Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PRAKTIKUM

PESTISIDA DALAM PROTEKSI TANAMAN (PTN306)

PENGUJIAN INSEKTISIDA RACUN SISTEMIK DAN EFEK


FUMIGAN

10.00-13.00 (Senin, 21 Februari)


Minggu ke-5

Kelompok 3

1. Awaliyah Putri A.F A34190004


2. Zetty Reonitaka Bintang O.N A34190040
3. Fachrunnisa Rafika Putri A34190047
4. Nadin Annisa Nurafni A34190064
5. Kinantti Aqilah Dzaki A34190077

Paralel 2

Dosen:
Nadzirum Mubin, S.P., M.Si.

Asisten:
Bela Hasna Audia (A34180024)

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2022
I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Racun sistemik merupakan insektisida yang masuk ke dalam sistem


jaringan tanaman dan ditranslokasikan ke seluruh bagian tanaman, apabila
terhisap atau mengenai jasad sasarannya dapat meracuni. Insektisida sistemik
diserap oleh bagian tanaman melalui stomata, meristem akar, lentisel batang,
dan celah-celah alami yang terdapat di permukaan tanaman. Insektisida ini
akan melewati sel-sel menuju ke jaringan pengangkut dan akan meninggalkan
residu pada sel-sel yang dilewatinya. Melalui pembuluh angkut, insektisida
ditranslokasikan ke bagian-bagian tanaman lainnya baik ke arah atas
(akropetal) atau ke arah bawah (basipetal). Sistem kerja dari insektisida ini
adalah mematikan serangga yang memakan bagian tanaman yang mengandung
residu insektisida (Sumiati dan Julianto 2017).
Pengendalian T. castaneum yang umum dilakukan adalah dengan teknik
fumigasi. Fumigan meracuni serangga setelah fase uapnya masuk ke dalam
saluran pernapasan dan selanjutnya berdifusi ke bagian sasaran. Salah satu
alternatif untuk mengurangi penggunaan fosfin dalam pengendalian T.
castaneum ialah penggunaan minyak atsiri sebagai insektisida nabati. Minyak
atsiri pada umumnya mengandung campuran berbagai senyawa yang tidak
toksik terhadap mamalia serta lebih aman bagi lingkungan dibandingkan
pestisida sintetik karena bersifat tidak persisten. Minyak atsiri dapat diperoleh
melalui proses distilasi bagian dari tanaman aromatik tertentu yang secara
tradisional telah lama digunakan untuk melindungi komoditas pangan yang
disimpan dan mengusir serangga pemukiman (Syam, Harahap, dan Dadang
2017).

1.2 Tujuan Praktikum

Praktikum ini bertujuan menguji efek sistemik insektisida karbofuran


(Furadan 3 GR) terhadap wereng batang coklat Nilaparvata lugens biotipe 1
dan menguji efek fumigan beberapa jenis minyak atsiri terhadap Tribolium
castaneum.
II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Insektisida sistemik

Insektisida adalah substansi (zat) kimia yang digunakan untuk


membunuh atau mengendalikan berbagai hama. Insektisida berasal dari
bahasa inggris yaitu insect berarti serangga dan cida berarti pembunuhan.
Menurut USEPA (United States Environmental Protection Agency), pestisida
merupakan zat atau campuran yang digunakan untuk mencegah,
memusnahkan, menolak, atau memusuhi hama dalam bentuk hewan, tanaman
dan mikroorganisme pengganggu (Zulkarnain 2010).
Berdasarkan cara kerjanya insektisida sistemik diserap oleh organ-
organ tanaman baik melalui akar, batang maupun daun. Kemudian insektisida
sistemik tersebut akan mengikuti gerakan cairan tanaman dan
ditransportasikan ke tanaman-tanaman lainnya baik ke atas ataupun ke
bawah, termasuk juga ke tunas yang baru tumbuh. Contoh insektisida
sistemik adalah Furatiokarb, Fosfamidon, Isolan, Karbofuran, dan
Monokrotofos.

2.2 Fumigan
Racun fumigan adalah jenis insektisida yang masuk kedalam tubuh
serangga melalui sistem pernafasan dalam bentuk gas. Kelompok insektisida
ini biasanya digunakan untuk mengendalikan hama gudang.Jenis-jenis
fumigan antara lain hidrogen sianida dan metil bromide (Sembel 2012).
Fumigan merupakan racun nafas yang bekerja lewat saluran pernafasan.
Serangga hama akan mati apabila menghirup insektisida dalam jumlah yang
cukup. Sebagian besar racun pernafasan berupa gas, atau apabila wujud
asalnya padat atau cair yang dapat berubah atau menghasilkan gas apabila
diaplikasikan sebagai fumigasi (gas) seperti Bromide dan Alumunium
fosfida.

2.3 Bahan aktif karbofuran

Karbofuran merupakan insektisida sistemik yang diintroduksi pada


tahun 1965 dan termasuk insektisida dari golongan karbamat yang sukses di
pasaran. Karbofuran bekerja terutama sebagai racun kontak dan racun perut.
Umumnya diformulasi sebagai butiran dan diaplikasikan lewat tanah, untuk
mengendalikan banyak jenis serangga hama dan nematoda. Bahan aktif
karbofuran dapat menimbulkan rangsangan pada sistem saraf pusat, merusak
otak sehingga kerja organ otot serta organ tubuh lainnya akan terhambat dan
akhirnya menyebabkan kematian. Karbofuran dapat berpengaruh secara
langsung maupun tidak langsung terhadap perilaku makan, cara makan,
penyerapan, pencernaan, asimilasi, ekskresi dan perubahan pada tingkat
hormonal yang akhirnya berpengaruh terhadap pertumbuhan (Kinasih et al.
2014).

2.4 Minyak atsiri sebagai insektisida nabati

Minyak atsiri dapat bersumber pada setiap bagian tanaman, yaitu dari
daun, bunga, buah, biji, batang atau kulit dan akar atau rizhome. Dalam
tanaman, minyak atsiri mempunyai tiga fungsi, yaitu membantu proses
penyerbukan dengan menarik beberapa jenis serangga, mencegah kerusakan
tanaman oleh serangga, dan sebagai cadangan makanan dalam tanaman.
Aktivitas biologi minyak atsiri terhadap serangga dapat bersifat repelen,
atraktan, racun kontak, racun pernafasan, antifeedant, oviposition deterrent,
menghambat pertumbuhan dan perkembangan, serta menurunkan fertilitas
(Dubey et al. 2010).
Minyak atsiri daun Curcuma longa yang mengandung senyawa
monoterpen karvon dan dihidrocarvon bersifat antifeedant terhadap larva dan
imago Rhyzopertha domestica, S. oryzae dan T. castaneum (Tripathi et al.
2003). Keefektifan minyak atsiri Cinnamomum juga telah diuji terhadap
beberapa spesies hama gudang. Sebagai contoh, Kim et al. (2003)
melaporkan bahwa perlakuan dengan minyak atsiri C. cassia pada dosis 0.7
mg/cm2 dengan metode residu pada kertas saring dapat mematikan 100%
kumbang Lasioderma serricorne.

2.4 Wereng batang coklat (Nilaparvata lugens)

Klasifikasi wereng coklat menurut Nurbaeti et al. (2010) adalah


sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Homoptera
Famili : Delphacidae
Genus : Nilaparvata
Spesies : Nilaparvata lugens Stal.

Wereng batang coklat (WBC) (Nilaparvata lugens Stal) merupakan


hama penting tanaman padi di Indonesia. Wereng ini mampu berkembang biak
membentuk populasi cukup besar dalam waktu singkat dan merusak tanaman
pada semua fase pertumbuhan. Habitat wereng umumnya berada di pangkal
batang padi, ukurannya kecil-kecil, jumlahnya banyak, aktif bergerak.
Serangga ini mempunyai siklus hidup 3-4 minggu yang dimulai dari telur (7-
10 hari), nimfa (8-17 hari), imago (18-28 hari). Nimfa (wereng pra dewasa)
dan imago (wereng dewasa) menghisap cairan dari batang padi. N. lugens
merupakan vektor penyebaran virus yang menjadi penyakit pada tumbuhan
penting. Nimfa dapat berkembang menjadi 2 bentuk wereng dewasa.
Bentuk pertama adalah makroptera (bersayap panjang) yaitu sayap depan
dan belakang normal, bentuk kedua adalah brakhiptera (bersayap kerdil) yaitu
sayap depan dan belakang tumbuh tidak normal. Umumnya wereng
brakhiptera bertubuh lebih besar, mempunyai tungkai dan peletak telur lebih
panjang (Nurbaeti et al. 2010).

2.5 Kumbang tepung (Tribolium castaneum)

Klasifikasi dari kumbang tepung (T. castaneum) sebagai berikut :


Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Coleoptera
Famili : Tenebrionidae
Genus : Tribolium
Spesies : Tribolium castaneum Herbst.

T. castaneum merupakan salah satu spesies serangga penting di daerah


tropika. Serangga ini merupakan serangga yang paling banyak ditemukan di
gudang penyimpanan biji-bijian serealia, khususnya pada produk olahan
seperti tepung dan beras giling. Bahan pangan yang terserang berat biasanya
tercemar oleh benzokuinon (ekskresi T. castaneum) sehingga tidak layak untuk
dikonsumsi. T. castaneum dikenal sebagai kumbang tepung (rust red flour
beetle). Kumbang tersebut bertubuh pipih dan berwarna merah karat dengan
panjang tubuh 2,3 - 4,4 mm. Lama perkembangan serangga sangat bervariasi,
bergantung pada suhu, kelembaban, dan jenis makanan. Pada kondisi optimum
yakni suhu 35 celcius dan kelembaban 75%, lama perkembangan dari telur
hingga menetas menjadi larva mencapai 20 hari.
Cara yang paling sering dilakukan untuk mengendalikan T. castaneum
ialah dengan fumigasi. Fumigasi adalah tindakan pelepasan atau penyaluran
senyawa kimia dalam keadaan gas dengan tujuan membunuh organisme.
Fumigasi dilakukan dalam ruang kedap udara pada suhu dan tekanan tertentu
dengan menggunakan senyawa kimia yang biasa disebut sebagai fumigan.
Beberapa jenis fumigan yang dikenal di dunia di antaranya adalah fosfin (PH3),
metil bromida (CH3Br), karbon dioksida (CO2), etil format (C3H6O2),
hidrogen sianida (HCN), dan sulfuril fluorida (SO2F2) (Widayanti et al. 2016).
III BAHAN DAN METODE

3.1 Bahan dan Alat

3.1.1 Bahan dan Alat Pengujian Insektisida Sistemik

Bahan dan alat yang digunakan dalam pengujian insektisida


sistemik adalah serangga uji Nilaparvata lugens, insektisida (Furadan 3
GR, bahan aktif: karbofuran 3%), bibit padi, akuades, pipet Mohr,
tabung reaksi (t 12 cm, d 1,5 cm), rak tabung reaksi, spons, kapas, dan
selang aspirator.

3.1.2 Bahan dan Pengujian Efek Fumigan

Bahan dan alat yang digunakan dalam pengujian efek fumigan


adalah serangga uji Tribolium castaneum, lima jenis minyak atsiri, air
suling, aseton, labu takar 10 ml, gelas piala 100 ml, pipet Mohr 1 ml, 2
ml, 5 ml, karet pengisap (rubber bulb), mikropipet, cawan petri, kuas,
kertas saring, dan tepung terigu.

3.2 Metode

3.2.1 Metode Pengujian Insektisida Sistemik

Insektisida Furadan 3 GR ditimbang untuk lima taraf dosis


(0,013; 0,022; 0,036; 0,06; dan 0,1 g/tabung) dan kontrol. Setiap taraf
perlakuan diulang enam kali (satu ulangan per kelompok). Butiran
insektisida dimasukkan sesuai dengan dosis perlakuan di atas ke dalam
tabung reaksi, kemudian ditambahkan akuades sebanyak 2 ml. Tabung
reaksi diaduk hingga merata. Sebanyak 2−3 bibit padi dimasukkan ke
dalam tabung reaksi. Bibit padi tersebut disangga dengan spons pada
bagian di atas permukaan cairan. Spons diusahakan tidak terkena cairan
insektisida di bagian bawahnya atau menjadi basah (diberikan jarak
sekitar 0,5–1 cm). Bagian atas bibit padi digunting hingga tingginya
tidak melebihi tinggi tabung reaksi. Sebanyak 10 individu wereng
batang coklat dimasukkan ke dalam tabung reaksi dengan menggunakan
selang aspirator, lalu mulut tabung ditutup dengan kapas. Jumlah
wereng N. lugens diamati dan dihitung jumlah yang mati pada 24, 48,
dan 72 jam setelah perlakuan. Data mortalitas serangga diolah dengan
menggunakan analisis probit untuk menentukan nilai LC50 dan LC95
serta selang kepercayaan 95% masing-masing. Lalu, data diolah dengan
sidik ragam (ANOVA) yang dilanjutkan dengan uji Tukey.
3.2.2 Metode Pengujian Efek Fumigan

Pertama, minyak atsiri sebanyak 0,5 ml dilarutkan dengan aseton


dalam labu takar 10 ml untuk mendapatkan larutan dengan konsentrasi 5%.
Kemudian, disiapkan cawan petri sebanyak enam pasang per kelompok.
Potongan kertas saring disiapkan dengan ukuran seperti diameter bagian
dalam tutup cawan petri lalu kertas saring tersebut direkatkan dengan
selotip pada bagian tutup cawan petri. Larutan minyak atsiri dipipet
sebanyak 0,5 ml, lalu diteteskan secara merata pada kertas saring di bagian
tutup cawan petri tadi dengan gerakan spiral dari arah luar ke dalam.
Kertas saring kontrol diberi perlakuan dengan aseton. Kertas saring
didiamkan sampai pelarut asetonnya menguap. Lalu, sebanyak 10
kumbang T. castaneum dimasukkan ke dalam setiap cawan petri dengan
menggunakan kuas. Perlakuan untuk setiap jenis minyak atsiri (termasuk
kontrol) diulang enam kali (satu ulangan per kelompok). Celah di antara
bagian tutup dan dasar cawan petri disekat dengan plastisin untuk
mencegah kemungkinan terjadinya kebocoran uap minyak atsiri. Jumlah
kumbang T. castaneum diamati dan dihitung jumlah yang mati pada 24,
48, dan 72 jam setelah perlakuan. Data mortalitas serangga diolah dengan
sidik ragam (ANOVA) yang dilanjutkan dengan uji Tukey.
IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

4.1.1 Insektisida Sistemik

Tabel 1 Jumlah kumulatif N. lugens biotipe 1 yang mati

Konsentrasi Jumlah mortalitas larva

24 jam 48 jam 72 jam

Kontrol 0 0 1

0.013 45 49 52

0.022 50 54 57

0.036 63 65 67

0.06 65 68 73

0.1 74 76 78

Tabel 2 Presentasi mortalitas kumulatif N. lugens biotipe 1 yang mati

Konsentras Konsentras Jumlah Persentase mortalitas kumulatif


i i bahan serangga
(g/tabung) aktif uji 24 jam 48 jam 72 jam
(mg/L)

Kontrol 0 80 0 0 1

0.013 0.39 80 56 61 65

0.022 0.66 80 63 68 71

0.036 1.08 80 79 81 84

0.06 1.8 80 81 85 91

0.1 3 80 93 95 98
Tabel 3 Hasil analisis probit insektisida sistemik pada N. lugens biotipe 1
JSP a ± GB b ± GB LD50 (SK 95%) (%) LD95 (SK 95%) (%)

24 2.694 ± 1.375 ± 0.011 (0.006-0.015) 0.172 (0.107-0.430)


0.363 0.236

48 2.891 ± 1.417 ± 0.009 (0.005-0.013) 0.132 (0.086-0.301)


0.385 0.247

72 3.416 ± 1.663 ± 0.009 (0.005-0.0012) 0.086 (0.062-0.157)


0.434 0.274

• Contoh perhitungan persentase mortalitas kumulatif insektisida sistemik 24 JSP


pada konsentrasi 0.013 g/tabung

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑒𝑟𝑎𝑛𝑔𝑔𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑎𝑡𝑖


% mortalitas kumulatif = x 100%
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑠𝑒𝑟𝑎𝑛𝑔𝑔𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑎𝑚𝑎𝑡𝑖
45
= x 100%
80
= 56%

• Contoh perhitungan konsentrasi bahan aktif 0,013 g/tabung 1 g = 1000 mg,


maka 0.013 g = 13 mg

𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑎𝑘𝑡𝑖𝑓


Konsentrasi formulasi =
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑎𝑘𝑡𝑖𝑓

𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑎𝑘𝑡𝑖𝑓


13 =
3%

Konsentrasi bahan aktif = 13 x 3% = 0,39 mg/L


Gambar 1 Plot standardized residual vs dosis pada 24 JSP insektisida sistemik

Gambar 2 Plot standardized residual vs dosis pada 48 JSP insektisida sistemik

Gambar 3 Plot standardized residual vs dosis pada 72 JSP insektisida sistemik


4.1.2 Efek Fumigan

Tabel 4 Jumlah kumulatif T. castaneum yang mati


Jenis minyak atsiri Jumlah mortalitas larva
24 jam 48 jam 72 jam
Kontrol 0 1 2
Citrus bergamia 63 65 71
Allium sativum 60 73 85
Illicium verum 18 30 40
Myristica fragrans 43 62 74
Syzygium aromaticum 14 30 38

Tabel 5 Persentase mortalitas kumulatif T. castaneum


Jenis Konsentrasi Jumlah Persentase mortalitas kumulatif
minyak formulasi serangga
atsiri (ml/l) uji 24 jam 48 jam 72 jam

Kontrol 0 120 0 0.83 1.7


Citrus 0.05 120 52.5 54.2 59.2
bergamia
Allium 0.05 120 50 60.8 70.8
sativum
Illicium 0.05 120 15 25 33.3
verum
Myristica 0.05 120 35.8 51.7 61.7
fragrans
Syzygium 0.05 120 11.7 25 31.7
aromatic
um
Tabel 6 Hasil sidik ragam eka arah T. castaneum pada taraf 5%

Sumber DB JK KT FHit F Tabel 0.05

Perlakuan 5 11694.28 2338.86 20.35 3.105

Galat 12 1379.33 114.94

Total 17 13073.61

• Contoh perhitungan persentase mortalitas kumulatif efek fumigan 24 JSP pada


Citrus bergamia

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑒𝑟𝑎𝑛𝑔𝑔𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑎𝑡𝑖


% mortalitas kumulatif = x 100%
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑠𝑒𝑟𝑎𝑛𝑔𝑔𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑎𝑚𝑎𝑡𝑖
63
= x 100%
120
= 52,5%

4.2 Pembahasan

Insektisida sistemik diserap oleh organ-organ tanaman baik melalui


akar, batang atau daun. Selanjutnya, mengikuti gerakan cairan tanaman dan
ditransportasikan ke bagian tanaman lainnya baik ke atas (akropetal) atau ke
bawah (basipetal) termasuk ke tunas yang baru tumbuh (Musyarrofah 2017).
Tabel 1 menunjukan jumlah dosis dan konsentrasi memiliki hubungan linier
dengan waktu perlakuan yang dibutuhkan untuk mematikan serangga. Jumlah
kematian tertinggi serangga uji Nilaparvata lugens akibat insektisida Furadan
3 GR dengan bahan aktif karbofuran 3% terjadi pada waktu pengujian 72 jam
dengan konsentrasi 0.1 g/tabung dan konsentrasi bahan aktif 3 mg/L sebanyak
78 serangga sehingga persentase mortalitas kumulatif sebesar 98% dari
keseluruhan serangga uji. Pada pengujian menggunakan kontrol tidak
terdapat kematian serangga uji pada waktu pengujian 24 jam dan 48 jam.
Sedangkan pada waktu pengujian 72 Jam terdapat 1 kematian dari 80
serangga yang diujikan. Jumlah kematian terendah terjadi pada waktu
pengujian 24 jam dengan konsentrasi 0.013 g/tabung dan konsentrasi bahan
aktif 0.39 mg/L sebanyak 45 serangga sehingga persentase mortalitas
kumulatif sebesar 56% dari total keseluruhan serangga uji.
Karbofuran (2,3-dihidro-2,2–dimetil–7 benzofuranil metil karbamat)
merupakan insektisida dari golongan karbamat, bekerja sebagai racun kontak
dan lambung, bersifat sistemik serta berbentuk granul. Selain sebagai
insektisida, karbofuran juga dapat digunakan sebagai nematisida. Nilai LD50
karbofuran sebesar 8–11 mg/kg (tikus), 0,238 mg/kg (burung) dan sebesar
5,62 mg/kg (bebek) (Tremblay et al. 2001). Nilai LD50 dapat diketahui
melalui analisis probit. Analisis probit digunakan dalam pengujian untuk
mengetahui respon subjek yang diteliti oleh adanya respon berupa mortalitas
(Finney 1971). Berdasarkan tabel 3 yaitu hasil analisis probit insektisida
sistemik pada N. lugens biotipe 1 menggunakan aplikasi Polo Plus
menunjukkan dosis efektif mematikan serangga selama 24 jam dengan LD50
adalah 0.011 μg/larva dosis dengan LD95 sebesar 0.172 μg/larva. Dosis
efektif mematikan serangga selama 48 jam dengan LD50 adalah 0.009
μg/larva dosis dengan LD95 sebesar 0.132 μg/larva. Dosis efektif untuk
mematikan serangga selama 72 jam dengan LD50 adalah 0.009 μg/larva dan
dosis dengan LD95 adalah 0.086 μg/larva.
Fumigan merupakan insektisida yang mudah menguap menjadi gas
dan masuk ke dalam tubuh serangga melalui sistem pernapasan atau sistem
trakea yang kemudian diedarkan ke seluruh tubuh (Husna et al. 2012).
Perlakuan 5 jenis minyak atsiri dengan konsentrasi 5% memiliki efek
fumigan yang beragam pada serangga T. castaneum. Hasil uji efek fumigan
terhadap mortalitas serangga T. castaneum menunjukkan bahwa jumlah
mortalitas tertinggi terdapat pada perlakuan minyak atsiri Allium sativum
dengan kematian sebanyak 60 serangga pada 24 jam, 73 serangga pada 48
jam, dan 85 serangga pada 72 jam (Tabel 4). Urutan minyak atsiri yang
menyebabkan mortalitas tertinggi pada serangga T. castaneum adalah Allium
sativum, Citrus bergamia, Myristica fragrans, Illicium verum, dan Syzygium
aromaticum. Persentase mortalitas kumulatif serangga uji terhadap 5 jenis
minyak atsiri pada konsentrasi 5% menunjukkan bahwa semakin lama waktu
perlakuan, maka semakin tinggi persentase mortalitasnya (Tabel 5).
Hasil uji sidik ragam pengaruh lima jenis minyak atsiri dengan
konsentrasi 5% terhadap mortalitas T. castaneum menunjukkan bahwa
perlakuan minyak atsiri berpengaruh nyata terhadap jumlah serangga yang
mati (Tabel 6). Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa
aktivitas insektisida minyak atsiri terhadap serangga dipengaruhi oleh
kandungan senyawa kimia, jenis serangga sasaran, dan cara aplikasi (Arifin
2013). Lebih lanjut, kandungan senyawa kimia dalam minyak atsiri juga
berbeda bergantung pada asal bahan tanaman. Minyak atsiri dapat berperan
sebagai fumigan karena tingginya kandungan senyawa monoterpen yang
mengakibatkan tingginya volatilitas minyak atsiri (Prasetiani 2016)
Ekstrak bawang putih efektif untuk mengendalikan hama karena
mengandung flavonoid, zat allicin dan minyak atsiri (Rahmawati et al.
2021). Berdasarkan inventarisasi berbagai pustaka, ekstrak bawang putih
mempengaruhi serangga melalui berbagai macam cara, antara lain
menghambat perkembangan serangga, mengganggu kopulasi dan
komunikasi seksual serangga, mencegah betina untuk meletakkan telur,
menyebabkan serangga mandul, mengurangi nafsu makan atau memblokir
kemampuan makan (Pritacindy et al. 2017). Penggunaan alisin dari bawang
putih sebagai salah satu sumber insektisida didasarkan atas pemikiran bahwa
terdapat mekanisme pertahanan dari tumbuhan akibat interaksinya dengan
serangga pemakan tumbuhan, alisin ini tidak akan menimbulkan resistensi
karena bau yang dihasilkan membuat serangga tidak ingin mendekat
(Nursam et al. 2018).
V SIMPULAN

Metode efek sistemik pada perlakuan 72 JSP menghasilkan tingkat


mortalitas yang paling tinggi. Hal ini dikarenakan semakin tinggi konsentrasi
yang diaplikasikan dan semakin lama waktu pengaplikasiannya akan semakin
efektif dalam mematikan serangga. Jenis minyak atsiri yang menyebabkan
mortalitas tertinggi hingga terendah pada serangga T. castaneum adalah
Allium sativum, Citrus bergamia, Myristica fragrans, Illicium verum, dan
Syzygium aromaticum. Persentase mortalitas kumulatif serangga uji terhadap
5 jenis minyak atsiri pada konsentrasi 5% menunjukkan bahwa semakin lama
waktu perlakuan, maka semakin tinggi persentase mortalitasnya.
DAFTAR PUSTAKA

Arifin MC. 2013. Toksisitas kontak dan efek fumigan minyak atsiri Cinnamomum
spp. (Lauraceae) terhadap Tribolium castaneum (Herbst) (Coleoptera:
Tenebrionidae) [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Dubey NK, Shukla R, Kumar A, Singh P, Prakash B. 2010. Prospects of botanical
pesticides in sustainable agriculture. Curr Scie. 4(25): 479-480.
Finney DJ. 1971. Probit Analysis 3rd Edition. London: Cambridge University
Press.
Husna SN, Priyono B, Darwi A, 2012. Efikasi ekstrak daun lengkuas terhadap
mortalitas larva nyamuk anopheles aconitus. Unnes J Life Sci. 1(1):42-46.
Kim SI, Roh JY, Kim DH, Lee HS, Ahn YJ. 2003. Insecticidal activities of aromatic
plant extract and essential oil against Sitophilus oryzae and Callosobruchus
chinensis. J StorProd. 39:293-303.
Kinasih I, Kusumorini A, Komarudin A. 2014. Pengaruh tiga jenis insektisida
karbamat terhadap kematian dan bobot tubuh cacing Eisenia fetida. Jurnal
Entomologi. 8(1): 102-116.
Musyarrofah E. 2017. Metode penggunaan pestisida dan kandungan residu pada
beras di desa Wringin Anom kecamatan Asembagus kabupaten Situbondo
[sripsi]. Jember. Universitas Jember.
Nurbaeti B, Diratmaja IA, Putra S. 2010. Hama Wereng Coklat (Nilaparvata lugens
stal) dan Pengendalianya. Bandung: Balai Pengkaji Teknologi Pertanian
Jawa Barat.
Nursam, Yunus M, Nasir B. 2018. Pengaruh pestisida nabati buah cabai (Capsicum
annuum L) dan umbi bawang putih (Allium sativum L) terhadap mortalitas
hama bawang merah (Spodoptera exigua Hubner). Agrotekbis. 6(2):225-
231.
Prasetiani RD. 2016. Efek fumigan minyak atsiri pala, kapulaga dan cengkih
terhadap mortalitas Oryzaephilus mercator Fauvel (Coleoptera: Silvanidae)
[skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Pritacindy, Prilly A, Supriyadi S, Kurniawan A. 2017. Uji efektivitas ekstrak
bawang putih (Allium sativum) sebagai insektisida terhadap kutu rambut
(Pediculus capitis). Preventia: The Indonesian Journal of Public Health.
2(1):1-9.
Rahmawati RP, Etikasari R, Setyaningrum I, Wilisa OY, Andjarwati FN. 2021.
Efektivitas bioinsektisida ekstrak etanol bawang putih (Allium sativum)
terhadap mortalitas kecoa amerika (Periplaneta americana). Urecol. 551-
555.
Sembel DT. 2012. Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman. Manado(ID): Fakultas
Pertanian Universitas Sam Ratulangi.
Sumiati A dan Julianto RPD. 2017. Analisis residu pestisida pada jeruk manis di
Kecamatan Dau, Malang. Buana Sains. 17 (1): 19 - 24.
Syam S, Harahap IS, Dadang. 2017. Efek fumigan dan repelen fraksi minyak atsiri
Mentha piperita terhadap Tribolium castaneum (Coleoptera:
Tenebrionidae). Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. 28 (2): 181
- 190.
Tremblay A, Mineau P, Stewart RK. 2001. Effects of bird predation on some pest
insect populations in corn. Agriculture, Ecosystems and Environment.
83(2): 143-152.
Tripathi AK, Prajapati V, Kumar S. 2003. Bioactivity of l-carvone, d-carvone and
dihydrocarvone towards three stored product beetles. J Eco Entomol.
96:1594–1601.
Widayanti S, Dadang, Harahap I. 2017. Status resistensi terhadap fosfin pada
Tribolium castaneum Herbst (Coleoptera: Tenebrionidae) dari gudang
penyimpanan biji kakao di Makassar Sulawesi Selatan. Jurnal Entomologi
Indonesia. 14: 10-19.
Zulkarnain I. 2010. Aplikasi pestisida dan analisa residu pestisida golongan
organofosfat pada beras di Kecamatan Portibi Kabupaten Padang Lawas
Utara Tahun 2009 [Skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara.
LAMPIRAN

Gambar 1 Hasil perhitungan sidik ragam T. castaneum pada Microsoft Excel

Anda mungkin juga menyukai