Anda di halaman 1dari 9

PENGENDALIAN VEKTOR DAN TIKUS

PENGGUNAAN PESTISIDA DALAM PENGENDALIAN


VEKTOR

Disusun Oleh:

Kelompok 5
Menik Apriyani (P23133015038)
Olivia Maryani (P23133015046)
Pamungkas Laras Basoka (P23133015047)
Oktaviani Andarista (P23133015059)
Vivi Astuti (P23133015067)
Zuraida Nur Kholifah (P23133015072)

2 D3B – KESEHATAN LINGKUNGAN

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES JAKARTA II


Jln. Hang Jebat III/F3 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta
12120
Telp. (021) 7395331

Tahun 2016
Vektor dan Pengendalian Vektor

Vektor penyakit adalah serangga penyebar penyakit atau arthropoda yang dapat
memindahkan/ menularkan agen infeksi dari sumber infeksi kepada host yang rentan. Penyakit
tular vektor merupakan penyakit yang menular melalui hewan perantara (vektor) penyakit.
Contohnya antara lain malaria, Demam Berdarah Dengue, Chikungunya, Japanese B
Encephalitis (radang otak), filariasis limfatik (kaki gajah)

Pengendalian vektor adalah suatu kegiatan untuk menurunkan kepadatan populasi vektor pada
tingkat yang tidak lagi membahayakan bagi kesehatan manusia (Slamet JS, 1994).

Penggunaan Pestisida dalam Pengendalian Vektor


Pestisida adalah substansi (zat) kimia yang digunakan untuk membunuh atau
mengendalikan berbagai hama. Berdasarkan asal katanya pestisida berasal dari bahasa inggris
yaitu pest berarti hama dan cida berarti pembunuh.
Pestisida adalah bahan-bahan kimia yang digunakan untuk membasmi serangga
“insetisida”,tumbuh-tumbuhan “herbisida”, jamur dan lumut “fungisida”, tikus besar dan kecil
“rodentisida”, kutu “akarisida”, bakteri “bakterisida”, burung “avisida”, cacing gelang
“nematisida”, atau bahan lain yang digunakan untuk membunuh binatang yang tidak
dikehendaki, yang sengaja ditambahkan kelingkungan.

Menurut FAO 1986 & PP RI No. 7, 1973, Pestisida adalah campuran bahan kimia yang
digunakan untuk mencegah, membasmi dan mengendalikakn hewan/tumbuhan pengganggu
seperti binatang pengerat, termasuk serangga penyebar penyakit, dengan tujuan kesejahteraan
manusia.

Penanggulangan penyakit tular vektor selain dapat dilakukan dengan melakukan


pengobatan terhadap penderita, juga dilakukan upaya-upaya pengendalian vektor termasuk
upaya mencegah kontak dengan vektor guna mencegah penularan penyakit. Satu di antaranya
adalah cara pengendalian vektor adalah dengan menggunakan insektisida.
INSEKTISIDA

Pengertian Insektisida

Insektisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun yang bisa
mematikan semua jenis serangga (Wudianto, Rini ,1997). Sedangkan menurut Soemirat (2003)
Insektisida merupakan pestisida atau bagian dari pestisida yang berfungsi untuk mengendalikan
dan mengontrol hama serangga. Insektisida dapat memengaruhi pertumbuhan,
perkembangan, tingkah laku, perkembangbiakan, kesehatan, sistem hormon, sistem
pencernaan, serta aktivitas biologis lainnya hingga berujung pada kematian serangga
pengganggu tanaman. Insektisida termasuk salah satu jenis pestisida.

Dalam Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 1973 tentang Pengawasan atas


Peredaran, Penyimpanan dan Penggunaan Insektisida, insektisida adalah semua zat kimia
dan bahan lain serta jasad renik, serta virus yang dipergunakan untuk memberantas atau
mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia.

Insektisida kesehatan masyarakat adalah insektisida yang digunakan untuk


pengendalian vektor penyakit dan hama permukiman seperti nyamuk, serangga
pengganggu lain (lalat, kecoak/lipas), tikus, dan lain-lain yang dilakukan di daerah
permukiman endemis, pelabuhan, bandara, dan tempat-tempat umum lainnya.

Aplikasi pengendalian vektor penyakit secara umum dikenal dua jenis insektisida
yang bersifat kontak/non-residual dan insektisida residual. Insektisida kontak/non-
residual merupakan insektisida yang langsung berkontak dengan tubuh serangga saat
diaplikasikan. Aplikasi kontak langsung dapat berupa penyemprotan udara (space spray)
seperti pengkabutan panas (thermal fogging), dan pengkabutan dingin (cold fogging) /
ultra low volume (ULV). Jenis-jenis formulasi yang biasa digunakan untuk aplikasi kontak
langsung adalah emusifiable concentrate (EC), microemulsion (ME), emulsion (EW), ultra
low volume (UL) dan beberapa Insektisida siap pakai seperti aerosol (AE), anti nyamuk
bakar (MC), liquid vaporizer (LV), mat vaporizer (MV) dan smoke. Insektisida residual
adalah Insektisida yang diaplikasikan pada permukaan suatu tempat dengan harapan
apabila serangga melewati/hinggap pada permukaan tersebut akan terpapar dan akhirnya
mati. Umumnya insektisida yang bersifat residual adalah Insektisida dalam formulasi
wettable powder (WP), water dispersible granule (WG), suspension concentrate (SC),
capsule suspension (CS), dan serbuk (DP).

Cara kerja Insektisida dalam tubuh serangga dikenal istilah mode of action dan cara
masuk atau mode of entry. Mode of action adalah cara Insektisida memberikan pengaruh
melalui titik tangkap (target site) di dalam tubuh serangga. Titik tangkap pada serangga
biasanya berupa enzim atau protein. Beberapa jenis Insektisida dapat mempengaruhi
lebih dari satu titik tangkap pada serangga.

Cara kerja Insektisida yang digunakan dalam pengendalian vektor terbagi dalam 5
kelompok yaitu:
1). mempengaruhi sistem saraf
2). menghambat produksi energi
3). mempengaruhi sistem endokrin
4). menghambat produksi kutikula dan
5). menghambat keseimbangan air.

Pengetahuan mengenai cara kerja ini bermanfaat dalam memilih dan merotasi insektisida
yang ada untuk mendapatkan hasil yang optimal dalam rangka pengelolaan resistensi
(resistance management).

Mode of entry adalah cara insektisida masuk ke dalam tubuh serangga, dapat melalui
kutikula (racun kontak), alat pencernaan (racun perut), atau lubang pernafasan (racun
pernafasan). Meskipun demikian suatu Insektisida dapat mempunyai satu atau lebih cara
masuk ke dalam tubuh serangga.

Pemilihan Insektisida

Keberhasilan suatu pengendalian memerlukan pengetahuan tentang hubungan


antara vektor, jenis formulasi insektisida serta cara aplikasinya.
Jenis insektisida untuk pengendalian vektor:

1. Organofosfat (OP).
Insektisida ini bekerja dengan menghambat enzim kholinesterase. OP banyak digunakan
dalam kegiatan pengendalian vektor, baik untuk space spraying, IRS, maupun
larvasidasi. Contoh: malation, fenitrotion, temefos, metil-pirimifos, dan lain lain.
2. Karbamat.
Cara kerja Insektisida ini identik dengan OP, namun bersifat reversible (pulih kembali)
sehingga relatif lebih aman dibandingkan OP. Contoh: bendiocarb, propoksur, dan lain
lain.
3. Piretroid (SP)
Insektisida ini lebih dikenal sebagai synthetic pyretroid (SP) yang bekerja mengganggu
sistem syaraf. Golongan SP banyak digunakan dalam pengendalian vector untuk
serangga dewasa (space spraying dan IRS), kelambu celup atau Insecticide Treated Net
(ITN), Long Lasting Insecticidal Net (LLIN), dan berbagai formulasi Insektisida rumah
tangga. Contoh: metoflutrin, transflutrin, d-fenotrin, lamda-sihalotrin, permetrin,
sipermetrin, deltametrin, etofenproks, dan lain-lain.
4. Mikroba
Kelompok Insektisida ini berasal dari mikroorganisme yang berperan
sebagai insektisida. Contoh: Bacillus thuringiensis var israelensis (Bti), Bacillus
sphaericus (BS), abamektin, spinosad, dan lain-lain.
BTI bekerja sebagai racun perut, setelah tertelan kristal endotoksin larut
yang mengakibatkan sel epitel rusak dan serangga berhenti makan lalu mati. BS bekerja
sama dengan BTI, namun bakteri ini diyakini mampu mendaur ulang diri di air akibat
proliferasi dari spora dalam tubuh serangga, sehingga mempunyai residu jangka
panjang. BS stabil pada air kotor atau air dengan kadar bahan organik tinggi.
Abamektin adalah bahan aktif insektisida yang dihasilkan oleh bakteri tanah
Streptomyces avermitilis. Sasaran dari abamektin adalah reseptor γ-aminobutiric acid
(GABA) pada sistem saraf tepi. Insektisida ini merangsang pelepasan GABA yang
mengakibatkan kelumpuhan pada serangga.
Spinosad dihasilkan dari fermentasi jamur aktinomisetes Saccharopolyspora
spinosa, sangat toksik terhadap larva Aedes and Anopheles dengan residu cukup lama.
Spinosad bekerja pada postsynaptic nicotonic acetylcholine dan GABA reseptor yang
mengakibatkan tremor, paralisis dan kematian serangga.
5. Neonikotinoid.
Insektisida ini mirip dengan nikotin, bekerja pada sistem saraf pusat serangga yang
menyebabkan gangguan pada reseptor post synaptic acetilcholin. Contoh: imidakloprid,
tiametoksam, klotianidin dan lain-lain.
6. Fenilpirasol
Insektisida ini bekerja memblokir celah klorida pada neuron yang diatur oleh GABA,
sehingga berdampak perlambatan pengaruh GABA pada sistem saraf serangga. Contoh:
fipronil dan lain-lain
7. Nabati
Insektisida nabati merupakan kelompok Insektisida yang berasal dari tanaman Contoh:
piretrum atau piretrin, nikotin, rotenon, limonen, azadirachtin, sereh wangi dan lain-
lain.
8. Repelen
Repelen adalah bahan yang diaplikasikan langsung ke kulit, pakaian atau lainnya untuk
mencegah kontak dengan serangga. Contoh: DEET, etil-butil-asetilamino propionat dan
ikaridin. Repelen dari bahan alam adalah minyak sereh/sitronela (citronella oil) dan
minyak eukaliptus (lemon eucalyptus oil).

Insektisida juga dibagi-bagi menurut cara mematikannya atau melumpuhkan


serangga menurut matsumura (1985) dan Tarumingkeng (1992) sebagi berikut;
a. Racun Fisik
Racun fisk membunuh serangga dengan cara yang tidak khas. Misalnya minyak bumi
dan debu inert dapat menutup lubang-lubang pernapasan serangga, sehingga
serangga mati lemas kekurangan oksigen. Minyak bumi dapat menutupi permukaan
air, sehingga jentik-jentik nyamuk tidak bisa mengambil udara dan mati karena
kukurangan oksigen. Debu yang higroskopis (misalnya bubuk karbon) dapat
membunuh serangga karna debu yang menempel dikulit serangga menyerap cairan
dari tubuh serangga secara berlebihan.
b. Racun protoplasma
Yang termasuk racun protoplasma dalah logam berat, asam, dan sebagainya.
c. Penghambat metabolisme
Yang termasuk insektisida penghambat metabolisme adalah sebagai berikut.
1) Racun pernapasan : HCN, H2S,rotenon dan fumigansia lainnya.
2) Penghambat mixed function oxidase.
3) Penghambat metabolisme amina : klordimefon
4) Penghambat sintesa khitin: lufenuron, dsb
5) Peniru hormon: juvenile hormone, dsb
6) Racun syaraf (neurotoksin), racun syaraf bekerja mempengaruhi sistem syaraf
serangga (menghambat kholinesterase), sehingga menimbulkan berturut-turut,
eksitasi ( kegelisahan), konvulsi (kekejangan), parilis (kelumpuhan) dan akhirnya
kematian. Misalnya : organofosfat, karbamat, dan piretroid.
d. Peniru hormon :metoprene
e. Racun perut : Bacillus thuringiensis

Metode kimia dengan insektisida sintetis termasuk cara paling umum yang digunakan
dalam praktek sehari-hari. Kelebihan penggunaan insektisida sintetis selama ini terletak pada
kemampuannya untuk mengendalikan serangan hama pasca panen secara cepat dan efektif.
Akan tetapi insektisida sintetis juga mempunyai beberapa kekurangan yaitu selain biaya yang
mahal juga menimbulkan masalah lain. Akibat dari pemakaian insektisida sintetis antara lain :
1) adanya bahaya residu dalam lingkungan
2) timbulnya resitensi serangga terhadap insektisida sintetis;
3) adanya bahaya insektisida bagi organisme bukan target; dan
4) adanya dampak penurunan populasi biang pengendali hama seperti parasit dan predator
(Hascoet, 1988).
Resistensi Serangga Terhadap Insektisida

Resisten adalah kemampuan serangga atau organisme lain untuk bertahan hidup
terhadap pengaruh insektisida. Populasi suatu serangga yang dikendalikan, pada mulanya
rentan terhadap insektisida yang digunakan untuk memberantasnya. Pada beberapa generasi,
keampuhan dari insektisida itu semakin menurun sebab serangganya semakin toleran terhadap
insektisida dan akhirnya tidak berdayaguna lagi sebab serangga yang diberantas sudah menjadi
resisten terhadap insektisida yang digunakan (Brown dan Pal, 1971).
Daftar Pustaka

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.2012. Pedoman Penggunaan Insektisida (Pestisida)


Dalam Pengendalian Vektor. Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

(http://id.wikipedia.org/wiki/Insektisida).

http://fk.uwks.ac.id/archieve/jurnal/vol1.no2.Juli2011/RESISTENSI%20SERANGGA
%20TERHADAP%20DDT.pdf

Anda mungkin juga menyukai