Anda di halaman 1dari 29

1

LAPORAN MINI RISET

METODE UJI RESISTENSI NYAMUK Aedes aegypti TERHADAP


MALATHION DENGAN PENGUJIAN BIOKIMIA

oleh
NISA KHOIRULLISANI
G1B014100

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT
PURWOKERTO
2018
2

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan suatu penyakit menular yang

sampai saat ini masih sering menjangkit masyarakat, terutama di daerah tropis

dan subtropis. Penyakit ini ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti

dan Aedes albopictus sebagai vektor potensial. Menurut World Health

Organization (WHO), Indonesia termasuk ke dalam 30 negara paling endemis

DBD yang berada di peringkat kedua setelah Brazil dengan rata-rata jumlah

kasus DBD pada tahun 2004 – 2010 yaitu 129.435 kasus (WHO, 2012).

Di Indonesia, pada tahun 2016 jumlah penderita DBD yang dilaporkan

sebanyak 204.171 kasus dengan jumlah kematian sebanyak 1.598 orang.

Jumlah tersebut meningkat jika dibandingkan jumlah kasus Tahun 2015 yaitu

sebanyak 129.650 kasus dengan jumlah kematian 1.071 kematian. Incidence

Rate (IR) atau angka kesakitan DBD Tahun 2016 juga mengalami peningkatan

dari Tahun 2015, yaitu dari 50,75 menjadi 78,85 per 100.000 penduduk.

Namun, Case Fatality Rate (CFR) mengalami sedikit penurunan dari 0,83%

pada Tahun 2015 menjadi 0,78% pada Tahun 2016. (Kemenkes RI, 2017).

Demam Berdarah Dengue juga masih merupakan permasalahan serius di

Jawa Tengah, dimana pada Tahun 2016 IR DBD sebesar 43,4 per 100.000

penduduk dengan CFR sebesar 1,46%. Bila dibandingkan dengan IR Tahun

2015 yaitu 47,9 per 100.000 penduduk dengan CFR 1,6%, maka terjadi
3

penurunan pada tahun 2015. Namun, angka kematian tersebut masih melebihi

target nasional maupun RPJMD (<1%) (Dinkes Provinsi Jateng, 2017).

Aplikasi fogging dilaksanakan sebagai salah satu upaya pengendalian

vektor DBD. Dalam hal pelaksanaan fogging focus, malathion adalah jenis

insektisida yang paling sering digunakan. Penggunaan insektisida secara terus

menerus dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan resistensi nyamuk

Ae. Aegypti. Resistensi Ae. aegypti terhadap insektisida merupakan fenomena

global yang dihadapi terutama oleh pengelola program pengendalian penyakit

tular vektor di Indonesia. Terjadinya resistensi akan menimbulkan masalah

karena serangga yang telah resisten akan bereproduksi dan akan terjadi

perubahan genetik yang menurunkan keturunan resisten (filialnya), yang pada

akhirnya akan meningkatkan proporsi vektor resisten dalam populasi

(Kemenkes RI, 2012).

Resistensi nyamuk Ae. aegypti terhadap malathion telah dilaporkan di

beberapa lokasi, seperti di French Guiana dan Columbia (Cox, 2003 dan Clara

et al., 2011). Resistensi terhadap malathion pada populasi nyamuk Ae.aegypti

juga telah dilaporkan di beberapa kabupaten lain di Jawa Tengah seperti

Semarang, Purbalingga, Kendal dan Grobogan (Sunaryo, dkk., 2014).

Deteksi dini resistensi vektor terhadap insektisida dapat bermanfaat

sebagai informasi program untuk pemilihan insektisida yang tepat dalam

pengendalian vektor secara lokal spesifik di era desentralisasi. Deteksi

resistensi vektor terhadap insektisida dapat dilakukan dengan berbagai cara

yaitu: deteksi secara konvensional dengan metode standar WHO susceptibility

test menggunakan impregnated paper, deteksi secara biokimia atau enzimatis


4

menggunakan microplate, dan deteksi secara biologimolekuler (Kemenkes RI,

2012).

Uji biokimia untuk melihat aktivitas enzim esterase berfungsi untuk

mengidentifikasi mekanisme yang mendasari terjadinya resistensi serangga

terhadap insektisida malathion. Hal ini akan bermanfaat sebagai dasar

pertimbangan pemilihan bahan aktif insektisida oleh Dinas Kesehatan

Kabupaten setempat bila akan melakukan penggantian bahan aktif insektisida.

(Kasai, et al., 2014 dalam Widiastuti, dkk., 2016).

Uji resistensi menggunakan metode susceptibitlity test memiliki

keunggulan berupa biaya yang murah dan proses pelaksanaan yang relatif

mudah. Namun metode ini tidak dapat menggambarkan mekanisme yang

mendasari terjadinya resistensi pada suatu populasi serangga di lokasi tertentu.

Secara umum, resistensi terhadap insektisida pada serangga didasari oleh tiga

mekanisme yaitu (1) penurunan sensitivitas target site, (2) perubahan lapisan

kutikula yang mengurangi penetrasi senyawa insektisida ke tubuh serangga dan

(3) peningkatan enzim detoksifikasi (Kasai, et al., 2014 dalam Widiastuti, dkk.,

2016). Serangga menjadi resisten terhadap insektisida dengan menjalankan

satu atau lebih dari ketiga mekanisme tersebut.

Oleh karena itu, perlu untuk mengetahui metode pengamatan aktivitas

enzim detoksifikasi pada populasi serangga untuk mengidentifikasi mekanisme

yang mendasari terjadinya resistensi terhadap insektisida.

B. Perumusan Masalah
5

Berdasarkan latar belakang diatas maka perumusan masalah dalam

penelitian ini adalah “bagaimana metode uji resistensi nyamuk Aedes aegypti

terhadap malathion dengan pengujian biokimia?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui metode uji resistensi nyamuk Aedes aegypti terhadap

malathion dengan pengujian biokimia.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui alat dan bahan yang digunakan dalam uji resistensi nyamuk

Aedes aegypti terhadap malathion dengan pengujian biokimia.

b. Mengetahui cara kerja uji resistensi nyamuk Aedes aegypti terhadap

malathion dengan pengujian biokimia.

c. Mengetahui interpretasi hasil uji resistensi nyamuk Aedes aegypti

terhadap malathion dengan pengujian biokimia.

D. Manfaat Penelitian

1. Balai Litbang P2B2 Banjarnegara

Memberikan tambahan referensi mengenai metode uji resistensi nyamuk

Aedes aegypti terhadap malathion dengan pengujian biokimia.

2. Bagi Jurusan Kesehatan Masyarakat

Memberikan tambahan referensi serta memperkaya pustaka Jurusan

Kesehatan Masyarakat FIKes Unsoed mengenai metode uji resistensi

nyamuk Aedes aegypti terhadap malathion dengan pengujian biokimia.

3. Bagi Peneliti
6

Memberikan pengetahuan dan wawasan serta pengalaman terkait metode uji

resistensi nyamuk Aedes aegypti terhadap malathion dengan pengujian

biokimia.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Demam Berdarah Dengue

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah suatu penyakit menular yang

disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti

yang ditandai dengan demam mendadak dua sampai tujuh hari tanpa

penyebab yang jelas, lemah atau lesu, gelisah, nyeri ulu hati, disertai dengan

tanda-tanda perdarahan di kulit berupa bintik perdarahan (petechia), ruam

(purpura). Kadang-kadang mimisan, berak darah, muntah darah, kesadaran

menurun. Hal yang dianggap serius pada demam berdarah dengue adalah

jika muncul perdarahan dan tanda-tanda syok/renjatan (Mubin, 2009). DBD

disebabkan oleh virus dengue dengan tipe DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN

4 dari kelompok Arbovirus B, yaitu arthropod-borne virus atau virus yang

disebarkan oleh arthropoda. Virus ini termasuk genus Flavivirus dari famili

Flaviviridae (Widoyono, 2008).

2. Nyamuk Aedes aegypti

Nyamuk Aedes aegypti dikenal dengan sebutan black and white

mosquitoes atau tiger mosquitoes karena tubuhnya memiliki ciri yang khas

yaitu adanya garis-garis dan bercak-bercak putih keperakan di atas warna


7

hitam (Soegijanto, 2006). Nyamuk betina menghisap darah manusia setiap 2

hari. Protein dari darah tersebut diperlukan untuk pematangan telur yang

dikandungnya. Setelah menghisap darah, nyamuk ini akan mencari tempat

hinggap (beristirahat). Tempat hinggap yang disenangi ialah benda-benda

yang tergantung, seperti : pakaian, kelambu atau tumbuh-tumbuhan di dekat

tempat berkembangbiaknya. Biasanya di tempat yang agak gelap dan

lembab. Setelah masa istirahat selesai, nyamuk itu akan meletakkan

telurnya pada dinding bak mandi / WC, tempayan, drum, kaleng, ban bekas,

dan lain-lain. Biasanya sedikit di atas permukaan air. Selanjutnya nyamuk

akan mencari mangsanya (menghisap darah) lagi dan seterusnya (Depkes

RI, 2007).

a. Klasifikasi

Menurut Richard dan Davis (1977) yang dikutip oleh Seogijanto

(2006), kedudukan nyamuk Aedes aegypti dalam klasifikasi hewan

adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Filum : Arthropoda

Kelas : Insecta

Ordo : Diptera

Famili : Culicidae

Genus : Aedes

Spesies : Aedes aegypti

b. Morfologi

1) Telur
8

Telur nyamuk Aedes aegypti berwarna hitam dengan ukuran

±0,80 mm, berbentuk oval dan mengapung satu persatu pada

permukaan air yang jernih atau menempel pada dinding tempat

penampung air. Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik

dalam waktu kurang lebih 2 hari setelah telur terendam air. Telur di

tempat yang kering (tanpa air) dapat bertahan sampai 6 bulan pada

suhu -2ºC sampai 42ºC. Bila tempat-tempat tersebut tergenang air atau

kelembabannya tinggi maka telur dapat menetas lebih cepat (Depkes

RI, 2010).

2) Larva

Ada 4 tingkat (instar) jentik sesuai dengan pertumbuhannya yang

memiliki ciri sebagai berikut:

a) Larva instar I, tubuhnya sangat kecil, warna transparan, panjang 1-

2 mm, duri-duri (spinae) pada dada (thorax) belum begitu jelas,

dan corong pernafasannya (siphon) belum menghitam. Waktu yang

dibutuhkan untuk menjadi larva instar I yaitu 1-2 hari.

b) Larva instar II, kepala dan bagian terminal larva lebih besar

daripada larva instar I, ukuran 2,5 – 3,9 mm, tubuh dan kepala

semakin gelap dan lebih panjang serta silindris, spine belum jelas,

dan siphon sudah berwarna hitam. Waktu yang dibutuhkan untuk

mencapai instar II adalah 2 – 3 hari.

c) Larva instar III, tampak lebih besar dan panjang dari sebelumnya.

Dibutuhkan waktu 2 – 3 hari untuk mencapai instar ini.


9

d) Larva instar IV, telah lengkap struktur anatominya dan tubuh telah

jelas dibagi menjadi bagian kepala (chepal), dada (thorax), dan

perut (abdomen) (Soegijanto, 2006).

3) Pupa

Pupa berbentuk seperti “koma” lebih besar namun lebih ramping

dibanding jentiknya. Ukurannya lebih kecil jika dibandingkan dengan

rata-rata pupa nyamuk lain. Gerakannya lamban dan sering berada di

permukaan air. Masa stadium pupa Aedes aegypti normalnya

berlangsung antara 2 hari. Setelah itu pupa tumbuh menjadi nyamuk

dewasa jantan atau betina. Biasanya nyamuk jantan muncul/keluar

lebih dahulu, walaupun pada akhirnya perbandingan jantan – betina

(sex ratio) yang keluar dari kelompok telur yang sama, yaitu 1 : 1

(Depkes RI, 2010).

4) Nyamuk

Tubuh nyamuk dewasa terdiri dari 3 bagian, yatu kepala (caput),

dada (thorax) dan perut (abdomen). Badan nyamuk berwarna hitam

dan memiliki bercak dan garis-garis putih dan tampak sangat jelas

pada bagian kaki dari nyamuk Aedes aegypti. tubuh nyamuk dewasa

memiliki panjang 5 mm. Pada bagian kepala terpasang sepasang mata

majemuk, sepasang antena dan sepasang palpi, antena berfungsi

sebagai organ peraba dan pembau (Depkes RI, 2007).

c. Siklus Hidup

Aedes aegypti mengalami metamorfosis lengkap atau metamorfosis

sempurna (holometabola) yaitu dengan bentuk siklus hidup berupa telur,


10

larva (beberapa instar), pupa dan dewasa (James MT and Harwood RF,

1969). Stadium telur, larva dan pupa hidup di dalam air, sedangkan

stadium dewasa hidup di udara.

Pada stadium telur, nyamuk Aedes aegypti meletakkan telur-telurnya

satu per satu pada permukaan air, biasanya pada tepi air di tempat-tempat

penampungan air bersih dan sedikit di atas permukaan air. Nyamuk

Aedes aegypti betina dapat menghasilkan hingga 100 telur apabila telah

menghisap darah manusia. Telur yang berada pada tempat kering (tanpa

air) dapat bertahan sampai 6 bulan. Telur-telur ini kemudian akan

menetas menjadi larva setelah sekitar 1-2 hari terendam di air (Herms,

2006).

Setelah menetas, telur akan menjadi larva instar I, kemudian akan

mengalami 3 kali pergantian kulit (ecdysis) berturut-turut menjadi larva

instar II, III dan IV. Proses larva instar I sampai ke instar IV

membutuhkan waktu sekitar 10 hari. Saat fase ecdysis mendekati akhir,

larva akan menjadi pupa. Fase ini membutuhkan waktu sekitar 2-5 hari

dan selama fase ini pupa tidak makan apapun. Kemudian selanjutnya

menjadi dewasa dan melanjutkan siklus berikutnya. Dalam suasana yang

optimal, perkembangan dari telur menjadi dewasa memerlukan waktu

sedikitnya 9 hari (Wuryanto, 2008).

3. Pengendalian Vektor

Peraturan Menteri Nomor 374 Tahun 2010 mendefinisikan bahwa

pengendalian vektor merupakan kegiatan atau tindakan yang ditujukan

untuk menurunkan populasi vektor serendah mungkin sehingga


11

keberadaannya tidak lagi berisiko untuk terjadinya penularan penyakit di

suatu wilayah atau menghindari kontak masyarakat dengan vektor sehingga

penularan penyakit yang dibawa oleh vektor dapat di cegah (Kemenkes RI,

2010).

Masalah yang di hadapi dalam pengendalian vektor di Indonesia antara

lain kondisi geografis dan demografi yang memungkinkan adanya

keragaman vektor, belum teridentifikasinya spesies vektor (pemetaan

sebaran vektor) di semua wilayah endemis, belum lengkapnya peraturan

penggunaan pestisida dalam pengendalian vektor, peningkatan populasi

resisten beberapa vektor terhadap pestisida tertentu, keterbatasan

sumberdaya baik tenaga, logistik maupun biaya operasional dan kurangnya

keterpaduan dalam pengendalian vektor.

Dalam pengendalian vektor tidaklah mungkin dapat dilakukan

pembasmian sampai tuntas, yang mungkin dan dapat dilakukan adalah

usaha mengurangi dan menurunkan populasi ke satu tingkat yang tidak

membahayakan kehidupan manusia. Namun hendaknya dapat diusahakan

agar segala kegiatan dalam rangka menurunkan populasi vektor dapat

mencapai hasil yang baik. Untuk itu perlu adanya upaya pengendalian

vektor yang dapat dilakukan melalui beberapa cara, diantaranya:

a. Pengendalian Fisik

Pengendalian secar fisik dilakukan dengan mencegah masuknya

nyamuk dalam suatu bangunan, sehingga bangunan tersebut bebas dari

gangguan nyamuk dan serangga lainnya, disebut insect proof (Kusnadi,

2006). Upaya-upaya pengendalian nyamuk secara fisik dapat dibedakan


12

menjadi dua, yaitu modifikasi lingkungan dan modifikasi perilaku

manusia.

b. Pengendalian Biologi

Pengendalian ini dilakukan dengan menggunakan makhluk hidup,

baik dari golongan mikroorganisme, hewan invertebrata atau hewan

vertebrata. Organisme tersebut dapat berperan sebagai patogen, parasit

atau pemangsa. Beberapa jenis ikan pemangsa yang cocok untuk larva

nyamuk seperti ikan kepala timah (Panchax panchax), ikan gabus

(Gambusia affinis) dan ikan gupi lokal seperti ikan P.reticulata, ikan

cupang (Gandahusada, 2003).

c. Pengendalian Kimia

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1973 tentang

Pengawasan atas Peredaran, Penyimpanan dan Penggunaan Insektisida,

insektisida adalah semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik, serta

virus yang dipergunakan untuk memberantas atau mencegah binatang-

binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia (Kemenkes,

2012).

Pengendalian vektor secara kimia dibagi 2 diantaranya yaitu:

1) Insektisida sintesis

Insektisida sintesis yang digunakan dalam pengendalian nyamuk

adalah insektisida yang berasal dari golongan organofosfat,

organoklorin, dan karbamat.

2) Insektisida nabati
13

Insektisida nabati yang digunakan dalam pengendalian nyamuk

berasal dari tanaman. Tanaman sumber insektisida nabati yang telah

digunakan antara lain bunga Crhysantemum cinerariafolium, yaitu

mengandung senyawa piretroid. Piretroid telah digunakan untuk

membunuh serangga sejak tahun 1800-an (Djojosumarto, 2008).

4. Malathion

Malathion berupa larutan tengguli dengan bau yang sangat tidak

menyenangkan. Malathion merupakan salah satu insektisida golongan

organofosfat yang hingga kini banyak digunakan untuk memberantas

nyamuk dewasa. Malathion merupakan insektisida yang digunakan dengan

cara pengasapan atau pengabutan (fogging) dalam bentuk aerosol yaitu

bentuk partikel yang sangat halus. Hal ini berhubungan dengan sifat nyamuk

Aedes aegypti yang lebih senang terbang di udara dan berada pada tempat-

tempat hinggap pada waktu beristirahat, dengan fogging memungkinkan

insektisida berada lama di udara sehingga cukup waktu untuk mengadakan

kontak dengan sejumlah besar serangga yang dituju. Malathion dapat

digunakan baik dalam rumah (indoors) maupun di luar rumah (outdoors)

dan berfungsi sebagai racun kontak (Gandahusada, 2003).

Malathion sekarang sudah secara luas dipergunakan dalam program

pengendalian vector borne disease, yang dengan system thermal

dilarutkan dalam solar dengan konsentrasi 4-5% dan dosis rata-rata untuk

space spraying 438 gram a.i./ha. Malathion telah digunakan dalam program

pemberantasan demam berdarah (DBD) di Indonesia sejak tahun 1973

(Kemenkes RI, 2012).


14

5. Resistensi terhadap Insektisida

Resistensi adalah kemampuan populasi vektor untuk bertahan hidup

terhadap suatu dosis insektisda yang dalam keadaan normal dapat

membunuh spesies vektor tersebut (WHO, 1992 dalam Kemenkes RI,

2012). Metabolic resistensi adalah terjadinya peningkatan aktivitas enzim

untuk degradasi insektisida (esterase, oksidase dan glutation -S-

transferase).

Resistensi berkembang dalam populasi spesies vektor melalui

generasi atau seleksi akibat paparan insektisida terhadap spesies vektor

dan metode aplikasi, dosis, serta cakupan intervensi. Proses terjadinya

resistensi dapat berlangsung secara cepat atau lambat dalam ukuran

bulan hingga tahun, serta frekuensi penggunaan insektisida.

Faktor pendukung terjadinya resistensi adalah penggunaan insektisida

yang sama atau sejenis secara terus menerus, penggunaan bahan aktif atau

formulasi yang mempunyai aktifitas yang sama, efek residual lama, biologi

spesies vektor dan penggunaan insektisida yang sama terhadap terhadap

semua stadium pertumbuhan vektor (telur, larva, pupa, dan dewasa)

(Kemenkes RI, 2012).

6. Uji Resistensi Nyamuk Aedes aegypti

Pengujian kerentanan vektor bertujuan untuk mengetahui status dan

peta kerentanan spesies vektor terhadap insektisida yang telah dan akan

digunakan untuk pengendalian vektor di daerah penyebaran dan satuan eko-

epidemiologinya. Disamping itu hasil uji kerentanan dapat digunakan dalam

memahami mekanisme terjadinya perubahan kerentanan vektor.


15

Pengujian kerentanan insektisida dapat dilakukan menggunakan

beberapa cara yaitu:

a. Menggunakan metode uji kerentanan sesuai panduan WHO dengan

impregnated paper untuk setiap insektisida yang akan diuji. Metode uji

ini dapat dilakukan oleh petugas entomologi di tingkat Provinsi dan

Kabupaten/Kota.

b. Menggunakan uji MPA (microplate assays) atau uji biokimia

c. Menggunakan marker DNA (Kemenkes RI, 2012).

7. Uji Biokimia

Deteksi secara biokimia adalah uji resistensi nyamuk terhadap

insektisida yang sangat esensial berdasarkan kuantifikasi enzim yang

bertanggung jawab pada proses resistensi (Lee et al., 1990 dalam Nusa,

dkk., 2008). Esterase merupakan salah satu kelompok besar enzim yang

mengkatalisis reaksi hidrolisa dari senyawa alifatik, ester aromatik, ester

kolin dan organophosphorus. Salah satu substrat yang dapat dipecah oleh

enzim esterase adalah senyawa organofosforus yang merupakan penyusun

insektisida golongan organofosfat. Apabila dalam tubuh suatu serangga ada

peningkatan aktivitas enzim esterase, maka enzim tersebut akan

menghidrolisis/memecah senyawa organoposporus yang masuk ke tubuh

serangga. Uji biokimia aktivitas enzim esterase pada serangga sering

dikaitkan untuk mengidentifikasi mekanisme resistensi serangga terhadap

insektisida golongan organophosphat (Jackson, et al., 2013).


16

B. Kerangka Teori

Demam Berdarah
Dengue

Nyamuk Aedes aegypti

Pengendalian Vektor
Nyamuk Aedes aegypti

Fisik/Mekanik Kimia Biologi

Malathion

Resistensi terhadap
Insektisida

Uji Resistensi Nyamuk


Aedes aegypti

Konvensional Biokimia Biologimolekuler

Gambar 2.1 Kerangka Teori (Mubtadi, 2017)


17

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dengan

mendeskripsikan metode uji resistensi nyamuk Aedes aegypti terhadap

malathion dengan pengujian biokimia.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Balai Penelitian dan Pengembangan

Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang (P2B2) Banjarnegara pada tanggal

22 Januari – 23 Februari 2018.

C. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah data pimer yang didapatkan

melalui simulasi metode uji resistensi dengan pengujian biokimia yang

dilakukan secara langsung di tempat penelitian dan data sekunder berupa

literatur-literatur serta hasil penelitian dari peneiti lain sebagai interpretasi.

D. Analisis Data

Analisis data secara kuantitatif uji biokimia aktivitas enzim esterase diukur

dengan pembacaan Absorbance Value (AV) menggunakan alat ELISA Reader,

dengan panjang gelombang 450 nm.


18

E. Jadwal Penelitian

Januari – Februari 2018


No. Kegiatan (minggu ke-)
I II III IV V
1. Penentuan topik mini riset
Konsultasi pembimbing dan
2.
penyusunan proposal mini riset
3. Pelaksanaan mini riset
Konsultasi pembimbing dan
4.
penyusunan laporan mini riset
5. Seminar hasil
6. Revisi laporan mini riset
19

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

1. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam melakukan metode uji resistensi nyamuk

Aedes aegypti terhadap malathion dengan pengujian biokimia adalah

microtube 1,5 ml, microplate, ELISA reader, micropippet berbagai ukuran

dan tip nya, vortex, shaker. Sedangkan bahan yang digunakan dalam

penelitian ini adalah nyamuk, phosphate buffer 0,02 M pH 7,2, substrat α-

nafthyl asetat 0,03 M (working solution), larutan fast blue, larutan SDS 5%.

2. Cara Kerja

a. Pembuatan homogenat nyamuk

1) Nyamuk digerus secara individual dalam 200 µl buffer fosfat 0,02 M

(pH 7,2).

2) Homogenat nyamuk disentrifuge selama 1 menit dengan kecepatan

6000 rpm pada suhu 4oC.

b. Pengujian

1) Sebanyak 20 µl homogenat masing-masing nyamuk dimasukkan ke

dalam sumuran microplate

2) Pada tiap sumuran ditambahkan 200 µl larutan working solution

3) Diinkubasi selama 10-15 menit sambil digoyang menggunakan shaker

4) Pada tiap sumuran ditambahkan 50 µl larutan coupling agent

5) Microplate diinkubasi selama 15-20 menit dengan menggunakan

shaker
20

6) Intensitas warna diukur absorbansinya dengan menggunakan ELISA

Reader pada panjang gelombang 450 nm.

3. Interpretasi Hasil

Interpretasi hasil dengan melihat Absorbance Value (AV) menggunakan

ELISA Reader dengan panjang gelombang 450 nm, dimana AV < 0,7 sangat

rentan, 0,7 – 0,9 resisten sedang, > 0,9 resisten tinggi.

Gambar 4.1. Intensitas warna setelah pengujian


(Sumber : Laboratorium Mikrobiologi, Bakteriologi dan Imunologi, Balai
Litbang P2B2 Banjarnegara)

Tabel 4.1 Nilai Absorbansi


1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
A 0,564 0,865 0,43 0,884 0,416 0,57 0,412 0,629 0,484 0,55 1,088 0,457 450

B 0,534 0,506 0,854 0,416 0,422 1,016 0,538 1,277 0,564 0,605 0,474 0,487 450

C 0,519 0,414 0,695 0,515 0,538 0,844 0,687 0,617 0,569 0,535 2,121 0,598 450

D 0,322 0,301 0,538 0,694 1,1 0,407 450

E 450

F 450

G 450

H 450
21

Berdasarkan Tabel 4.1 maka yang termasuk dalam resisten tinggi ialah

A11, B6, B8, C11, dan D11, resisten sedang yaitu A2, A4, B3 dan C6 dengan

kontrol negatif berada pada D7 dan D8.

B. Pembahasan
Penggunaan insektisida merupakan bagian yang tidak terlepas dari upaya

pengendalian vektor DBD di daerah endemis DBD. Pada sebagian kabupaten

bermasalah DBD, insektisida digunakan secara selektif yang salah satunya

karena keterbatasan anggaran yang tersedia dari dana APBD, namun beberapa

kabupaten menggunakan insektisida untuk pengendalian vektor DBD karena

kebutuhan program. Golongan organofosfat yang sering dipakai adalah

malathion (Sunaryo, dkk, 2014).

Malathion merupakan insektisida yang telah lama digunakan oleh Program

Pengendalian Vektor DBD Ae.aegypti lebih dari 10 tahun yaitu dengan aplikasi

pengasapan/fogging terutama di daerah yang sedang terjadi KLB. Namun di

beberapa daerah juga pernah dijumpai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)

yang melakukan pengendalian vektor (fogging) tanpa koordinasi dengan dinas

kesehatan setempat menggunakan insektisida yang mereka anggap dapat

mengatasi gigitan nyamuk, tanpa memikirkan dampak yang diakibatkannya.

Penggunaan insektisida secara terus-menerus dan dalam jangka waktu yang

lama akan berdampak pada kerentanan Ae. aegypti terhadap insektisida tertentu

(Sunaryo, dkk, 2014 dan Widiarti dkk, 2011).

Sifat resisten Ae.aegypti terhadap insektisida organofosfat dapat dideteksi

dengan reaksi enzimatik untuk melihat peningkatan enzim esterase yaitu enzim

yang dihasilkan Ae. aegypti untuk detoksikasi organofosfat. Peningkatan enzim

esterase merupakan mekanisme utama dalam resistensi terhadap resistensi


22

terhadap organofosfat (Zulhasril, dkk., 2010). Esterase adalah enzim hidrolase

yang menguraikan ester pada rantai samping organofosfat. Ada dua mekanisme

perubahan enzim sehingga menimbulkan resistensi, yaitu produksi yang

berlebihan sehingga menyebabkan peningkatan metabolisme atau penyerapan

insektisida dan perubahan sifat katalitik enzim menjadi hiperkatalitik terhadap

insektisida (Zulhasril, dkk., 2010 dan Brogdon, et.al., 1998).

Esterase merupakan salah satu kelompok besar enzim yang mengkatalisis

reaksi hidrolisa dari senyawa alifatik, ester aromatik, ester kolin dan

organophosphorus. Salah satu substrat yang dapat dipecah oleh enzim esterase

adalah senyawa organofosforus yang merupakan penyusun insektisida

golongan organofosfat. Apabila dalam tubuh suatu serangga ada peningkatan

aktivitas enzim esterase, maka enzim tersebut akan menghidrolisis/memecah

senyawa organoposporus yang masuk ke tubuh serangga (Jackson, et al.,

2013).

Malathion yang merupakan insektisida dari golongan organofosfat

memiliki dua gugus ester carboxylic acid, sehingga senyawa ini dapat

dihidrolisis oleh enzim karboksil esterase. Enzim karboksil esterase bisa

menghidrolisis salah satu atau kedua gugus karboksilat yang menyusun

senyawa malathion. Apabila gugus karboksilat penyusun senyawa malathion

mengalami perubahan, maka senyawa insektisida ini akan kehilangan

fungsinya. Resistensi yang disebabkan karena aktivitas enzim terjadi pada saat

enzim tersebut menghalangi senyawa insektisida untuk mencapai sisi targetnya

(Tang, et al., 2005).


23

Deteksi secara biokimia adalah uji resistensi nyamuk terhadap insektisida

yang sangat esensial berdasarkan kuantifikasi enzim yang bertanggung jawab

pada proses resistensi (Lee et al., 1990 dalam Nusa, dkk., 2008). Uji biokimia

dilakukan dengan langkah kerja yang mengacu pada WHO. Menurut WHO

(1992) uji resistensi secara biokimia membutuhkan beberapa reagen,

diantaranya phosphate buffer 0,02 M pH 7,2 yang dihasilkan dengan terlebih

dahulu membuat larutan phosphate buffer 1 M pH 7,2 dengan mencampurkan

larutan K2HPO4 1M dan KH2PO4 1M. Setelah itu, dilakukan pengenceran

sehingga didapat larutan phosphate buffer dengan konsentrasi 0,02 M..

Reagen yang dibutuhkan selanjutnya yaitu stock solution (0,2793 g 30 mM

α-naphtyl acetate (α-NA) yang dilarutkan dalam 50 ml aseton). Larutan ini

dapat disimpan di dalam tube yang tertutup rapat pada suhu 4oC selama

beberapa bulan. Stock solution berguna untuk membuat working solution.

Working solution adalah larutan α-naftil asetat dengan konsentrasi 0,03 mM

yang dibuat dari 1 ml stock solution (α-NA) dalam 99 ml phosphate buffer 0,02

M pH 7,2. Larutan working solution harus dibuat baru (fresh) dan digunakan

dalam waktu 1-2 jam persiapan.

Larutan α-naftil asetat merupakan salah satu substrat yang dapat berfungsi

untuk mendeteksi adanya enzim esterase karena substrat tersebut dapat

berikatan dengan enzim esterase. α-naftil asetat akan dihidrolisis oleh enzim

esterase menjadi α-nafthol dan asam asetat. Hasilnya akan bereaksi positif dan

dapat diukur apabila diberikan larutan coupling agent sebagai indikator warna

(Mardihusodo, 1996 dalam Astuti, dkk., 2017).


24

Larutan coupling agent dibuat dari 150 mg garam Fast Blue yang

dilarutkan dalam 15 ml aquades dan ditambahkan 35 ml SDS 5%. Sebelum

membuat larutan fast blue, terlebih dahulu membuat larutan SDS 5% karena

sifat nya yang lebih sukar larut sehingga akan memakan waktu lebih lama

untuk larut. Larutan SDS 5% dibuat dengan melarutkan 5 g SDS dalam 100 ml

aquades. Kemudian membuat larutan fast blue dan disimpan dalam microtube

yang dilapisi alumunium foil agar terhindar dari cahaya dan disimpan dalam

suhu dingin. Larutan SDS yang telah larut kemudian ditambahkan ke dalam

larutan fast blue sebanyak 35 ml (perbandingan volume fast blue dan SDS 5%

adalah 3 : 7). Larutan coupling agent harus dibuat baru (fresh) dan digunakan

dalam waktu 1-2 jam persiapan.

Cara kerja yang pertama setelah reagen telah siap yaitu membuat

homogenat nyamuk secara individual dengan menggerusnya di dalam 200 µl

phosphate buffer 0,02 M pH 7.2, kemudian disentrifus selama 1 menit dengan

kecepatan 6000 rpm pada suhu 4oC. Langkah selanjutnya yaitu pengujian,

sebanyak 20 µl homogenat nyamuk dimasukkan dengan menggunkan

micropippet ke dalam sumuran microplate. Pada tiap sumuran ditambahkan

200 µl larutan working solution (0,03 mM α-nafthyl asetat) kemudian

microplate ditutup dengan alumunium foil untuk diinkubasi selama 10-15

menit sambil digoyang menggunakan shaker. Selanjutnya, ditambahkan 50 µl

larutan coupling agent pada tiap sumuran microplate sebagai indikator warna

kemudian microplate ditutup kembali dengan alumunium foil untuk diinkubasi

selama 15-20 menit sambil digoyang menggunakan shaker (WHO, 1992 ;

Widiarti, dkk., 2005 ; Widiastuti, et.al, 2017).


25

Peningkatan aktivitas enzim esterase terlihat dari perubahan warna

menjadi hijau-biru. Hasil akhir uji biokemis ini akan dinilai secara kuantitatif

dari pembacaan absorbance value (AV) dengan menggunakan ELISA reader

pada panjang gelombang 450 nm. Kriteria penentuan status resistensi adalah

Absorbance value (AV) : < 0,700 = sangat rentan (SS), Absorbance value (AV)

: 0,700 – 0,900 = resisten sedang (RS), Absorbance value (AV) : > 0,900 =

resisten tinggi (RR) (Mardihusodo, 1996 dalam Astuti, dkk., 2017).

Keunggulan dari uji biokimia adalah informasi status kerentanan diperoleh

lebih cepat dan dapat menunjukan mekanisme penurunan kerentanan (resistensi

dan toleransi) yang di ukur pada serangga secara individu (Widiarti, 2005).

Selain itu, dapat juga menggambarkan adanya resistensi silang melalui

mekanisme yang berlangsung pada serangga secara individu. Terjadinya

resistensi serangga secara biokimia berlangsung melalui 3 mekanisme dasar

yaitu : (1) berkurangnya penetrasi insektisida, (2) insektisida dimetabolisasi

oleh enzim esterase, mixed function oxidases atau glutathione transferase dan

(3) adanya modifikasi target (sasaran) insektisida. (Fournier et al., 1992 dalam

Widiarti, 2005).
26

BAB V
KESIMPULAN

1. Alat dan bahan yang digunakan dalam uji resistensi nyamuk Aedes aegypti

terhadap malathion dengan pengujian biokimia adalah microtube 1,5 ml,

microplate, ELISA reader, micropippet berbagai ukuran dan tip nya, vortex,

shaker, nyamuk, phosphate buffer 0,02 M pH 7,2, substrat α-nafthyl asetat 0,03

M (working solution), larutan fast blue, larutan SDS 5%.

2. Uji resistensi nyamuk Aedes egypti terhadap malathion dengan pengujian

biokimia dilakukan dengan pembuatan homogenat nyamuk, lalu dilakukan

pengujian dengan menambahkan larutan working solution dan coupling agent

sebagai indikator warna, intensitas warna dilihat nilai absorbansinya dengan

menggunakan ELISA Reader.

3. Interpretasi hasil uji resistensi nyamuk Aedes aegypti terhadap malathion

dengan pengujian biokimia yaitu AV < 0,7 sangat rentan, 0,7 – 0,9 resisten

sedang, > 0,9 resisten tinggi.


27

DAFTAR PUSTAKA

Astuti, Fardhiasih Dwi dan Indriyanti Hastuti. 2017. “Deteksi Resistensi pada
Aedes aegypti dengan Pengujian Enzim Esterase Non Spesifik”. The 5th
Urecol Proceeding. ISBN 978-979-3812-42-7. p388-391.

Brogdon WG, Mcallister JC, Control D. 1998. Insecticide Resistance and Vector
Control. 4(4):605–13.

Clara B Ocampo, Myriam J SalazarTerreros, Neila J. Mina, Janet McAllister WB.


2011. “Insecticide Resistance Status of Aedes aegypti in 10 Localities in
Colombia”. Acta Trop. 118 : 37 - 44. doi:10.1016/j.actatropica.2011.01.007.

Cox C. 2003. “Insecticide Factsheet Malathion”. Journal of Pesticide Reform.


23(4) : 10 - 5.

Depkes RI. 2007. Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue


(PSN DBD) oleh Juru Pemantau Jentik. Jakarta : Departemen Kesehatan RI.

Depkes RI. 2010. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


374/MENKES/PER/III/2010 Tentang Pengendalian Vektor. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI.

Dinkes Provinsi Jateng. 2017. Buku Saku Kesehatan Tahun 2016. Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Tengah.

Djojosumarto, P. 2008. Pestisida dan Aplikasinya. Jakarta : Agromedia Pustaka.

Gandahusada. 2003. Parasitologi Kedokteran Edisi III. Jakarta : Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia.

Herms, W., 2006. Medical Entomology. The Macmillan Company, United States
of America.

Jackson CJ, Liu J-W, Carr PD. 2013. “Structure And Function Of An Insect Α-
Carboxylesterase (Αesterase7) Associated With Insecticide Resistance”. Proc
Natl Acad Sci U S A. 110(25):10177–82. doi:10.1073/pnas.1304097110.

Karunaratne dan J. Hemingway. 2001. “Malathion Resistance and Prevalence of


The Malathion Carboxylesterase Mechanism in Population
of Mosquito Vectors of Disease in Sri Lanka”. Bulletin of the World Health
Organization. 79 (11), 1060-4

Kemenkes RI. 2010. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


374/MENKES/PER/III/2010 Tentang Pengendalian Vektor. Jakarta :
Kementerian Kesehatan RI. http://pppl.depkes.go.id/_asset/regulasi/57
Buku%20Permenkes_ppbb-1.pdf. Diakses tanggal 5 Februari 2018.
28

Kemenkes RI. 2012. Pedoman Penggunaan Insektisida (Pestisida) dalam


Pengendalian Vektor.

Kemenkes RI. 2017. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2016. Jakarta:


Kementerian Kesehatan RI.

Kusnadi, S. Chasan. 2006. Pengendalian Vektor dan Binatang Pengganggu


(Vector Control Manual). Makassar.

Mubin, H. 2009. Panduan Praktis Kedaruratan Penyakit Dalam: Diagnosis dan


Terapi. Jakarta: EGC.

Mubtadi, Rizki Alfiatun Nikmah. 2017. “Uji Resistensi Larva Aedes aegypti
terhadap Temephos di Desa Sidamulih Kecamatan Rawalo Kabupaten
Banyumas Tahun 2017”. Skripsi. Politeknik Kesehatan Kemenkes Semarang.

Nusa, Roy, Mara Ipa, Titin Delia, dan Marliah Santi. 2008. “Penentuan Status
Resistensi Aedes aegypti dari Daerah Endemis DBD di Kota Depok terhadap
Malathion”. Buletin Penelitian Kesehatan. 36(1) : 20 – 25.

Selvi,S, Nazni WA, Lee HL, Azahari AH. 2007. “Characterization on malathion
and permethrin resistanceby bioassays and the variation of esterase activity
withthe life stages of the mosquito Culex
quinquefasciatus”. Tropical Biomedicine 24(1): 63–75.

Soegijanto. 2006. Demam Berdarah Dengue Edisi 2. Surabaya : Airlangga


University Press.

Sunaryo, Bina Ikawati, Rahmawati Dyah W. 2014. “Status Resistensi Vektor


Demam Berdarah Dengue 0,25 % di Provinsi Jawa Tengah”. Jurnal Ekologi
Kesehatan. 13 : 146 - 52.

Tang, J., Randy L.R. CJ. “Metabolism of Organophosphorus and Carbamates


Pesticide”. In: Toxicology of Organophosphate & Carbamate Compounds.;
2005.

WHO. 1992. Techniques to Detect Insecticide Resistance Mechanisms (Field and


Laboratory Manual). WHO/CDS/CPC/98.6. Geneva.

WHO. 2012. Incidence of Dengue Fever and Dengue Hemorragic Fever


(Bulletin). India : World Health Organization. p55-56.

Widiarti, Boewono, D.T., Widyastuti, U., Mujiono, 2005. “Uji Biokimia


Kerentanan Vektor Malaria Terhadap Insektisida Organofosfat dan Karbamat
di Propinsi Jawa Tengah dan Istimewa Yogyakarta”. Buletin Penelitian
Kesehatan. Balitbangkes Depkes RI. 33(2):80-88.
29

Widoyono. 2008. Penyakit Tropis, Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan


Pemberantasannya. Jakarta : Erlangga.

Widiastuti, Dyah dan Bina Ikawati. 2016 “Resistensi Malathion dan Aktivitas
Enzim Esterase Pada Populasi Nyamuk Aedes aegypti di Kabupaten
Pekalongan.”. BALABA. 12 (2) : 61-70.

Widiastuti, Dyah, Bina Ikawati, Martini, dan Nastiti Wijayanti. 2017.


“Biochemical Characterization of Insecticide Resistance and Exposure in
Aedes aegypti Population from Wonosobo (A New Highland Endemic
Area), Central Java, Indonesia. Health Science Journal of Indonesia. 8(2) :
1-7.

Wuryanto, M. A. 2008. “Surveilans Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)


dan Permasalahannya di Kota Semarang”. Journal of ISBN. 2:704-910.

Zulhasril dan Lesmana, Suri Duwi. 2010. “Resistensi Larva Aedes aegypti
terhadap Insektisida Organofosfat di Tanjung Priok dan Mampang Prapatan”.
XXVII(3):96-107.

Anda mungkin juga menyukai