Anda di halaman 1dari 14

TUGAS

ENTOMOLOGI

Predator dan parasitoin sebagai musuh alami

(ordo hemiptera dan hymneptera)

Disusun oleh:

KELOMPOK V
SRI BELLA ASTARI (H41116006)
NURLIA. S (H41116027)
IRMAH. T (H41116027)
FITRIANTI INDASARI (H41116505)
UTARI. M ()

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
TUGAS

1. Ordo serangga tergolong predator dan parasit.

Ada banyak ordo pada serangga yang dapat di jadikan sebagai agen pengendali
hayati ( predator dan parasit) namun pada kelompok kami mengambil ordo hemiptera
dan hymneptera. Predator yaitu Sycanus dichotomus Stal.(Hemiptera: Reduviidae)
dan parasitoid yaitu Diadegma semiclausum Hellen (Hymenoptera: Ichneumonidae)
ditemukan berasosiasi dengan hama pemakan daun kubis.
2. Mekanisme penyerangan
a. Sycanus sp
Sycanus sp. adalah predator serangga termasuk ulat pemakan daunkubis. Nimfa
predator ini memangsa serangga dengan menusukkan stiletnya ke bagian yang lunak
dari bagian tubuh serangga, setelah itu serangga yang sudah tertangkap akan segera
lumpuh akibat toksin yangdikeluarkan melalui stilet.
Sehari setelah menetas nimfa berpencar ke segala arah. Nimfa instar pertama
Sicanus Sp mulai mencari mangsa pada hari ketiga, dan memangsa mangsanya secara
bergerombol serta secara bersama-sama menusukkan stiletnya pada satu mangsa
Proses ganti kulit pada predator Sicanus Sp ditandai dengan nimfa yang tidak
melakukan aktivitas seperti memangsa, serangga akan diam. Predator Sicanus Sp.
lebih memilih mangsa P. xylostella dari pada C. pavonana dan T. molitor baik pada
uji preferensi dengan pilihan maupun tanpa pilihan.
a. Diadegma semiclausum
Diagdegma semiclausum adalah endoparasitoid larva soliter. Parasitoid ini
meletakkan telur di dalam tubuh larva P. xylostella, terutama pada instar ketiga.
Imago D. semiclausum muncul dari tubuh inang saat inang berada masih dalam fase
larva. Imago akan keluar dengan cara membuat lubang pada salah satu ujung
kokon. Serangga berwarna hitam dengan sayap transparan dan tipis. Seekor parasitoid
betina dapat menyerang kurang lebih 50 ekor larva.
3. Gambar organismenya
a. Predator (ordo hemiptera)
Gambar 1. Ulat daun kubis Gambar 2. Sycannus sp

Gambar 3. Sycannus sp memangsa ulat daun kubis


b. Parasit (ordo hymnoptera)

Gambar 4. Diadegma semiclausum parasit pada Plutella xylostella

4. Aktivitas serangga pemangsa hama tanaman / Musuh- musuh alami (predator


dan parasit).
Berdasarkan investigasi dan penelitian yang telah lakukan oleh Yuliadi, dkk. di
Pancasari bulan Mei hingga Juli tahun 2012 ditemukan musuh alami di pertanaman
kubis adalah parasitoid larva Plutella Diadegma semiclausum dan predator, Sycanus
dichotomus. Hasil penelitian pendahuluan 2014 ditemukan predator hama kubis
Sycanus sp.

Diagdegma semiclausum adalah endoparasitoid larva soliter. Parasitoid ini


meletakkan telur di dalam tubuh larva P. xylostella, terutama pada instar ketiga.
Imago D. semiclausum muncul dari tubuh inang saat inang berada masih dalam fase
larva.

Gambar 5. Pengambilan sampel kubis

Siklus hidup D. semiclausum dari telur sampai dewasa lamanya 18-20 hari di
dataran tinggi dan 14 hari di dataran rendah. Sedangkan masa telur 2-3 hari, masa
larva 7-8 hari dan masa pupa 8-10 hari. Imago akan keluar dengan cara membuat
lubang pada salah satu ujung kokon. Serangga berwarna hitam dengan sayap
transparan dan tipis. Seekor parasitoid betina dapat menyerang kurang lebih 50 ekor
larva.
Gambar 6. Imago Diadegma semiclausum

Sycanus dichotomus (Hemiptera: Reduviidae) merupakan predator yang umum


ditemukan pada tanaman sawit. Siklus hidup Sycanus dichotomus (Hemiptera:
Reduviidae) pada dua mangsa yaitu larva Plutella xylostella dan Corcyra cephalonica
sudah pernah dilaporkan oleh Zulkefli et al. (2004), bahwa telur Sycanus menetas
11-39 hari setelah diletakkan, dan dilaporkan juga bahwa sycanus mempunyai lima
tahapan (stadia) nimfa, dengan rata –rata perkembangan masing masing nimfa
adalah 24.35, 16.95, 20.35, 25.32 dan 43.51 hari bila diberi mangsa C. cephalonica,
sedangkan bila diberi mangsa larva Plutella xylostella rata-rata lama stadia masing-
masing nimpa adalah 16.72, 15.78, 14.88, 24.03 dan 46.84 hari. Lama hidup imago
jantan dan betina rata-rata 83.47 dan 87.64 hari jika diberi mangsa Plutella xylostella
, tapi jika diberi mangsa C. cephalonica, maka lama hidup imago jantan dan betina
Sycanus dichotomus lebih pendek yaitu ± 63.99 dan 61.86 hari. Sycanus dichotomus
juga dilaporkan menyerang S. asigna and Darna trima (Singh, 1992).

Gambar 7. Nimfa dichotomus instar 1 hingga instar 5


Gambar 8. Proses pergantian kulit dari nimfa instar ke instar 4
5. Keuntungan Menggunakan Musuh Alami Sebagai Pengendalian Hayati
Pengendalian hayati merupakan pengelolaan hama yang dilakukan secara
sengaja dengan memanfaatkan atau memanipulasikan musuh alami untuk
menurunkan atau mengendalikan populasi hama. Proses pengendalian ini dapat
berjalan secara alami atau dapat dikatakan proses pengendalian hama yang berjalan
secara sendiri tanpa ada campur tangan manusia). Menurut Huffaker et al. (1976),
penjagaan jumlah populasi suau organisme dalam kisaran limit atas dan bawah
tertentu sebagai hasil dari tindakan keseluruhan lingkungan, baik lingkungan biotik
maupun abiotik. Oleh karena itu, pengendalian alami disebut pula sebagai
keseimbangan alami (balance of nature). Prinsip-prinsip pengendalian hayati, antara
lain :
a) Introduksi, yaitu memindahkan atau mendatangkan musuh alami dari suatu
daerah/negara asal ke daerah baru/dalam negeri dalam upaya pengendalian hama
b) Augmentasi, yaitu penambahan musuh alami melalui pelepasan musuh alami di
lapangan dengan tujuan untuk lebih menigkatkan peranan dalam menekan
populasi hama
c) Inundasi, yaitu penambahan musuh alami dalam jumlah banyak dengan tujuan
dapat menurunkan populasi hama dengan cepat sampai pada tingkat yang tidak
merugikan
d) Konservasi, yaitu semua upaya berjalan untuk melestarikan/memelihara musuh
alami yang sudah ada di lapangan, antara lain melalui teknik bercocok tanam,
pengaturan jarak tanam, dan penyediaan sumberdaya.
Dalam pelaksanaannya, pengendalian hayati memiliki kelebihan juga
kekurangan. Kelebihan dari pengendalian hayati, antara lain:

a) Selektifitas tinggi dan tidak menimbulkan hama baru;


b) Organisme yang digunakan sudah ada di lapangan/lahan;
c) Organisme yang digunakan dapat mencari dan menemukan hama
d) Dapat berkembang biak dan menyebar secara alamiah hama tidak menjadi
resisten atau terjadi sangat lambat
e) Pengendalian ini dapat berjalan dengan sendirinya
f) Tidak ada pengaruh/efek samping yang buruk, seperti pada penggunaan
pestisida.
Musuh AlamiSebagai bagian dari komonitas, setiap komonitas serangga
termasuk serangga hama dapat diserang atau menyerang organisme lain. Bagi
serangga yang diserang organisme penyerang disebut Musuh Alami. Secara ekologis
istilah tersebut kurang tepat karena adanya musuh alami tidak tentu merugikan
kehidupan serangga terserang. Hampir semua kelompok organisme berfungsi sebagai
musuh alami serangga hama termasuk kelompok vertebrata, nematoda, jasad renik,
invertebrata diluar serangga. Kelompok musuh alami yang paling banyak adalah dari
golongan serangga itu sendiri. Misalnya adalah Letmansia bicolor merupakan musuh
alami dari serangga hama pada tanman kelapa Secava sp, Serangga kumbang
Koksinelid (Synkuharmonia octomaculata merupakan musuh alami dari hama tanman
padi yaitu serangga wereng hijau, wereng punggung putih dan wereng zig-zag.
Anonim (2006).
Nama : Fitrianti Indasari S

NIM : H411 16 505

“ Bioinsektisida yang diperoleh dari Mikroorgnisme”

PRODUKSI BIOINSEKTISIDA oleh Bacillus thuringiensis MENGGUNAKAN


KULTIVASI MEDIA PADAT

Di Indonesia industri bioinsektisida dengan bahan aktif B. thuringiensis belum


berkembang, oleh sebab itu perlu dilakukan upaya agar dapat memproduksi
bioinsektisida pada skala industri dengan mudah, sehingga dapat menghindari
ketergantungan akan bahan-bahan impor.
B. thuringiensis merupakan bioinsektisida mikrobial yang cukup banyak
digunakan dibandingkan yang berasal dari mikroba yang lain. Bakteri ini adalah
bakteri Gram positif, berbentuk batang, dan memiliki kemampuan menghasilkan
kristal protein selama masa sporulasinya. Sebagai pengendali hayati, spora dan kristal
protein ini dapat bersifat racun pada sistem pencernaan serangga. Limbah industri
tahu dapat menjadi alternatif untuk media perbanyakan inokulum (starter) Bacillus
thuringiensis, karena ditinjau dari komposisi kimianya mengandung air 98,63%,
nitrogen 0,02%, karbon 0,27% dan mineral 0,43%. Bahan-bahan tersebut
diperlukan pada pertumbuhan sel baru, spora dan toksin.
Pembentukan spora oleh Bacillus thuringiensis selama kultivasi merupakan
hal yang sangat penting dalam proses produksi bioinsektisida. Bacillus thuringiensis
akan membentuk spora bersamaan dengan terbentuknya kristal protein yang berfungsi
sebagai bahan aktif pada bioinsektisida. Oleh sebab itu semakin banyak spora yang
terbentuk maka diharapkan makin tinggi jumlah kristal protein yang dihasilkan,
sehingga dengan melihat jumlah spora yang terbentuk dapat digunakan untuk
menentukan waktu panen sebagai indikator bahwa produk telah terbentuk. Hal ini
karena kristal protein akan lisis dari dinding sel pada masa akhir sporulasi.
B.thuringiensis membutuhkan sumber karbon, nitrogen dan mineral seperti
Ca, Mg, Mn, Fe, dan Zn untuk pertumbuhan sel vegetatif dan menghasilkan
endotoksin. Ampas sagu dan ampas iles-iles dapat dimanfaatkan sebagai substrat
karena juga mengandung jenis mineral yang dibutuhkan.
Ketebalan media kultivasi untuk memproduksi bioinsektisida mempengaruhi
kinerja Bacillus thuringiensis, semakin tebal media menyebabkan pH media semakin
rendah, jumlah sel dan spora yang dihasilkan semakin rendah. Begitu pula
kemampuan toksisitas semakin menurun. Bioinsektisida yang dihasilkan memiliki
daya toksisitas terhadap larva Crocidolomia pavonana (golongan Lepidoptera) dan
larva Aedes aegepty (golongan Diptera), dan memiliki potensi lebih tinggi terhadap
larva Aedes aegepty.
Nama : Irmah. T

NIM : H411 16 027

“ Bioinsektisida yang diperoleh dari Mikroorgnisme untuk pengendalian


hama tanaman (serangga) ”

POTENSI Bacillus thuringiensis DARI TANAH PERKEBUNAN BATU MALANG


SEBAGAI BIOINSEKTISA TERHADAP LARVA Spodoptera litura F.

Bioinsektisida adalah bahan-bahan alami yang bersifat racun serta dapat


menghambat pertumbuhan dan perkembangan, tingkah laku, perkembangbiakan,
kesehatan, memengaruhi hormon, penghambat makan, membuat mandul, sebagai
pemikat, penolak, dan aktivitas lainnya yang dapat memengaruhi organisme
pengganggu tanaman
Salah satu sumber bioinsektisida ialah mikroorganisme tanah seperti Bacillus
thuringiensis. Menurut B. thuringiensis dikenal sebagai agensia bahan baku pestisida
yang yang baik dalam pertanian, aman terhadap kesehatan konsumen dan ramah
lingkungan.

Gambar Bacillus thuringiensis


B. thuringiensis adalah bakteri gram-positif, berbentuk batang yang
memproduksi kristal protein pada saat sporulasi. Kristal protein tersebut dinamakan
δ-endotoksin (protein Cry) yang bersifat lethal jika dimakan oleh serangga yang peka.
Ketika masuk ke dalam pencernaan, δ-endotoksin masih dalam bentuk molekul yang
besar dan masih dalam bentuk protoksin yang tidak aktif dan akan aktif pada
lingkungan basa. Kristal ini sebenarnya hanya merupakan protoksin yang jika larut
dalam usus serangga akan berubah menjadi poli-peptida yang lebih pendek (27-149
kd) serta mempunyai sifat insektisidal. Toksin yang telah aktif berinteraksi dengan
sel-sel epithelium di midgut serangga. Toksin B. thuringiensis menyebabkan
terbentuknya pori-pori (lubang yang sangat kecil) di sel membran di saluran
pencernaan dan mengganggu keseimbangan osmotik dari selsel tersebut. Karena
keseimbangan osmotik terganggu, sel menjadi bengkak dan pecah dan menyebabkan
matinya serangga.
Kristal protein yang dihasilkan oleh B. thuringiensis juga menyebabkan
pembengkakan, pengelupasan, dan kerusakan pada sel-sel epitel usus tengah ulat
grayak. Perubahan yang mendasar pada sel-sel usus tengah yang terinfeksi, yaitu
adanya pembesaran inti, perubahan retikulum endoplasma hingga konfigurasinya
menyerupai vakuola, serta peluruhan atau tidak bersatunya mikrofili. Sebagian strain
dapat digunakan untuk bioinsektisida pada larva Ordo Lepidoptera
serangga yang peka terhadap bakteri B. thuringiensis termasuk mempunyai
saluran pencernaan yang bersifat alkali, menghasilkan mineral dan enzim yang dapat
menghidrolisis kristal protoksin menjadi toksin. Komponen toksin B. thuringiensis
disebut delta endotoksin. Delta endotoksin berikatan dengan sel yang menempel pada
dinding membran usus membentuk lubang pada membran dan mengganggu
keseimbangan ion dalam usus. Larva serangga akan berhenti makan kemudian mati.
Pembengkakan disebabkan oleh banyaknya kation yang memasuki sel epitel melalui
pori-pori yang dibentuk toksin yang diduga spesifik terhadap kation seperti K+ dan
Na+. Banyaknya kation dalam sel menyebabkan ketidakseimbangan osmotik
sehingga menyebabkani lisis.
Nama : Fitrianti Indasari S

NIM : H411 16 505

“ Bioinsektisida yang diperoleh dari Mikroorgnisme”

Nama : Fitrianti Indasari S

NIM : H411 16 505

“ Bioinsektisida yang diperoleh dari Mikroorgnisme”

PRODUKSI BIOINSEKTISIDA oleh Bacillus thuringiensis MENGGUNAKAN


KULTIVASI MEDIA PADAT

Di Indonesia industri bioinsektisida dengan bahan aktif B. thuringiensis belum


berkembang, oleh sebab itu perlu dilakukan upaya agar dapat memproduksi
bioinsektisida pada skala industri dengan mudah, sehingga dapat menghindari
ketergantungan akan bahan-bahan impor.
B. thuringiensis merupakan bioinsektisida mikrobial yang cukup banyak
digunakan dibandingkan yang berasal dari mikroba yang lain. Bakteri ini adalah
bakteri Gram positif, berbentuk batang, dan memiliki kemampuan menghasilkan
kristal protein selama masa sporulasinya. Sebagai pengendali hayati, spora dan kristal
protein ini dapat bersifat racun pada sistem pencernaan serangga. Limbah industri
tahu dapat menjadi alternatif untuk media perbanyakan inokulum (starter) Bacillus
thuringiensis, karena ditinjau dari komposisi kimianya mengandung air 98,63%,
nitrogen 0,02%, karbon 0,27% dan mineral 0,43%. Bahan-bahan tersebut
diperlukan pada pertumbuhan sel baru, spora dan toksin.
Pembentukan spora oleh Bacillus thuringiensis selama kultivasi merupakan
hal yang sangat penting dalam proses produksi bioinsektisida. Bacillus thuringiensis
akan membentuk spora bersamaan dengan terbentuknya kristal protein yang berfungsi
sebagai bahan aktif pada bioinsektisida. Oleh sebab itu semakin banyak spora yang
terbentuk maka diharapkan makin tinggi jumlah kristal protein yang dihasilkan,
sehingga dengan melihat jumlah spora yang terbentuk dapat digunakan untuk
menentukan waktu panen sebagai indikator bahwa produk telah terbentuk. Hal ini
karena kristal protein akan lisis dari dinding sel pada masa akhir sporulasi.
B.thuringiensis membutuhkan sumber karbon, nitrogen dan mineral seperti
Ca, Mg, Mn, Fe, dan Zn untuk pertumbuhan sel vegetatif dan menghasilkan
endotoksin. Ampas sagu dan ampas iles-iles dapat dimanfaatkan sebagai substrat
karena juga mengandung jenis mineral yang dibutuhkan.
Ketebalan media kultivasi untuk memproduksi bioinsektisida mempengaruhi
kinerja Bacillus thuringiensis, semakin tebal media menyebabkan pH media semakin
rendah, jumlah sel dan spora yang dihasilkan semakin rendah. Begitu pula
kemampuan toksisitas semakin menurun. Bioinsektisida yang dihasilkan memiliki
daya toksisitas terhadap larva Crocidolomia pavonana (golongan Lepidoptera) dan
larva Aedes aegepty (golongan Diptera), dan memiliki potensi lebih tinggi terhadap
larva Aedes aegepty.

Anda mungkin juga menyukai