Anda di halaman 1dari 15

BEBERAPA TEKNIK PENGENDALIAN HAMA TUNGAU

(Acariformes) PADA TANAMAN PEPAYA (Carica Papaya L.)

OLEH:

EFRON CHRISTIAN TARIGAN


220301226
AGROTEKNOLOGI – 5

LABORATORIUM PENGENDALIAN HAMA TERPADU


PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2023
DAFTAR ISI

ISI…………………………………………………………………………….
Hama Tungau (Acariformes) ....................................................................
Taksonomi Tungau (Acariformes) ............................................................
Gejala Serangan Tungau (Acariformes)....................................................
7 Teknik Pengendalian Hama Tungau (Acariformes)...............................

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................


ISI

Klasifikasi Tungau Kingdom: Animalia,Filum: Arthropoda,Kelas:

Arachnida,Ordo: Acarina,Famili: Tertachidae,Genus: Tertacychus,Spesies:

Tetracychus Bimaculatus.Tungau adalah sekelompok hewan kecil

bertungkai delapan yang, bersama-sama dengan caplak, menjadi anggota

superordo Acarina. Tungau bukanlah kutu dalam pengertian ilmu hewan

walaupun sama-sama berukuran kecil (sehingga beberapa orang

menganggap keduanya sama). Apabila kutu sejati merupakan anggota

Insecta (serangga), tungau lebih berdekatan dengan laba-laba dilihat dari

kekerabatannya (Setiawan,2020)

Tungau merupakan hama yang berukuran kecil yaitu umumnya antara 0,3-

0,5 mm. Ukuran tungau yang kecil memudahkan tungau untuk berpindah tempat

dan beradaptasi cepat dengan keadaan lingkungan, serta mampu menghindar dari

serangan predator yang berukuran lebih besar . Tungau T. kanzawai merupakan

tungau hama penting di Cina, Hongkong, Jepang, Thailand, Malaysia, Indonesia,

Kolombia, Amerika Serikat dan Yunani. Tungau ini ditemukan menyerang

tanaman pepaya di Kabupaten Lombok Barat, Lombok Tengah dan Lombok Utara

sejumlah 1457 individu (Dina, 2017).

Tungau T. kanzawai banyak menyebabkan kerugian pada berbagai tanaman

pertanian di Indonesia. Pada umumnya pengendalian tungau ini dilakukan secara kimiawi

dengan akarisida. Pengendalian tungau laba-laba secara kimiawi bisa menyebabkan

terjadinya resistensi terhadap akarisida dalam beberapa tahun. Selain tanaman pepaya,

tungau T. kanzawai menyerang tanaman jeruk, alpukat, apel . Tungau T. cinnabarinus

menyerang pepaya pada bagian permukaan bawah daun sehingga menyebabkan daun-daun

yang terserang menjadi layu dan mati (Gotoh et al., 2014).


Tungau B. californicus merupakan tungau fitofag yang menyerang

industri tanaman hias di Brazil. Tungau P. citri merupakan tungau hama

terbanyak yang ditemukan pada contoh daun pepaya yang berada di pulau

Lombok dengan jumlah 7157 individu yang tersebar di daerah dataran rendah,

sedang dan tinggi. Tungau P. citri termasuk dalam Famili Tetranychidae yang

telah menyebar luas di Indonesia dan negara-negara Eropa, Asia, Amerika,

Afrika dan Australia (Dina, 2017)

Buah pepaya Carica papaya L. (Caricaceae) merupakan salah satu

tanaman yang sering di konsumsi oleh masyarakat Indonesia karna bermanfaat

membantu memperlancar pencernaan serta memiliki kandungan gizi yang tinggi.

Selain dimanfaatkan sebagai konsumsi, pepaya juga dapat dijadikan sebagai

penjernih bir, pengempuk daging, bahan baku industri dan kosmetika

(Sunarjono, 2003). Pepaya yang banyak diminati oleh masyarakat Indonesia

salah satunya adalah pepaya varietas California. Pepaya varietas California

merupakan salah satu pepaya yang unggul dan memiliki harga yang relatif stabil

sehingga banyak diminati oleh produsen dan konsumen (Hamzah,2014)

Penanaman pepaya tersebar di beberapa daerah di Indonesia antara lain

Bogor, Boyolali, Malang, Kediri, Banyuwangi dan Pontianak. Jumlah

produktivitas tanaman pepaya tiap tahunnya mengalami penurunan.

Produktivitas pepaya Indonesia tahun 2012, 2013 dan 2014 berturut-turut adalah

899.358, 871.257, dan 830.491 ton (BDSP, 2017). Dalam budidaya tanaman

pepaya, salah satu penyebab menurunnya produktivitas tanaman pepaya yaitu

serangan hama. Salah satu hama yang banyak menyerang tanaman pepaya

adalah tungau. Beberapa jenis tungau yang menyerang pepaya termasuk dalam

Famili Tenuipalpidae yaitu Brevipalpus californicus (Banks), B. phoenicis

Geijskes, Famili Tetranychidae yaitu Tetranychus urticae Koch, T. cinnabarinus

(Boisduval), T. kanzawai Kishida, Panonychus citri (McGregor), dan Famili


Tarsonemidae yaitu Polyphagotarsonemus latus (Banks) (Barantan, 2013).

Tungau Tetranychus sp. ditemukan menyerang tanaman pepaya di lahan

monokultur di Daerah Ciomas. Tetranychus sp. menyerang pada pangkal daun

bagian bawah dan pertulangan daun. Imago betina paling banyak ditemukan

pada pepaya varietas Arum Bogor (Hermawan, 2006). Tungau Tetranychus sp.

juga menyerang tanaman pepaya yang ditanam bersamaan dengan cabai dan

wortel di Daerah Megamendung. Pada lahan tumpangsari tanaman pepaya,

semua fase tungau Tetranychus sp. dapat ditemukan. Selain Tetranychus sp.

ditemukan juga tungau fitofag lain yang belum teridentifikasi (Hermawan,

2006). Populasi tungau Tetranychus sp. di lahan pepaya monokultur lebih tinggi

dibandingkan lahan tumpangsari. Tingginya proporsi tungau Tetranychus sp.

diduga karena pengaruh pemberian pestisida, bahkan untuk pertanaman yang

masih berumur mingguan setelah tanam dilakukan penyemprotan setiap minggu.

Hal ini dapat merugikan pada populasi predator yang ada pada pertanaman

tersebut dan dapat terjadi resurgensi populasi tungau Tetranychus sp

(Hermawan, 2006).

Morfologi tungau. Tungau merupakan binatang yang tidak memiliki

antena, tidak memiliki sayap, tubuhnya hanya terbagi atas gnathosoma dan

idisoma. Gnathosoma terdiri atas hypostome, kelisera, dan palpus. Hypostome

merupakan rahang atas, kelisera merupakan alat mulut khas yang terdiri atas tipe

menusuk, menghisap dan menggigit serta palpus merupakan embelan indra yang

sederhana berfungsi membantu menemukan lokasi makanan. (Puspitarini, 2010).

Idiosoma terdiri atas bagian anterior atau propodosoma dan bagian posterior atau

histerosoma. Idiosoma pada dasarnya tidak beruas, meskipun ada yang keras

karena dilindungi oleh perisai-perisai yang tersklerotisasi atau lunak karena tidak

memiliki bagian yang tersklerotisasi (Puspitarini, 2010). Pengamatan jumlah seta

(chaetotaxy) pada permukaan idiosoma dapat mempermudah dalam melakukan


identifikasi. Variasi struktur seta, panjang seta dan jarak antara dasar seta

penting dalam membedakan spesies pada beberapa Famili (Vacante, 2010).

Tungau dewasa bertungkai empat pasang dan pada stadia larva bertungkai tiga

pasang (Puspitarini, 2010).

Gejala Serangan Tungau (Acariformes)

Tungau Tetranychus sp. ditemukan menyerang tanaman pepaya di lahan

monokultur di Daerah Ciomas. Tetranychus sp. menyerang pada pangkal daun

bagian bawah dan pertulangan daun. Imago betina paling banyak ditemukan pada

pepaya varietas Arum Bogor. Tungau Tetranychus sp. juga menyerang tanaman

pepaya yang ditanam bersamaan dengan cabai dan wortel di Daerah

Megamendung. Pada lahan tumpangsari tanaman pepaya, semua fase tungau

Tetranychus sp. dapat ditemukan. Selain Tetranychus sp. ditemukan juga tungau

fitofag lain yang belum teridentifikasi (Hermawan, 2016).

Hama tungau merah merupakan hama utama pohon pepaya. Intensitas

serangannya bisa mencapai 14-43%. Gejala awal dari serangan tungau merah

yaitu timbulnya bintik-bintik berwarna putih pada daun pepaya. Lantas pada

tingkat serangan yang berat, bintik-bintik putih ini akan meluas ke semua

permukaan daun dan berselaput. (Baehaki dan Mejaya,2017).

Tungau sangat cepat berkembang biak dan dalam waktu singkat dapat

menyebabkan kerusakan yang berat. Menyerang bagian tangkai, daun dan buah.

Tangkai yang diserang akan berwarna seperti perunggu. Pada permukaan atas

daun terdapat bercak berwarna kuning atau coklat yang dapat meluas dan

menyebabkan seluruh daun menjadi kuning yang kemudian menjadi merah karat.

Serangan berat hama ini dapat menyebabkan daun gugur (Vacante,2014).

Pada saat stadia vegetatif, serangan virus kerdil hampa mengakibatkan

daun padi menjadi rombeng, tercabik, koyak dn bergerigi, terkadang berwarna


putih, tumbuh kerdil dengan reduksi tinggi tanaman antara 24-67%, keluar malai

diperlambat sampai 10 hari. Keluar malai tidak normal (tidak keluar penuh), dan

terjadi distorsi pada daun . Saat menuju pematangan, buah tidak mengis dan

menjadi hampa (Baehaki,2017).


7 Teknik Pengendalian Hama Tungau (Acariformes)

1. Teknik Pengendalian Tungau Daun

Prinsip pertama dalam pengembangan PHT adalah tanaman sehat, sebab

kondisi tanaman yang sehat merupakan modal utama bagi tanaman untuk dapat

lebih baik dalam bertahan dari deraan abiotik maupun biotik, termasuk dari

serangan hama. Untuk mendapatkan tanaman sehat tersebut diperlukan benih/bibit

yang sehat dan daya dukung lahan yang optimal, yang meliputi kesuburan tanah

dan pengairan yang cukup bagi tanaman untuk dapat tumbuh dan berproduksi

secara optimal. Salah satu usaha untuk mendapatkan tanaman sehat adalah

penggunaan varietas tahan. Beberapa galur wijen yang dikembangkan sebagai

calon varietas unggul pepaya tidak ada yang menunjukkan sifat ketahanan yang

tinggi terhadap tungau daun (Tukimin, 2015).

Prinsip kedua dalam PHT adalah pemantauan populasi hama. Oleh

karena itu, pengembangan teknik monitoring populasi tungau daun merupakan

hal utama yang harus dilakukan. Gejala kerusakan awal serangan tungau daun

biasanya terjadi pada beberapa tanaman yang berdekatan dan akan dapat

menyebar luas secara cepat. Pengamatan secara visual terhadap gejala yang

ditimbulkan pada tanaman yang terserang harus dilakukan secara berkala. Untuk

dapat melakukan monitoring dengan cepat dan benar, maka informasi sebaran di

dalam tanaman dan di hamparan dari tungau ini harus diketahui. Pada umumnya,

tungau daun dari famili Tarsonemidae cenderung menyukai daun-daun

pucuk (Rice-Mahr et al., 2016).

Beberapa teknik pengendalian tungau daun yang efektif telah banyak

dilaporkan, di antaranya adalah penggunaan varietas tahan (untuk cabai),

pengendalian gulma, rotasi tanaman, dan penggunaan akarisida seperti

abamectin dan dicofol (Berke et al., 2003), serta penggunaan tungau predator,

terutama pada tanaman di rumah kaca (Rice-Mahr et al., 2001). Di Indonesia,


teknik pengendalian tungau daun belum banyak dikembangkan selain dengan

mencari varietas wijen yang tahan tungau dan aplikasi bubur kalifornia

(campuran antara kapur tohor dan belerang) pada tanaman jarak pagar,Teknik-

teknik pengendalian yang telah dilaporkan cukup efektif dalam mengendalikan

populasi tungau daun tersebut berpeluang untuk dikembangkan dalam program

pengendalian tungau daun pepaya (Asbani,2016).

2. Pengendalian Secara Budi Daya

Pegendalian hama secara budi daya pada umumnya merupakan suatu keterpaduan dari

sistem budi daya yang dilakukan. Salah satu teknik pengendalian hama secara budi daya yang

banyak dikembangkan adalah pengaturan sistem tanam dengan menerapkan sistem tumpang sari.

Pada suatu agroekosistem dengan keragaman tanaman yang tinggi, misalnya pada pertanaman

tumpang sari, mempunyai peluang adanya interaksi antarspesies yang tinggi, sehingga

menciptakan agroekosistem yang stabil dan akan berakibat pada stabilitas produktivitas lahan dan

rendahnya fluktuasi populasi spesies-spesies yang tidak diinginkan (van Emden dan Williams,

1974). Penambahan keragaman tanaman dengan sistem tanam berjalur (strip cropping) dan sistem

tumpang sari lainnya dilaporkan dapat meningkatkan populasi predator. Predator merupakan

musuh alami yang efektif dalam mengendalikan populasi Hama (Anderson dan Yeargan, 1998).

Tanaman Pepaya dapat ditanam secara tumpang sari dengan jagung, kacang hijau, atau

kacang tanah (Soenardi dan Romli, 1994). Sistem budi daya tumpang sari ini selain

menguntungkan dari segi ekonomi dan mengurangi risiko kegagalan, termasuk tungau daun, yaitu

pengendalian secara alami ol.eh predatornya. Oleh karena itu, perlu dikembangkan sistem

tumpang sari yang optimal dalam produktivitas lahan yang maksimal dalam mendukung

perkembangan populasi predator yang berfungsi sebagai faktor pembatas perkembangan populasi

hama (Soenardi dan Romli, 1994).


3. Pengendalian Secara Mekanis dengan Sanitasi

Tindakan sanitasi dapat dilakukan jika infestasi awal tungau pada

pertanaman diketahui, yaitu jika pada sekelompok tanaman yang berdekatan telah

menunjukkan gejala serangan. Tindakan yang perlu dilakukan adalah dengan

memusnahkan tanaman-tanaman yang terinfestasi untuk menghindari penyebaran

pada tanaman yang lain. Penyebaran tungau dapat melalui peralatan pertanian

maupun pakaian. Oleh karena itu hindari memasuki pertanaman yang belum

terinfestasi tungau daun setelah memasuki pertanaman yang telah terinfestasi

tungau. Tindakan sanitasi ini berpeluang untuk diterapkan pada pertanaman wijen

di daerah endemik tungau daun jika gejala serangan awal yang masih terjadi pada

beberapa tanaman telah dikenali benar oleh petani (Kumar,2018).


4. Pengendalian Secara Hayati

Sejak tahun 1960-an pengendalian tungau dengan menggunakan tungau predator

telah diimplementasikan pada beberapa komoditas, baik di lapang maupun di rumah kaca

(McMurty, 1983). Di Brasil, penggunaan tungau predator Neoseiulus (=Amblyseius)

californicus (McGregor) telah berhasil mengendalikan tungau pada tanaman apel

(Monteiro, 1994). Selain itu juga dilaporkan penggunaan beberapa spesies tungau

predator untuk mengendalikan tungau pada Pepaya (Gondim et al., 1996).

Tungau predator genus Amblyseius ditemukan berasosiasi dengan tungau daun

jarak pagar di Jawa Timur maupun dari P. Lombok (Sujak, tidak dipublikasikan). Tungau

predator ini juga ditemukan berasosiasi dengan tanaman wijen di Asembagus (Nurindah,

tidak dipublikasikan). Kedua kenyataan ini menunjukkan adanya peluang untuk dapat

digunakannya tungau predator dalam program pengendalian hayati pada wijen. Sebelum

mengembangkan pengendalian dengan menggunakan tungau predator ini diperlukan studi

tentang adaptasi tungau predator pada agroekosistem tanaman yang merupakan habitat

mangsanya (tungau daun) (Jepson etal.,1975).

Tungau predator dari famili Phytoseidae (misalnya N. californicus) telah banyak

diproduksi secara massal dan dijual secara komersial sebagai agens hayati tungau terutama untuk

tanaman hortikultura. Di Indonesia, tungau predator yang telah dikomersialkan ini telah

diintroduksi dari Belanda dan dilepas secara massal (inundasi) untuk mengendalikan tungau dan

trips pada stroberi dan paprika (Ir. Ihsan Nugroho, M.Sc., Badan Karantina Tumbuhan, Deptan –

komunikasi pribadi). Pengendalian hayati secara klasik (dengan introduksi) yang telah dilakukan

menunjukkan bahwa pengembangan teknik pengendalian hayati untuk tungau pada wijen

mempunyai peluang yang besar, karena pada ekosistem wijen di Indonesia juga ditemukan

predator tungau yang dapat dikembangkan dan digunakan sebagai agens hayati (Laoh,2015).
5. Pengendalian Secara Kimiawi

Pengendalian secara kimiawi dengan menggunakan akarisida telah banyak

dilakukan. Abamectin adalah insektisida/akarisida yang direkomendasikan untuk

pengendalian tungau daun dan tungau laba-laba, berbahan aktif dari derivat

mikroorganisme Streptomyces overmitilis. Spinosad adalah insektisida dan akarisida

yang berbahan dasar produk metabolisme dari jamur Saccharopolyspora spinosa.

Insektisida ini kurang memberikan hasil efektif yang konsisten terhadap tungau, tetapi

dengan menambahkan ajuvan tertentu meningkatkan efektifitasnya (Zheng et al., 2004).

6.Ekstraksi tanaman dan analisis GC-MS

Daun, bunga, ranting, buah atau biji tumbuhan yang akan digunakan sebagai

bahan ekstrak bioakarisida dipotong-potong/dihancurkan kemudian dibiarkan kering

udara tanpa terkena cahaya matahari langsung. Setelah kering, masing-masing bagian

tanaman tersebut digiling dengan menggunakan alat grinder. Bahan tumbuhan yang

sudah menjadi serbuk siap untuk diekstrak.Ekstraksi tanaman dilakukan menggunakan

pelarut metanol (polar). Pada tahap pertama, 500 g serbuk masing-masing tanaman

dimasukkan ke dalam baker glass dan direndam dalam 2.500 ml larutan metanol selama

minimal 72 jam. Kemudian cairan ekstrak disaring menggunakan corong kaca (diameter

9 cm) beralaskan kertas saring. Hasil saringan ditampung dalam labu penguap, kemudian

diuapkan dengan rotary evaporator pada suhu 50°C dan tekanan 400-450 mmHg

sehingga diperoleh ekstrak kasar dalam bentuk gel. Ekstrak dalam bentuk gel yang

diperoleh disimpan di dalam lemari es pada suhu ± 4°C sampai digunakan untuk

pengujian(Hasyim,2013)
7.Penyemprotan Pestisida Orgnanik

Persiapan Pestisida OrganikSeluruh pestisida organik diaplikasikan

dengan menngunakan handsprayer, penyemprotan dilakukan sebanyak 3

kali mulai umur 25, 35, dan 45 hari setelah tanam. Untuk penetapan pelarut

ekstrak pestisida organik terlebih dahulu dilakukan kalibrasipada plot

perlakuan dengan menggunakan air. Hasil kalibrasi dengan menggunakan

handsprayer adalah 1 liter air dalam waktu 6 menit per plot. Adapun ekstrak

pestisida organik dibuat untuk sekali aplikasi,setiap aplikasi dibuat ekstrak

pestisida organik yang baru dengan cara diulang kembali (Baehaki,2014)


DAFTAR PUSTAKA

Anderson, A.C. and K.V. Yeargan. 1998. Influence of soybean canopy closure on
predator abundances and predation on Helicoverpa zea (Lepidoptera:
Noctuidae) eggs. Environmental Entomology 27:1488–1495.

Asbani, N. 2016. Pengendalian tungau jarak pagar dengan bubur kalifornia.


Infotek Jarak Pagar.

Baehaki, S.E., Imam, M. 2015. Status Hama Tungau Pada Tanaman pepaya Dan
Pengendaliannya. Padi Buku 3. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Pangan. Badan penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.

Dina WM. 2017. Persebaran dan Keanekaragaman Spesies Tungau Hama Pada
Tanaman Pepaya Di Pulau Lombok. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.

Gondim, M.J.C., Jr., G.J. Moraes, J.V. Oliveira, R. Baros, and J.L.L. Pereira.
1996. Biologia de Nesoiulus anonymus (Acari: Phytoseiidae). Annal
Society of Entomology Brazil 25:451—455.

Gotoh T, Nozawa M, Yamaguchi K. 2014. Preyconsumption and Functional


Response of Three Acarophagous Spesies to Eggs of The Two-Spotted
Spider Mite in Laboratory. Journal Applied Entomology and Zoology
39(1): 97-105.

Hasyim, A., Kamisar, dan K. Nakamura. 2013. Mortalitas stadia pradewasa

hama Tungau, Erionota thrax (L.) yang disebabkan oleh parasitoid. Jurnal

Hortikultura. 13(1): 1-7.

Hermawan RF. 2016. Tungau Merah Pada Tanaman Pepaya: Biologi dan

Keadaan Populasinya Di Bogor. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Jepson, L.R., H.H. Keifer, and E.W. Baker. 1975. Mites injurious to economics
plants. University of California Press, Berkeley. 614p.

Kumar. 2018. Bio-ecology and management. (Hesperiidae: Lepidoptera). Journal


Entomology and Zoology Studies. 6(2): 262-265.

Laoh. 2015. Pemberian beberapa konsentrasi ekstrak brotowali (Tinospoa crispa

L.) Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Pertanian. 2(1).

Rice-Mahr, E.S., R.A. Cloyd, D.L. Mahr, and C.F. Sadof. 2016. Biological

control of insects and other pests of green house crops. University of

Wisconsin-Extension, Cooperative Extension. North Central Regional

Publication 581. 108p.


Soenardi dan M. Romli, 1994. Pola tanam pepaya . Pemberitaan Penelitian

Tanaman Industri Vol. 1(5):235–241.

Vacante V. 2014. Citrus Mite: Identification, Bionomy and Control. CAB

International Publishing Wallingford Oxon United States of America.

Anda mungkin juga menyukai