Studi Kasus pada daerah endemis dan non edemis di kabupaten Grobogan
Oleh:
30101407193
FAKULTAS KEDOKTERAN
SEMARANG
2017
BAB I
PENDAHULUAN
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit yang dapat
menyebabkan kematian, sehingga dapat dikatakan sebagai kejadian luar biasa (KLB) (Fathi
et al, 2005). Menurut Bappenas 2005 penyakit DBD saat ini mendesak untuk diberantas,
karena termasuk wabah yang korbannya ratusan jiwa orang tiap tahunnya (Sinaga et al,
2015). Jenis cypermethrin yang merupakan golongan piretroid sering digunakan masyarakat
Jawa Tengah untuk memberantas nyamuk Aedes aegypti (Sayono et al, 2012). Penggunaan
insektisida terlalu lama sekitar 2-20 tahun dapat menyebabkan resistensi serangga.
Beberapa negara di dunia termasuk Indonesia, insektisida golongan piretroid yang salah
satu jenisnya cypermethrin telah resistensi terhadap nyamuk Aedes aegypti. Penelitian saya
dilakukan untuk mengetahui status resistensi cypermethrin terhadap daya tahan nyamuk
Aedes aegepty pada daerah endemis dan non endemis di kabupaten Grobogan. Sebelumnya
telah ada penelitian di kabupaten Grobogan yang menunjukkan status daerah endemis
kecamatan Purwodadi dan non endemis kecamatan Klambu. Pentingnya penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui apakah nyamuk Aedes aegypti pada daerah endemis dan non
menyebabkan angka kesakitan DBD meningkat. Incidence Rate (IR) DBD di Provinsi Jawa
Tengah pada tahun 2015 dengan angka 47,9 per 100.000 penduduk, mengalami kenaikan
dibandingkan tahun 2014 dengan angka 36,2 per 100.000 penduduk (Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Tengah, 2015). Kecamatan Cimahi telah resisten terhadap cypermethrin 0,2%
2
dan 0,4% hal ini didukung dengan hasil resistensi rasio (RR50) adalah 4,6 (Pradani et al,
n.d.). Kota Semarang menunjukkan kematian nyamuk berkisar 0,8 – 13,5% dengan rata-rata
5,88% dengan hasil tersebut menunjukkan bahwa telah resistensi terhadap cypermethrin
pernah dilakukan pada daerah endemis Semarang, tetapi belum pernah ada penelitian yang
menunjukkan status resistensi daerah endemis dan non endemis (Sayono et al, 2012).
endemis yaitu kecamatan Purwodadi dan non endemis yaitu kecamatan Klambu, tetapi
belum terdapat penelitian tentang uji resistensi nyamuk Aedes aegypti terhadap
cypermethrin (Suwasono & Yuniarti, 2002). Penelitian ini lebih menunjukan perbedaan
status resistensi nyamuk Aedes aegypti terhadap cypermethrin pada kecamatan Purwodadi
sebagai daerah endemis dan kecamatan Klambu sebagai daerah non endemis di kabupaten
Grobogan.
Status resistensi terhadap nyamuk Aedes aegypti dipantau dengan baik untuk
memastikan keputusan yang akurat dan tepat waktu untuk mengganti strategi atau
akan dilakukan penelitian uji resistensi nyamuk Aedes aegypti terhadap insektisida
cypermethrin di kabupaten Grobogan dan akan melakukan pengujian di Balai Besar Litbang
Vektor dan Reservoir Penyakit (B2P2VRP) Salatiga. Penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui konsentrasi cypermethrin yang sudah resisten terhadap nyamuk Aedes aegypti
3
1.2 Rumusan Masalah
Apakah nyamuk Aedes aegypti pada kecamatan Purwodadi sebagai daerah endemis
dan kecamatan Klambu sebagai non endemis di Kabupaten Grobogan telah resisten terhadap
1.3.1 Umum
Mengetahui hasil uji resistensi nyamuk Aedes aegypti terhadap pemberian insektisida
cypermethrin pada kecamatan Purwodadi sebagai daerah endemis dan kecamatan Klambu
1.3.2 Khusus
1.3.2.1 Mengetahui uji resistensi nyamuk Aedes aegypti terhadap konsentrasi cypermethrin
1.4.1 Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi untuk mengetahui uji
berbeda.
4
1.4.2 Praktis
1.4.2.1 Dengan penelitian ini diharapkan penggunaan cypermethrin menjadi lebih tepat
1.4.2.2 Dengan penelitian ini dapat dijadikan sebagai informasi bagi masyarakat sekitar
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
insektisida, dengan pemberian insektisida secara terus menerus (Susanti dan Boesri, 2012).
Menurut WHO (1992) resistensi terhadap insektisida adalah pemberian dosis insektisida
secara normal pada spesies serangga yang seharusnya dapat terbunuh, tetapi kemampuan
individu tersebut dapat bertahan hidup. Resistensi tersebut dapat terjadi apabila memberikan
insektisida secara terus menerus (Novita, 2016). Terjadinya resistensi ini di karenakan
2016).
6
1. Deteksi biokimia menggunakan mikroplat. Uji resistensi nyamuk terhadap
aktivitas enzim esterase non-spesifik. Kelebihan dari deteksi biokimia ini dapat
piretroid dan insektisida DDT dapat ditunjukkan dengan adanya titik mutasi.
Nyamuk aedes aegypti terdapat sembilan titik locus yang berbeda pada mutasi
gen VGSC.
paper). Uji susceptibility dapat dilakukan jika kondisi serangga baik secara
fisiologis (ukuran, umur serangga, stadium, serangga harus hidup, kenyang gula
dan kenyang darah) dan serangga stadium dewasa. Hasil uji susceptibility dapat
ditulis jika setelah pemaparan dan setelah dipisahkan dari papan insektisida
7
2.2 Demam Berdarah Dengue
2.2.1 Definisi
Demam berdarah Dengue merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus
melalui perantara nyamuk. Jenis nyamuk yang menjadi perantara penyakit demam berdarah
adalah nyamuk Aedes aegpyti dan Aedes albopictus. Virus Aedes aegpyti mempunyai 4
serotipe, yaitu virus DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Penyakit Demam berdarah
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang dapat menyerang pada
anak-anak hingga orang tua disebabkan oleh virus dengue diperantarai oleh nyamuk Aedes
aegypti. Demam Berdarah Dengue (DBD) mempunyai manifestasi klinis demam mendadak
2-7 hari,dapat disertai dengan lemah/lesu, ekimosis (lebam), muntah darah, petechiae
yang menyebabkan syok sehingga dapat terjadi kematian (Lapaleo, 2013). Cara penularan
penyakit DBD ini adalah penderita yang terkena DBD diisap oleh nyamuk Aedes aegypti
bersama dengan darah maka virus dengue menyebar dan berkembang biak pada tubuh
nyamuk tersebut, kemudian akan ditularkan kepada penderita yang awalnya tidak terkena
DBD. Penularan nyamuk Aedes aegypti dengan cara mengigit penderita yang tidak terkena
DBD, sehingga virus dengue akan keluar bersama dengan air liur nyamuk dahulu yang
bertujuan agar darah tidak membeku pada saat penularan (Novita, 2016).
8
2.2.2 Epidemiologi
Abad 18 hingga 20 wabah penyakit dengue ditemukan pada daerah yang beriklim
sedang dan tropis. Tahun 1635 di Kepulauan Karibia pertama kali ditemukan virus dengue.
Transportasi laut menjadi perantara penyebaran penyakit dengue sehingga dapat berpindah
dan memindahkan penyakit. Tahun 1954 di Manila pertama kali penyakit DBD ditemukan,
kemudian tahun 1958 di Bangkok (Novita, 2016). Tahun 1968 hingga 2009, menurut data
World Health Organization (WHO) bahwa kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara adalah
Kota Surabaya menjadi kota pertama ditemukannya penyakit DBD pada tahun 1968
dari 58 kasus dan 24 diantaranya meninggal dunia (Angka kematian 41,3%). Setelah
kejadian tersebut penyakit DBD mulai menyebar di seluruh Indonesia (Novita, 2016).
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Classis : Insekta
Ordo : Diptera
Familia : Culicidae
Genus : Aedes
Subgenus : Stegomyia
Spesies : Ae.aegypti
9
Gambar 1. Nyamuk Aedes aegypti Dewasa (Kumayah, 2011)
Nyamuk Aedes aegypti mempunyai waktu 7-14 hari untuk melakukan metamorfosis
sempurna dari telur hingga dewasa,metamorfosis sempurna melewati empat stadium (tahap).
Pertama dari telur putih yang akan berubah warna menjadi hitam dengan waktu 1-2 jam.
Nyamuk Aedes aegypti akan bertelur 100 kali setiap bertelur. Kedua yaitu larva, yang
mempunyai ciri-ciri bentuknya pendek dan mempunyai sifon. Larva nyamuk mempunyai
empat instar yang membutuhkan waktu 6 hari - 2 minggu, semua itu juga tergantung pada
keadaan air, persediaan makanan, ataupun suhu air pada lingkungan. Untuk menjadi pupa,
larva membutuhkan waktu 6 – 8 hari. Ketiga fase inaktif dimana hanya butuh bernafas
dengan oksigen tetapi tidak membutuhkan makanan, keadaan tersebut dinamakan keadaan
inaktif. Pupa mendapatkan oksigen untuk bernafas dengan cara mendekatkan diri dengan
permukaan. Fase pupa tergantung pada spesies nyamuk dan suhu air bisa mencapai satu hari
hingga beberapa minggu (Febriantoro et al, 2012). Fase inaktif ini disebut juga pupa yang
mempunyai bentu bengkok, bagian kepala lebih besar dari pada bagian abdomen sehingga
seperti tanda koma (Kumayah, 2011). Keempat adalah fase dewasa dimana nyamuk Aedes
10
aegypti memiliki ciri-ciri terdapat antenna dan proboscis polos yang digunakan sebagai alat
penghisap. Membedakan nyamuk Aedes aegypti yang betina dan jantan dapat di lihat pada
bagian antenna, pada jantan memiliki bulu-bulu yang lebih lebat daripada betina. Bagian
toraks memiliki warna garis putih keperakan dan memiliki 3 bagian kaki, yaitu sepasang
kaki depan, sepasang kaki tengah, dan sepasang kaki belakang. Kaki nyamuk Aedes aegypti
memiliki warna hitam dan bergelang-gelang putih dan mempunyai sayap yang simetris.
Bagian abdomen nyamuk Aedes aegypti memiliki 8 segmen yang berbentuk silinder
(Damanik, 2012).
Virus dengue pada nyamuk Aedes aegypti ditularkan nyamuk betina melalui
mekanisme transmisi vertikal. Masa embriogenesis virus tersebut dapat masuk kedalam telur
saat fertilisasi melalui saluran sel telur. Hal tersebut yang dapat menyebabkan telur
terinfeksi, larva, dan 80% nyamuk akan terinfeksi. Virus dengue yang berada dalam nyamuk
aedes aegypti betina dapat dikatakan sebagai induk, kemudian akan masuk ke telur (ovum)
11
di dalam uterus nyamuk. Pada akhirnya virus tersebut akan bertransmisi dalam embiro
didalam uterus sebagai medium hidup untuk perkembangbiakan. Larva nyamuk digunakan
sebagai perantara virus dengue. Larva pertama kali berubah menjadi nyamuk dan menggigit
darah manusia, maka manusia bisa terinfeks virus dengue (Desiree dan Prasetyowati, 2012).
1. pH Air
pH air mempengaruhi daya tetas telur nyamuk, daya tetas telur akan semakin
meningkat jika pH air tersebut bersifat asam. Menurut Hidayat C dalam Ridha
(2013) bahwa didapatkan lebih banyak nyamuk jika pH air perindukan 7 daripada
2. Suhu Air
Suhu air dapat mempengaruhi perkembang biakan nyamuk dari telur hingga imago
3. Suhu Udara
Dimana suhu udara akan berpengaruh perkembang biakan virus di dalam tubuh
o
nyamuk dan perkembangbiakan jentik nyamuk Ae. Aegypti. Pada suhu 20-30 C
o
Murdihusodo dalam Ridha (2013) bahwa dalam temperature udara 25-30 C dengan
o
waktu 72 jam akan mengalami embrionisasi lengkap, tetapi dalam suhu 10 C atau
o
lebih dari 40 C pertumbuhan nyamuk akan berhenti. Salah satu daerah tropis di
4. Kelembaban Udara
12
Kelembaban udara dapat mempengaruhi kondisi lingkungan sehingga berpengaruh
optimal (81,5 – 89,5% ) menjadi proses embrionisasi dan ketahanan hidup yang
2.3 Insektisida
Insektisida merupakan kelompok dari pestisida terbesar yang terdiri dari beberapa
bahan kimia yang berbeda seperti kabamat, piretroid, organoklorin, dan organofosfat.
(Kusumastuti, 2014).
reversible atau pulih kembali sehingga jenis insektisida ini tergolong aman.
Indonesia, 2012).
manusia karena termasuk insektisida yang paling toksik daripada jenis pestisida
sedikit saja, tetapi pada orang dewasa butuh beberapa mg. Cara kerja
racun perut, dan racun inhalasi. Racun kontak yaitu insektisida masukdalam
13
tubuh serangga melalui kulit, kemudian akan ditransformasikan ke dalam tubuh
serangga (susuran saraf pusat), racun perut apabila insektisida termakan atau
4. Piretiroid, tidak dapat diabsorbsi oleh kulit manusia karena sehingga memiliki
toksisitas yang rendah. Tetapi jenis insektisida ini dapat menimbulkan alergi
pada orang yang peka. Contoh dari piretiroid adalah permetrin, transfultrin, dan
sebagai racun kontak dan perut. Pada penelitian yang telah dilakukan di Lombok
lebih besar jika semakin lama waktu kontak dengan cypermethrin (Kristinawati,
pad mukosa, mata, dan kulit, apabila terhirup dapat mengiritasi saluran
pernafasan dan astma, dan dapat terjadi kerusakan pada saraf saraf (Susanti dan
Boesri, 2012).
Cara kerja insektisida golongan piretroid yaitu sebagai racun axonix yang dapat
merusak serabut saraf. Insektsida ini biasa di kenal sebagai voltage-gated sodium channel
karena terikat dengan suatu protein dalam saraf. Dalam keadaan normal protein akan
membuka untuk memberi rangsangan pada saraf dan menutup untuk menghentikan saraf
14
tersebut. Dapat mengakibatkan gerakan inkoordinasi dan tremor pada serangga rumah yang
apabila menarik nafas akan menimbulkan bunyi dan nafas pendek. Kondisi kronis
B) Hati
Pemaparan bahan kimia dalam jangka pendek dapat mengakibatkan inflamasi sel-
sel (hepatitis kimia), kematian sel (nekrosis), dan penyakit kuning. Jangka
panjang pemaparan bahan kimia menyebabkan kanker hati dan sirosis hati.
C) Sistem saraf
Pemaparan bahan kimia terhadap system saraf disebut neurotoksik yang akan
memperlambat fungsi otak. Bahan kimia dapat menekan system saraf pusat
D) Kulit
Bahan kimia mempunyai sifat iritan sehingga dapat menyebabkan efek dermatitis
dan sensitifitas kulit atau alergi. Bahan kimia lain mengakibatkan kepekaan
15
E) Darah
Ada 2 cara penyemprotan yaitu cold fog (pengkabutan) dan Thermal fog (pengasapan) :
A) Cold fog sebenernya mirip dengan thermal fog, tetapi penggunaan cold fog ini
menggunakan pelarut seperti air. Kelebihan dari cold fog adalah hasilnya yang
tidak mengakibatkan kabut banyak seperti thermal fogging. Dan kekurangan dari
cold fog adalah membutuhkan konsentrasi larutan dengan semprotan yang lebih
tinggi sehingga penanganannya harus hati-hati (Novita, 2016). Cold fogging atau
B) Fogging mempunyai nama lain thermal fogging atau thermal aerosol, dengan alat
yang disebut fogger, hot fogging machine, thermal aerosol generator, atau thermal
semprot hasilnya sangat halus. Karena yang dihasilkan sangat halus dengan
ukuran <1 hingga 150 mikron, maka menyebabkan melayang lama di udara
(Novita, 2016). Thermal fogging atau space spray adalah pengendalian DBD
fogging merupakan salah satu teknik yang dapat mengendalikan DBD dengan
16
waktu tertentu. Saat ini masyarakat menggunakan fogging untuk mengurangi
Variabel Bebas pada penelitian ini adalah insektisida cypermethrin sedangkan variable
terikatnya adalah nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes aegypti di dapatkan dari jentik-
jentik pada daerah endemis dan non endemis kabupaten Grobogan, kemudian akan
Salatiga. Nyamuk Aedes aegypti dewasa akan diberikan insektisida cypermethrin dengan
neurotoxin yang bekerja cepat pada tubuh serangga. Senyawa tersebut digunakan sebagai
insektisida yang bekerja sebagai racun kontak dan perut sehingga dapat membunuh Aedes
aegypti dewasa. Penelitian ini akan menunjukkan apabila Aedes aegypti dewasa sering
aegypti yang telah resisten akan tetap hidup setelah dilakukan pemaparan berulang.
17
2.5 Kerangka Teori
Proses mekanise
Faktor lingkungan :
Uji Susceptibility
Resistensi
18
2.6 Kerangka Konsep
Resistensi
Insektisida cypermethrin
Aedes aegypti
2.7 Hipotesis
19
BAB III
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen yang bersifat posttest only control
group desain.
3.2.1 Variabel
Nyamuk Aedes aegypti didapatkan dari daerah endemis dan non endemis di kabupaten
Grobogan.
Skala : Ratio
3.2.2.2 Resistensi
cypermethrin.
Skala : Ratio
kandungan racun neurotoxin yang bekerja cepat pada tubuh serangga. Senyawa tersebut
20
digunakan sebagai insektisida yang bekerja sebagai racun kontak dan perut. Kadar
Skala : Ratio
kabupaten Grobogan.
Sampel penelitian adalah anggota populasi yang diambil secara acak (random
Tabung untuk larutan cypermethrin, tabung dengan standart WHO untuk uji resistensi
nyamuk, pipet untuk mengambil larutan, pipet untuk mengambil larva, kertas whatman
untuk memaparkan larutan cypermethrin, dan kapas untuk media pemberian makan dengan
larutan gula.
3.4.2 Bahan
a) Observasi tempat dilakukan pada rumah penderita DBD dan 9 rumah di daerah
kabupaten Grobogan.
21
b) Letakkan air yang digenangi gabah kemudian diletakkan disudut rumah warga
selama 7 hari.
c) Setelah 7 hari larva diambil menggunakan pipet, lalu larva yang diambil
menjadi satuan persen (%) menjadi 50.000%. Insektisida dalam bentuk persen
(%) sudah ditemukan dan konsentrasi yang akan dipakai 0,05% dan 0,1% maka
menggunakan rumus :
N1.V1 = N2.V2
22
3.5.3 Uji Resistensi :
b) 4 tabung uji dan 1 tabung kontrol disiapkan sebagai media untuk pengujian.
e) Selama 60 menit Aedes aegypti dikontak pada tabung uji, kemudian diletakkan
f) Pada masa holding nyamuk Aedes aegypti diberi makan dengan larutan gula
23
3.6 Alur Penelitian
Uji Resistensi
24
3.7 Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat penelitian adalah daerah endemis kecamatan Purwodadi dan non endemis
Penelitian Dan Pengembangan Vektor Dan Reservoir Penyakit (B2P2VRP) Salatiga yang
Hasil penelitian berupa data presentase nyamuk Aedes aegypti yang hidup. Data yang
didapatkan dari hasil penelitian <50, maka akan dilakukan uji normalitas dengan
menggunakan Shapiro Wilk dan diuji dengan Levene test. Distribusi yang didapatkan
normal dan homogen, kemudian akan dilakukan uji One Way Anova karena didapatkan data
>2 kelompok dan data tidak berpasangan. Nilai signifikansi didapatkan p < 0,05 maka akan
dilanjutkan uji Post Hoct Test bertujuan untuk mengetahui uji beda dari masing-masing
kelompok. Uji statistik dilakukan dengan menggunaan SPSS 16.0 for windows.
25
Daftar Pustaka
Afriyanto. 2008. Kajian keracunan pestisida pada petani penyemprot cabe di Desa Candi
Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang. Thesis. Magister Kesehatan Lingkungan,
Universitas Diponegoro Semarang.
Damanik, Dewi. 2012. Tempat Perindukan Yang Paling Disenangi Nyamuk Aedes aegypti
Berdasarkan Jenis Sumber Air.Skripsi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas
Sumatra Utara.
Desiree, M dan Heni Prasetyowati. 2012. Transmisi Transovarial Virus Dengue Pada Telur
Nyamuk Aedes aegypei (L .).Ciamis: Aspirator.
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. 2015. Profil Provinsi Jawa Tengah Tahun 2015.
Semarang: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah.
Lapaleo, Fadlun. 2013. Gambaran Pengetahuan Keluarga Tentang Perawatan Demam Berdarah
Dengue Di Kelurahan Pulubala Kecematan Kota Tengah Kota Gorontalo Tahun 2013,
Skripsi, Jurusan Keperawatan, Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan dan Keolahragaan,
Universitas Negeri Gorontalo.
Fathi, Keman, dan Wahyuni. 2005. Peran Faktor Lingkungan Dan Perilaku Terhadap
Penularan Demam Berdarah Dengue Di Kota Mataram. Mataram: Jurnal Kesehatan
Lingkungan.
Febriantoro,Alvira, HAnif, Hidayat, Juita, dan Wahyuningsih. 2012. “ PAP ” Prevent Aedes
Pump Sebagai Alat Untuk Memutus Siklus Hidup Nyamuk Aedes Aegypti Dan
Meningkatkan Efisiensi Pembersihan Air Di Bak Mandi Skala Rumahan. Fakultas
Kesehatan Masyarakat, Universitas Diponegoro Semarang: Jurnal Ilmiah Mahasiswa.
Hastutiek, P dan Loeki Enggar Fitri. 2007. Resistensi musca domestica Terhadap Insektisida
Dan Mekanismenya.. Majalah Kedokteran Tropis Indonesia: ISSN.
Kementerian Kesehatan RI. 2010. Buletin Jendela Epidemiologi Demam Berdarah Dengue,
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Kristinawati, Erna. 2013. Uji Resistensi Sipermetrin Dan Malation Pada Aedes aegypti Di
Daerah Endemis Demam Berdarah Dengue Kabupaten Lombok Barat. Mataram: Media
Bina Ilmiah.
Kumayah, Umi. 2011. Perbedaan Keberadaan larva Aedes aegypti Di Container Dalam Rumah
Di Kelurahan Rawasari Dan Cempaka Putih Barat, Jakarta. Skripsi, Fakultas Kedokteran,
Universitas Indonesia.
26
Kusumastuti, Nurul Hidayati. 2014. Penggunaan Insektisida Rumah Tangga Anti Nyamuk di
Desa Pangandaran, Kabupaten Pangandaran. Ciamis: Widyariset.
Mukti. 2016. Resistensi Nyamuk Aedes aegypti Sebagai Vektor DBD Terhadap Bahan Aktif
Racun Nyamuk Formulasi, Skripsi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas
Muhammadiyah Semarang.
Novita, Kiki. 2016. Uji Resistensi Malathion dan Sipermethrin Terhadap Nyamuk Aedes aegypti
di Daerah Endemis Demam Berdarah Dengue Kota Medan Tahun 2016, Skripsi, Fakultas
Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatra Utara.
Pradani, Ipa, marina, dan Yuliasih. 2011. Penentuan status resistensi Aedes aegypti Dengan
Metode Susceptibility Di Kota Cimahi Terhadap Cypermethrin. Ciamis: Jurnal Vektora.
Ridha, Rahayu, Rosvita, dan Setyaningtyas. 2013. Hubungan kondisi lingkungan dan kontainer
dengan keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti di daerah endemis demam berdarah
dengue di kota Banjarbaru. Banjarmasin: Jurnal Buski.
Sayono, Syafruddin, dan Sumanto. 2012. Distribusi Resistensi Nyamuk Aedes aegypti terhadap
Insektisida Sipermetrin di Semarang. Semarang: Seminar Hasil Hasil Penelitian Unimus.
Susanti, dan Boesri. 2012. Insektisida Sipermethrin 100 G/L Terhadap Nyamuk Dengan Metode
Pengasapan. Salatiga: Jurnal Kesehatan Masyarakat.
Suwasono, dan Yuniarti. 2002. Pengamatan Entomologi daerah Endemis Dan Non Endemis
Demam Berdarah Dengue Di Kabupaten Grobogan Jawa Tengah. Salatiga: Jurnal Ekologi
Kesehatan
Yuantari, Catur. 2011. Dampak Pestisida Organoklorin Terhadap Kesehatan Manusia dan
Lingkungan Serta Penanggulangannya. Semarang: Prosiding Seminar Nasional Peran
Kesehatan Masyarakat Dalam Pencapaian MDG’S Di Indonesia, (April), 187–199.
Zumaroh. 2015. Evaluasi pelaksanaan surveilans kasus demam berdarah dengue di puskesmas
putat jaya berdasarkan atribut surveilans. Surabaya: Jurnal Berkala Epidemiologi, 3(1),
82–94.
27