonstribusi terhadap kontaminasi global. Proporsi pestisida yang
akan mencapai target, seperti hama, ditemukan tidak lebih dari 0,3%
dari yang diaplikasikan, sedangkan 99% lainnya akan berada di
lingkungan (Karina S.B, Julia E., and Victor J. Moreno, 2002).
Kebijakan masa lalu mendorong petani menggunakan pestisida
peningkatan pembangunan pertanian di Indonesia, menyebabkan
kebutuhan akan pestisida bertambah banyak, baik jumlah maupun
jenisnya.. Mencermati kilas balik pembangunan pertanian di Indonesia,
peningkatan penggunaan pestisida tidak terlepas dari peran
pemerintah. Sejak tahun permulaan pelaksanaan program intensifikasi
pangan, masalah hama diusahakan ditanggulangi dengan berbagai
jenis formulasi pestisida. Orientasi pemerintah pada waktu itu tertumpu
pada peningkatan hasil sebanyak-banyaknya, tanpa memperhatikan
dampak negatif terhadap lingkungan. Pada saat dicanangkannya
program intensifikasi pangan melalui program nasional BIMAS,
pestisida telah dimasukkan sebagai paket teknologi yang wajib
digunakan petani peserta. Bagi petani yang tidak menggunakan
pestisida, oleh pemerintah dianggap tidak layak sebagai

3

penerima bantuan BIMAS. Akibatnya, mau tidak mau petani dirangsang
menggunakan pestisida. Bahkan pada waktu itu, pemerintah bermurah
hati memberi subsidi pengadaan pestisida hingga mencapai 80 persen,
sehingga harga pestisida di pasaran menjadi sangat murah. Tidak itu
saja, termasuk jenis pestisida yang digunakan, hingga keputusan
penggunaannya (jadwal aplikasi) diatur oleh pemerintah.
Organoklorin merupakan pencemar utama dalam golongan Persistent
Organic Pollutant yang sedang dipermasalahkan di dunia akibat sifatnya
yang toksik kronis, persisten dan bioakumulatif (Zhou et al., 2006).
Organoklorin tidak reaktif, stabil, memiliki kelarutan yang sangat tinggi di
dalam lemak, dan memiliki kemampuan degradasi yang rendah (Ebichon
dalam Soemirat, 2005).
Proporsi pestisida yang akan mencapai target, seperti hama,
ditemukan tidak lebih dari 0,3% dari yang diaplikasikan, sedangkan 99%
lainnya akan berada di lingkungan (Karina S.B, Julia E., and Victor J.
Moreno, 2002).
Sulawesi Selatan menunjukkan 80-100% petani yang memeriksakan
dirinya ke rumah sakit mengindikasikan keracunan pestisida. Disamping
dapat menimbulkan keracunan melalui kontak langsung dengan pestisida,
Penggunaan pestisida dapat mencemari lingkungan dengan
meninggalkan residu dalam tanah serta dalam bagian tanaman seperti
buah, daun, dan umbi. Data lapangan menunjukkan adanya residu

4

insektisida pada beras dan tanah sawah, berupa organofosfat,
organoklorin, dan karbamat (Widianto, 1994).
Kecamtan Patampanua Kabupaten Pinrang merupakan salah satu
sentra penghasil padi di Kabupaten Pinrang dengan luas area pertanian
5.990,00 (ha) dengan jumlah petani sebanyak 7.311 orang petani.
Berdasarkan keterangan petugas BP3K Kecamatan Patampanua
penggunaan insektisida untuk satu hektar sawah adalah 2 liter pestisida.
Frekuensi penyemprotan insektisida dari tanam sampai panen di lakukan
sebanyak 3 kali. jumlah dosis pestisida yang di gunakan sekitar 35.940
liter mulai tanam sampai panen. Pemakaian pestisida sebanyak itu di
khwatirkan meninggalkan residu pada tanaman, buah dan mencemari
lingkungan.
B. Rumusan Masalah
Pekerjaan sebagai petani tidak mungkin terpisah dari penggunaan
pestisida dalam mengendalikan populasi hama. Dimana ada
kecenderungan para petani menggunakan pestisida secara terus
menerus dengan frekuensi tinggi, bahkan tidak jarang kurang
memperhatikan aturan pemakaiannya.
Penggunaan pestisida yang tidak sesuai aturan dikhawatirkan akan
meninggalkan residu pestisida pada beras dan lingkungan.
Berdasarkan permasalahan tersebut penulis ingin mengetahui
Gambaran pola penggunaan pestisida dan potensi kandungan residu

5

pestisida pada beras di Kecamatan Patampanua Kabupaten Pinrang
Tahun 2014
C. Tujuan Masalah
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
Gambaran pola penggunaan pestisida dan potensi kandungan
residu pada beras di Kecamatan Patampanua Kabupaten Pinrang
Tahun 2014.
2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui gambaran pola penggunaan pestisida seperti
dosis, metode pencampuran pestisida, waktu penyemprotan,
Aplikasi terakhir yang di gunakan di Kecamatan Patampanua
Kabupaten Pinrang.
2. Untuk mengetahui gambaran potensi residu pestisida pada
beras di Kecamatan Patampanua Kabupaten Pinrang.
D. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Ilmiah
Untuk menambah pengetahuan penulis mengenai potensi
residu pestisida yang di akibatkan dari pemakaian pestisida.
b. Manfaat Praktis
Menambah pengetahuan petani tentang risiko lingkungan
terhadap penggunaan pestisida di dalam pertanian sehingga

6

diharapkan dapat memilih serta menggunakan pestisida secara
tepat dan aman.
c. Manfaat Institusi
Sebagai data awal tentang potensi residu pestisida yang di
akibatkan dari pemakaian pestisida yang dapat dijadikan sebagai
bahan informasi bagi penulis lain untuk penelitian lebih lanjut.
















7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Pestisida
1. Pengertian Pestisida
Pestisida berasal dari kata pest yang berarti hama dan sida
berasal dari kata caedo berarti pembunuh. Pestisida dapat diartikan
secara sederhana sebagai pembunuh hama.
Menurut Food Agriculture Organization (FAO) 1986 dan
peraturan pemerintah RI No. 7 tahun 1973, Pestisida adalah
campuran bahan kimia yang digunakan untuk mencegah,
membasmi dan mengendalikan hewan/tumbuhan penggangu
seperti binatang pengerat, termasuk serangga penyebar penyakit,
dengan tujuan kesejahteraan manusia.
Pestisida juga didefinisikan sebagai zat atau senyawa kimia, zat
pengatur tubuh atau perangsang tumbuh, bahan lain, serta
mikroorganisme atau virus yang digunakan untuk perlindungan
tanaman (PP RI No.6tahun 1995). USEPA menyatakan pestisida
sebagai zat atau campuran zat yang digunakan untuk mencegah,
memusnahkan, menolak, atau memusuhi hama dalam bentuk
hewan, tanaman, dan mikroorganisme penggangu (Soemirat,
2003).


8

2. Pengklasifikasian Pestisida
Menurut Sudarmo (1991) pestisida dapat di klasifikasikan kedalam
beberapa golongan,dan diantara beberapa pengklasifikasian tersebut
dirinci berdasarkan bentuk formulasinya, sifat penetrasinya, bahan
aktifnya, serta cara kerjanya.
2.1. Berdasarkan bentuk formulasi
a. Butiran (Granule=G)
Berbentuk butiran yang cara penggunaanya dapat
langsung disebarkan dengan tangan tanpa dilarutkan terlebih
dahulu.
b. Tepung (Dust=D)
Merupakan tepung sangat halus dengan kandungan
bahan aktif 1-2% yang penggunaanya dengan alat
penghembus (duster).
c. Bubuk yang dapat dilarutkan (wettable powder=WP)
Berbentuk tepung yang dapat dilarutkan dalam air yang
penggunaanya disemprotkan dengan alat penyemprot atau
untuk merendam benih. Contoh Mipcin 50 WP.
d. Cairan yang dapat dilarutkan
Berbentuk cairan yang bahan aktifnya mengandung bahan
pengemulsi yang dapat digunakan setelah dilarutkan dalam
air. Larutannya berwarna putih susu tapi berwarna coklat

9

jernih yang cara penggunaanya disemprotkan dengan alat
penyemprot.
e. Volume Ultra Rendah
Berbentuk cairan pekat yang dapat langsung disemprotkan tanpa
dilarutkan lagi. Biasanya disemprotkan dengan pesawat terbang
dengan penyemprot khusus yang disebut Micron Ultra Sprayer.
Contoh : Diazinon 90 ULV.
Merek dagang pestisida biasanya selalu diikuti dengan singkatan
formulasinya dan angka yang menunjukan besarnya kandungan
bahan aktif. Contohnya merek dagang herbisida ronstar 250 ec,
berarti mengandung 250 g/l bahan aktif oksadiazon yang
diformulasikan dalam bentuk Emulsifiable Concentrate (EC). Contoh
lain adalah merek dagang Furadan 3G yang berarti mengandung 3 %
bahan aktif karbofuran dalam formulasi granule (G).
2.2. Berdasarkan bahan aktifnya pestisida dapat diklasifikasikan :
Berdasarkan asal bahan yang digunakan untuk membuat
pestisida, maka pestisida dapat dibedakan ke dalam empat golongan
yaitu :
a. Pestisida Sintetik, yaitu pestisida yang diperoleh dari hasil sintesa
kimia, contohnya organoklorin, organofospat, dan karbamat.
b. Pestisida Nabati, yaitu pestisida yang berasal dari tumbuh-
tumbuhan, contohnya neem oil yang berasal dari pohon mimba

10

c. Pestisida Biologi, yaitu pestisida yang berasal dari jasad renik atau
mikroba yaitu jamur, bakteri atau virus
d. Pestisida Alami, yaitu pestisida yang berasal dari bahan alami,
contohnya bubur bordeaux (Sitompul, 1987).
2.3. Pestisida Berdasarkan Organisme Sasaran
Menurut Untung (1993), dari banyaknya jenis jasad penggangu
yang bisa mengakibatkan fatalnya hasil petanian, pestisida dapat
diklasifikasikan menjadi beberapa macam sesuai dengan sasaran
yang akan dikendalikan,
Tabel 1. 1
Fungsi beberapa jenis pestisida
No. Jenis Pestisida Fungsi Merek
Dagang
1. Insektisida Mematikan semua
serangga
Regent,
Dursban,
Sherpa Dll
2. Fungisida Mengendalikan jamur Dithane
M45,
Daconil, Dll
3. Herbisida Mengendalikan gulma Round Up,
DMA 6, Dll
4. Bakterisida Mengendalikan
bakteri
Agrept,
Starner,
Kasumin

11

5. Rodentisida Mengendalikan tikus Klerat,
Petrokum,
Dll
6. Nematisida Mengendalikan
nematoda
Furadan
3G, Rugby
10 G
7. Moluskisida Mengendalikan siput Siputox 5G



Tabel 1. 2
Klasifikasi Pestisida di Indonesia adalah sebagai berikut
No. Klasifikas %
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Insektisida
herbisida
fungisida
repelen
zat pengatur pertumbuhan
nematisida
ajuvan
lain-lain
55,42%
12,25%
12,05%
3,61%
3,21%
0,44%
0,40%
1,41%
Sumber : Soemirat, 2005
Dari gambaran ini insektisida merupakan jenis pestisida yang paling
banyak digunakan (Soemirat, 2005).
Sumber: Untung (1993)

Lanjutan Tabel 1.1

12

Pembahasan selanjutnya akan terfokus pada insektisida, fungisida,
dan herbisida, karena ketiga golongan pestisida tersebut yang paling
banyak digunakan dalam pertanian. Masing-masing golongan terdiri
banyak merek dagang dipasaran, dan mengandung bahan aktif yang
berbeda. Selain dikenal melalui merek dagang, pestisida dikenal
melalui jenis bahan aktif yang dikandungnya. Nama bahan aktif
merupakan nama umum dari nama senyawa kimia yang mengandung
racun. Nama senyawa kimia biasanya terlalu panjang dan tidak praktis
digunakan. Bahan aktif yang jumlahnya sangat banyak itu
dikelompokan dalam beberapa golongan menurut kesamaan struktur
kimia dan biasanya memiliki cara yang sama dalam meracuni OPT.
Tata nama (nomenclatur) pestisida merupakan ketetapan internasional,
sehingga diseluruh negara memiliki kesamaan dalam menyebutkannya.
Berikut ini contoh tata nama sebuah produk pestisida.
Tabel 1.3
Tata nama sebuah produk pestisida.
Merek dagang nama bahan
aktif
Nama kimia Golongan
Furadan 3 G Karbofuran 2,3 dihidro-2,2
dimetil-
7 benzonil
Metil
Karbamat

Sumber : anonym
Nama-nama kimia ini memang tidak banyak artinya terhadap
tanaman dan pengelola pertanian. Namun, litelaratur mengenai

13

pengendalian OPT biasanya merekomendasikan jenia pestisida dalam
bentuk bahan aktif dan bukan merek dagang. Misalnya, fungisida untuk
mengendalikan penyakit busuk hitam pada tanaman anggrek dianjurkan
yang mempunyai bahan aktif mankozeb. Jika tidak diketahui jenis
fungisida yang berbahan aktif mankozeb, akan terjadi pemakaian
fungisida yang salah. Selain itu satu jenis bahan aktif dapat
diperdagangkan dengan berbagai merek dagang. Karenanya para
praktisi pertanian harus mengetahui bahan aktif pestisida yang
digunakannya. Misalnya bahan aktif karbofuran, dapat dijumpai dengan
merek dagang Furadan 3 G, Petrofur 3 G, atau Curater 3 G.

Tabel 1. 4
Golongan kimia, bahan aktif, dan contoh merek dagang insektisida
Golongan
Senyawa Kimia
Contoh Bahan Aktif Contoh Merek
Dagang
Organofosfat





Karbamat

Diazinon
Diklorvos
Klorpilifos
Monokrotofos
Triazofos
Fentoat
BPMC
Karbaril
Diazinon, Basudin
Sheltox
Ambithion, Fomadol
Azodrin, Nuvacron
Hostation, Curacron
Elsan
Hopcyn
Sevin

14



Piretroid
Karboofuran
MICP
Alfa Sipermetrin
Deltametrin
Furadan
Mipcin
Fastac
Decis
Sumber : Anonim golongan kimia, bahan aktif, dan contoh merek dagang
herbisida.
Pengunaan satu jenis bahan aktif secara terus-menerus dalam jangka
waktu lama akan menyebabkan terjad inya kekebalan OPT terhadap
bahan aktif tersebut. Karena itu agar tidak terjadi kekebalan OPT terhadap
satu jenis bahan akyif, pemakaian satu jenis bahan aktif sebaiknya tidak
digunakan dalam jangka waktu yang lama. Perlu dilakukan rotasi pada
jenis bahan aktif yang digunakan. Artinya dalam suatu masa periode
tanam sebaiknya dipergunakan 2 3 pestisda yang mengandung bahan
aktif yang berbeda.
Pada tabel 4, 5, dan 6 dijelaskan beberapa contoh merek dagang
pestisida, bahan aktif, dan golongan kimianya.












15

Tabel 1. 5
Golongan kimia, bahan aktif, dan contoh merek dagang fungisida
Golongan
Senyawa Kimia
Contoh Bahan Aktif Contoh Merek
Dagang
Tembaga (Anorganik)

Tembaga Oksiklorida
Tembaga Hidroksida
Cupro Oksida
Cuprafit,Shell
Copper
Kocide, Champion
Copper Sandoz
Organofosfat Fosfodifen
Pirazofos
Kasumiron
Afugan
Organoklorin Folpet Akofol
Karbamat Propamokarb Previcur N
Triazol Heksakonasol Anvil
Sumber : Anonim golongan kimia, bahan aktif, dan contoh merek dagang
herbisida.
Dengan perjalanan waktu, mungkin beberapa bahan aktif tidak
diperdagangkan lagi dengan alasan tidak lagi efektif dalam
mengendalikan OPT, tidak terlalu laku dipasaran atau karena,
menimbulkan pencemaran, dan keracunan. Selain itu, setiap tahun akan
muncul bahan aktif baru dengan keunggulan-keunggulan lain. Karenanya
tidak memungkinkan untuk membuat daftar yang bersifat permanen
tentang merek dagang pestisida yang tersedia di pasaran. Sangat penting

16

bagi pengguna pestisida untuk selalu membaca label pestisida,karena
semua informasi yang dibutuhkan tertera pada label.

Tabel 1. 6
Golongan kimia, bahan aktif, dan contoh merek dagang herbisida
Golongan
Senyawa Kimia
Contoh Bahan Aktif Contoh Merek
Dagang
Fenoksi
Bipiril

Organofosfat
Organoklorin
Sulponil Urea
Triazin
2,4 D
Paraquat
Isopropil Amina
Glifosat
Triklopir
Etilpiroza Sulfuron
Atrasin
DMA 6

Gramaxone,
Herbatop
Round Up,
Polaris
Garlon
Billy
Sanutra
Sumber : Anonim golongan kimia, bahan aktif, dan contoh merek
dagang herbisida.
3. Insektisida
1. Pengertian Insektisida.
Kata insektisida secara harafiah berarti pembunuh serangga
yang berasal dari kata insekta = serangga dan kata lain cida yang
berarti pembunuh. Insektisida adalah alat yang ampuh yang tersedia
untuk penggolongan hama, apabila hama sudah mendekati atau
melewati

17

kerusakan ekonomi maka insektida adalah salah satu pengendali yang
dapat diandalkan untuk menghadapi keadaan darurat itu (Wudianto,
1999).
2. Penggolongan Insektisida Berdasarkan Susunan Kimia
Menurut Sudarmo (1992), ada banyak penggolongan/jenis-jenis
pestisida yang beredar di pasaran dan senantiasa digunakan baik yang
ditujukan pada hewan, tumbuhan maupun jasad renik. untuk
mengendalikan jenis serangga maupun hewan yang berpotensi sebagai
organisme pengganggu tanaman adalah insektisida. Penggolongan
insektisida berdasarkan susunan kimia dapat dibedakan menjadi
insektisida anorganik, insektisida organik, dan insektisida organik
sintetik.
a. Insektida anorganik adalah senyawa insektisida yang tidak
mengadung unsur karbon, contoh : arsenikum, merkurium, boron,
tembaga, sulfur, asam borat, kalsium sianida, arsenar timbal dan
lain-lain.
b. Insektisida organik alamiah adalah senyawa insektisida yang
mengandung unsur karbon, insektisida organik alamiah merupakan
insektisida yang terbuat dari tanaman (botani) dan bahan alami
lainnya, yang terdiri dari :
1) Asal tanaman, contoh : nikotin (ekstrak tembakau), pyrethrum
(bunga serunai/chrysant), dan ryania biasa mudah diurai oleh
sinar matahari.

18



2) Asal mikroba, bahan dasarnya adalah mikrobiologis, contoh :
thuricide HP (senyawa yang mengandung bakteri basillus
thuringiensis).
c. Insektisida organik sintetik
1. Organoklorin, insektisida ini sedikit digunakan di negara
berkembang karena mereka memperhatikan secara kimia bahwa
insektisida organoklorin adalah senyawa yang tidak reaktif, memiliki
sifat yang sangat tahan atau persisten, baik dalam tubuh maupun
dalam lingkungan memiliki kelarutan sangat tinggi dalam lemak dan
memiliki kemampuan terdegradasi yang lambat (Ecobichon dalam
Ruchicawat, 1996 dan Tarumingkeng, 1993). Insektisida ini masih
digunakan pada negara sedang berkembang terutama negara pada
daerah ekuator karena murah, efektif dan persisten. Contoh DDT,
aldrin, dieldrin, BHC, endrin, lindane, heptaklor, toksofin,
pentaklorofenol dan beberapa lainnya.
2. Organofospat ditemukan pada tahun 1945. struktur kimia dan cara
kerjanya berhubungan erat dengan gas syaraf. organofosfat dapat
menurunkan populasi serangga dengan cepat, persistensinya di
lingkungan sedang sehingga organofosfat secara bertahap dapat
menggantikan organoklorin. Sampai saat ini organofosfat masih
merupakan insektisida yang paling banyak digunakan di seluruh

19

dunia. Contoh : malathion, monokrotofos, paration, fosfamidon,
bromofos, diazinon, dimetoat, diklorfos, fenitrotion, fention, dan
puluhan lainnya.
3. Karbamat dikenalkan pada 1951 oleh geology chemical company di
Switzerland dan dipasarkan pada tahun 1965. insektisida tersebut
cepat terurai dan hilang daya racunnya dari jaringan sehingga tidak
terakumulasi dalam jaringan lemak dan susu seperti organoklorin.
Umumnya digunakan dalam rumah untuk penyemprotan nyamuk,
kecoa, lalat, dan lain-lain. Contoh: karbaril, metiokarb, propoksur,
aldikarb, metomil, oksamil, oksi karboksin, metil karbamat, dimetil
karbamat seperti bendiokarb, karbofuran, dimetilon, dioksikarb, dan
oksikarboksin.
4. Piretroid digunakan sejak tahun 1970-an. Keunggulannya karena
memiliki pengaruh knock down atau menjatuhkan serangga dengan
cepat, tingkat toksisitas rendah bagi manusia. Tetapi cepat
perkembangan hama baru yang tahan terhadap insektisida piretroid.
Contoh : alletrin, bioalletrin, sipermetrin, permetrin, dekametrin dan
lain-lain.
5. Fumigan, contoh : metil bromida, etilen dibromida, karbon disulfida,
fosfin dan naftalin
6. Minyak-minyak mineral adalah minyak parafin yang dihaluskan dan
dibuat emulsi yang diaplikasikan secar ringan pada tanaman untuk
mengendalikan tungau, kutu-kutu tanaman. Contoh : dinitrokresol.

20

7. Zat-zat pengatur tumbuh serangga, contoh : difubenzuron, kinofrin dan
metoprin
8. Senyawa-senyawa mikroba, contoh : bacillus thuringiensis banyak
dipergunakan untuk mengendalikan hama-hama lepidoptera,
bacillussporopiliae dan bacillus lentimorphus untuk mengendalikan
kumbang jepang (Sastroutomo, 1992).
B. Tinjauan Umum Tentang Penggunaan Pestisida
1. Petunjuk Umum Keamanan Dalam Pemakain Pestisida.
Petunjuk umum keamanan dalam pemakaian pestisida agar aman
digunakan dan tidak terlalu menimbulkan efek peracunan pada
pemakai, maka pemerintah dan formulator telah menetapkan dan
memberi petunjuk sebagai pedoman umum dalam penanganan
senyawa kimia berbahaya mulai dari pemilihan jenis pestisida, tata
cara penyimpanan, penakaran, pengenceran, pencampuran sampai
kepada prosedur kebersihannya (Wudianto, 1999).
a. Di dalam memilih pestisida pada tanaman padi sebaiknya
diperhatikan hal-hal berikut :
1) Dalam memilih formulasi pestisida yang akan digunakan untuk
mengendalikan suatu jasad penggangu tanaman, lebih dulu
harus diketahui dengan pasti jenis jasad penggangu yang
menyerang tanaman, karena suatu fomulasi pestisida hanya
efektif terhadap jenis jasad penggangu tertentu.

21

2) sebelum memilih pestisida bacalah dulu label pada wadah atau
pembungkus pestisida, terutama keterangan mengenai jenis-jenis
jasad penggangu yang dapat dikendalikan, cara menggunakan, dan
bahaya yang dapat ditimbulkan oleh pestisida yang berdasarkan
keterangan pada label efektif terhadap jasad pengganggu tanaman
yang akan dikendalikan, dapat digunakan dengan alat yang tersedia,
dan aman ntuk keadaan ditempat pestisida itu akan digunakan.
3) Pilihlah pestisida yang telah terdaftar dan diijinkan oleh pemerintah
(Departemen Pertanian) untuk digunakan, dikemas dalam wadah atau
pembungkus asli, dan dengan label resmi yang memuat keterangan
lengkap megenai pestisida itu. Pada label pestisida yang terdaftar
senantiasa tercantum nomor pendaftaran, nama dan alamat lengkap
pemegang produsen pestisida yang bersangkutan (Departemen
Pertanian, 1984).
b. Untuk memperkecil dampak negatif penggunaan pestisida, dalam hal
ini memperkecil residu pestisida pada hasil pertanian, dapat
ditempuh langkah-langkah sebagai berikut:
1) Pemilihan Pestisida
a) Memilih Pestisida yang Tepat Jenis
Agar penggunaannya efektif, jenis pestisida yang akan
digunakan harus tepat, yaitu disesuaikan dengan OPT (hama,
penyakit, dan gulma) sasaran yang menyerang tanaman.
Menurut OPT sasaran yang akan dikendalikan, Tiap kelompok

22

pestisida tersebut pada umumnya mempunyai sifat tersendiri dan tidak
efektif terhadap OPT dari golongan yang lain, misalnya insektisida
tidak dapat mengendalikan cendawan atau gulma. Tetapi ada juga
satu jenis pestisida yang digolongkan kedalam lebih dari satu
kelompok, misalnya disamping sebagai insektisida juga sebagai
nematisida, pissisida, dsb. Oleh karena itu, jenis pestisida yang dipilih
harus sesuai dengan OPT-nya. Kalau OPT-nya adalah serangga
maka pilihlah insektisida, kalau OPT-nya cendawan pilihlah fungisida
dan seterusnya. Setelah memilih kelompoknya, kemudian memilih
jenis yang efektif untuk OPT sasaran yang ada. Walaupun sama
sebagai insektisida tetapi tidak berarti efektif atau tingkatan
keefektifannya sama terhadap semua serangga.
Untuk mengetahui pestisidanya, termasuk kelompok apa dan
efektif untuk OPT apa, dapat dibaca label pada kemasan pestisidanya.
Kesalahan dalam memilih jenis pestisida berakibat tidak efektifnya
pestisida tersebut, misalnya OPT tidak terkendali dan tanaman tidak
sembuh. Hal ini mendorong pengulangan aplikasi pestisida berkali-
kali dalam jangka waktu pendek yang dampaknya antara lain
residunya tinggi. Sebaliknya, apabila jenis yang dipilih benar dan
efektif maka tidak diperlukan aplikasi ulangan lagi sehingga residunya
rendah. Oleh karena itu, OPT yang menyerang harus diamati secara
cermat sebelum memilih jenis pestisida yang tepat.


23

b) Memilih Pestisida yang Mudah Terurai (Tidak Persisten)
Suatu pestisida tertentu mempunyai sifat fisiko kimia yang berbeda
dengan yang lainnya, walaupun kelompoknya sama. Ada jenis
pestisida yang mudah teroksidasi, tereduksi, terhidrolisa dan
mengalami reaksi lain sehingga akan rusak atau bahkan menjadi
senyawa lain yang tidak berbahaya.
Berdasarkan sifat fisiko kimianya ada pestisida yang tidak mudah
rusak di alam, sehingga tetap berada di alam dalam jangka waktu
panjang (disebut persisten). Sebaliknya, ada pestisida yang mudah
rusak/berubah menjadi senyawa lain di alam sehingga keberadaannya
di alam hanya dalam waktu pendek (disebut non persisten).
Untuk mengukur mudah tidaknya suatu pestisida rusak/terurai di
alam, digunakan parameter waktu paruh (Decomposition Time-50
disingkat DT-50) atau senyawa tersebut terurai di alam (dalam hal ini,
unsur alam yang sering digunakan adalah tanah, air, udara).
DT-50 pestisida sangat beragam, dari jangka waktu jam sampai
dengan jangka waktu tahun. Decomposition Time-50 suatu jenis
pestisida dapat berbeda dengan DT-50 pestisida lainnya, tetapi secara
umum DT-50 pestisida adalah sebagai berikut: kelompok organoklorin
lebih lama daripada organofosfat, lebih lama dari pada organo
karbamat, lebih lama daripada piretroid sintetik. Makin besar angka
DT-50, artinya pestisida makin sulit terurai, makin lama berada di

24

alam. Sebaliknya, makin kecil angkanya, pestisida tersebut makin
mudah terurai di alam, sehingga residunya akan cepat berkurang.
Untuk mengurangi residu pestisida, selain yang tepat jenis agar
efektif, pestisida yang dipilih hendaknya yang mempunyai DT-50 kecil
(mudah rusak di alam). Namun, informasi tentang DT-50 tidak mudah
diperoleh karena tidak tercantum dalam label pestisida, sehingga perlu
dicari ke sumber lainnya, misalnya petugas perlindungan tanaman
pangan dan hortikultura atau pemilik produk.
2) Pengaturan Cara Aplikasi Pestisida
a) Waktu Aplikasi
Aplikasi pestisida seharusnya hanya dilakukan pada waktu
populasi atau intensitas serangan OPT telah melampaui ambang
ekonomi atau ambang pengendalian. Jangan mengaplikasikan
pestisida pada saat populasi atau intensitas serangan OPT masih
di bawah ambang ekonomi, atau secara reguler tanpa
memperhatikan populasi/intensitas serangan OPT, apalagi tidak
ada serangan OPT. Hal ini dimaksudkan agar aplikasi pestisida
hanya pada waktu yang diperlukan dan tidak berlebihan.
Selain mempertimbangkan ambang ekonomi, aplikasi
pestisida perlu memperhatikan stadia peka sebagian besar
populasi OPT terhadap pestisida. Aplikasi pestisida pada stadia
peka akan lebih efektif walaupun dengan dosis rendah dan tidak
perlu diulang dalam

25

jangka waktu pendek. Contoh: aplikasi pestisida untuk mengendalikan
ulat grayak sebaiknya dilakukan pada waktu larva berada pada instar
13, karena larva pada instar berikutnya (instar 46) relatif lebih tahan
terhadap pestisida. Stadia yang relatif tahan pestisida pada umumnya
adalah telur dan pupa.
b) Dosis Aplikasi
Dosis (liter atau kilogram pestisida per hektar tanaman) dan
konsentrasi (mililiter atau gram pestisida per liter cairan semprot) yang
digunakan adalah dosis dan konsentrasi minimum yang efektif
terhadap OPT sasaran. Hal ini dimaksudkan agar penggunaan
pestisida tidak berlebihan dan residunya tidak tinggi. Di samping itu,
penggunaan pestisida yang berlebihan dapat mempercepat terjadinya
resistensi.
Informasi tentang dosis dan konsentrasi efektif yang dianjurkan dapat
dibaca pada label masing-masing pestisida. Contoh: apabila dosis
satu liter per hektar suatu pestisida cukup efektif untuk mengendalikan
OPT A, maka pestisida tersebut tidak perlu diaplikasikan dengan dosis
lebih daripada itu.
Dosis pestisida yang berlebihan tidak berpengaruh nyata terhadap
efektivitas, tetapi dampak negatif yang ditimbulkannya dapat berbeda
nyata; terutama residu pestisida, percepatan resistensi, pemborosan,
dan pencemaran lingkungan hidup.


26

c) Sasaran Aplikasi
Perlu diupayakan semaksimal mungkin agar aplikasi pestisida
diarahkan pada sasarannya yang tepat, dengan memperhatikan hal-
hal sebagai berikut:
1. Tidak diaplikasikan pada bagian tanaman yang akan dikonsumsi.
Apabila yang akan dikonsumsi adalah buahnya, maka aplikasi
pestisida tidak diarahkan pada buah.
2. Aplikasikan pestisida pada bagian tanaman yang terserang atau
ada populasi OPT-nya. Hal ini dimaksudkan agar pestisida
terfokus pada bagian tanaman yang memerlukannya; sehingga
efektif, efisien, dan tidak meninggalkan residu pada bagian
tanaman yang tidak perlu diaplikasi. Contoh: apabila serangan
OPT terjadi di pangkal batang, maka bagian yang diaplikasi
pestisida cukup di pangkal batang saja, tidak seluruh bagian
tanaman.
d) Jangka Waktu Sebelum Panen
Aplikasi pestisida yang terakhir diusahakan sejauh mungkin
sebelum panen. Makin jauh dari waktu panen makin baik. Hal ini
dimaksudkan agar pada waktu hasil tanaman dipanen, sebagian besar
pestisida sudah terurai, sehingga residunya hanya sedikit atau tidak
ada. Jangan mengaplikasikan pestisida menjelang atau setelah
panen, kecuali pada kondisi tertentu yang memang memerlukannya
dan aplikasi pada kondisi tersebut tidak dapat dihindarkan.

27

e) Tidak Menggunakan Bahan Perekat (Sticker)
Bahan perekat (sticker) adalah bahan tambahan (ajuvan) yang
dijual secara terpisah dari pestisida. Beberapa formulasi pestisida
sudah mengandung bahan perekat, sedangkan yang lainnya tanpa
bahan perekat. Banyak anggota masyarakat yang menambahkan
bahan perekat ke dalam cairan semprot dengan maksud agar
pestisidanya tidak mudah tercuci air hujan dan hilang dari tanaman
karena tertiup angin.
Dampak dari penggunaan bahan perekat adalah pestisida lebih lama
melekat pada tanaman, sehingga masa proteksinya lebih lama. Tentu
saja residunya tidak berkurang pada saat dipanen. Oleh karena itu
jangan menggunakan tambahan bahan perekat, kecuali keadaan
lapangan menuntut dilakukannya penambahan bahan perekat;
misalnya pada saat curah hujan sangat banyak.
b. Kebijakan dan Kaidah Penggunaan Pestisida
1. Peraturan Pestisida
Mengingat pentingnya peranan Pestisida dalam upaya
penyelamatan produksi pertanian, Pemerintah berkewajiban untuk
mengatur peredaran dan penggunaan Pestisida di Indonesia.
Selain itu, Pestisida termasuk bahan berbahaya, sehingga dalam
pengaturannya juga mengacu kepada peraturan-peraturan
internasional yang disepakati bersama dengan Badan Internasional


28

seperti FAO, WHO, Kesepakatan Protokol Montreal dan sebagainya.
Dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 ditegaskan bahwa :
Pestisida yang akan diedarkan di dalam wilayah Negara Republik
Indonesia wajib terdaftar, memenuhi standar mutu, terjamin efektivitasnya,
aman bagi manusia dan lingkungan hidup serta diberi label.
Sedangkan dalam Permentan No. 45/Permentan/SR.140/10/2009
diamanatkan bahwa: Pestisida yang terdaftar/diijinkan adalah Pestisida
yang telah memenuhi persyaratan administrasi dan kriteria teknis yang
ditetapkan Menteri Pertanian.
Berdasarkan sifat fisiko-kimianya, Pestisida diklasifikasikan menjadi 2
(dua) yaitu: Pestisida yang boleh didaftarkan : adalah Pestisida yang tidak
termasuk kategori Pestisida dilarang yang bidang penggunaannya meliputi
untuk : pengelolaan tanaman, peternakan, kesehatan hewan, perikanan,
1. kehutanan, penyimpanan hasil, rumah tangga, pengendali vektor
penyakit pada manusia, karantina dan pra pengapalan.
2. Pestisida dilarang : adalah Pestisida yang berdasarkan klasifikasi
WHO mempunyai klasifikasi Ia (sangat berbahaya sekali) atau Ib
(berbahaya sekali), mempunyai LC50 < 0,05 mg/lt dalam 4 jam
paparan, mempunyai indikasi : Karsinogenik, Onkogenik, Teratogenik
dan Mutagenik.
Bahan aktif Pestisida yang dilarang penggunaannya sebagaimana pada
tabel 7 berikut :



29


Tabel 1. 7
Daftar bahan aktif pestisida yang dilarang
No. Bahan Aktif
1. 2,4,5-T Kaptafol
2. 2,4,6-T Klordan
3. Natrium 4-brom-2,5-
diklorofenol
Klordimefon
4. Aldikarb Leptofos
5. Aldrin Heksakloro Siklo Heksan (HCH)
(Termasuk Lindan)
6. 1,2-Dibromo-3- kloropropan Metoksiklor
7. Cyhexatin Mevinfos
8. Dikloro difenil
trikloroetan(DDT)
Monosodium metam arsonat
(MSMA)
9. Dieldrin Natrium klorat
10. 2,3-Diklorofenol Natrium tribromofenol
11. 2,4-Diklorofenol Metil parathion
12. 2,5-Diklorofenol Halogen fenol (Termasuk Penta)
Kloro Fenol (PCP) dan Garamnya
13. Dinoseb Pestisida berbahan aktif
Salmonella
Ethyl p-nitrophenyl Senyawa arsen

30

Benzene-thiophosponate
(EPN)
Endrin Senyawa merkuri
14. Endosulfan Strikhnin
15. Etilen dibromida (EDB) Telodrin
16. Formaldehida Toxaphene
17. Fosfor kuning (Yellow
Phosphorus)
Mireks
18. Heptaklor
Sumber : Buku Pedoman Pembinaan Penggunaan Pestisida tahun 2011
c. Batas Maksimum Residu (BMR) Pestisida
Standar Nasional Indonesia (SNI) merumuskan tentang batas
maksimum residu pestisida pada beras, yaitu untuk jenis pestisida
khusunya golongan organofosfat, seperti pada table berikut :
Tabel 1. 8
Batas Maksimum Residu (BMR) yang di perbolehkan
Jenis pestisida BMR
Aldrin dan Dieldrin
DDT
Diazinon
Dichlorvos
Dikuat
Endosulfan
0,2 mg/kg
0,1 mg/kg
0,1 mg/kg
5 mg/kg
10 mg/kg
0,1 mg/kg

31

Etrimfos
Fenitrotion
Fenotrin
Fentin
Fenthion
Fenthoate
Klorpirifos
Fipronil
Metil Bromida
Metil Paration
Metil Klorfirifos
Piretrins
Glifosat
Heptaklor
Ion Bromida
Iprodion
Karbendazim
Karbofuran
Karbon Tetraklorida
Kartap
Kinometionat
0,1 mg/kg
1 mg/kg
0,1 mg/kg
0,1 mg/kg
0,05 mg/kg
0,05 mg/kg
0,5 mg/kg
0,1 mg/kg
5 mg/kg
1 mg/kg
0,1 mg/kg
0,3 mg/kg
0,1 mg/kg
0,02 mg/kg
50 mg/kg
10 mg/kg
2 mg/kg
0,1 mg/kg
50 mg/kg
0,1 mg/kg
0,1 mg/kg
Sumber : Standar Nasional Indonesia SNI 7313:2008
Lanjutan table 1. 8

32

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Badan Penelitian dan
pengembangan pertanian Departemen Pertanian yang diperoleh dari
sentra produksi di Jawa Barat dan Jawa Timur dapat diketahui bahwa
tomat yang tidak dicuci mengandung profenos rata-rata 0,096 mg/kg,
sedangkan tomat yang dicuci mengandung 0,059 mg/kg.
Residu insektisida klorfiripos pada beras sebesar 0,417 mg/kg.
Dengan demikian bahan pangan yang mengandung residu insektisida ini
akan termakan oleh manusia dan tentunya dapat menimbulkan efek yang
berbahaya terhadap kesehatan manusia (Departemen Pertanian, 1998).
Berbagai penelitian tentang analisis residu pestisida telah dilakukan
orang. Tentu saja dengan metode yang bervariasi, untuk dapat
menghasilkan data yang benar-benar akurat Berdasarkan hasil penelitian
soemirat (2003) residu insektisida golongan organofosfat ditemukan pada
berbagai jenis sayuran seperti bawang merah dengan konsentrasi 1,167-
0,565 ppm, kentang 0,125-4,333 ppm, cabe dan wortel mengandung
profenos 0,11 mg/kg, detakmetrin 7,73 mg/kg, klorfiripos 2,18 mg/kg,
tulubenzuron 2,89 mg/kg, dan permetrin 1,80 mg/kg.
Berikut ini disajikan hasil analisis residu pestisida pada makanan yang
sudah pernah dilakukan oleh Nakamura dkk (1993) telah melakukan
penelitian tentang tingkat residu pestisida pada penyemprotan pestisida
organofosfat (Dichlorvos, Chlorpyrifosmethyl, Malathion dan Fenitrothion)
serta fumigasi dengan Methyl Bromide terhadap beras selama
penyimpanan dan sesudah pemasakan. Dilaporkan bahwa konsentrasi

33

pestisida organofosfat menurun sebagai fungsi waktu: 15, 6-28,6% (92
hari, untuk beras sosoh) dan 0-35% (85 hari, untuk beras merah), untuk
bromide 59% (84 hari, untuk beras sosoh). Residu pestisida yang
tertinggal dalam nasi 0-58% sedangkan bromida 41,2%.
Pada penelitian Sudana Atmawidjaja, dkk (2004) ditentukan kadar
residu metidation dalam tomat yang diperlakukan dengan berbagai cara
seperti perebusan, pencucian menggunakan air suling dan detergen.
Penentuan residu dilakukan dengan cara kromatografi gas dilengkapi
detektor fotometri nyala, kolom OV-17 pada suhu 220 o C, laju alir gas
pembawa nitrogen 35 mL/menit, suhu injektor dan detektor 230 o C. Pada
kondisi tersebut diperoleh waktu retensi metidation rata-rata 8,45 menit.
Buah tomat yang telah diperlakukan tersebut, diekstraksi dengan
etilasetat. Nilai perolehan kembali residu metidation rata-rata adalah
93,5% dengan koefisien variasi 3,3%. Sampel tomat yang telah
mengalami perlakuan menunjukkan kadar residu pestisida yang lebih
rendah. Sampel tomat yang diambil secara acak di pasar Lembang
Kabupaten Bandung mengandung residu metidation yang tidak melewati
batas maksimum residu (BMR) pestisida. Dari berbagai kajian tersebut
senyawa-senyawa tersebut merupakan golongan besar dari organoklorin,
organofosfat, dan karbamat.




34

C. Tinjauan Umum Tentang Persistensi Pestisida
Pestisida disebut persisten (persistent) bila sudah diaplikasikan
dapat bertahan pada bidang sasaran atau pada lingkungan dalam
jangka waktu lama. Pestisida tidak mudah diuraikan di alam. Senyawa
ini bertahan dalam lingkungan tidak hanya dalam hitungan bulan,
tetapi puluhan tahun. Senyawa hidrokarbon berklor juga tidak mudah
disekresikan bila masuk ke dalam tubuh hewan dan manusia.
Konsentrasinya juga cenderung makin meningkat jika tingkat trofik
yang dilalui makin tinggi (bioakumulasi dan biomagnifikasi)
(Djojosumarto, 2000).
Residu pestisida merupakan akibat dari penggunaan atau aplikasi
langsung pestisida yang ditujukan secara Iangsung pada sasaran
tertentu seperti tanah dan tanaman. Sudah ribuan publikasi iImiah
yang melaporkan tentang tingkat residu berbagai jenis pestisida di
Iingkungan. Dapat dikatakan bahwa residu pestisida sudah berada
diman-mana dipermukaan bumi ini. Residu pestisida sudah berhasil
ddeteksi di dalam tanah, di air laut, air danau, air sungai. Residu
pestisida berada di dalam tanaman yang ada di lapangan sampai di
bagian tanaman yang siap dikonsumsi seperti sayur-sayuran dan
buah-buahan (Untung, 1993).
Menurut Shu Gui Dai dkk, (1998), pestisida dikatakan tidak
persisten jika waktu setengah umurnya kurang dari 3 bulan, semi
persisten jika waktu setengah umurnya 3-12 bulan, dan yang waktu

35

setengah umurnya lebih dari 12 bulan diklasifikasikan sebagai
pestisida persisten. Pestisida yang tidak persisten bisa diuraikan di
alam menjadi senyawa yang tidak berbahaya (detoksifikasi).
Penguraian bisa berlangsung secara kimiawi (fotolisis, hidrolisis) atau
secara biologis oleh tanaman dan atau mikro-organisme.
Efek residu pestisida yang tidak persisten pada tanaman bisa
menurun dengan relatif cepat dalam beberapa bulan. Pestisida modern
dari kelompok organofosfat, karbamat dan piretroid umumnya tidak lagi
bersifat persisten. Pola degradasi bahan aktif pestisida umumnya tidak
mengikuti pola linier. Umumnya grafik degradasi mula-mula
curam(berarti degradasi berjalan cepat) selanjutnya agak mendatar
(degradasi berjalan semakin melambat) sehingga jika DT50 dari suatu
bahan aktif pestisida adalah 5 hari, bukan berarti bahwa pestisida
tersebut habis terdegradasi dalam waktu 5 x 2 = 10 hari. Mungkin saja
pestisida yang DT50-nya 5 hari baru akan habis terdegradasi dalam
waktu 2-3 bulan.
Tabel 1.9
Waktu paruh beberapa bahan aktif pestisida
No. Bahan aktif Waktu Paruh (DT50)
1.
2.
3.
4.
5.
2,4 D
Alumunium fosetil
Ametrin Tanah
Atrazin Tanah
Bensultap
Tanah < 7 hari
Tanah : 1,5 jam
Tanah : 70-129 hari
Tanah : 35-50 hari
Tanah : 3-35 hari

36

6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13
14
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
6 Bentazon
Bifentrin
BPMC
Bromasil
Buprofesin
Butaklor
Siprokonazol
Deltrametrin
Diafentiuron
Dimetoat
Diasinon
Diflubenzuron
Dikamba
Dikofol
Diuron
Endosultan
Fenitrotion
Flufenoksuron
Flutolanil
MCPA
Kaptan
Karbaril
Karbofuran
Tanah : 12 hari
Tanah : 65-125 hari
Tanah : 6-30 hari
Tanah : 5 bulan
Tanah : 20-30 hari
Tanah : 6-10 minggu
Tanah : 3 bulan
Tanah : <23 hari
Tanah: 1 jam-1,4 hari
Tanah:7-16 hari
Tanah: 11-21 hari
Tanah: <7 hari
Tanah:<14 hari
Tanah: 60-100 hari
Tanah: 4-8 bulan
Tanah: 30-70 hari
Tanah:12-28 hari
Tanah liat : 42 hari
Tanah : 40-60 hari
Tanah : 3-4 bulan
Tanah liat : 14-28 hari
Tanah : 30-60 hari
Tanah : 60-120 hari
Lanjutan Tabel

37

29.
30
31.
32.
Klorpirifos
Klorfluazuron
Klorotalonil
Kuinalfos
Tanah : 6 minggu
Tanah : 5-36 hari
Tanah : 3 minggu
Tanah : 4-12 minggu
Sumber : Anonim (2001), Pedoman Cara Penggunaan Pestisida
Dengan
Residu minimum
1. Jenis Pestisida yang persistensi di lingkungan adalah :
a. Organoklorin
Organoklorin merupakan pencemar utama dalam golongan
Persistent Organic Pollutant yang sedang dipermasalahkan di dunia
akibat sifatnya yang toksik kronis, persisten dan bioakumulatif
(Zhou et al., 2006). Organoklorin tidak reaktif, stabil, memiliki
kelarutan yang sangat tinggi di dalam lemak, dan memiliki
kemampuan degradasi yang rendah (Ebichon dalam Soemirat,
2005).
Proporsi pestisida yang akan mencapai target, seperti hama,
ditemukan tidak lebih dari 0,3% dari yang diaplikasikan, sedangkan
99% lainnya akan berada di lingkungan (Karina S.B, Julia E., and
Victor J. Moreno, 2002).
Area persawahan yang menggunakan banyak materi organik
akan mengandung residu pestisida yang tinggi karena tanah yang
seperti ini

38

Dapat mengabsorbsi senyawa hidrokarbon yang mengandung klor
(hidrokarbon terklorinasi).
Organokhlorin atau disebut Chlorinated hydrocarbon terdiri dari
beberapa kelompok yang diklasifikasi menurut bentuk kimianya. Yang
paling populer dan pertama kali disinthesis adalah Dichloro-diphenyl-
trichloroethan atau disebu
t DDT.
Tabel 1.10
Klasifikasi Pestisida organokhlorin
Kelompok Bahan Aktif
Cyclodienes Aldrin, Chlordan, Dieldrin, Heptachlor,
endrin, Toxaphen, Kepon, Mirex.
Hexachlorocyclohexan Lindane
Derivat Chlorinated-ethan DDT

Kelompok Pestisida organoklorin mulai diperkenalkan pemerintah
pada pertanian sejak awal 1950 (Untung dalam Sudaryanto et al., 2007).
Organoklorin dikelompokkan menjadi 3, yaitu : diklorodifenil etan (contoh :
DDT, DDD, portan, metosiklor, dan metioklor), siklodin (contoh : aldrin,
dieldrin, heptaklor, klordan, dan endosulfan), dan sikloheksan benzene
terklorinasi (contoh : HCB, HCH, dan lindan). Dalam jangka waktu 40
tahun, organoklorin masih ditemukan di lingkungan dan biota, dan
terdistribusi secara global bahkan ke daerah terpencil di mana
organoklorin tidak pernah digunakan (Sudaryanto et al., 2007).
Sumber : Anonim dampak-penggunaan-ddt-dichloro-
diphenyl.

39

Sejak akhir 1990, semua jenis Pestisida organoklorin sudah dilarang
penggunaannya di Indonesia. Namun karena harganya yang murah,
mudah digunakan, dan efektif membasmi hama, maka beberapa jenis
organoklorin seperti DDT masih digunakan di Indonesia, selain karena
kurangnya ketegasan peraturan dan hukum yang berlaku (Sudaryanto et
al., 2007).
Pestisida dalam kelompok ini mengandung Klorin, Hidrogen dan
Karbon. Kadang-kadang ada juga yang mengandung Oksigen dan Sulfur.
Organoklorin mengandung unsur karbon, hidrogen, dan klorin (DDT dan
D3 aldrin). Daya racun terhadap organisme tertentu dinyatakan dalam nilai
LD 50 ( Lethal Dose atau takaran yang mematikan). LD 50 menunjukkan
banyaknya racun persatuan berat organisme yang dapat membunuh 50%
dari populasi jenis binatang yang digunakan untuk pengujian, biasanya
dinyatakan sebagai berat bahan racun dalam milligram, perkilogram berat
satu ekor binatang uji. Jadi semakin besar daya racunnya semakin besar
dosis pemakainnya.
Senyawa-senyawa (organokhlorin, chlorinated hydrocarbons)
sebagian besar menyebabkan kerusakan pada komponen-komponen
selubung sel syaraf (Schwann cells) sehingga fungsi syaraf terganggu.
Peracunan dapat menyebabkan kematian atau pulih kembali. Kepulihan
bukan disebabkan karena senyawa organoklorin telah keluar dari tubuh
tetapi karena disimpan dalam lemak tubuh. Semua Pestisida organoklorin
sukar terurai oleh faktor-faktor lingkungan dan bersifat persisten, Mereka

40

cenderung menempel pada lemak dan partikel tanah sehingga dalam
tubuh jasad hidup dapat terjadi akumulasi, demikian pula di dalam tanah.
Akibat peracunan biasanya terasa setelah waktu yang lama, terutama bila
dose kematian (lethal dose) telah tercapai. Hal inilah yang menyebabkan
sehingga penggunaan organoklorin pada saat ini semakin berkurang dan
dibatasi. Efek lain adalah biomagnifikasi, yaitu peningkatan peracunan
lingkungan yang terjadi karena efek biomagnifikasi (peningkatan biologis)
yaitu peningkatan daya racun suatu zat terjadi dalam tubuh jasad hidup,
karena reaksi hayati tertentu.
Ada 12 bahan aktif organik yang persisten
c) Aldrin, berupa pestisida yang dipakai untuk membunuh rayap,
belalang, cacing, serta hama serangga lainnya.
d) Chlordane yakni pestisida yang dipakai secara luas untuk
mengendalikan rayap dan serangga dengan spektrum luas terutama di
bidang pertanian.
e) DDT yakni pestisida yang paling terkenal karena banyak dipakai untuk
melindungi masyarakat dan hewan penyebab penyakit malaria dan
penyakit lainnya.
f) Dieldrin, berupa pestisida yang dipakai untuk mengendalikan rayap
dan hama tekstil. Tapi juga kerap dipakai untuk mengendalikan
serangga penyebab penyakit dan untuk pertanian.

41

g) Endrin, yakni pestisida untuk serangga yang disemprotkan pada dawn
tanaman Werti kapas dan butir padi. Racun ini juga dipakai untuk
membunuh tikus dan hewan pengerat lainnya.
h) Heptachlor yakni pestisida yang dipakai untuk membunuh serangga
tanah, rayap, serangga kapas, belalang, hama tanaman lainnya,
nyamuk penyebab malaria.
i) Mirex yakni pestisida membunuh serangga terutama jenis semut,
rayap. Tapi juga dipakai untuk bahan pemadam api.
j) Toxphene, atau disebut juga "Camphechlor" adalah pestisida yang
dipakai untuk melindungi tanaman kapas, padi, buah, kacang dan
sayuran dan serangan hama kutu dan tungau.
k) HCB (Hexachlorbenzene), yakni bahan pembasmi jamur yang
mempengaruhi makanan hasil pertanian. Bahan ini juga merupakan
hasil samping dari produksi bahan kimia tertentu dan dari proses yang
menghasilkan dioksin dan furans.
l) PCB (Polychlorinated Biphenyl), dalam industri bahan ini dipakai
sebagai penyangga panas seperti pada trafo, bahan tambahan pada
cat, kertas carbon, penutup (sealants) dan plastik
m) Dioxins yakni bahan kimia yang dihasilkan tanpa sengaja dalam
pembakaran yang tidak sempurna dalam proses pembuatan pestisida
atau bahan kimia lain seperti pada industri kertas, plastik, bubur kayu,
bahan pemutih, senyawa ini juga dihasilkan pula dari asap, mobil,
tembakau, kayu, dan sebagainya.

42

n) Furans, yakni bahan kimia yang dihasilkan tanpa sengaja dari proses
yang sama dengan yang mengeluarkan fioksin. Bahan ini ditemukan
dalam campuran PCB yang diperdagangkan.
Banyak peneliti menemukan bahwa pestisida seperti dieldrin dan
aldrin sangat mudah teradsorbsi oleh tanah yang mengandung bahan
organik, tetapi juga sangat sukar terdesorpsi. Lingkungan tanah yang
penting lainnya dalam hal ini adalah kelembaban, pH, dan curah hujan.
Kenyataan menunjukkan bahwa setelah larangan penggunaan DDT
pada tahun 1969 di Arizona, kandungan DDT dalam tanaman dan
susu ternak menurun dengan cepat dalam dua tahun, tetapi
kandungan residu dalam tanah konstan (Achmadi, 2003).
Pestisida tetap diperlukan dalam tindakan pengendalian hama,
tetapi dalam program PHT (Pengendalian Hama Terpadu) dengan
perbaikan dalam mutu dan produk serta perbaikan cara aplikasi
dengan tunjangan oleh peraturan dan petunjuk yang Iebih ditingkatkan,
pengaruh samping yang tidak diinginkan akibat penggunaan pestisida
dapat ditekan seminimal mungkin. (Natawigena, 1990).
a. Jenis pestisida yang tidak persisten
Pestisida yang tidak persisten dapat diurai (didekomposisi) di alam
menjadi senyawa lain yang tidak berbahaya (detoksifikasi). Penguraian
ini dapat berlangsung secara kimiawi (fotolisis) atau secara biologis
oleh tanaman atau mikroorganisme. Efek residu pestisida yang tidak
persisten hanya dapat bertahan beberapa hari hingga beberapa bulan

43

saja. Pestisida-pestisida modern seperti organofosfat, karbamat, dan
piretroid, pada umumnya tidak lagi bersifat persisten (Wardojo, dkk, 1978).
b. Dampak Penggunaan Pestisida pada Lingkungan
Dalam penerapan di bidang pertanian, ternyata tidak semua pestisida
mengenai sasaran. Kurang lebih hanya 20 persen pestisida mengenai
sasaran sedangkan 80 persen lainnya jatuh ke tanah. Akumulasi residu
pestisida tersebut mengakibatkan pencemaran lahan pertanian. Apabila
masuk ke dalam rantai makanan, sifat beracun bahan pestisida dapat
menimbulkan berbagai penyakit seperti kanker, mutasi, bayi lahir cacat,
CAIDS (Chemically Acquired Deficiency Syndrom) dan sebagainya (Said,
1994).
Pada masa sekarang ini dan masa mendatang, orang lebih menyukai
produk pertanian yang alami dan bebas dari pengaruh pestisida walaupun
produk pertanian tersebut di dapat dengan harga yang lebih mahal dari
produk pertanian yang menggunakan pestisida (Ton, 1991). Pestisida
yang paling banyak menyebabkan kerusakan lingkungan dan mengancam
kesehatan manusia adalah pestisida sintetik, yaitu golongan organoklorin.
Tingkat kerusakan yang disebabkan oleh senyawa organoklorin lebih
tinggi dibandingkan senyawa lain, karena senyawa ini peka terhadap sinar
matahari dan tidak mudah terurai (Said, 1994).
Penyemprotan dan pengaplikasian dari bahan-bahan kimia pertanian
selalu berdampingan dengan masalah pencemaran lingkungan sejak
bahan-bahan kimia tersebut dipergunakan di lingkungan. Sebagian besar

44

bahan-bahan kimia pertanian yang disemprotkan jatuh ke tanah dan
didekomposisi oleh mikroorganisme. Sebagian menguap dan menyebar di
atmosfer dimana akan diuraikan oleh sinar ultraviolet atau diserap hujan
dan jatuh ke tanah (Uehara, 1993).
Di dalam lingkungan, pestisida diserap oleh berbagai komponen
lingkungan, kemudian terangkut ke tempat lain oleh air, angin atau
organisme yang berpindah tempat. Ketiga komponen lingkungan ini
kemudian mengubah pestisida tersebut melalui proses kimiawi atau
biokimiawi menjadi senyawa lain yang masih meracun atau senyawa yang
bahkan telah hilang sifat meracunnya. Yang menjadi perhatian utama
dalam toksikologi lingkungan ialah berbagai pengaruh dinamis pestisida
dan derivat-derivatnya setelah mengalami perubahan oleh faktor
lingkungan secara langsung atau oleh faktor hayati terhadap sistem hayati
dan ekosistemnya.
Pestisida bergerak dari lahan pertnaian menuju aliran sungai dan
danau yang dibawa oleh hujan atau penguapan, tertinggal atau larut pada
aliran permukaan, terdapat pada lapisan tanah dan larut bersama dengan
aliran air tanah. Penumpahan yang tidak disengaja atau membuang
bahan-bahan kimia yang berlebihan pada permukaan air akan
meningkatkan konsentrasi pestisida di air. Kualitas air dipengaruhi oleh
pestisida berhubungan dengan keberadaan dan tingkat keracunannya,
dimana kemampuannya untuk diangkut adalah fungsi dari kelarutannya
dan kemampuan diserap oleh partikel-partikel tanah.

45

Air merupakan medium utama bagi transportasi pestisida. Pindahnya
pestisida dapat bersama partikel air atau debu pembawa. Pestisida dapat
pula menguap karena suhu yang tinggi (pembakaran). Pestisida yang di
udara bisa kembali ke tanah oleh hujan atau pengendapan debu.Dalam
dinamika pestisida di lingkungan terdapat dua istilah yang berhubungan
yakni deposit dan residu. Deposit ialah materi yang terdapat pada
permukaan segera setelah aplikasi sedangkan residu pestisida
merupakan materi yang terdapat di atas atau di dalam benda lain setelah
beberapa saat atau mengalami penuaan, perubahan kimia, atau
keduanya. Residu permukaan atau residu efektif ialah banyaknya materi
yang tertinggal, misalnya pada tanaman setelah aplikasi. Residu
permukaan dapat hilang karena pencucian (pembilasan), penggosokan,
hidrolisis, dan sebagainya.
Pembilasan bukan hanya terjadi pada pestisida hidrofilik tetapi juga
yang lipofilik. Dalam waktu 1-2 jam setelah aplikasi pestisida,
kemungkinan besar 90% deposit telah hilang karena pencucian oleh air
hujan. Sisanya biasanya terurai oleh sinar ultraviolet. Banyak jenis
pestisida lipofilik yang cenderung berakumulasi (menumpuk) pada lapisan
malam (lilin) dan lemak tanaman, terutama pada bagian kulit. Itu sebabnya
sayuran atau buah terutama yang dimakan mentah perlu dicuci atau
dikupas dahulu (Sinulingga, 2006).
Pestisida pada buah ada yang hanya menempel pada kulit, tertinggal
dalam kulit ataupun pada daging buah, hal ini tergantung pada ketebalan,

46

kulit buah, pori-pori buah dan jenis pestisida yang digunakan.
Penggunaan pestisida secara tidak bijaksana dapat menimbulkan
berbagai dampak negatif baik manusia maupun lingkungan. Di dalam
lingkungan pestisida diserap oleh berbagai komponen lingkungan yang
mengubahnya menjadi bahan-bahan lain yang tidak beracun atau masih
beracun. Dalam jangka panjang aplikasi yang sangat intensif, dapat
meningkatkan probabilitas organisme pengganggu tumbuhan (OPT)
sekunder atau meningkatkan resistensi hama. Penggunaan pestisida
kimia, terutama yang daya kerjanya sistemik dapat meninggalkan residu
pada produk yang dihasilkan (Ameriana, 2008).
Berikut ini akan diuraikan bebrapa dampak penggunaan pestisida yang
berhubungan dengan lingkungan dan ekosistem.
1) Punahnya Spesies
Polutan berbahaya bagi biota air dan darat. Berbagai jenis hewan
mengalami keracunan dan kemudian mati. Berbagai spesies hewan
memiliki kekebalan yang tidak sama. Ada yang peka, ada pula yang
tahan. Hewan muda dan larva merupakan hewan yang peka terhadap
bahan pencemar. Ada hewan yang dapat beradaptasi sehingga kebal
terhadap bahan pencemar dan ada pula yang tidak. Meskipun hewan
mampu beradaptasi, harus diketahui bahwa tingkat adaptasi hewan
ada batasnya. Bila batas tersebut terlampaui, hewan tersebut akan
mati.


47

2) Peledakan Hama
Penggunaan pestisida dapat pula mematikan predator. Jika predator
punah, maka serangga dan hama akan berkembang tanpa kendali.
3) Gangguan Keseimbangan lingkungan
Punahnya spasies tertentu dapat mengubah pola interaksi di dalam
suatu ekosistem. Rantai makanan, jaring-jaring makanan dan aliran energi
menjadi berubah. Akibatnya keseimbangan lingkungan, daur materi, dan
daur biogeokimia menjadi terganggu.
4) Kesuburan Tanah Berkurang
Penggunaan insektisida dapat mematikan fauna tanah dan dapat juga
menurunkan kesuburan tanah. Penggunaan pupuk terus menerus dapat
menyebabkan tanah menjadi asam. Sehingga dapat menurunkan
kesuburan tanah.
Kerusakan tanah atau lahan dapat disebabkan oleh kemerosotan
struktur tanah (pemadatan tanah dan erosi), penurunan tingkat kesuburan
tanah, keracunan dan pemasaman tanah, kelebihan garam dipermukaan
tanah, dan polusi tanah. Faktor-faktor yang mempengaruhi degradasi
tanah atau lahan adalah : (1) pembukaan lahan (deforestration) dan
penebangan kayu hutan secara berlebihan untuk kepentingan domestik,
(2) penggunaan lahan untuk kawasan peternakan/penggembalaan secara
berlebihan (over grazing), dan (3) aktivitas pertanian dalam penggunaan
pupuk dan pestisida secara berlebihan (Hakim, 2002).


48

BAB III
KERANGKA KONSEP
A. Dasar Pemikiran Variabel yang Diteliti
Penggunaan pestisida dapat mencemari lingkungan dengan
meninggalkan residu dalam tanah serta dalam bagian tanaman seperti
buah, daun, dan umbi. Data lapangan menunjukkan adanya residu
insektisida pada beras dan tanah sawah, berupa organofosfat,
organoklorin, dan karbamat (Widianto, 1994).
Residu pestisida merupakan akibat dari penggunaan atau aplikasi
langsung pestisida yang ditujukan secara Iangsung pada sasaran
tertentu seperti tanah dan tanaman. Sudah ribuan publikasi iImiah
yang melaporkan tentang tingkat residu berbagai jenis pestisida di
Iingkungan. Dapat dikatakan bahwa residu pestisida sudah berada
diman-mana dipermukaan bumi ini. Residu pestisida sudah berhasil
ddeteksi di dalam tanah, di air laut, air danau, air sungai. Residu
pestisida berada di dalam tanaman yang ada di lapangan sampai di
bagian tanaman yang siap dikonsumsi seperti sayur-sayuran dan
buah-buahan (Untung, 1993).
Berbagai penelitian tentang analisis residu pestisida telah
dilakukan orang. Tentu saja dengan metode yang bervariasi, untuk
dapat menghasilkan data yang benar-benar akurat Berdasarkan hasil
penelitian soemirat (2003) residu insektisida golongan organofosfat
ditemukan pada berbagai jenis sayuran seperti bawang merah

49

dengan konsentrasi 1,167-0,565 ppm, kentang 0,125-4,333 ppm, cabe
dan wortel mengandung profenos 0,11 mg/kg, detakmetrin 7,73
mg/kg, klorfiripos 2,18 mg/kg, tulubenzuron 2,89 mg/kg, dan permetrin
1,80 mg/kg.
Setiap racun berpotensi mengandung bahaya. Oleh karena itu,
ketidak bijaksanaan dalam penggunaan pestisida pertanian bisa
menimbulkan dampak negatif. Beberapa dampak negatif dari
penggunaan pestisida antara lain sebagai berikut:
1. Dampak Bagi Kesehatan Petani
2. Dampak Bagi Konsumen
3. Dampak Bagi Kelestarian Lingkungan













50

B. Hubungan Antar Variabel
Berdasarkan konsep berpikir pada uraian tersebut maka dapat
disusun suatu pola pikir yang menjadi dasar pemikiran dalam
penelitian sebagai berikut:









Keterangan :
: Variabel dependen
: Variabel independen

1.
2.
1.

1.

1.

1.

VARIABEL DEPENDENT
Potensi kandungan residu pestisida pada beras
Variabel Independent
Pola Penggunaan Pestisida

51

C. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif
1. Defenisi operasional
a. Pola penggunaan pestisida
Adalah perilaku petani dalam menggunakan pestisida dalam
memberantas organisme pengganggu tanaman.
1. Dosis
Adalah takaran/ ukuran dalam liter, gram atau kg yang
digunakan untuk mengendalikan hama atau penyakit per
satuan luas tertentu. Gunakan konsentrasi/dosis yang sesuai
dengan yang dianjurkan oleh Menteri Pertanian. Untuk itu
bacalah label kemasan Pestisida. (Kementerian Pertanian
2011)
2. Jenis Pestisida Persistent
Adalah jenis pestisida yang di gunakan petani untuk
memeberantas hama. Organoklorin merupakan pencemar
utama dalam golongan Persistent Organic Pollutant yang
sedang dipermasalahkan di dunia akibat sifatnya yang toksik
kronis, persisten dan bioakumulatif (Zhou et al., 2006).
Persisten : Jika petani menggunakan pestisida
dari golongan organoklorin dan pestisida terlarang.
Tidak persisten : Jika tidak sesuai dengan karakteristik.



52

3. Waktu aplikasi
Waktu aplikasi adalah pilihan rentang waktu yang tepat untuk
mengaplikasikan Pestisida. Aplikasi pestisida seharusnya hanya
dilakukan pada waktu populasi atau intensitas serangan OPT telah
melampaui ambang ekonomi atau ambang pengendalian.
4. Metode pencampuran
Adalah penyemprotan yang di lakukan dengan mencampur 2 jenis
pestisida/bahan aktif secara bersamaan dengan berpedoman pada
label pestisida.
5. Aplikasi terakhir
Yang dimaksud dengan aplikasi terakhir sebelum panen pada
penelitian ini adalah penyemprotan pestisida terakhir sebelum hasil
tanaman dipanen.
b. Potensi kandungan residu pestisida terhadap hasil pertanian
potensi pencemaran pestisida terhadap hasil pertanian pada
penelitian ini adalah Besarnya residu pestisida yang tertinggal di
tanaman tergantung jenis pestisida/bahan aktif yang di gunakan
petani.
Organoklorin merupakan pencemar utama dalam golongan Persistent
Organic Pollutant yang sedang dipermasalahkan di dunia akibat
sifatnya yang toksik kronis, persisten dan bioakumulatif (Zhou et al.,
2006).

53

Menurut Shu Gui Dai dkk, (1998), pestisida dikatakan tidak
persisten jika waktu setengah umurnya kurang dari 3 bulan, semi
persisten jika waktu setengah umurnya 3-12 bulan, dan yang waktu
setengah umurnya lebih dari 12 bulan diklasifikasikan sebagai
pestisida persisten.
Kriteria Obyektif :
Tidak Berpotensi : Jika petani menggunakan pestisida waktu
setengah umurnya kurang dari 3 bulan dan berasal
dari golongan organoposfat, karbamat dan piretroid
Berpotensi : Jika tidak sesuai dengan karakteristik di atas













54

BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini bersifat dekriptif dimana metode ini bertujuan untuk
memperoleh informasi mengenai gambaran pola penggunaan
pestisida dan potensi kandungan residu pestisida pada beras di
tingkat petani di Kecamatan Patampanua Kabupaten Pinrang.
B. Lokasi dan waktu Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Kecamatan
Patampanua, Kabupaten Pinrang tahun 2014. dengan
pertimbangan bahwa Kecamatan tersebut merupakan salah satu
sentra produksi padi di Kabupaten Pinrang. Penentuan daerah
penelitian ini ditentukan secara sengaja karena Kecamatan
Patampanua merupakan salah satu penghasil komoditas padi
terbesar di Kabupaten Pinrang.
2. Waktu Penelitian
Waktu penelitian untuk memperoleh data dan informasi
tentang segala aspek yang diperlukan dalam penelitian adalah
selama 2 Minggu


55

C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi dalam peneliltian ini adalah semua petani yang
tergabung dalam kelompok tani yang terdapat di Kecamatan
Patampanua sebanyak 7.311 petani.
Menurut Suharsimi Arikunto (2010:173) populasi adalah
keseluruhan subjek penelitian.
6. Sampel
Sampel pada penelitian ini di ambil sebanyak 368 orang
petani dari masing-masing kelompok tani metode yang digunakan
untuk menentukan jumlah sampel adalah menggunakan rumus
Slovin.
dimana
n: jumlah sampel
N: jumlah populasi
e: batas toleransi kesalahan 95% (0,05)
N / (1 + e)
7.311 / (1 + 0,05)
Teknik sampling yang dipakai adalah stratified random
sampling. Teknik sampling ini disebut juga dengan istilah teknik
sampling bertingkat. Teknik ini digunakan apabila populasinya
heterogen yaitu karakteristik populasi yang bervariasi, atau terdiri
atas kelompok-kelompok yang bertingkat.
n =

56

Tabel 4.1
Klasifikasi sampel yang terpilih
No. Kelurahan/Desa Jumlah Kelompok
Tani
Sampel
1. Tonyamang 19 38 Petani
2. Mattiro ade 11 33 Petani
3. Leppangang 10 40 Petani
4. Pincara 4 20 Petani
5. Teppo 12 36 Petani
6. Benteng 6 36 Petani
7. Sipatuo 18 54 Petani
8. Maccirinna 6 48 Petani
9. Malimpung 8 24 Petani
10. Padang Loang 13 39 Petani
Total 107 368 Petani

C. Metode Pengumpulan Data
1. Data Primer
Pola penggunnaan pestisida dan potensi residu pestisida
pada beras diperoleh melalui wawancara langsung dengan
menggunakan kusioner/angket. Jenis angket yang di gunakan
adalah angket tertutup.



57

2. Data sekunder
diperoleh dari Kantor Pertanian, Kantor Kelurahan serta
penelusuran literatur-literatur, jurnal, dan artikel melalui internet dan
buku-buku yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan.

D. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
a. Pengolahan data
Data yang telah terkumpul dalam tahap pengumpulan data,
perlu diolah dahulu dengan tujuan adalah menyederhanakan
seluruh data yang terkumpul, menyajikannya dalam susunan yang
baik dan rapi, untuk pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan
dengan tahap sebagai berikut:
a. Editing Data
Editing data adalah menyunting data yang telah terkumpul
dilakukan dengan cara memeriksa kelengkapan, kesalahan
pengisian dan konsistensi dari setiap jawaban pertanyaan.
b. Koding data
Setelah data diedit, selanjutnya adalah koding jawaban agar
proses pengolahan lebih mudah.
c. Tabulasi data
Tabulasi data merupakan kelanjutan dari koding data pada
proses pengolahan. Dalam hal ini setelah data tersebut dikoding
kemudian

58

ditabulasi agar lebih mempermudah penyajian data dalam bentuk
distribusi frekuensi.
d. Entri data
Masukkan data yang telah dilakukan koding kedalam variabel
sheet SPSS versi 15.
2. Analisis data
a. Analisis univariat
Digunakan untuk menggambarkan variabel-variabel deskriptif
seperti Potensi kandungan residu pestisida pada beras, pendidikan,
lama bertani, jenis kelamin, dosis, frekuensi penyemprotan, metode
pencampuran pestisida, waktu penyemprotan, jangka waktu
penyemprotan dan jenis pestisida yang di gunakan. Akan dianalisa
dengan menggunakan deskriptif Crosstab (tabulasi silang).











59

BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Pengumpulan data ini dilakukan di Kecamatan Patampanua
Kabupaten Pinrang. Pengumpulan data ini dilaksanakan mulai tanggal
9 September 22 September 2014. Proses wawancara diambil
berdasarkan pertimbangan peneliti adalah petani yang menggunakan
pestisida da!am melakukan penyemprotan. Jumlah informan yang
berhasil di wawancara sebanyak 368 orang responden.
1. Karakteristik Responden
Karakteristik merupakan ciri khas yang melekat pada petani
yang menjadi responden dalam penelitian ini. Data tentang
karakteristik responden mencakup : Alamat, Sex (Jenis
Kelamin), tingkat pendidikan dan lama bertani.
b. Distribusi Responden menurut Alamat
Tabel 5.1 memperlihatkan bahwa jumlah responden
sebanyak 368 petani yang tersebar di kecamatan
Patampanua. Proporsi paling besar berada pada
Kelurahan/Desa Sipatuo dan Maccirinna.






60

Tabel 5.1
Distribusi Responden Berdasarkan Alamat Di Kecamatan
Patampanua Kabupaten Pinrang Tahun 2014

Alamat N %
Tonyamang
Mattiro Ade
Leppangang
Pincara
Teppo
Benteng
Sipatuo
Maccirinna
Malimpung
Padang Loang
38
33
40
20
36
36
54
48
24
39
10,3
9,0
10.9
5,4
9,8
9,8
14,7
13,0
6,5
10,6
Total 368 100
Sumber : Data primer
c. Distribusi Responden berdasarkan Jenis Kelamin
Adanya perbedaan jenis kelamin pada individu maka tentunya
akan mempengaruhi seseorang dalam memilih salah satu pekerjaan
yang cocok bagi dirinya, walaupun juga faktor kesenangan terhadap
suatu perkerjaan ikut berpengaruh. Adapun jenis kelamin petani padi
di Kecamatan Patampanua yang menjadi responden yaitu:

61

keseluruhan responden berjenis kelamin laki-laki dan tidak ada
responden yang berjenis kelamin perempuan dari total 368 (100%)
petani yang diambil menjadi responden. Banyaknya laki-laki yang
bekerja sebagai petani padi, tentu saja berkaitan dengan peran mereka
sebagai kepala rumah tangga yaitu menjadi tulang punggung
keluarganya.
Tabel 5.2
Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin Di Kecamatan Patampanua
Kabupaten Pinrang Tahun 2014
Jenis Kelamin N %
Laki-Laki 368 100
Perempuan 0 0
Jumlah 368 100
Sumber : Data Primer
d. Distribusi Responden Menurut Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan tentu saja akan mempengaruhi pengetahuan
seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka pengetahuan
seseorang akan lebih baik.
Pada Tabel 3 di bawah ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan
yang paling banyak adalah SD yaitu sebanyak 147 (39,1%) petani,
tidak tamat SD sebanyak 107 (29,1), SMP sebanyak 57 (15,5%), SMA
sebanyak 54 (14,7%) dan tingkat pendidikan yang paling sedikit
adalah Sarjana yaitu sebanyak 3 (,8%) petani.

62

Tabel 5.3
Distribusi Responden Menurut Tingkat Pendidikan Di Kecamatan
Patampanua Kabupaten Pinrang Tahun 2014
Pendidikan
N %
Tidak tamat SD
107 29,1
SD 147 39,1
SMP 57 15,5
SMA 54 14,7
Sarjana 3 ,8
Jumlah 368 100
Sumber : Data Primer
e. Distribusi Responden Berdasarkan Lama Bertani
Lama bekerja sebagai petani tentu saja akan mempengaruhi
pengalaman seseorang. Berdasarkan tabel di bawah ini menunjukan
187 (50,8% ) responden bekerja sebagai petani lebih dari 30 tahun, 101
(27,4%) responden bekerja sebagai petani selama 10-30 tahun, dan
terdapat 80 (21,7%) responden bekerja sebagai petani di bawah 10
tahun.
Selengkapnya dapat di lihat pada tabel 5.4 berikut ini :





63

Tabel 5.4
Distribusi Responden Berdasar Lama Bertani Di Kecamatan Patampanua
Kabupaten Pinrang Tahun 2014
Lama Bertani
N %
< 10
80 21,7
10-30 101 27,4
>30 187 50,8
Jumlah 368 100
Sumber : Data Primer
2. Variabel Penelitian
a. Gambaran Pola Penggunaan Pestisida
1) Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Pestisida yang di
Gunakan
Adalah jenis pestisida yang di gunakan petani untuk
memeberantas hama berdasarkan persistensinya di
lingkungan. Dalam hal ini di katakan persisten apabila
responden menggunakan jenis pestisida yang berbahan aktif
organoklorin.
Pada Tabel 5.5 di bawah ini menunjukkan bahwa berdasarkan
jenis pestisida yang di gunakan petani, berdasarkan hasil
observasi terdapat 117 (31,8%) petani menggunakan pestisida

64

berbahan aktif persisten dan yang tidak persisten sebanyak 251 (68,2%)
petani dari total 368 petani.
Tabel 5.5
Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Pestisida yang di Gunkana
Petani di Kecamatan Patampanua Kabupaten Pinrang
Tahun 2014
Jenis Pestisida N %
Persisten 117 31,8
Tidak Persisten 251 68,2
Jumlah 368 100
Sumber : Data Primer
2) Distribusi Responden Berdasarkan Frekuensi Penyemprotan
Adalah banyaknya responden melakukan penyemprotan dari tanam
sampai panen. Distribusi subyek penelitian berdasarkan frekuensi
menyemprot mulai penanaman sampai panen dikelompokkan menjadi 2
kelompok, yaitu yang menyemprot 3 kali dan kelompok yang
menyemprot < 3 kali . berdasarkan hasil wawancara terdapat 180 (48,9%)
petani melakukan penyemprotan 1-3 kali dari tanam sampai panen dan
168 (51,1%) petani melakukan penyemprotan lebih dari 3 kali dari tanam
sampai panen.
Selengkapnya dapat di lihat pada tabel 5.6 berikut ini :





65

Tabel 5.6
Distribusi Responden Berdasarkan Frekuensi Penyemprotan Pestisida di
Kecamatan Patampanua Kabupaten
Pinrang Tahun 2014
Frekuensi Penyemprotan N %
1-3 180 48,9
3 kali 188 51,1
Jumlah 368 100
Sumber : Data Primer
3) Distribusi Responden Berdasarkan Waktu Aplikasi
Waktu aplikasi adalah pilihan rentang waktu yang tepat untuk
mengaplikasikan Pestisida. Aplikasi pestisida yang dilakukan pada waktu
populasi atau intensitas serangan OPT telah melampaui ambang ekonomi
atau ambang pengendalian. Berdasarkan hasil wawancara terdapat 286
(77,7%) petani hanya mengaplikasikan pestisida apabila populasi hama
berada pada ambang batas pengendalian dan terdapat 82 (22,3%) petani
mengaplikasikan pestisida tanpa memperhatikan ambang batas
pengendalian hama.
Selengkapnya dapat di lihat pada tabel 5.7 berikut ini :









66

Tabel 5.7
Distribusi Responden Berdasarkan Waktu Aplikasi Berdasar
Pada Ambang Batas Pengendalian Pada Petani di Kecamatan
Patampanua Kabupaten Pinrang Tahun 2014
Waktu Aplikasi Berdasar Pada Ambang
Batas Pengendalian
N %
Ya 286 77,7
Tidak 82 22,3
Jumlah 368 100
Sumber : Data Primer
4) Distribusi Responden Berdasarkan Metode Pencampuran
Adalah penyemprotan yang di lakukan dengan mencampur 2 jenis
pestisida/bahan aktif secara bersamaan dengan berpedoman pada label
pestisida.
Berdasarkan hasil wawancara terdapat 255 (69,3%) petani
berpedoman pada label pestisida ketika akan melakukan pencampuran 2
jenis bahan aktif secara bersamaan dan terdapat sebanyak 113 (30,7%)
petani yang melakukan pencampuran 2 jenis bahan aktif secara
bersamaan tidak berpedoman pada label kemasan pestisida.
Selengkapnya dapat di lihat pada tabel 5.8 berikut ini :







67

Tabel 5.8
Distribusi Responden Berdasarkan Pedoman Pencampuran Berdasar
Pada Label Pestsida Pada Petani di Kecamatan Patampanua Kabupaten
Pinrang Tahun 2014
Pedoman Pencampuran Berdasar
Pada Label Pestisida
N %
Ya 255 69,3
Tidak 113 30,7
Jumlah 368 100
Sumber : Data Primer
5) Distribusi Responden Berdasarkan Dosis
Adalah takaran/ ukuran dalam liter, gram atau kg yang digunakan
untuk mengendalikan hama atau penyakit per satuan luas tertentu.
Dosis sesuai aturan dalam penelitian ini adalah responden
memperhatikan penggunaan pestisida sesuai dengan prosedur yang
tertera pada bungkus atau kemasan pestisida sedangkan yang tidak
sesuai aturan bila responden tidak memperhatikan prosedur yang tertera
pada bungkus atau kemasan.
Berdasarkan hasil wawancara terdapat 315 (85,6%) petani yang
memperhatikan petunjuk penggunaan yang tertera pada label kemasan
pestisida dan terdapat 53 (14,4%) petani yang tidak memperhatikan
petunjuk penggunaan yang tertera pada label kemasan pestisida.
Selengkapnya dapat di lihat pada tabel 5.9 berikut ini :

68

Tabel 5.9
Distribusi Responden Berdasarkan Pedoman Penentuan Dosis Berdasar
Pada Label Pestsida Pada Petani di Kecamatan Patampanua Kabupaten
Pinrang Tahun 2014
Pedoman Penentuan Dosis
Berdasar Pada Label Pestisida
N %
Ya 315 85,6
Tidak 53 14,4
Jumlah 368 100
Sumber : Data Primer
6) Distribusi Responden Berdasarkan Aplikasi Terakhir
Yang dimaksud dengan aplikasi terakhir sebelum panen pada
penelitian ini adalah penyemprotan pestisida terakhir sebelum hasil
tanaman dipanen. Dalam hal ini ditanyakan kepada petani apakah petani
masih melakukan penyemprotan ketika padi sudah berbuah.
Berdasarkan hasil wawancara terdapat 242 (65,8%) petani yang masih
melakukan penyemprotan pestisida ketika padi sudah berbuah dan
terdapat 126 (24,2%) petani yang tidak lagi melakukan penyemprotan
pada tanamanya ketika padi sudah berbuah.
Selengkapnya dapat di lihat pada tabel 5.10 berikut ini :







69


Tabel 5.10
Distribusi Responden Berdasarkan Aplikasi Terakhir
Pada Tanaman di Kecamatan Patampanua Kabupaten Pinrang Tahun
2014
Aplikasi Terakhir N %
Ya 242 65,8
Tidak 126 34,2
Jumlah 368 100
Sumber : Data Primer
7) Distribusi Responden Berdasarkan Potensi Kandungan Residu
Pestisida Pada Beras
potensi pencemaran pestisida terhadap hasil pertanian pada penelitian
ini adalah Besarnya residu pestisida yang tertinggal di tanaman
tergantung jenis pestisida/bahan aktif yang di gunakan petani.
Berdasarkan hasil wawancara terdapat 117 (31,8%) petani berpotensi
mengasilkan residu pada hasil pertanianya dan sebanyak 251 (68,2%)
petani yang tidak berpotensi mengasilkan residu pada hasil pertanianya
Selengkapnya dapat di lihat pada tabel 5.11 berikut ini :










70

Tabel 5.11
Distribusi Responden Berdasarkan Potensi Kandungan Residu Pada
Beras Pada Petani di Kecamatan Patampanua Kabupaten
Pinrang Tahun 2014
Potensi Residu Pada Beras N %
Berpotensi 117 31,8
Tidak Berpotensi 251 68,2
Jumlah 368 100
Sumber : Data Primer
8) Distribusi Responden Berdasarkan Gejala Keracunan
Gejala keracunan adalah masuknya suatu zat yang tidak diinginkan ke
dalam tubuh, Keracunan akut terjadi apabila efek keracunan pestisida
langsung pada saat dilakukan aplikasi atau seketika setelah aplikasi
pestisida dengan gejala bersifat iritasi mata, hidung, tenggorokan dan kulit
seperti kemerahan, gatal-gatal, kulit melepuh, sakit kepala, mual, sulit
bernafas, muntah-muntah, pusing dan keringat berlebihan.
Berdasarkan hasil wawancara terdapat 179 (48,6%) petani mengalami
gejala keracunan setelah melakukan penyemprotan pestisida dan
sebanyak 189 (51,4%) petani yang tidak mengalami gejala keracunan.
Selengkapnya dapat di lihat pada tabel 5.12 berikut ini :







71

Tabel 5.12
Distribusi Responden Berdasarkan Gejala Keracunan
Pada Petani di Kecamatan Patampanua Kabupaten Pinrang Tahun 2014
Gejala Keracunan N %
Ya 179 48,6
Tidak 189 51,4
Jumlah 368 100
Sumber : Data Primer
3. Gambaran Tabulasi Silang Antara Pola Penggunaan Pestisida
dengan Potensi Kandungan Residu Pestisida Pada Beras
a. Waktu aplikasi dengan potensi residu
Pada tabel 5.13 di bawah ini menunjukkan bahwa yang
menggunakan pestisida berdasarkan batas ambang pengendalian
hama sebanyak 90 petani yang berpotensi dan yang tidak berpotensi
sebanyak 196 petani dari total 286 petani yang melakukan
penyemprotan berdasarkan pada batas ambang pengendalian hama.
Sedangkan yang tidak memperhatikan banyaknya hama terdapat 27
petani yang berpotensi dan yang tidak berpotensi sebanyak 55 petani
dari total 82 petani yang melakukan penyemprotan tidak berdasarkan
pada batas ambang pengendalian hama.
Berikut adalah tabel silang antara waktu aplikasi dengan potensi
residu pestisida pada beras :


72

Tabel 5.14
Gambaran Tabulasi Silang Berdasarkan Waktu Aplikasi Dengan
Potensi Residu di Kecamatan Patampanua Kabupaten Pinrang
Tahun 2014
Waktu Aplikasi
Potensi Residu
Total
Berpotensi Tidak Berpotensi
Ya 90 196 286
Tidak 27 55 82
Jumlah
117 251 368
Sumber : Data Primer
b. Metode Pencampuran dengan Potensi Residu
Pada tabel 5.15 menunjukkan bahwa yang melakukan pencampuran
pestisida berdasar pada label petunjuk peng gunaan pestisida sebanyak
79 petani yang berpotensi dan yang tidak berpotensi sebanyak 176 petani
dari total 255 petani yang mengikuti label petunjuk penggunaan pestisida
sedangkan yang tidak berdasar pada label petunjuk penggunaan pestisida
sebanyak 38 petani berpotensi dan yang tidak berpotensi sebanyak 75
petani dari total 113 petani yang tidak mengikuti label petunjuk
penggunaan pestisida ketika akan melakukan pencampuran 2 jenis bahan
aktif secara bersamaan.
Berikut adalah tabel silang antara metode pencampuran dengan
potensi residu pada beras :





73




Tabel 5.15
Gambaran Tabulasi Silang Berdasarkan Metode Pencampuran
Dengan Potensi Residu Pada Beras di Kecamatan Patampanua
Kabupaten Pinrang Tahun 2014
Metode
pencampuran
berdasar pada
Label pestisida
Potensi Residu
Total
Berpotensi Tidak Berpotensi
Ya 79 176 255
Tidak 38 75 113
Jumlah
117 251 368
Sumber : Data Primer
c. Penentuan Dosis dengan Potensi Residu Pada Beras
Pada tabel 5.16 menunjukkan bahwa petani yang berpedoman pada
label petunjuk penggunaan pestisida ketika akan menentukan dosis yaitu
sebanyak 98 petani yang berpotensi dan yang tidak berpotensi sebanyak
217 petani dari total 315 petani yang berpedoman pada label petunjuk
penggunaan pestisida ketika akan menentukan dosis sedangkan yang
tidak berdasar pada label petunjuk penggunaan pestisida sebanyak 19
petani yang berpotensi dan yang tidak berpotensi sebanyak 34 petani dari
total 53 petani yang tidak berpedoman pada label petunjuk penggunaan
pestisida ketika akan menentukan dosis .

74

Berikut adalah tabel silang antara penentuan dosis dengan potensi
residu pada beras :
Tabel 5.16
Gambaran Tabulasi Silang Berdasarkan Penentuan Dosis Dengan
Potensi Residu Pada Beras di Kecamatan Patampanua Kabupaten
Pinrang Tahun 2014
Penentuan dosis
berdasar pada
Label pestisida
Potensi Residu
Total
Berpotensi Tidak Berpotensi
Ya 98 217 315
Tidak 19 34 53
Jumlah
117 251 368
Sumber : Data Primer
d. Aplikasi Terakhir dengan Potensi Residu Pada Beras
Pada tabel 5.16 menunjukkan bahwa yang paling dominan berpotensi
menghasilkan residu pada hasil pertanianya berasal dari petani yang
masih melakukan penyemprotan pada tanaman ketika tanaman sudah
berbuah sebanyak 78 petani yang berpotensi dan yang tidak berpotensi
sebanyak 164 petani dari total 242 petani yang masih melakukan
penyemprotan pada tanaman ketika sudah berbuah dan yang tidak
melakukan penyemprotan pada tanaman ketika sudah berbuah sebanyak
39 petani yang berpotensi dan yang tidak berpotensi sebanyak 87 petani
dari total 126 petani melakukan penyemprotan pada tanaman ketika
sudah berbuah.

75

Berikut adalah tabel silang antara aplikasi terakhir dengan potensi residu
pada beras :
Tabel 5.17
Gambaran Tabulasi Silang Berdasarkan Aplikasi Terakhir Dengan
Potensi Residu Pada Beras di Kecamatan Patampanua Kabupaten
Pinrang Tahun 2014
Aplikasi Terakhir
Potensi Residu
Total
Berpotensi Tidak Berpotensi
Ya 78 164 242
Tidak 39 87 126
Jumlah
117 251 368
Sumber : Data Primer











76

B. Pembahasan
1. Gambaran Pola Penggunaan Pestisida
a. Waktu Aplikasi
Waktu aplikasi adalah pilihan rentang waktu yang tepat untuk
mengaplikasikan Pestisida. Aplikasi pestisida hanya dilakukan pada
waktu populasi atau intensitas serangan OPT telah melampaui
ambang ekonomi atau ambang pengendalian.
Jangan mengaplikasikan pestisida pada saat populasi atau
intensitas serangan OPT masih di bawah ambang ekonomi, atau
secara reguler tanpa memperhatikan populasi/intensitas serangan
OPT, apalagi tidak ada serangan OPT. Hal ini dimaksudkan agar
aplikasi pestisida hanya pada waktu yang diperlukan dan tidak
berlebihan.
Selain mempertimbangkan ambang ekonomi, aplikasi pestisida
perlu memperhatikan stadia peka sebagian besar populasi OPT
terhadap pestisida. Aplikasi pestisida pada stadia peka akan lebih
efektif walaupun dengan dosis rendah dan tidak perlu diulang
dalam jangka waktu pendek.
menunjukkan bahwa yang menggunakan pestisida berdasarkan
batas ambang pengendalian hama sebanyak 90 petani yang
berpotensi dan yang tidak berpotensi sebanyak 196 petani dari total
286 petani yang melakukan penyemprotan berdasarkan pada batas
ambang pengendalian hama. Sedangkan yang tidak

77

memperhatikan banyaknya hama terdapat 27 petani yang
berpotensi dan yang tidak berpotensi sebanyak 55 petani dari total
82 petani yang melakukan penyemprotan tidak berdasarkan pada
batas ambang pengendalian hama.
Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa dari 196 petani yang
tidak berpotensi semuanya melakukan penyemprotan hanya
berdasar pada batas ambang pengendalian hama, meskipun masih
ada 90 petani yang melakukan penyemprotan hanya berdasar pada
batas ambang pengendalian hama tetapi masih berpotensi
meninggalkan residu pada tanaman hal ini karenakan masih
banyaknya petani yang masih menggunakan pestisida yang
persisten di lingkungan. Dari hasil penelitian juga didapatkan bahwa
dari keseluruhan petani yang melakukan penyemprotan tidak
berdasar pada batas ambang pengendalian hama sebanyak 82
petani, terdapat 27 petani yang berpotensi dan yang tidak
berpotensi sebanyak 55 petani.
Berdasarkan dari hal tersebut diatas maka dapat disimpulkan
bahwa

Anda mungkin juga menyukai