Anda di halaman 1dari 23

Laporan Praktikum Toksikologi

PEMANFAATAN EKSTRAK DAUN SIRSAK (Annona muricata)


TERHADAP MORTALITAS LARVA NYAMUK (Aedes sp.)

Disusun Oleh :
PARTNER 2

Nama Nim
Irma Rahmadani 180805008

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020
Lembar Pengesahan

PEMANFAATAN EKSTRAK DAUN SIRSAK (Annona muricata)


TERHADAP MORTALITAS LARVA NYAMUK (Aedes sp.)

Disusun Oleh :
PARTNER 2

Nama Nim
Irma Rahmadani 180805008

Medan, 08 Desember 2020


Asisten

(Santi Mariani Napitupulu)


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit DBD dapat menyerang semua golongan umur. Mekanisme
penularan DBD adalah jika nyamuk Aegypti menggigit penderita DBD, maka virus
akan masuk ke dalam lambung nyamuk,kemudian virus akan memperbanyak diri
dan tersebar di berbagai jaringan tubuh nyamuk termasuk antara lain di kelenjar air
liur nyamuk. Setelah seminggu menghisap darah manusia maka nyamuk tersebut siap
untuk menularkan ke orang lain. Penularan ini terjadi karena setiap kali menggigit
dan sebelum menghisap darah maka nyamuk akan mengeluarkan kelenjar liurnya
dari probosis agar darah yang telah terisap tidak membeku kemudian bersama air liur
ini pada virus dengue dapat di pindahkan dari nyamuk ke orang lain. Indonesia
termasuk negara endemik DBD. Kondisi alam indonesia yang berada di daerah
tropik, sangat cocok untuk perkembangbiakan nyamuk termasuk Aegypti sebagai
vektor penyakit DBD (Mubarak, 2020).
Kematian larva Aedes aegypti pada ekstrak daun sirsak lebih besar dibanding
ekstrak daun sirih. Hal ini karena kandungan bahan aktif yang terdapat dalam
larvasida nabati tersebut berbeda sehingga mempengaruhi jumlah kematian larva
Aedes aegypti. Kandungan bahan aktif pada daun sirsak mempunyai daya bunuh
yang lebih tinggi dibanding daun sirih. Secara teoritis kandungan bahan aktif pada
daun sirsak yaitu senyawa flavonoid, alkaloid, acetogenin, asimisin dan bulatacin.
Daun sirih mengandung minyak atsiri dengan kandungan kimianya sebesar 4,2%
dimana komponen utamanya terdiri atas fenol dan senyawa turunannya seperti
kavinol dengan kandungan kimia. Senyawa yang ada dalam larvasida nabati
mempunyai sifat racun. Racun ini bekerja seperti racun kontak yang dapat
memberikan kematian, karena kehilangan cairan secara terus menerus sehingga
tubuh larva akhirnya menimbulkan kematian. Kematian larva pada ekstrak daun
sirsak lebih tinggi dibanding ekstrak daun sirih. Hal ini karena kandungan bahan
aktif yang terdapat dalam larvasida nabati tersebut yang berbeda-beda. Daun sirsak
memiliki kandungan bahan aktif yaitu senyawa flavonoid, akjaloid, acetogenin,
asimisin dan bulatacin (Prastha et al., 2015).
1.2 Tujuan Praktikum
Tujuan dari praktikum ini adalah:
a. Untuk mengetahui jumlah mortalitas larva nyamuk Aedes sp. pada tahap
konsentrasi.
b. Untuk mengetahui nilai LC50 dari ekstrak daun sirsak (Annona muricata)
yang digunakan.
c. Untuk mengetahui efek pemberian ekstrak daun sirsak (Annona muricata)
terhadap mortalitas larva nyamuk (Aedes sp.).

1.3 Manfaat Praktikum

Manfaat dari praktikum ini adalah:

a. Dapat mengetahui jumlah mortalitas larva nyamuk Aedes sp. pada tahap
konsentrasi
b. Dapat mengetahui nilai LC50 dari ekstrak daun sirsak (Annona muricata)
yang digunakan
c. Dapat mengetahui efek pemberian ekstrak daun sirsak (Annona
muricata) terhadap mortalitas larva nyamuk (Aedes sp.).
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uji Toksisitas


Pengujian toksisitas penting dilakukan untuk memperkirakan derajat
kerusakan yang diakibatkan suatu senyawa terhadap material biologik maupun
nonbiologik. Pengujian toksisitas secara umum ditujukan untuk mengetahu efek yang
tidak dikehendaki oleh suatu obat terutama terhadap kejadian kanker, gangguan
jantung dan iritasi kulit atau mata. United States of Food and Drug Administration
(FDA) menyatakan bahwa skrining dilakukan terhadap senyawa yang berpotensi
obat atau toksik pada hewan. Pengujian toksisitas akut dilakukan untuk menentukan
efek dari pemberian dosis tunggal suatu senyawa pada hewan. Umumnya
direkomendasikan pengujian ini dilakukan terhadap dua jenis hewan (rodensia dan
non rodensia). Uji toksisitas in vivo tetap diperlukan karena memiliki beberapa
keuntungan diantaranya adalah akan diperoleh data-data yang berhubungan dengan
kondisi fisiologi dan biokimia normal dan hasil pengujian in vivo hewan coba dapat
diinterpolasikan ke manusia atau sebagai bahan prediksi toksikologi untuk hewan
domestik dan ternak (Sasmito et al., 2015).
Saat ini Indonesia mempunyai laboratorium penyakit terlengkap. Berbagai
penyakit muncul ke permukaan, mulai dari penyakit infeksi, penyakit degeneratif,
dan penyakit baru semacam campak Jerman, dan sindrom pernapasan akut parah
(SARS). Kesehatan merupakan unsur utama pembangunan sumber daya manusia
(SDM), dan sudah saatnya pembangunan dilihat dari kualitas SDM-nya. Salah satu
bidang baru dalam farmakologi yang masih dalam tingkat eksplorasi dan perdebatan
adalah obat tradisional dan obat modern. Uji toksisitas adalah salah satu uji praklinik
yang dilakukan. Uji ini dirancang untuk menentukan efek toksik dari suatu senyawa
yang akan terjadi dalam waktu yang singkat setelah pemajanan atau pemberiannya
dalam takaran tertentu. Data kuantitatif yang diperoleh dari uji toksisitas akut ini
adalah LD50 (lethal dose 50). Berdasar dari data LD50, suatu senyawa dapat
digolongkan sebagai bahan yang sangat toksik (extremely toxic) hingga bahan yang
tidak toksik (practically non toxic). Data kualitatif yang diperoleh meliputi
penampakan klinis, morfologis, dan mekanisme efek toksik (Makiyah et al., 2017).
2.2 Aedes aegypti

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh


infeksi virus yang secara endemis berada di Indonesia dan telah menimbulkan
persoalan kesehatan masyarakat. Infeksi virus DBD terjadi melalui gigitan nyamuk
Aedes aegypti dan Aedes albopictus, yang ditandai dengan demam mendadak 2
sampai 7 hari tanpa penyebab yang jelas, lemah atau lesu, gelisah, nyeri ulu hati,
disertai tanda perdarahan di kulit berupa bintik perdarahan (petechie), lebam
(echymosis), atau ruam (purpura) Pemberantasan Aedes aegypti dapat dilakukan
terhadap nyamuk dewasa atau jentiknya. Pemberantasan terhadap jentik dapat
dilakukan dengan cara kimia, biologi, dan fisik. Pemberantasan dengan cara kimia
saat ini dapat dilakukan dengan larvasida yang dikenal dengan istilah abatisasi.
Larvasida yang biasa digunakan adalah temefos. Temefos merupakan jenis
insektisida yang tergolong ke dalam organofosfat, namun penggunaan insektisida
dari bahan kimia ternyata menimbulkan banyak masalah baru diantaranya adalah
pencemaran lingkungan seperti pencemaran air dan resistensi serangga terhadap
insektisida sehingga dampak negatif dari penggunaan insektisida kimia maka perlu
dicari alternatif lain yang lebih aman. Salah satunya adalah dengan menggunakan
insektisida alami. Upaya untuk mencegah dari pemberantasan DBD pada
penggerakan potensi masyarakat untuk dapat berperan serta dalam Pemberantasan
Sarang Nyamuk (PSN) melalui gerakan 3M plus (Menguras, Menutup, Mengubur
dan Menabur larvasida), penyebaran ikan pada tempat penampungan air serta
kegiatankegiatan lainnya yang dapat mencegah/memberantas nyamuk Aedes aegypti
berkembang biak (Kolo et al., 2018).
Indonesia termasuk negara endemik DBD. Kondisi alam indonesia yang
berada di daerah tropik sangat cocok untuk perkembangbiakan nyamuk sebagai
vektor penyakit DBD. Nyamuk aegypti sebagai vektor utama dan albapictus sebagai
vektor sekunder. Keadaan ini memudahkan penyebaran penyakit terutama melalui
mobilitas penduduk dari suatu wilayah ke wilayah lain sehingga semua propinsi di
indonesia mempunyai kota yang endemik DBD. Genus Aedes.sp masuk ke dalam
subfamili culicinae yang terdiri dari 33 genus yang diantaranya terdiri dari culex,
mansonia, haemagogus, sabathes psorophora dan aedes itu sendiri. Nyamuk
tersebar di seluruh dunia yang berjumlah sekitar 950 spesies (Mubarak, 2020).
2.3 Insektisida
Insektisida adalah bahan kimia yang digunakan untuk membrantas serangga.
Untuk memilih jenis insektisida harus memperhatikan berbagai faktor agar tepat
sasaran dan tidak menimbulkan dampak negatif misalnya pencemaran lingkungan.
Salah satunya adalah menggunakan insektisida sintesis, yaitu menggunakan bahan
alami yang berasal dari tumbuhan akar, batang, daun atau biji. Pengendalian nyamuk
bisa dilakukan dengan berbagai cara yaitu pengedalian secara mekanis, biologis, dan
kiwi. Salah satu pengendalian nyamuk yang sederhana dan sering dilaku masyarakat
adalah secara kimiawi atau menggunakan insektisida. Namun, pemberantasan
nyamuk dengan menggunakan insektisida kimia telah banyak menimbulkan dampak
negatif antara lain peningkatan resistensi nyamuk. Pencemaran lingkungan,
keracunan, kematian makhluk bukan residu. Berbagai sektor pembangunan, seperti
sektor pertanian dan kesehatan. Dari hasil ke giatan, deteksi dan pemantauan,
resistensi jumlah dan keragaman jenis serangga yang menunjukkan ketahanan
terhadap satu atau beberapa jenis atau kelompok pestisida semakin meningkat. Setiap
jenis organisme, termasuk Aedes aegypti, yang mempunyai kemampuan
mengembangkan populasi yang tahan terhadap pestisida (Susiwati, 2015).
Pengendalian vektor tergantung pada penggunaan insektisida serangga yang
diaplikasikan terhadap larva nyamuk. Larvasida seperti temephos organofosfat telah
banyak digunakan dalam program kesehatan masyarakat. Bahan insektisida seperti
temephos organofosfat telah diberlakukan sebagai program kesehatan masyarakat
dan memang memiliki efektifitas yang tinggi untuk menurunkan jumlah vektor
nyamuk di masyarakat, namun karena penggunaannya yang berulang-ulang dapat
memberikan dampak resisten untuk vektor itu sendiri. Dalam rangka meningkatkan
pilihan yang dapat digunakan dalam kesehatan masyarakat sangat dibutuhkan
larvasida yang dapat menghindari masalah tersebut. Insektisida yang ideal haruslah
efektif, efisien, ramah lingkungan, dan tentunya tidak memberikan efek toksisitas
yang tinggi terhadap organisme non target. Terdapat empat metode pengendalian
vektor, salah satunya adalah metode kontrol biologis dengan menggunakan bahan-
bahan alami. Penggunaan tanaman untuk mengendalikan hama serangga telah
banyak digunakan oleh masyarakat tradisional zaman dahulu. Seperti halnya minyak
sereh yang telah. banyak digunakan secara luas sebagai penolak serangga dengan
metabolit sekunder yang dihasilkannya (Astriani et al., 2016).
2.4 Ekstrak Daun Terhadap Larva Nyamuk
Indonesia memiliki sumber keanekaragaman hayati yang sangat tinggi,
termasuk jenis tumbuhan yang mempunyai bahan aktif untuk dikembangkan sebagai
larvasida nabati, senyawa yang terkandung dalam tumbuhan dan diduga berfungsi
sebagai larvasida diantaranya adalah golongan sianida, saponin, tanin, flavonoid,
alkaloid, minyak atsiri dan steroid. Annona muricata mampu menghambat
pertumbuhan larva menjadi stadium pupa dan dewasa. Diperlukan konsentrasi antara
0.03008%-0.03823% untuk membunuh 50% larva A. aegypti dan diperlukan
konsentrasi berkisar antara 0.05632%-0.8324% untuk membunuh 90% larva A.
aegypti. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang efektifitas ekstrak-
metanol daun sirsak sebagai dasar pengendalian nyamuk A. aegypti. Sehingga, untuk
tujuan jangka panjang daun sirsak diharapkan dapat digunakan sebagai larvasida
botan. Ekstrak daun sirih (Piper betle Linn) merupakan larvasida alami yang
mengandung senyawa kimia seperti minyak atsiri sebanyak 4,2%, dengan komponen
utamanya fenon dan senyawa turunannya kavinol, karvanol, alkoloid, flavonoid,
sapori, tanin, dan eugeneol. Dalam daun sirih terkandung beberapa senyawa seperti
minyak atsiri, ciniole, dan yang terpenting adalah senyawa alkaloid. Senyawa inilah
yang nantinya dapat digunakan untuk membasmi larva nyamuk. pemilihan larva
Aedes aegypti instar III karena larva tersebut telah memiliki organ tubuh larva yang
sudah lengkap terbentuk dan relatif stabil terhadap pengaruh lingkungan. Percobaan
dilakukan pengulangan sebanyak tiga kali (Prastha et al., 2015).
Kondisi ekstraksi efek sovent ekstraksi pelarut lebih sering digunakan untuk
isolasi antioksidan dan baik hasil ekstraksi maupun aktivitas antioksidan ekstrak
sangat bergantung pada pelarut, karena potensi antioksidan yang berbeda dari
senyawa dengan polaritas yang berbeda. Pelarut apolar adalah salah satu pelarut
paling umum untuk menghilangkan polifenol dari air. Etil asetat dan dietil eter telah
digunakan untuk ekstraksi fenol dengan berat molekul rendah. sohvent yang
digunakan berpengaruh nyata terhadap aktivitas antioksidan, kandungan pheriolic
total, koefisien rendemen dan partisi ekstrak daun sirsak. Suhu ekstraksi
mempengaruhi stabilitas senyawa karena dekomposisi senyawa fenolik Kandungan
fenolik total mengkonfirmasi temuan ini. Ekstrak dengan pelarut yang memiliki
polaritas lebih tinggi ternyata mengandung senyawa fenolik (Rao, 2012).
2.5 Demam Berdarah Dengue (DBD)
Demam Berdarah Dengue dan Sindrom Berat Demam Berdarah Dengue dan
Sindroma Syok Dengue (DBD / DSS) terus menyebar secara geografis dan
insidensinya terus meningkat. Mereka adalah penyakit yang muncul kembali paling
umum dan infeksi arbovirus yang paling umum. Sampai vaksin dengue yang aman
dan efektif tersedia, satu-satunya pilihan untuk mencegah infeksi dengue adalah
pengendalian vektor nyamuk secara efektif. Sebagian besar negara endemik demam
berdarah memiliki program pengendalian vektor operasional. Pengorganisasian,
strategi, metode dan efektivitas program-program ini akan ditinjau secara singkat
dalam bab ini. Semua vektor demam berdarah adalah anggota Aedes subgenus
Stegomyia. Aedes aegypti merupakan vektor terpenting di hampir semua negara
endemik DBD. Spesies lain, seperti Ae. albopictus dan Ae. polynesiensis, berfungsi
sebagai vektor di wilayah geografis terbatas. Pengendalian vektor demam berdarah
dengan demikian terutama ditujukan pada Ae. aegypti. Ae. aegypti juga merupakan
vektor demam kuning dan chikungunya, dan telah dideskripsikan sebagai vektor
virus West Nile di Madagaskar. Operasi pengendalian vektor berusaha untuk
mengurangi kepadatan populasi nyamuk dewasa ke tingkat yang tidak mendukung
penularan, atau tidak (Halstead, 2008).
Nyamuk umumnya banyak bersarang di lingkungan yang lembab, dingin, dan
gelap, untuk itu perlu adanya pencegahan secara dini mulai dari diri sendiri hingga
lingkungan sekitar seperti pengaturan sirkulasi udara dan pencahayaan yang baik,
mengurangi potensi tempat-tempat gelap sebagai sarang nyamuk, menghilangkan
genangan air yang bisa jadi tempat berkembang biak dan pemanfaatan tanaman-
tanaman yang ada di sekitar kita sebagai larvasida alami yang mampu mengusir
nyamuk demam berdarah. Masyarakat cenderung menggunakan obat anti nyamuk
berbahan kimia yang beredar di pasaran sebagai salah satu cara mengusir dan
mencegah berkembangnya nyamuk Aedes aegypti. Obat anti nyamuk kimia
umumnya mengandung zat fumigan, DEET, piretroid, propoksur, dan lain-lain.
Kandungan tersebut sangat berbahaya karena dapat menimbulkan efek toksik baik
lokal maupun sistemik terhadap manusia. Penggunaan obat nyamuk dengan bahan
kima tidak hanya merugikan bagi manusia, akan tetapi juga mengakibatkan
resestensi terhadap nyamuk itu sendiri (Aseptianova et al., 2017).
BAB 3
BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat


Praktikum Toksikologi dilaksanakan pada hari Selasa, 24 November 2020
sampai 27 November 2020 pukul 14.00 WIB sampai dengan selesai di Jl. Karya
Wisata Sumatera Utara, Medan.

3.2 Alat dan Bahan


Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah timbangan, blender, beaker
glass, gelas ukur, botol selai, nampan, pisau cutter, gunting, kain saring, serbet dan
pipet tetes plastik. Sedangkan bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah
daun sirsak (Annona muricata), larva nyamuk (Aedes sp.) instar 2 dan 3, label
tempel dan aquadest.

3.3 Metode Percobaan


3.3.1 Pembuatan Ekstrak
Dibersihkan daun dari pertulangan daun dan kemudian ditimbang sebanyak
200 gram. Kemudian dipotong kecil-kecil daun sebelum ditumbuk atau blender.
Dihaluskan sampel menggunakan alu atau blender sampai halus dan berair. Dan
disaring sampel dengan menggunakan saringan atau kain saring sampai
memperoleh ekstrak. Dilakukan pembuatan konsentrasi.

3.3.2 Pembuatan Konsentrasi


Setelah didapatkan ekstrak, kemudian disediakan botol selai sebanyak 18
botol untuk konsentrasi ekstrak 0%, 5%, 10%, 15%, 20%, dan 25% yang masing-
masing 3 ulangan. Diukur ekstrak sebanyak 0ml (untuk 0%), 5ml (untuk 5%), 10ml
(untuk 10%), 15ml (untuk 15%), 20 ml (untuk 20%), dan 25ml (untuk 25%). Dan
masing-masing dituang ke dalam botol selai yang sudah berisikan ekstrak. Diaduk
agar homogen. Kemudian, diukur aquades masing-masing 100ml (untuk 0%), 95ml
(untuk 5%), 90ml (untuk 10%), 85ml (untuk 15%), 80ml (untuk 20%), 75ml (untuk
25%), dan dituang ke dalam botol selai. Setelah itu, diambil larva instar 2 dan 3
dengan menggunakan pipet tetes plastik dan kemudian dimasukkan ke dalam
masing-masing botol selai sebanyak 10 ekor larva instar 2 dan 3.
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Grafik Hasil Pengamatan

Grafik Hasil Pengamatan Kematian Larva


6
Jumlah Kematian Larva

5 0%
4 5%

3 10%

2 15%
20%
1
25%
0
0 Jam 24 Jam 48 Jam 72 Jam

Berdasarkan Grafik 4.1 dapat dilihat bahwa jumlah kematian tertinggi larva
uji terjadi pada kurun waktu 24 jam dan didapatkan hasil pada konsentrasi ekstrak
0%, 5%, 10%, 15%, 20%, dan 25% mengalami kematian larva yang tinggi dengan
jumlah kematian larva uji tertinggi terjadi pada konsentrasi ekstrak 25%.
Menurut Susiwati (2015), senyawa- senyawa bioaktif dari daun sirsak, selain
toksik terhadap serangga juga mudah mengalami biodegredasi dari alam, sehingga
tidak berbahaya bagi lingkungan. Selain buahnya yang dapat langsung dikonsumsi
bagian lain dari pohon sirsak dapat di manfaatkan sebagai tanaman obatuntuk
mengobati berbagai penyakit, insektisida, larvasida, dan lainnya. Daunnya
merupakan bagian yang terbanyak mengandung senyawa annonaceus acetogenin.
Daun sirsak juga mengandung bahan aktif lainnya. Kandungan senyawa
annonaceous acetogenin yang terdapat dalam daun sirsak tersebut diketahui
mempunyai efek insektisida yang bekerja sebagai racun. larva yang mati pada
percobaan memiliki tanda tanda yaitu larva tidak bergerak sama sekali. Tubuhnya
yang berwarna putih kaku dan berada di dasar air. Larva yang di gunakan adlah larva
instar 3 dan 4 karena pada stadium ini ukurannya yang paling besar sehingga sistem
pertahanannya lebih kuat dari pada larva instar 1 dan larva instar 2. Dengan demikian
diperkirakan bahwa ekstrak yang mampu membunuh larva instar 3 dan 4 juga
mampu membunuh larva instar 1 dan larva instar 2.
Menurut Susanti (2015), larvasida merupakan suatu bahan insektisida yang
mampu menghambat siklus hidup atau membunuh stadium larva pada habitat aslinya
atau pada potensial habitatnya. Suatu larvasida nyamuk yang efektif harus memiliki
kerja yang cepat persisten pada berbagai tempat perindukan nyamuk, baik pada air
yang bersih maupun pada air yang tercemar. Selama ini pengendalian nyamuk
sebagai vektor penyakit umumnya dilakukan dengan menggunakan pestisida sintetik.
Menurut Prastha (2015), kematian larva Aedes aegypti pada ekstrak daun
sirsak lebih besar dibanding ekstrak daun sirih. Hal ini karena kandungan bahan aktif
yang terdapat dalam larvasida nabati tersebut berbeda sehingga mempengaruhi
jumlah kematian larva Aedes aegypti. Kandungan bahan aktif pada daun sirsak
mempunyai daya bunuh yang lebih tinggi disbanding daun sirih. Secara teoritis
kandungan bahan aktif pada daun sirsak yaitu senyawa flavonoid, alkaloid,
acetogenin, asimisin dan bulatacin. Daun mengandung minyak atsiri dengan
kandungan kimianya. Ekstrak daun larvasida alami yang mengandung senyawa
kimia seperti minyak atsiri sebanyak 4,2%, dengan komponen utamanya fenon dan
senyawa turunannya kavinol, karvanol, alkoloid, flavonoid, sapori, tanin, dan
eugeneol. Kandungan bahan aktif ekstrak daun ini memiliki daya antibakteri,
antioksidasi, dan fungisida serta berperan sebagai larvasida, penolak serangga
dengan cara kerja sebagai racun kontak dan racun perut. Dalam daun terkandung
beberapa senyawa seperti minyak atsiri, ciniole, dan yang terpenting adalah senyawa
alkaloid. Senyawa inilah yang nantinya dapat digunakan untuk membasmi larva
nyamuk dengan cara kerja mirip bubuk abate.
Menurut Astriani (2016), pengendalian vektor tergantung pada penggunaan
insektisida serangga yang diaplikasikan terhadap larva nyamuk. Larvasida seperti
temephos organofosfat telah banyak digunakan dalam program kesehatan
masyarakat. Bahan insektisida seperti temephos organofosfat telah diberlakukan
sebagai program kesehatan masyarakat dan memang memiliki efektifitas yang tinggi.
Untuk menurunkan jumlah vektor nyamuk di masyarakat, namun karena
penggunaannya yang berulang-ulang dapat memberikan dampak resisten untuk
vektor itu sendiri.
4.2 Hasil Perhitungan Nilai LC50
No. Waktu Nilai LC50 (%)
1. 0 Jam 0
2. 24 Jam 1,683
3. 48 Jam 4,378
4. 72 Jam 18,603
Berdasarkan Tabel 4.2 diatas diketahui bahwa nilai LC50 dianalisis probit
menggunakan SPSS 22. Hasil yang didapatkan berbeda secara signifikan. Pada
pengamatan 24 jam mendapatkan nilai LC50 sebesar 1,683. Pada pengamatan 48 jam
mendapatkan nilai LC50 sebesar 4,378 dan pada pengamatan 72 jam mendapatkan
nilai LC50 sebesar 18,603.
Menurut Astriani (2016), Lethal Concentration (LC50) adalah nilai
konsentrasi yang dapat membunuh 50% dari total larva yang diujikan. World Health
Organization (WHO) telah menerbitkan pedoman laboratorium pada tahun 2005
yang ditujukan untuk bidang pengujian larvasida dengan membuat prosedur
mekanisme pengujian larvasida yang baku. Dalam pengujiannya, suatu potensi
senyawa sebagai insektisida harus dibandingkan dengan insektisida lainnya. Sampai
saat ini WHO belum menetapkan kriteria standar dalam menentukan aktivitas
larvasida alami.
Menurut Ihsan (2017), uji pendahuluan bertujuan untuk menentukan batas
kisaran konsentrasi krisis bahan uji yang digunakan untuk penentuan LC50-96h yaitu
konsentrasi tertinggi dimana hewan uji tidak mengalami kematian, dan konsentrasi
ambang atas yaitu konsentrasi terendah yang menyebabkan kematian 100%. LC50
adalah konsentrasi yang dapat mematikan 50% hewan uji dalam waktu yang relatif
pendek yaitu satu sampai empat hari.
Menurut Jamal (2016), semakin rendah nilai LC50 dan LC90 suatu zat maka
zat tersebut mempunyai aktivitas yang lebih tinggi dalam membunuh hewan uji,
karena zat tersebut perlu konsentrasi yang lebih rendah untuk mematikan hewan
coba. semakin tinggi konsentrasi ekstrak maka semakin banyak jumlah larva Aedes
sp yang mati. Lethal Concentration (LC) 50% adalah konsentrasi yang dapat
menyebabkan kematian 50% larva uji. Lethal Concentration (LC) 90% adalah
konsentrasi yang menyebabkan kematian 90% larva uji. Semakin rendah nilai LC50
dan LC90 suat zat maka zat tersebut mempunyai aktivitas yang lebih tinggi dalam
membunuh hewan uji,
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari praktikum ini adalah:
a. Jumlah mortalitas larva Aedes sp. pada setiap konsentrasi berbeda-beda.
Setelah dilakukan pengamatan selama 72 jam. konsentrasi yang paling efektif
sebagai larvasida alami adalah konsentrasi 25% pada waktu 24 jam
dikarenakan pada konsentrasi ini jumlah larva Aedes sp. banyak yang dapat
bertahan hidup, sementara konsentarsi 5% kurang efektif untuk dijadikan
sebagai larvasida alami dikarenakan jumlah larva Aedes sp. masih banyak
yang bertahan hidup.
b. Nilai LC50 dari ekstrak Annona muricata pada pengamatan 24 jam
mendapatkan nilai LC50 sebesar 1,683. Pada pengamatan 48 jam
mendapatkan nilai LC50 sebesar 4,378 dan pada pengamatan 72 jam
mendapatkan nilai LC50 sebesar 18,603.
c. Efek pemberian ekstrak daun sirsak (Annona muricata) terhadap mortalitas
Aedes sp. tidak memberikan pengaruh yang tampak terhdap nyamuk Aedes
sp. dikarenakan terlalu banyak dicampur dengan aquadest sehingga ekstrak
yang digunakan tidak murni.

5.2 Saran
Saran untuk praktikum ini adalah:
a. Sebaikanya praktikan selanjutnya lebih fokus lagi dalam melakukan
pengamatan.
b. Sebaiknya praktikan selanjutnya lebih berhati-hati lagi dalam melakukan
praktikum.
c. Sebaiknya praktikan selanjutnya lebih teliti lagi dalam praktikum.
DAFTAR PUSTAKA

Aseptianova, Wijayanti TF, Nuraini N. 2017. Efektivitas Pemanfaatn Tanaman


Sebagai Isektisida Elektrik Untuk Mengendalikan Nyamuk Penular Penyakit
DBD. Bioeksperimen. 3(2): 10, 19.
Astriani Y, Mutiara W. 2016. Potensi Tanaman Di Indonesia Sebagai Larvasida
Alami Untuk Aedes Aegypti. Jurnal Potensi Tanaman Indonesia. 8(2): 38-39.
Halstead SB. 2008. Dengue. Imperial College Press. London. Page 361.
Ihsan T, TiVany E, Nailul H, Widia DR, 2018. Uji Toksisitas Akut Dalam Penentuan
LC50-96H Insektisida Klorpirifos Terhadap Dua Jenis Ikan Budidaya Danau
Kembar, Sumatera Barat. Ilmu Lingkungan. 6(1): 100.
Jamal SA, Susilawaty A, Azriful. 2016. Efektivitas Larvasida Ekstrak Kulit Pisang
Raja (Musa paridisiaca var. Raja) Terhadap Larva Aedes sp. Instar III. Jurnal
Higiene. 2(2): 71.
Kolo SMD, Gergonius F, Silvana DRN. 2018. Efektivitas Biolarvasida Ekstrak
Daun Sirsak dan Serai Wangi Terhadap Larva Nyamuk Aedes aegypti. Jurnal
Saintek Lahan Kering. 1(1): 11.
Makiyah A, Sumirat T. 2017. Uji Toksisitas Akut yang Diukur dengan Penentuan
LD50 Ekstrak Etanol Umbi Iles-iles (Amorphophallus variabilis Bl.) Pada
Tikus Putih Strain Wistar. Jurnal MKB.3(49): 146.
Mubarak. 2020. Aedes Aegypti Dan Status Kerentanan. Jawa Timur. Penerbit Qiara
Media. Halaman 7,8,9,23.
Prastha KAI, Aris S. 2015. Efektivitas Larvasida Antara Abate, Ekstrak Daun Sirsak
(Annona Muricata Linn) Dan Ekstrak Daun Sirih (Piper Betle Linn) Terhadap
Kematian Larva Aedes Aegypti Instar 3. Jurnal Keslingmas. 2(34): 176.
Rao V. 2012. Phytochemicals: A Global Perspective of Their Role in Nutrition and
Health. Page 206.
Sasmito WA, Agustina DW, Ida F, Puspa WS. 2015. Pengujian Toksisitas Akut Obat
Herbal Pada Mencit Berdasarkan Organization for Economic Co-operation and
Development (OECD). Jurnal JSV. 33(2): 235.
Susanti M, Hadi K, Laude R. 2015. Uji Aktivitas Larvasida Ekstrak Daun Keladi
Birah (Alocasia Indica Schott) Terhadap Larva Nyamuk Culex sp. Jurnal Sains
dan Kesehatan. 1(1): 5.
Susiwati. 2015. Pengaruh Ekstrak Daun Sirsak (Annona muricata Zinn) Terhadap
Perkembangan Larva Aedes aegypti. Jurnal media kesehatan. 8(2): 169-170.
Lampiran

1. Alat

Timbangan Blender

Beaker Glass Gelas Ukur

Botol Selai Nampan


Cutter Pisau

Gunting Kain Saring

Pipet Tetes Plastik Serbet


Cup Botol
2. Bahan

Larva Instar 2 dan 3 Daun sirsak (Annona muricata)

Label Tempel Aquadest


3. Foto Kerja

Penimbangan Sampel Pembuatan Ekstrak

Penyaringan Ekstrak Ekstrak Yang didapat

Penentuan Konsentrasi Ekstrak Penambahan aquadest


Dimasukan Larva Instar Dilakukan Pengamatan Selama
72 Jam
4. Data Pengamatan Mortalitas Larva
4.1 Tabel Pengamatan Mortalitas Larva ke-1 (0 jam)
No. Ulangan Konsentrasi (%)
0 5 10 15 20 25
1 U1 0 0 0 0 0 0
2 U2 0 0 0 0 0 0
3 U3 0 0 0 0 0 0
Rata-rata 0 0 0 0 0 0

4.2 Tabel Pengamatan Mortalitas Larva ke-2 (24 jam)


No. Ulangan Konsentrasi (%)
0 5 10 15 20 25
1 U1 0 2 3 6 6 5
2 U2 0 1 4 5 3 4
3 U3 0 1 2 5 5 4
Rata-rata 0 1,3 3 5,3 4,6 4,3

4.3 Tabel Pengamatan Mortalitas Larva ke-3 (48 jam)


No. Ulangan Konsentrasi (%)
0 5 10 15 20 25
1 U1 0 2 2 2 3 3
2 U2 0 2 3 1 4 2
3 U3 0 1 2 2 5 3
Rata-rata 0 1,6 2,3 1,6 4 2,6

4.4 Tabel Pengamatan Mortalitas Larva ke-4 (48 jam)


No. Ulangan Konsentrasi (%)
0 5 10 15 20 25
1 U1 0 1 2 0 1 2
2 U2 0 2 1 2 3 4
3 U3 0 2 2 1 0 3
Rata-rata 0 1,6 1,6 1 1,3 3

Anda mungkin juga menyukai