Anda di halaman 1dari 7

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Nilaparvata lugens


Wereng cokelat merupakan salah satu hama padi yang paling berbahaya
dan merugikan, terutama di daerah Asia Tenggara dan Asia Timur. Hama yang
mempunyai nama latin (Nilaparvata lugens) ini tergolong kedalam famili
Delphacidae dan genus Nilaparvata. Wereng batang coklat berkembangbiak
secara seksual, masa pra peneluran 3-4 hari untuk brakiptera (bersayap kerdil) dan
3-8 hari untuk makroptera (bersayap panjang) (Yaherwandani et al. 2010). Telur
biasanya diletakkan pada jaringan pangkal pelepah daun, tetapi kalau populasinya
tinggi telur diletakkan di ujung pelepah dan tulang daun. Telur diletakkan
berkelompok, satu kelompok telur terdiri dari 3-21 butir. Satu ekor betina
mampu meletakkan telur 100-500 butir. Telur menetas setelah 7-10 hari.
Muncul wereng muda yang disebut nimfa dengan masa hidup 12-15 hari. Nimfa
dapat berkembang menjadi dua bentuk wereng dewasa. Bentuk pertama adalah
makroptera (bersayap panjang) yaitu wereng batang coklat yang mempunyai
sayap depan dan sayap belakng normal.  Bentuk kedua adalah brakiptera
(bersayap kerdil) yaitu wereng batang coklat dewasa yang mempunyai sayap
depan dan sayap belakang tumbuh tidak normal, terutama sayap belakang sangat
rudimenter. Selanjutnya nimfa berkembang menjadi wereng dewasa.
Serangga kecil ini mengisap cairan tumbuhan dan sekaligus juga
menyebarkan beberapa virus (terutama reovirus) yang menyebabkan penyakit
tungro). Awalnya, WBC merupakan hama dengan wilayah serangan yang
terbatas. Namun, saat ini WBC menjadi hama utama pada tanaman padi (Sianipar
et al. 2015). Hama ini dapat menyebabkan hooperburn dimana tanaman padi
terlihat kering seperi terbakar. Hal tersebut terjadi karena WBC menghisap cairan
sel pada batang tanaman padi (Yaherwandani et al. 2010). Menurut Yaherwandani
et al. (2010), WBC dapat menjadi vektor penyakit kerdil rumput dan kerdil hampa
yang disebabkan oleh virus pada tanaman padi. WBC dapat bertahan sepanjang
musim pada daerah tropis, tergantung terdapatnya tanaman inang yang sesuai dan
kondisi iklim yang menguntungkan.

Gambar 1 Hama wereng coklat (Nilaparvata lugens)


(Sumber: https://nad.litbang.pertanian.go.id)
2.2 Tribolium castaneum
Hama kumbang tepung termasuk kelas Insecta, ordo Coleoptera, famili
Tenebrionidae, genus Tribolium, spesies Tribolium castaneum. Serangga ini biasa
ditemukan di dalam gudang tempat penyimpanan benih atau tempat penyimpanan
tepung. Tribolium castaneum bersifat polifag karena menyerang simpanan beras,
jagung, kacang tanah, gaplek, kopra dan bijian lainnya. Hama ini merupakan
hama penting atau utama pada beras dan produk dari gandum (Syam et al. 2017).
Pada serangan berat, produk tersebut berwarna kuning keabu-abuan dan berjamur
dengan bau yang menyengat. Kumbang tepung mempunyai ciri – ciri berbentuk
agak pipih, berwarna coklat kemerah-merahan, memiliki ukuran panjang sekitar
3-4 mm dan mempunyai 1 pasang sayap. Tiap induk atau kumbang betina
Tribolium castaneum dapat memproduksi telur sampai 450 butir, untuk siklus
hidupnya antara 35 sampai 42 hari. Perkembangan dari telur sampai dewasa
adalah 20 hari dalam kondisi optimum suhu 35˚C dan kelembaban 70% tetapi
dapat sampai 141 hari pada suhu 25˚C dan kelembaban 70%.
Cara perkembangbiakan dengan cara telur diletakkan dalam tepung atau
dalam biji atau bahan lain yang sejenis. Saat stadia larva akan mengalami
pergantian kulit sebanyak 6-11 kali. Ukuran larva dewasa antara 8-11 mm, pada
stadia pupa biasanya berada dalam biji/tepung tanpa membentuk kokon. Umur
kepompong atau pupa biasanya membutuhkan waktu 5- 7 hari untuk berubah
menjadi imago. Menurut Risyudanti (2018) hama ini selalu merusak tepung dan
merusak biji sehingga menyebabkan penurunan daya kecambah benih. Di
Indonesia ada dua jenis Tribolium yang menyerang tepung dan biji – bijian dalam
simpanan, yaitu Tribolium confusum dan Tribolium castaneum.

Gambar 2 Hama kumbang tepung (Tribolium castaneum)


(Sumber : https://commons.wikimedia.org)

2.3 Insektisida Sistemik


Insektisida secara harfiah berarti pembunuh serangga yang berasal dari
dua kata dalam bahasa latin, Insekta berarti serangga dan Cida berarti pembunuh.
Pestisida bekerja secara spesifik terhadap organisme sasaran tertentu. Insektisida
secara umum dibagi menjadi tiga berdasarkan sifat, cara kerja atau gerakan pada
tumbuhan (Hartini 2014). Berasarkan cara kerjanya pada serangga sasaran
insektisida dibagi menjadi insektisida sistemik, insektisida non-sistemik, dan
insektisida sistemik lokal. Insektisida sistemik diserap oleh organ-organ tanaman,
dapat melalaui akar, batang, maupun daun. Selanjutnya, pestisida
ditransportasikan mengikuti aliran cairan tanaman ke bagian-bagian tanaman
lainnya. Insektisida sistemik yang ditransportasikan dari akar ke daun tanaman
(dari bawah ke atas) disebut “sistemik akropetal”. Sementara pestisida yang
ditransportasikan dari daun ke akar, termasuk tunas yang baru tumbuh (dari atas
ke bawah), disebut “sistemik basipetal”. Kebanyakan insektisida sistemik
bergerak dari bawah ke atas melalui xylem. Contoh insektisida sistemik adalah
asefat, aldikarb, bendiokarb, disolfoton dan karbofuran (Hartini 2014).

2.4 Fumigasi
Fumigasi adalah suatu tindakan perlakuan terhadap suatu komoditi dengan
menggunakan fumigan (bahan kimia atau pestisida) tertentu, didalam ruang kedap
udara, pada suhu dan tekanan tertentu. Fumigan bisa diterapkan secara outdoor
seperti di perkebunan, persawahan, dan yang lainnya. Bisa juga digunakan secara
indoor di rumah-rumah. Tentu dengan pilihan bahan kimia yang sesuai sehingga
aman buat semua penghuni rumah tersebut. Proses fumigasi kadang juga
dilakukan pada proses produksi barang dan ekspor impor. Hal ini dimaksudkan
untuk mencegah transfer hama antar negara. Metode fumigasi disebut sangat
efektif termasuk saat diterapkan dalam struktur bangunan, sebab sifatnya bisa
langsung masuk ke bagian terdalam struktur dan meracuni hama yang ada di
dalamnya (Syam et al. 2017). Salah satu contoh penerapannya adalah pada
pembasmian rayap kering yang ada di tembok rumah atau kutu yang ada di
gudang arsip.
Fumigasi bisa dilakukan dengan alat tertentu yang lebih sering dikenal
dengan istilah fumigator. Biasanya berupa tabung yang dihubungkan dengan
selang dan pendorong untuk melakukan pengasapan. Menurut Riyadi (2015), ada
beberapa fase yang harus dilaluui dalam keseluruhan proses fumigasi, fase
pertama adalah menciptakan lingkungan tertutup untuk keseluruhan area yang
tercakup alam fumigasi. Fase kedua, fumigan dilepaskan atau disemprotkan ke
area atau ruang yang sudah diatur khusus untuk fumigasi. Agar hasilnya
maksimal, ruangan yang sudah diasapi dibiarkan sementara waktu. Hal ini akan
memberikan waktu kepada fumigan untuk meresap dalam ruangan. Dalam kurun
waktu tersebut, fumigan akan melakukan tugasnya untuk mengendalikan dan
membasmi hama di dalamnya. Fase ketiga atau fase terakhir yaitu Jika waktu
yang diperlukan dirasa sudah cukup, diperlukan ventilasi untuk pembuangan gas
beracun. Sehingga ruangan tersebut aman dihuni oleh manusia. Hasilnya, ruangan
akan bebas gas beracun, bebas hama.

2.5 Karbofuran
Karbofuran (2,3-dihidro-2,2–dimetil–7 benzofuranil metil karbamat), biasa
dengan nama dagang Furaan 3G, Curater 3G, Indofuran 3G merupakan insektisida
dari golongan karbamat, bekerja sebagai racun kontak dan lambung, bersifat
sistemik serta berbentuk granul. Selain sebagai insektisida, karbofuran juga dapat
digunakan sebagai nematisida. Insektisida ini biasa digunakan untuk membasmi
hama tanaman jeruk, kapas, cengkeh, lada, kentang, padi, tebu, dan tembakau.
Nilai LD50 karbofuran sebesar 8–11 mg/ kg (tikus), 0,238 mg/kg (burung) dan
sebesar 5,62 mg/ kg (bebek) (Setiawati et al. 2015). Gambaran sederhana cara
kerja karbofuran adalah jika diaplikasikan ke dalam tanah dengan segera
karbofuran akan tersserap oleh tanaman. Karbofuran akan masuk ke dalam
seluruh jaringan tanaman tidak terkecuali daun dan buahnya. Ketika ada serangga
yang memakan salah satu bagian tanaman tersebut serangga tersebut akan
keracunan dan akhirnya mati.
Karbofuran merupakan bahan aktif insektisida yang mempunyai spektrum
sangat luas. Jika diaplikasikan ke dalam tanah bukan hanya serangga hama saja
yang mati tetapi semua habitat (binatang) yang ada di dalam tanah tersebut akan
musnah termasuk mikroorganisme pengurai, cacing tanah, dan belut. Semakin
intensifnya penggunaan insektisida karbofuran telah nyata pula mengakibatkan
pengaruh negatif terhadap lingkungan akuatik dan terrestrial serta kematian biota
bukan sasaran. Kematian biota bukan sasaran merupakan efek samping insektisida
karbofuran. Efek samping insektisida karbofuran dapat berupa pengurangan
jumlah individu, hambatan pada aktivitas metabolisme, hambatan perilaku, dan
reproduksi serta daya tetas kokon pada biota tanah (Setiawati et al. 2015).

Gambar 3 Produk insektisida berbahan aktif karbofuran (Furadan 3GR)


Sumber : https://www.blibli.com

2.6 Minyak Atsiri


Minyak atsiri pada umumnya mengandung campuran berbagai senyawa
yang tidak toksik terhadap mamalia serta lebih aman bagi lingkungan
dibandingkan pestisida sintetik karena bersifat tidak persisten. Minyak atsiri dapat
diperoleh melalui proses distilasi bagian dari tanaman aromatik tertentu yang
secara tradisional telah lama digunakan untuk melindungi komoditas pangan yang
disimpan dan mengusir serangga pemukiman. Beberapa contoh minyak atsiri yang
telah diteliti sebagai insektisida nabati antara lain minyak atsiri dari lengkuas
(Alpinia galanga), seraiwangi (Cymbopogon nardus), dan cengkeh (Syzigium
aromaticum) yang efektif untuk mengendalikan hama penghisap bunga lada
Diconocoris hewetti (Wiratno et al. 2011). Salah satu tumbuhan penghasil minyak
atsiri yang potensial untuk dikembangkan sebagai sumber insektisida nabati
adalah pepermin (Mentha piperita). Lashgari et al. (2014) melaporkan M. piperita
memiliki efek fumigan yang menyebabkan kematian, serta memiliki aktifitas
repelen terhadap imago T. castaneum.

III BAHAN DAN METODE

3.1 Bahan dan Alat


Bahan dan alat yang dibutuhkan dalam praktikum pengujian insektisida
sistemik antara lain insektisida (Furadan 3 GR, bahan aktif: karbofuran 3%), bibit
padi, akuades, pipet Mohr, tabung reaksi (t 12 cm dan d 1,5 cm), rak tabung
reaksi, spons, kapas, dan selang aspirator, serta serangga uji wereng batang coklat
Nilaparvata lugens biotipe 3 dengan jumlah serangga uji berjumlah 60 WBC.
Sedangkan alat dan bahan yang dibutuhkan dalam praktikum pengujian efek
fumigan antara lain lima jenis minyak atsiri, air suling, aseton, labu takar 10 ml,
gelas piala 100 ml, pipet Mohr 1 ml, 2 ml, 5 ml, karet pengisap (rubber bulb),
mikropipet, cawan petri, kuas, kertas saring, dan tepung terigu, serta serangga uji
kumbang Tribolium castaneum dengan serangga uji berjumlah 120 ekor.

3.2 Metode Praktikum


3.2.1 Metode Pengujian Insektisida Sistemik
Prosedur pertama yang dilakukan dalam praktikum metode pengujian
insektisida sistemik adalah menyiapkan bahan dan alat yang dibutuhkan.
Selanjutnya insektisida Furadan 3 GR ditimbang untuk lima taraf dosis (0,013;
0,022; 0,036; 0,06; dan 0,1 g/tabung) dan kontrol. Setiap taraf perlakuan diulang
enam kali (satu ulangan per kelompok). Prosedur selanjutnya adalah memasukkan
butiran insektisida sesuai dengan dosis perlakuan di atas ke dalam tabung reaksi,
kemudian akuades ditambahkan sebanyak 2 ml dan diaduk hingga merata.
Kemudian sebanyak 2-3 bibit padi dimasukkan ke dalam tabung reaksi, bibit padi
tersebut disangga dengan spons pada bagian di atas permukaan cairan dan
diusahakan spons tidak terkena cairan insektisida di bagian bawahnya atau
menjadi basah (diberikan jarak sekitar 0,5–1 cm). Setelah itu, bagian atas bibit
padi digunting hingga tingginya tidak melebihi tinggi tabung reaksi. Prosedur
selanjutnya adalah 10 individu wereng batang cokelat dimasukkan ke dalam
tabung reaksi dengan menggunakan selang aspirator, lalu mulut tabung tersebut
ditutup dengan kapas. Jumlah wereng N. lugens yang mati pada 24, 48, dan 72
jam setelah
perlakuan diamati dan dihitung. Data yang diperoleh dimasukkan ke dalam tabel
praktikum. Prosedur terakhir data mortalitas serangga diolah dengan
menggunakan analisis probit untuk menentukan nilai LC50 dan LC95 serta selang
kepercayaan 95% masing-masing, bila data tidak dapat diolah dengan analisis
probit, data diolah dengan sidik ragam (ANOVA) yang dilanjutkan dengan uji
Tukey.

3.2.2 Metode Pengujian Efek Fumigan


Metode pengujian efek fumigan terdiri dari beberapa prosedur. Prosedur
pertama adalah menyiapkan alat dan bahan yang dibutuhkan. Selanjutnya, minyak
atsiri dilarutkan sebanyak 0,5 ml dengan aseton dalam labu takar 10 ml untuk
mendapatkan larutan dengan konsentrasi 5%. Setelah itu, cawan petri disiapkan
sebanyak enam pasang per kelompok dan menyiapkan potongan kertas saring
dengan ukuran seperti diameter bagian dalam tutup cawan petri lalu direkatkan
kertas saring tersebut dengan selotip pada bagian tutup cawan petri. Larutan
minyak atsiri dipipet sebanyak 0,5 ml, lalu diteteskan secara merata pada kertas
saring di bagian tutup cawan petri tadi dengan gerakan spiral dari arah luar ke
dalam. Kertas saring kontrol diberi perlakuan dengan aseton saja. Kertas saring
didiamkan sampai pelarut asetonnya menguap. Langkah selanjutnya 10 kumbang
T. castaneum dimasukkan ke dalam setiap cawan petri dengan menggunakan
kuas. Perlakuan untuk setiap jenis minyak atsiri (termasuk kontrol) diulang enam
kali (satu ulangan per kelompok). Celah di antara bagian tutup dan dasar cawan
petri disekat dengan plastisin untuk mencegah kemungkinan terjadinya kebocoran
uap minyak atsiri. Prosedur terakhir yaitu mengamati dan menghitung jumlah
kumbang T. castaneum yang mati pada 24, 48, dan 72 jam setelah perlakuan. Data
yang diperoleh dimasukkan ke dalam tabel praktikum. Data mortalitas serangga
diolah dengan sidik ragam (ANOVA) yang dilanjutkan dengan uji Tukey.

DAFTAR PUSTAKA

Hartini E. 2014. Kontaminasi residu pestisida dalam buah melon (studi kasus pada
petani di Kecamatan Penawangan). KEMAS: Jurnal Kesehatan
Masyarakat. 10(1): 96-102.

Lashgari A, Mashayekhi S, Javadzadeh M, Marzban R. 2014. Effect of Mentha


piperita and Cuminum cyminum essential oil on Tribolium castaneum and
Sitophilus oryzae. Arch Phytopathology Plant Protect. 47(3): 324-329.
doi: 10.1080/03235408.2013.809230.
Risyudanti EA. 2018. Deskripsi pengendalian kutu di gudang tepung UD Sumber
Rejeki Kabupaten Banyumas (studi kasus di PT Akael Satria Indonesia)
[skripsi]. Semarang (ID): Politeknik Kesehatan Kemenkes Semarang.

Riyadi A. 2015. Pengaruh suhu dan kelembaban terhadap kecepatan fumigasi


alumuniujm phosphida dan uji efikasi serangga perpustakaan. Media
Pustakawan. 22(2): 20-26.

Setiawati W, Jayanti, Hudayya H, Hasyim A. 2015. Pengaruh insektisida


karbofuran terhadap kerusakan dan kehilangan hasil kentang akibat
serangan Gryllotalpa hirsuta Burmeister (Ortoptera : Gryllotalpidae) serta
dampaknya terhadap keanekaragaman artropoda tanah. J. Hort. 25(1): 54-
62.

Sianipar MS, Djaya L, Santosa E, Soesilohadi RCH, Natawigena WD, Ardiansyah


M. 2015. Populasi hama wereng batang coklat (Nilaparvata lugens Stal.)
dan keragaman serangga predatornya pada padi sawah lahan dataran tinggi
di Desa Panyocokan, Kecamatan Ciwidey, Kabupaten Bandung. Jurnal
Agrikultura. 26(2): 111-121.

Syam S, Harahap IS, Dadang. 2017. Efek fumigan dan repelen fraksi minyak
atsiri Mentha piperita terhadap Tribolium castaneum (Coleoptera:
Tenebrionidae). Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. 28(2):
181-190. doi: http://dx.doi.org/10.21082/bullittro.v28n2.2017.181-190

Wiratno, Siswanto, Luluk, Suriati S. 2011. Efektivitas beberapa jenis tanaman


obat dan aromatik sebagai insektisida nabati untuk mengendalikan
Diconocoris hewetti Dist (Hemiptera ; Tingidae). Bul. Littro. 22(2): 198-
204.

Yawerhandi, Reflinaldon, Ramdani A. 2010. Biologi Nilaparvata lugens Stall


(Homoptera: Delphacidae) pada empat varietas tanaman padi (Oryza
sativa L.) [skripsi]. Padang (ID): Universias Hasanudin.

Anda mungkin juga menyukai