Anda di halaman 1dari 27

UJI STATUS RESISTENSI NYAMUK Aedes aegypti TERHADAP

PEMBERIAN INSEKTISIDA CYPERMETHRIN

Studi Kasus pada daerah endemis dan non edemis di kabupaten Grobogan

Usulan Penelitian untuk Skripsi

Oleh:

Galuh Jelita Permatasari

30101407193

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG

SEMARANG

2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit yang dapat

menyebabkan kematian, sehingga dapat dikatakan sebagai kejadian luar biasa (KLB) (Fathi

et al, 2005). Menurut Bappenas 2005 penyakit DBD saat ini mendesak untuk diberantas,

karena termasuk wabah yang korbannya ratusan jiwa orang tiap tahunnya (Sinaga et al,

2015). Jenis cypermethrin yang merupakan golongan piretroid sering digunakan masyarakat

Jawa Tengah untuk memberantas nyamuk Aedes aegypti (Sayono et al, 2012). Penggunaan

insektisida terlalu lama sekitar 2-20 tahun dapat menyebabkan resistensi serangga.

Beberapa negara di dunia termasuk Indonesia, insektisida golongan piretroid yang salah

satu jenisnya cypermethrin telah resistensi terhadap nyamuk Aedes aegypti. Penelitian saya

dilakukan untuk mengetahui status resistensi cypermethrin terhadap daya tahan nyamuk

Aedes aegepty pada daerah endemis dan non endemis di kabupaten Grobogan. Sebelumnya

telah ada penelitian di kabupaten Grobogan yang menunjukkan status daerah endemis

kecamatan Purwodadi dan non endemis kecamatan Klambu. Pentingnya penelitian ini

dilakukan untuk mengetahui apakah nyamuk Aedes aegypti pada daerah endemis dan non

endemis di kabupaten Grobogan terdapat perbedaan uji resisten terhadap cypermethrin.

Nyamuk Aedes aegypti sudah resisten terhadap insektisida sehingga

menyebabkan angka kesakitan DBD meningkat. Incidence Rate (IR) DBD di Provinsi Jawa

Tengah pada tahun 2015 dengan angka 47,9 per 100.000 penduduk, mengalami kenaikan

dibandingkan tahun 2014 dengan angka 36,2 per 100.000 penduduk (Dinas Kesehatan

Provinsi Jawa Tengah, 2015). Kecamatan Cimahi telah resisten terhadap cypermethrin 0,2%
2
dan 0,4% hal ini didukung dengan hasil resistensi rasio (RR50) adalah 4,6 (Pradani et al,

n.d.). Kota Semarang menunjukkan kematian nyamuk berkisar 0,8 – 13,5% dengan rata-rata

5,88% dengan hasil tersebut menunjukkan bahwa telah resistensi terhadap cypermethrin

(Sayono et al, 2012).

Penelitian resisten terhadap cypermethrin terhadap nyamuk Aedes aegypti

pernah dilakukan pada daerah endemis Semarang, tetapi belum pernah ada penelitian yang

menunjukkan status resistensi daerah endemis dan non endemis (Sayono et al, 2012).

Penelitian pernah dilakukan di kabupaten Grobogan dengan hasil menunjukkan daerah

endemis yaitu kecamatan Purwodadi dan non endemis yaitu kecamatan Klambu, tetapi

belum terdapat penelitian tentang uji resistensi nyamuk Aedes aegypti terhadap

cypermethrin (Suwasono & Yuniarti, 2002). Penelitian ini lebih menunjukan perbedaan

status resistensi nyamuk Aedes aegypti terhadap cypermethrin pada kecamatan Purwodadi

sebagai daerah endemis dan kecamatan Klambu sebagai daerah non endemis di kabupaten

Grobogan.

Status resistensi terhadap nyamuk Aedes aegypti dipantau dengan baik untuk

memastikan keputusan yang akurat dan tepat waktu untuk mengganti strategi atau

menggunakan insektisida lain. Berdasarkan permasalahan dan pemikiran tersebut maka

akan dilakukan penelitian uji resistensi nyamuk Aedes aegypti terhadap insektisida

cypermethrin di kabupaten Grobogan dan akan melakukan pengujian di Balai Besar Litbang

Vektor dan Reservoir Penyakit (B2P2VRP) Salatiga. Penelitian ini dilakukan untuk

mengetahui konsentrasi cypermethrin yang sudah resisten terhadap nyamuk Aedes aegypti

menanggulangi dan meminimalisir terjangkitnya masyarakat terhadap penyakit DBD yang

disebabkan oleh nyamuk Aedes aegepti.

3
1.2 Rumusan Masalah

Apakah nyamuk Aedes aegypti pada kecamatan Purwodadi sebagai daerah endemis

dan kecamatan Klambu sebagai non endemis di Kabupaten Grobogan telah resisten terhadap

pemberian insektisida cypermethrin?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian skripsi ini yaitu sebagai berikut :

1.3.1 Umum

Mengetahui hasil uji resistensi nyamuk Aedes aegypti terhadap pemberian insektisida

cypermethrin pada kecamatan Purwodadi sebagai daerah endemis dan kecamatan Klambu

sebagai non endemis di Kabupaten Grobogan.

1.3.2 Khusus

1.3.2.1 Mengetahui uji resistensi nyamuk Aedes aegypti terhadap konsentrasi cypermethrin

dengan konsentrasi 0,05%.

1.3.2.2 Mengetahui uji resistensi nyamuk Aedes aegypti terhadap konsentrasi

cypermethrin dengan konsentrasi 0,1%.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi untuk mengetahui uji

resistensi nyamuk Aedes aegypti terhadap insektisida cypermethrin dengan konsentrasi

berbeda.

4
1.4.2 Praktis

1.4.2.1 Dengan penelitian ini diharapkan penggunaan cypermethrin menjadi lebih tepat

sehingga dapat mencegah terjadinya penyakit DBD.

1.4.2.2 Dengan penelitian ini dapat dijadikan sebagai informasi bagi masyarakat sekitar

dalam penggunaan insektisida secara praktis.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Resistensi Nyamuk Aedes aegypti

2.1.1 Pengertian Resistensi

Resistensi merupakan pembentukan kekebalan tubuh serangga terhadap pemberian

insektisida, dengan pemberian insektisida secara terus menerus (Susanti dan Boesri, 2012).

Menurut WHO (1992) resistensi terhadap insektisida adalah pemberian dosis insektisida

secara normal pada spesies serangga yang seharusnya dapat terbunuh, tetapi kemampuan

individu tersebut dapat bertahan hidup. Resistensi tersebut dapat terjadi apabila memberikan

insektisida secara terus menerus (Novita, 2016). Terjadinya resistensi ini di karenakan

penggunaan insektisida yang berkepanjangan yaitu 2 – 20 tahun (Sayono et al, 2012).

2.1.2 Mekanisme Resistensi

Ada tiga mekanisme resistensi, yaitu :

1. Mekanisme resistensi fisiologikini dapat menyeleksi populasi serangga yang

resistensi terhadap insektisida. Contoh misalnya, resistensi insektisida

cypermethrin terhadap nyamuk Aedes aegypti (Novita, 2016).

2. Mekanisme resistensi perilaku yaitu pemberian insektisida akan menimbulkan

perubahan perilaku terhadap serangga. Contoh misalnya, penyemprotan DTT

yang membuat nyamuk tidak mau hingga didinding (Mukti, 2016).

3. Vigour tolerance, penurunan kerentanan yang disebabkan oleh kenaikan satu

atau beberapa insektisida, dihasilkan dari seleksi populasi serangga (Novita,

2016).

2.1.3 Deteksi Resistensi Vektor Terhadap Insektisida

Ada 3 (tiga) cara untuk mendeteksi vektor terhadap insektisida :

6
1. Deteksi biokimia menggunakan mikroplat. Uji resistensi nyamuk terhadap

insektisida dengan menggunakan kualifikasi enzim seperti uji mikroplat untuk

aktivitas enzim esterase non-spesifik. Kelebihan dari deteksi biokimia ini dapat

mengetahui mekanisme penurunan kerentanan (toleransi dan resistensi) pada

serangga secara individu dan dapat dilakukan secara cepat.

2. Deteksi molekuler, adalah identifikasi gen secara konvensional yang menjadi

kelompok insektisida. Contohnya adalah gen VGSC (voltage gated sodium

channel). Gen VGSC adalah mekanisme resistensi serangga terhadap golongan

piretroid dan insektisida DDT dapat ditunjukkan dengan adanya titik mutasi.

Nyamuk aedes aegypti terdapat sembilan titik locus yang berbeda pada mutasi

gen VGSC.

3. Deteksi konvensional pada standart WHO menggunakan supceptibility test

menggunakan lembaran yang sudah mengandung insektisida (impregnated

paper). Uji susceptibility dapat dilakukan jika kondisi serangga baik secara

fisiologis (ukuran, umur serangga, stadium, serangga harus hidup, kenyang gula

dan kenyang darah) dan serangga stadium dewasa. Hasil uji susceptibility dapat

ditulis jika setelah pemaparan dan setelah dipisahkan dari papan insektisida

selama 24 jam (Novita, 2016).

7
2.2 Demam Berdarah Dengue

2.2.1 Definisi

Demam berdarah Dengue merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus

melalui perantara nyamuk. Jenis nyamuk yang menjadi perantara penyakit demam berdarah

adalah nyamuk Aedes aegpyti dan Aedes albopictus. Virus Aedes aegpyti mempunyai 4

serotipe, yaitu virus DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Penyakit Demam berdarah

mempunyai masa inkubasi 1 hingga 4 hari kemudian menimbulkan demam (Kementerian

Kesehatan RI, 2010).

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang dapat menyerang pada

anak-anak hingga orang tua disebabkan oleh virus dengue diperantarai oleh nyamuk Aedes

aegypti. Demam Berdarah Dengue (DBD) mempunyai manifestasi klinis demam mendadak

2-7 hari,dapat disertai dengan lemah/lesu, ekimosis (lebam), muntah darah, petechiae

(pendarahan dikulit), dan pendarahan gusi. Terdapat kecenderungan diatesis hemorhagik

yang menyebabkan syok sehingga dapat terjadi kematian (Lapaleo, 2013). Cara penularan

penyakit DBD ini adalah penderita yang terkena DBD diisap oleh nyamuk Aedes aegypti

bersama dengan darah maka virus dengue menyebar dan berkembang biak pada tubuh

nyamuk tersebut, kemudian akan ditularkan kepada penderita yang awalnya tidak terkena

DBD. Penularan nyamuk Aedes aegypti dengan cara mengigit penderita yang tidak terkena

DBD, sehingga virus dengue akan keluar bersama dengan air liur nyamuk dahulu yang

bertujuan agar darah tidak membeku pada saat penularan (Novita, 2016).

8
2.2.2 Epidemiologi

Abad 18 hingga 20 wabah penyakit dengue ditemukan pada daerah yang beriklim

sedang dan tropis. Tahun 1635 di Kepulauan Karibia pertama kali ditemukan virus dengue.

Transportasi laut menjadi perantara penyebaran penyakit dengue sehingga dapat berpindah

dan memindahkan penyakit. Tahun 1954 di Manila pertama kali penyakit DBD ditemukan,

kemudian tahun 1958 di Bangkok (Novita, 2016). Tahun 1968 hingga 2009, menurut data

World Health Organization (WHO) bahwa kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara adalah

Indonesia (Zumaroh, 2015).

Kota Surabaya menjadi kota pertama ditemukannya penyakit DBD pada tahun 1968

dari 58 kasus dan 24 diantaranya meninggal dunia (Angka kematian 41,3%). Setelah

kejadian tersebut penyakit DBD mulai menyebar di seluruh Indonesia (Novita, 2016).

2.2.3 Nyamuk Aedes aegypti

Klasifikasi dari nyamuk Aedes aegypti sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Filum : Arthropoda

Classis : Insekta

Ordo : Diptera

Familia : Culicidae

Genus : Aedes

Subgenus : Stegomyia

Spesies : Ae.aegypti

9
Gambar 1. Nyamuk Aedes aegypti Dewasa (Kumayah, 2011)

2.2.4 Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti

Nyamuk Aedes aegypti mempunyai waktu 7-14 hari untuk melakukan metamorfosis

sempurna dari telur hingga dewasa,metamorfosis sempurna melewati empat stadium (tahap).

Pertama dari telur putih yang akan berubah warna menjadi hitam dengan waktu 1-2 jam.

Nyamuk Aedes aegypti akan bertelur 100 kali setiap bertelur. Kedua yaitu larva, yang

mempunyai ciri-ciri bentuknya pendek dan mempunyai sifon. Larva nyamuk mempunyai

empat instar yang membutuhkan waktu 6 hari - 2 minggu, semua itu juga tergantung pada

keadaan air, persediaan makanan, ataupun suhu air pada lingkungan. Untuk menjadi pupa,

larva membutuhkan waktu 6 – 8 hari. Ketiga fase inaktif dimana hanya butuh bernafas

dengan oksigen tetapi tidak membutuhkan makanan, keadaan tersebut dinamakan keadaan

inaktif. Pupa mendapatkan oksigen untuk bernafas dengan cara mendekatkan diri dengan

permukaan. Fase pupa tergantung pada spesies nyamuk dan suhu air bisa mencapai satu hari

hingga beberapa minggu (Febriantoro et al, 2012). Fase inaktif ini disebut juga pupa yang

mempunyai bentu bengkok, bagian kepala lebih besar dari pada bagian abdomen sehingga

seperti tanda koma (Kumayah, 2011). Keempat adalah fase dewasa dimana nyamuk Aedes

10
aegypti memiliki ciri-ciri terdapat antenna dan proboscis polos yang digunakan sebagai alat

penghisap. Membedakan nyamuk Aedes aegypti yang betina dan jantan dapat di lihat pada

bagian antenna, pada jantan memiliki bulu-bulu yang lebih lebat daripada betina. Bagian

toraks memiliki warna garis putih keperakan dan memiliki 3 bagian kaki, yaitu sepasang

kaki depan, sepasang kaki tengah, dan sepasang kaki belakang. Kaki nyamuk Aedes aegypti

memiliki warna hitam dan bergelang-gelang putih dan mempunyai sayap yang simetris.

Bagian abdomen nyamuk Aedes aegypti memiliki 8 segmen yang berbentuk silinder

(Damanik, 2012).

Gambar 2. Siklus Hidup Aedes aegypti (Kementrian Kesehatan RI, 2010).

2.2.5 Mekanisme Penularan Nyamuk Aedes Aegypti

Virus dengue pada nyamuk Aedes aegypti ditularkan nyamuk betina melalui

mekanisme transmisi vertikal. Masa embriogenesis virus tersebut dapat masuk kedalam telur

saat fertilisasi melalui saluran sel telur. Hal tersebut yang dapat menyebabkan telur

terinfeksi, larva, dan 80% nyamuk akan terinfeksi. Virus dengue yang berada dalam nyamuk

aedes aegypti betina dapat dikatakan sebagai induk, kemudian akan masuk ke telur (ovum)

11
di dalam uterus nyamuk. Pada akhirnya virus tersebut akan bertransmisi dalam embiro

didalam uterus sebagai medium hidup untuk perkembangbiakan. Larva nyamuk digunakan

sebagai perantara virus dengue. Larva pertama kali berubah menjadi nyamuk dan menggigit

darah manusia, maka manusia bisa terinfeks virus dengue (Desiree dan Prasetyowati, 2012).

2.2.6 Faktor yang mempengaruhi perkembangbiakan nyamuk :

1. pH Air

pH air mempengaruhi daya tetas telur nyamuk, daya tetas telur akan semakin

meningkat jika pH air tersebut bersifat asam. Menurut Hidayat C dalam Ridha

(2013) bahwa didapatkan lebih banyak nyamuk jika pH air perindukan 7 daripada

pH tersebut bersifat asam atau basa.

2. Suhu Air

Suhu air dapat mempengaruhi perkembang biakan nyamuk dari telur hingga imago

dan berpengaruh terhadap aktivitas makannya.

3. Suhu Udara

Dimana suhu udara akan berpengaruh perkembang biakan virus di dalam tubuh

o
nyamuk dan perkembangbiakan jentik nyamuk Ae. Aegypti. Pada suhu 20-30 C

nyamuk akan meletekkan telurnya untuk perkembang biakannya. Menurut

o
Murdihusodo dalam Ridha (2013) bahwa dalam temperature udara 25-30 C dengan

o
waktu 72 jam akan mengalami embrionisasi lengkap, tetapi dalam suhu 10 C atau

o
lebih dari 40 C pertumbuhan nyamuk akan berhenti. Salah satu daerah tropis di

mana sebagai perkembangbiakan jentik adalah Kalimantan.

4. Kelembaban Udara

12
Kelembaban udara dapat mempengaruhi kondisi lingkungan sehingga berpengaruh

terhadap perkembangbiakan jentik nyamuk Aedes aegypti. Kelembaban yang

optimal (81,5 – 89,5% ) menjadi proses embrionisasi dan ketahanan hidup yang

baik bagi perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti (Ridha et al, 2013).

2.3 Insektisida

Insektisida merupakan kelompok dari pestisida terbesar yang terdiri dari beberapa

bahan kimia yang berbeda seperti kabamat, piretroid, organoklorin, dan organofosfat.

(Kusumastuti, 2014).

1. Karbamat tergolong kuat sebagai zat karsinogenik yang menyebabkan

kerusakan system saraf. Pengaruhnya sangat berbahaya jika terakumulasi tetapi

tidak berlangsung lama (Kusumastuti, 2014). Karbamat mempuyai sifat

reversible atau pulih kembali sehingga jenis insektisida ini tergolong aman.

Contoh : propoksur dan bendiocarb (Kementerian Kesehatan Republik

Indonesia, 2012).

2. Organofosfat adalah insektisida yang dapat menyebabkan keracunan pada

manusia karena termasuk insektisida yang paling toksik daripada jenis pestisida

lainnya. Organofosfat menyebabkan kematian jika termakan walaupun hanya

sedikit saja, tetapi pada orang dewasa butuh beberapa mg. Cara kerja

organofosfat adalah dengan menghambat kholinesterase dalam sel darah merah

dan pseudokholinesterase dalam plasma (Novita, 2016).

3. Organoklorin merupaka insektisida yang memiliki toksisitas yang rendah tetapi

mampu bertahan lama pada lingkungan. Organoklorin sebagai racun kontak,

racun perut, dan racun inhalasi. Racun kontak yaitu insektisida masukdalam

13
tubuh serangga melalui kulit, kemudian akan ditransformasikan ke dalam tubuh

serangga (susuran saraf pusat), racun perut apabila insektisida termakan atau

terkena saluran percernaan, dan racun inhalasi apabila insektisida mengganggu

organ pernafasan (Yuantari, 2011).

4. Piretiroid, tidak dapat diabsorbsi oleh kulit manusia karena sehingga memiliki

toksisitas yang rendah. Tetapi jenis insektisida ini dapat menimbulkan alergi

pada orang yang peka. Contoh dari piretiroid adalah permetrin, transfultrin, dan

sipermetrin (Kusumastuti, 2014).

5. Cypermethrin mempunyai kandungan racun neurotoxin yang bekerja cepat pada

tubuh serangga. Senyawa tersebut digunakan sebagai insektisida yang bekerja

sebagai racun kontak dan perut. Pada penelitian yang telah dilakukan di Lombok

Barat, menunjukkan bahwa presentase nyamuk yang pingsan (knock Down)

lebih besar jika semakin lama waktu kontak dengan cypermethrin (Kristinawati,

2013). Pemaparan cypermethrin dengan dosis tinggi dapat mengakibatkan iritasi

pad mukosa, mata, dan kulit, apabila terhirup dapat mengiritasi saluran

pernafasan dan astma, dan dapat terjadi kerusakan pada saraf saraf (Susanti dan

Boesri, 2012).

2.3.1 Cara Kerja Insektisida Cypermethrin

Cara kerja insektisida golongan piretroid yaitu sebagai racun axonix yang dapat

merusak serabut saraf. Insektsida ini biasa di kenal sebagai voltage-gated sodium channel

karena terikat dengan suatu protein dalam saraf. Dalam keadaan normal protein akan

membuka untuk memberi rangsangan pada saraf dan menutup untuk menghentikan saraf

14
tersebut. Dapat mengakibatkan gerakan inkoordinasi dan tremor pada serangga rumah yang

keracunan (Hastutiek dan Fitri, 2007).

2.3.2 Efek Insektisida terhadap Tubuh

A) Sistem Pernafasan (Paru-paru)

Pemaparan insektisida dalam jangka lama akan menyebabkan iritasi, seperti

bronchitis dan pneumonitis. Insektisida dapat menimbulkan reaksi alergi pada

saluran pernafasan sehingga menyebabkan penyakit udema pulmoner, sehingga

apabila menarik nafas akan menimbulkan bunyi dan nafas pendek. Kondisi kronis

ini akan terjadi penimbunan debu pada jaringan paru-paru sehingga

mengakibatkan pneumoconiosis dan fibrosis.

B) Hati

Pemaparan bahan kimia dalam jangka pendek dapat mengakibatkan inflamasi sel-

sel (hepatitis kimia), kematian sel (nekrosis), dan penyakit kuning. Jangka

panjang pemaparan bahan kimia menyebabkan kanker hati dan sirosis hati.

C) Sistem saraf

Pemaparan bahan kimia terhadap system saraf disebut neurotoksik yang akan

memperlambat fungsi otak. Bahan kimia dapat menekan system saraf pusat

sehingga akan menimbulkan efek mengantuk dan hilangnya kesadaran. Efek

toksik pestisida mengakibatkan kejang otot dan kelumpuhan.

D) Kulit

Bahan kimia mempunyai sifat iritan sehingga dapat menyebabkan efek dermatitis

dan sensitifitas kulit atau alergi. Bahan kimia lain mengakibatkan kepekaan

terhadap sinar matahari atau kanker kulit.

15
E) Darah

Pemaparan insektisida dapat meningkatkan fungsi hati, terjadinya kelainan

hematologic, meningkatknya SGOT dan SGPT dalam darah, dan meningkatakan

ureum dalam darah (Afriyanto, 2008).

2.3.3 Jenis Penyemprotan Insektisida

Ada 2 cara penyemprotan yaitu cold fog (pengkabutan) dan Thermal fog (pengasapan) :

A) Cold fog sebenernya mirip dengan thermal fog, tetapi penggunaan cold fog ini

menggunakan pelarut seperti air. Kelebihan dari cold fog adalah hasilnya yang

tidak mengakibatkan kabut banyak seperti thermal fogging. Dan kekurangan dari

cold fog adalah membutuhkan konsentrasi larutan dengan semprotan yang lebih

tinggi sehingga penanganannya harus hati-hati (Novita, 2016). Cold fogging atau

Ultra Low Volume (ULV) dapatdiartikandengan kata lain pangkabutandingin

(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2012).

B) Fogging mempunyai nama lain thermal fogging atau thermal aerosol, dengan alat

yang disebut fogger, hot fogging machine, thermal aerosol generator, atau thermal

fogging machine. Thermal fog mempunyai karakteristik seperti ukuran butiran

semprot hasilnya sangat halus. Karena yang dihasilkan sangat halus dengan

ukuran <1 hingga 150 mikron, maka menyebabkan melayang lama di udara

(Novita, 2016). Thermal fogging atau space spray adalah pengendalian DBD

dengan cara pengkabutan panas (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,

2012). Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2007, penggunaan

fogging merupakan salah satu teknik yang dapat mengendalikan DBD dengan

menggunakan insektisida sehingga mampu mengurangi penularan sampai batas

16
waktu tertentu. Saat ini masyarakat menggunakan fogging untuk mengurangi

penularan DBD (Novita, 2016).

2.4 Hubungan Variabel Bebas dan Variabel Terikat

Variabel Bebas pada penelitian ini adalah insektisida cypermethrin sedangkan variable

terikatnya adalah nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes aegypti di dapatkan dari jentik-

jentik pada daerah endemis dan non endemis kabupaten Grobogan, kemudian akan

dikembangbiakan di Balai Besar Litbang Vektor dan Reservoir Penyakit (B2P2VRP)

Salatiga. Nyamuk Aedes aegypti dewasa akan diberikan insektisida cypermethrin dengan

konsentrasi yang berbeda. Kandunga dari cypermethrin mempunyai kandungan racun

neurotoxin yang bekerja cepat pada tubuh serangga. Senyawa tersebut digunakan sebagai

insektisida yang bekerja sebagai racun kontak dan perut sehingga dapat membunuh Aedes

aegypti dewasa. Penelitian ini akan menunjukkan apabila Aedes aegypti dewasa sering

terpapar insektisida cypermethrin maka menyebabkan terjadinya resistensi. Nyamuk Aedes

aegypti yang telah resisten akan tetap hidup setelah dilakukan pemaparan berulang.

17
2.5 Kerangka Teori

Insektisida cypermethrin Nyamuk Aedes aegypti

Proses mekanise

Fisiologi Perilaku Vigour toloeran

Faktor lingkungan :

Merusak serabut saraf 1. PH air


2. Suhu udara
3. Kelembaban
udara
Uji Resistensi 4. Suhu air

Deteksi Deteksi Deteksi


Molekuler Konvensional Biokimia

Uji Susceptibility

Resistensi

18
2.6 Kerangka Konsep
Resistensi
Insektisida cypermethrin
Aedes aegypti

2.7 Hipotesis

Terdapat resistensi nyamuk Aedes aegypti terhadap pemberian insektisida cypermethrin

pada daerah endemis dan non endemis di kabupaten Grobogan.

19
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen yang bersifat posttest only control

group desain.

3.2 Variabel dan Definisi Operasional Variabel

3.2.1 Variabel

3.2.1.1 Variabel bebas: Insektisida cypermethrin

3.2.1.2 Variabel terikat: Status resistensi Aedes aegypti dewasa.

3.2.2 Definisi Operasional

3.2.2.1 Nyamuk Aedes aegypti

Nyamuk Aedes aegypti didapatkan dari daerah endemis dan non endemis di kabupaten

Grobogan.

Skala : Ratio

3.2.2.2 Resistensi

Ketahanan Aedes aegypti dewasa setelah pemaparan berulang dengan insektisida

cypermethrin.

Skala : Ratio

3.2.2.3 Insektisida cypermethrin

Cypermethrin merupakan insektisida golongan piretiroid. Cypermethrin mempunyai

kandungan racun neurotoxin yang bekerja cepat pada tubuh serangga. Senyawa tersebut

20
digunakan sebagai insektisida yang bekerja sebagai racun kontak dan perut. Kadar

cypermethrin dalam persen (%) sebagai insektisida pembunuh Aedes aegypti.

Skala : Ratio

3.3 Populasi dan Sampel

Populasi target penelitian yaitu Aedes aegypti dewasa, sedangkan populasi

terjangkaunya adalah Aedes aegypti dewasa di desa Bandungharjo kecamatan Toroh

kabupaten Grobogan.

Sampel penelitian adalah anggota populasi yang diambil secara acak (random

sampling) sebanyak 25 ekor nyamuk Aedes aegypti.

3.4 Alat dan Bahan

3.4.1 Alat pemeriksaan

Tabung untuk larutan cypermethrin, tabung dengan standart WHO untuk uji resistensi

nyamuk, pipet untuk mengambil larutan, pipet untuk mengambil larva, kertas whatman

untuk memaparkan larutan cypermethrin, dan kapas untuk media pemberian makan dengan

larutan gula.

3.4.2 Bahan

Larutan cypermethrin dan larutan gula.

3.5 Cara Penelitian

3.5.1 Cara pengambilan nyamuk Aedes aegypti :

a) Observasi tempat dilakukan pada rumah penderita DBD dan 9 rumah di daerah

endemis kecamatan Purwodadi dan non endemis kecamatan Klambu di

kabupaten Grobogan.

21
b) Letakkan air yang digenangi gabah kemudian diletakkan disudut rumah warga

selama 7 hari.

c) Setelah 7 hari larva diambil menggunakan pipet, lalu larva yang diambil

dipelihara di Balai Besar Penelitian Dan Pengembangan Vektor Dan Reservoir

Penyakit (B2P2VRP) Salatiga.

d) Larva nyamuk diperlihara hingga menjadi nyamuk Aedes aegypti kemudian

akan dilakukan pengujian uji resistensi terhadap insektisida cypermethrin.

3.5.2 Cara pengenceran insektisida cypermethrin :

Insektisida yang mengandung cypermethrin 50 g/l disiapakan dan akan

diencerkan untuk penelitian. Konsentrasi yang akan digunakan adalah 0,05%

dan 0,1%. Kandungan cypermethrin yang digunakan 50 g/l akan dirubah

menjadi satuan persen (%) menjadi 50.000%. Insektisida dalam bentuk persen

(%) sudah ditemukan dan konsentrasi yang akan dipakai 0,05% dan 0,1% maka

menggunakan rumus :

N1.V1 = N2.V2

N1 = konsentrasi stock (%)

V1 = volume yang akan diambil dari stock (ml)

N2 = konsentrasi uji (%)

V2 = Volume untuk pengenceran (ml)

22
3.5.3 Uji Resistensi :

Penelitian mengguakan metode Susceptibility Test (Uji Kerentanan) sesuai dengan

standart WHO dengan langkah-langkah sebagai berikut :

a) Nyamuk Aedes aegypti dewasa disiapkan sebagai sampel.

b) 4 tabung uji dan 1 tabung kontrol disiapkan sebagai media untuk pengujian.

c) 5 tabung (4 tabung untuk kelompok ekseperimen dan 1 tabung untuk kelompok

kotrol) diisi nyamuk Aedes aegyti dewasa masing-masing 25 ekor.

d) 4 tabung yang digunakan sebagai kelompok eksperimen diberi kertas wetmen

yang mengandung cypermethrin dengan konsentrasi berbeda ( tabung 1 dengan

konsentrasi 0,05% dan tabung 2 dengan konsentrasi 0,1%)

e) Selama 60 menit Aedes aegypti dikontak pada tabung uji, kemudian diletakkan

pada tabung lain demgan udara segar (holding) selama 24 jam.

f) Pada masa holding nyamuk Aedes aegypti diberi makan dengan larutan gula

pada kapas yang diletakkan pada permukaan tabung.

g) Setelah 24 jam hitung proporsi nyamuk yang telah mati.

23
3.6 Alur Penelitian

Daerah endemis dan Non endemis

Meletakkan gabah pada setiap rumah

Mengambil nyamuk Aedes aegypti

Mengembangbiakan nyamuk Aedes


aegypti di B2P2VRP
Pengenceran insektisida
cypermethrin

Uji Resistensi

24
3.7 Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat penelitian adalah daerah endemis kecamatan Purwodadi dan non endemis

kecamatan Klambu di kabupaten Grobogan dan mengembangkan nyamuk di Badan

Penelitian Dan Pengembangan Vektor Dan Reservoir Penyakit (B2P2VRP) Salatiga yang

akan dilaksanakan pada bulan Agustus

3.8 Analisis Data

Hasil penelitian berupa data presentase nyamuk Aedes aegypti yang hidup. Data yang

didapatkan dari hasil penelitian <50, maka akan dilakukan uji normalitas dengan

menggunakan Shapiro Wilk dan diuji dengan Levene test. Distribusi yang didapatkan

normal dan homogen, kemudian akan dilakukan uji One Way Anova karena didapatkan data

>2 kelompok dan data tidak berpasangan. Nilai signifikansi didapatkan p < 0,05 maka akan

dilanjutkan uji Post Hoct Test bertujuan untuk mengetahui uji beda dari masing-masing

kelompok. Uji statistik dilakukan dengan menggunaan SPSS 16.0 for windows.

25
Daftar Pustaka

Afriyanto. 2008. Kajian keracunan pestisida pada petani penyemprot cabe di Desa Candi
Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang. Thesis. Magister Kesehatan Lingkungan,
Universitas Diponegoro Semarang.

Damanik, Dewi. 2012. Tempat Perindukan Yang Paling Disenangi Nyamuk Aedes aegypti
Berdasarkan Jenis Sumber Air.Skripsi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas
Sumatra Utara.

Desiree, M dan Heni Prasetyowati. 2012. Transmisi Transovarial Virus Dengue Pada Telur
Nyamuk Aedes aegypei (L .).Ciamis: Aspirator.

Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. 2015. Profil Provinsi Jawa Tengah Tahun 2015.
Semarang: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah.

Lapaleo, Fadlun. 2013. Gambaran Pengetahuan Keluarga Tentang Perawatan Demam Berdarah
Dengue Di Kelurahan Pulubala Kecematan Kota Tengah Kota Gorontalo Tahun 2013,
Skripsi, Jurusan Keperawatan, Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan dan Keolahragaan,
Universitas Negeri Gorontalo.

Fathi, Keman, dan Wahyuni. 2005. Peran Faktor Lingkungan Dan Perilaku Terhadap
Penularan Demam Berdarah Dengue Di Kota Mataram. Mataram: Jurnal Kesehatan
Lingkungan.

Febriantoro,Alvira, HAnif, Hidayat, Juita, dan Wahyuningsih. 2012. “ PAP ” Prevent Aedes
Pump Sebagai Alat Untuk Memutus Siklus Hidup Nyamuk Aedes Aegypti Dan
Meningkatkan Efisiensi Pembersihan Air Di Bak Mandi Skala Rumahan. Fakultas
Kesehatan Masyarakat, Universitas Diponegoro Semarang: Jurnal Ilmiah Mahasiswa.

Hastutiek, P dan Loeki Enggar Fitri. 2007. Resistensi musca domestica Terhadap Insektisida
Dan Mekanismenya.. Majalah Kedokteran Tropis Indonesia: ISSN.

Kementerian Kesehatan RI. 2010. Buletin Jendela Epidemiologi Demam Berdarah Dengue,
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Pedoman Penggunaan Insektisida (Pestisida)


Dalam Pengendalian Vektor.Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Kristinawati, Erna. 2013. Uji Resistensi Sipermetrin Dan Malation Pada Aedes aegypti Di
Daerah Endemis Demam Berdarah Dengue Kabupaten Lombok Barat. Mataram: Media
Bina Ilmiah.

Kumayah, Umi. 2011. Perbedaan Keberadaan larva Aedes aegypti Di Container Dalam Rumah
Di Kelurahan Rawasari Dan Cempaka Putih Barat, Jakarta. Skripsi, Fakultas Kedokteran,
Universitas Indonesia.

26
Kusumastuti, Nurul Hidayati. 2014. Penggunaan Insektisida Rumah Tangga Anti Nyamuk di
Desa Pangandaran, Kabupaten Pangandaran. Ciamis: Widyariset.

Mukti. 2016. Resistensi Nyamuk Aedes aegypti Sebagai Vektor DBD Terhadap Bahan Aktif
Racun Nyamuk Formulasi, Skripsi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas
Muhammadiyah Semarang.

Novita, Kiki. 2016. Uji Resistensi Malathion dan Sipermethrin Terhadap Nyamuk Aedes aegypti
di Daerah Endemis Demam Berdarah Dengue Kota Medan Tahun 2016, Skripsi, Fakultas
Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatra Utara.

Pradani, Ipa, marina, dan Yuliasih. 2011. Penentuan status resistensi Aedes aegypti Dengan
Metode Susceptibility Di Kota Cimahi Terhadap Cypermethrin. Ciamis: Jurnal Vektora.

Ridha, Rahayu, Rosvita, dan Setyaningtyas. 2013. Hubungan kondisi lingkungan dan kontainer
dengan keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti di daerah endemis demam berdarah
dengue di kota Banjarbaru. Banjarmasin: Jurnal Buski.

Sayono, Syafruddin, dan Sumanto. 2012. Distribusi Resistensi Nyamuk Aedes aegypti terhadap
Insektisida Sipermetrin di Semarang. Semarang: Seminar Hasil Hasil Penelitian Unimus.

Sinaga, Siti Nurmawan. 2015. Kebijakan penanggulangan penyakit demam berdarah di


Indonesia. Medan.

Susanti, dan Boesri. 2012. Insektisida Sipermethrin 100 G/L Terhadap Nyamuk Dengan Metode
Pengasapan. Salatiga: Jurnal Kesehatan Masyarakat.

Suwasono, dan Yuniarti. 2002. Pengamatan Entomologi daerah Endemis Dan Non Endemis
Demam Berdarah Dengue Di Kabupaten Grobogan Jawa Tengah. Salatiga: Jurnal Ekologi
Kesehatan

Yuantari, Catur. 2011. Dampak Pestisida Organoklorin Terhadap Kesehatan Manusia dan
Lingkungan Serta Penanggulangannya. Semarang: Prosiding Seminar Nasional Peran
Kesehatan Masyarakat Dalam Pencapaian MDG’S Di Indonesia, (April), 187–199.

Zumaroh. 2015. Evaluasi pelaksanaan surveilans kasus demam berdarah dengue di puskesmas
putat jaya berdasarkan atribut surveilans. Surabaya: Jurnal Berkala Epidemiologi, 3(1),
82–94.

27

Anda mungkin juga menyukai