Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN KAJIAN TULISAN SECARA

FISIOLOGI DAN EKOLOGI

“kerentanan Larva Nyamuk Aedes aegepty Terhadap Insektisida golongan organofosfat


dan piretroid ”

FRIMA GITA OKTAFIA

1910007771007

DOSEN PENGAMPU:

Drs.Elijonnahdi M.Si

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


JURUSAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
STKIP ABDI PENDIDIKANPAYAKUMBUH
2020/2021
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan
rahmat dan karunia-Nya lah sehingga kami dapat menyelesaikan laporan EKOLOGI HEWAN
dengan judul “kerentanan Larva Nyamuk Aedes Albopictus Terhadap Insektisida”

            Penyusunan  laporan ini dibuat guna memenuhi tugas mata kuliah EKOLOGI HEWAN.
Tak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian laporan ini, dan tentunya terselesainya laporan ini atas tuntunan tuhan yang maha
esa.

penyusun menyadari bahwa dalam proses penulisan laporan ini masih dari jauh dari
kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya.  Namun demikian, kami telah berupaya
dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat selesai dengan baik
dan oleh karenanya, penulis  dengan rendah hati dan dengan tangan terbuka menerima masukan,
saran dan usul guna penyempurnaan laporan ini

Payakumbuh , Desember 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................ii

DAFTAR ISI..........................................................................................iii

BAB 1 PENDAHULUAN.....................................................................1

A. Latar belakang.............................................................................1
B. Perumusan masalah.....................................................................3
C. Tujuan penelitian.........................................................................3
D. Manfaat penelitian.......................................................................3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA............................................................5

A. Defenisi Aedes Aegypti………………………………………..


B. Penggolongan Insektisida Berdasarkan Cara Kerja
C. Penggolongan Insektisida Berdasarkan Senyawa Kimia
D. Resistensi “Dapatan” (Acquired Resistance)

BAB 3 METODE PENELITIAN.........................................................17

A. Sumber Data………………………………………………………
B. Waktu Dan Tempat………………………………………………
C. Alat Pene;Itian………………………………………………………
D. Analisi Data.................................................................................18

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN.................................................22

A. Hasil Penelitian...........................................................................22
B. Pembahasan.................................................................................24

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN.................................................28

A. Kesimpulan..................................................................................28
B. Saran

DaftarPUSTAKA…………………………………………………29
BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) pertama
kali ditemukan di Indonesia yaitu di Kota Surabaya tahun 1968, namun konfirmasi virologi
baru didapatkan pada tahun 1972.Sejak pertama kali ditemukan, kecenderungan kasus DBD
semakin meningkat dari tahun ke tahun, sehingga telah menjadi masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia.

World Health Organization (WHO) menggolongkan DBD sebagai penyakit infeksi yang terus
meningkat, karena penyebaran geografis penyakit ini terus meluas dan semakin meningkatnya jumlah
penduduk yang terkena. World Health Organization (WHO) telah memperkirakan 50-100 juta orang telah
terinfeksi setiap tahunnya di negara berkembang berkisar 1%-2,5%, sehingga setiap 100 kasus DBD akan
didapatkan 1-3 orang meninggal dunia karena penyakit DBD.

Incidence Rate DBD di Indonesia cenderung mengalami peningkatan, pada tahun 2010
sebesar 28‰, pada tahun 2011 sebesar 27,8‰, pada tahun 2012 meningkat menjadi 37,3‰
dan pada tahun 2013 meningkat menjadi 45,9‰. Penderita DBD pada tahun 2011 sebanyak
65.725 kasus dengan jumlah meninggal sebanyak 597 orang tersebar pada 31 provinsi, pada
tahun 2012 meningkat menjadi 90.245 kasus dengan jumlah meninggal sebanyak 816 orang
tersebar pada 33 provinsi dan pada tahun 2013 jumlah kasus sebanyak 86.547 dengan jumlah
meninggal sebanyak 647 orang tersebar pada semua provinsi di Indonesia.

Demam Berdarah Dengue disebabkan oleh virus Dengue yang termasuk dalam golongan
virus RNA famili Flaviviridae dengan genus Flavivirus. Vektor utama DBD di Indonesia adalah Ae.
aegypti pada daerah perkotaan dan Ae. albopictus pada daerah perdesaan.Kedua jenis nyamuk
ini terdapat hampir di seluruh wilayah Indonesia, kecuali pada tempat-tempat dengan
ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan air laut.

Ae.aegypti mempunyai ciri fisik berbadan kecil, berwarna hitam dengan bintik-bintik putih, jarak
terbang nyamuk sekitar 100 meter, umur nyamuk betina dapat mencapai sekitar satu bulan, mempunyai
kebiasaan menghisap darah pada pagi hari sekitar pukul 09.00-10.00 dan sore hari pukul 16.00-17.00.
Nyamuk betina menghisap darah untuk proses pematangan sel telur, sedangkan nyamuk jantan memakan
sari-sari tumbuhan. Nyamuk Aedes hidup di genangan air bersih, didalam rumah dapat hidup di bak
mandi, tempayan, vas bunga, dan tempat air minum hewan dan diluar rumah dapat hidup di genangan air
seperti di dalam drum, ban bekas dan barang bekas.
Penanganan terhadap penderita DBD yang dilakukan sampai saat ini bersifat suportif karena obat
dan vaksin DBD yang memadai belum ditemukan, sampai saat ini masih dalam tahap penelitian sehingga
upaya pengendalian vektor menjadi salah satu cara efektif untuk menurunkan kasus dan penyebaran
DBD. Pengendalian vektor yang sudah dilakukan selama ini oleh program selain partisipasi masyarakat
melalui kegiatan menguras, mengubur, menutup (3M) adalah dengan menggunakan insektisida.
Insektisida digunakan untuk mengendalikan vektor DBD baik pada stadium jentik atau larva (pradewasa)
maupun stadium dewasa (nyamuk). Pada stadium larva menggunakan larvasida (temephos dan Insect
Growth Regulator) dan pengendalian pada stadium dewasa menggunakan adultisida (fogging).

Organosfot merupakan golongan insektisida yang sudah digunakan sejak tahun


1970,sedangkan golongan piretroid sintetik digunakan sejak tahun 980-an sampai
sekarang.pengendalian jentik ae aegepty saat ini menggunakan temhepos dalam bentuk granula
% yang dilarutkan dalam wadah / penampung . air di rumah tangga. Malathion, permethrin atau
deltamethrin digunakan untuk pengendalian rutin jangka pendek dengan cara thermal fogging
ataupun ultra low volume terhadap Ae. aegypti dewasa bila terjadi ledakan kasus DBD.
Demikian pula masyarakat biasa menggunakan insektisida aerosol ataupun semprot di rumah
tangga (household sprays) yang mengandung piretroid.Penggunaan insektisida dalam jangka
lama akan memberikan dampak terjadinya resistensi vektor dan pencemaran lingkungan.
Resistensi adalah kemampuan populasi vektor untuk bertahan hidup terhadap suatu dosis
insektisida yang dalam keadaan normal dapat membunuh spesies vektor tersebut. Jenis resistensi
ini dapat berupa resistensi tunggal, resistensi ganda (multiple resistance) dan resistensi silang
(cross resistance).

Faktor-faktor yang menyebabkan berkembangnya resistensi meliputi faktor genetik,


biologi dan operasional.Faktor genetik antara lain meliputi frekuensi, jumlah dan dominasi alel
resisten. Faktor biologi-ekologi meliputi perilaku serangga, jumlah generasi per tahun,
keperidian, mobilitas dan migrasi. Faktor operasional meliputi jenis dan sifat insektisida yang
digunakan, jenis-jenis insektisida yang digunakan sebelumnya, persistensi, jumlah aplikasi dan
stadium sasaran, dosis, frekuensi dan cara aplikasi, bentuk aplikasi dan lain-lain. Faktor genetik
dan biologi-ekologi lebih sulit dikelola dibandingkan faktor operasional. Faktor genetik dan
biologi merupakan sifat asli serangga sehingga diluar pengendalian manusia.

A. Perumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat disimpulkan bahwa
rumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimana status
resistensi larva nyamuk Aedes aegypti terhadap insektisida golongan
organofosfat.
B. Tujuan penelitian

Tujuan umum

Untuk mengetahui status resistensi larva nyamuk Aedes aegypti terhadap insektisida

Tujuan khusus :

a) Mengidentifikasi penggunaan jenis insektisida di wilayah endemis DBD


b) Mengetahui sebaran jentik dan pupa pada daerah endemis DBD
c) Mengetahui status kerentanan terhadap insektisida pada vektor DBD stadium dewasa dan
pradewasa
d) Mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya penurunan kerentanan Aedes aegypti

C. Manfaat penelitian
a) Manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan: diperolehnya peta kerentanan vektor
DBD di Indonesia yang dapat digunakan sebagai informasi dalam pengembangan ilmu
pengetahuan
b) Manfaat untuk masyarakat: hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan
pengetahuan masyarakat dalam penggunaan insektisida.
c) Sebagai sumber pengembangan ilmu pengetahuan yang telah ada sebelumnya dan juga
dapat menjadi bahan kajian untuk penelitian berikutnya.
d) Sebagai sarana meningkatkan pengetahuan, wawasan penelitian dalam melaksanakan
sebuah penelitian, sebagai pengalaman yang berharga serta sebagai penerapan ilmu yang
telah didapat pada saat perkuliahan.
e) Masyarat lebih mengetahui bahaya nyamuk aedes aegepty ini dan lebih waspada agar
tidak terjangkit penyakit dbd
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A.Defenisi Aedes Aegypti
Aedes aegypti adalah jenis nyamuk yang dapat membawa virus dengue penyebab
penyakit demam berdarah. Selain virus dengue, Aedes aegypti juga merupakan pembawa virus
demam kuning dan chikungunya. Penyebaran Aedes aegypti sangat luas, hampir di semua daerah
tropis di seluruh dunia. Aedes aegypti bersifat diurnal atau aktif pada pagi hingga siang hari.1,2
Penularan penyakit dilakukan oleh nyamuk betina karena hanya nyamuk betina yang menghisap
darah. Hal itu dilakukan Aedes aegypti untuk memperoleh asupan protein yang diperlukannya
untuk memproduksi telur. Aedes aegypti menyukai area yang remang sampai gelap dan benda
berwarna hitam atau merah.

Insektisida merupakan bahan kimia yang digunakan untuk membunuh insekta/serangga.


Insektisida dapat mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan, tingkah laku, perkembangbiakan,
kesehatan, sistem hormon, sistem pencernaan, serta aktivitas biologis lainnya hingga berujung pada
kematian serangga.

sektisida dalam jangka lama akan memberikan dampak terjadinya resistensi vektor dan
pencemaran lingkungan. Resistensi adalah kemampuan populasi vektor untuk bertahan hidup
terhadap suatu dosis insektisida yang dalam keadaan normal dapat membunuh spesies vektor
tersebut. Jenis resistensi ini dapat berupa resistensi tunggal, resistensi ganda (multiple resistance)
dan resistensi silang (cross resistance).

Faktor-faktor yang menyebabkan berkembangnya resistensi meliputi faktor genetik,


biologi dan operasional.7 Faktor genetik antara lain meliputi frekuensi, jumlah dan dominasi alel
resisten. Faktor biologi-ekologi meliputi perilaku serangga, jumlah generasi per tahun,
keperidian, mobilitas dan migrasi. Faktor operasional meliputi jenis dan sifat insektisida yang
digunakan, jenis-jenis insektisida yang digunakan sebelumnya, persistensi, jumlah aplikasi dan
stadium sasaran, dosis, frekuensi, cara aplikasi, bentuk aplikasi, dan lain-lain.
B.Penggolongan Insektisida Berdasarkan Cara Kerja

Insektisida yang digunakan dalam pengendalian vektor berdasarkan carabekerja atau cara
masuknya racun ke dalam tubuh vektor yaitu:

a) Racun perut (stomach poisons)

Racun lambung atau perut adalah insektisida yang membunuh serangga sasaran dengan cara
masuk ke pencernaan melalui makanan yang mereka makan. Insektisida akan masuk ke organ
pencernaan serangga dan diserap oleh dinding usus kemudian ditranslokasikan ke tempat sasaran
yang mematikan sesuai dengan jenis bahan aktif insektisida. Racun yang bekerja melalui
peracunan perut harus diberikan secara umpan. Racun ini dicampur dengan bahan-bahan lain
sebagai penarik (attractant) hama. Untuk lalat, bahan penarik ini berupa gula, buah-buahan, dll

b) Racun pernafasan (respiratory poisons)

Racun ini dapat masuk ke dalam tubuh hama melalui saluran pernafasan yangdisebut
spirakel dan pori-pori pada permukaan tubuhnya dalam bentuk partikel mikro yang melayang di
udara. Serangga akan mati bila menghirup partikel mikro insektisida dalam jumlah yang cukup.
Umumnya racun pernafasan berupa gas, asap, maupun uap dari insektisida cair.

c) Racun kontak (contact poisons)

Racun ini masuk ke dalam tubuh serangga melalui dinding tubuh/kulit tubuh ataubagian
kaki (tarsus). Termasuk pada jenis racun kontak ini yaitu residu (residual poisons) yang
disemprotkan pada dinding dan langit-langit rumah untuk membunuh hama yang berada
ditempat tersebut.
C.Penggolongan Insektisida Berdasarkan Senyawa Kimia

Insektisida diklasifikasikan berdasarkan pengaruh fisiologisnya yaitu sebagai


berikut :

a. Organofosfat

Insektisida organofosfat mengikat enzim asetilkolinesterase yang berfungsi


menghidrolisis asetilkolin. Dalam keadaan normal asetilkolin berfungsi menghantar impul saraf,
setelah itu segera mengalami hidrolisis dengan bantuan enzim asetilkolinesterase menjadi kolin
dan asam asetat. Dengan terikatnya enzim asetilkolinesterase terjadi penumpukan asetilkolin,
akibatnya impuls syaraf akan terstimulasi secara terus menerus menerus menyebabkan gejala
gemetar/tremor dan gerakan tidak terkendali. Senyawa yang termasuk organofosfat yaitu
diazinon, dimethyl phosphate, dimeton, dimethoate, phorate,methyl parathion, ethyl parathion,
dan trichlorfon.

b. Organoklorin

Organoklorin atau sering disebut hidrokarbon klor. Semua insektisida dalam kelompok
ini mengandung klorin, hidrogen dan karbon secara umum dapat dikatakan bahwa keracunan
serangga oleh insektisida ini ditandai dengan terjadinya gangguan pada sistem syaraf pusat yang
mengakibatkan terjadinya hiperaktivitas, gemetaran, kejang-kejang dan akhirnya terjadi
kerusakan syaraf dan otot serta kematian. Senyawa yang termasuk dalam golongan organoklorin
yaitu

c. Karbamat

Pengaruh fisiologis yang primer dari racun golongan karbamat adalah menghambat
aktifitas enzim cholinesterase darah, dengan gejala-gejala yang sama seperti pada senyawa
organofosfat. Hanya saja pada karbamat penghambatan enzim cholinesterase bersifat bolak-balik
(reversible) sedangkan pada golongan organofosfat tidak bolak balik. Ciri khas golongan ini
mengandung unsur nitrogen. Senyawa yang termasuk dalam golongan karbamat yaitu
bendiocarb, pyrolan, isolan, dimethilan, dan karbaryl.
d. Piretroid Sintetik

Insektisida dari kelompok piretroid merupakan insektisida sintetik yang merupakan tiruan
atau analog dari pyrethrum. Efikasi biologis piretroid bervariasi, tergantung pada bahan aktif
masing-masing. Kebanyakan piretroid yang memiliki efek sebagai racun kontak yang sangat
kuat. Insektisida piretroid merupakan racun yang memengaruhi saraf serangga (racun saraf)
dengan berbagai macam cara kerja pada susunan saraf pusat. Piretroid adalah racun saraf yang
bekerja dengan cepat dan menimbulkan paralisis yang bersifat sementara. Efek piretroid sama
dengan DDT tetapi piretroid memiliki efek tidak persisten. Generasi pertama piretroid adalah
allethrin bersifat stabil dan persisten yang cukup efektif untuk membunuh lalat rumah dan
nyamuk. Piretroid yang lain adalah flucythrinate, etofenprox, deltamethrin, cypermethrin, dan
lambdacyhalothrin yang memiliki spektrum luas.

Pemakaian insektisida yang terus menerus dalam waktu yang cukup lama dan frekuensi
tinggi dapat menyebabkan penurunan kerentanan nyamuk sasaran. Keberhasilan dalam
pengendalian nyamuk tergantung pada insektisida yang digunakan. Pemantauan secara berkala
kerentanan vektor terhadap insektisida yang digunakan sangat diperlukan.

Uji kerentanan pada dasarnya merupakan uji untuk mendeteksi adanya resistensi terhadap
vektor. Serangga disebut resisten terhadap suatu insektisida jika dengan dosis yang biasa dipakai
serangga tersebut tidak mati. Ada dua macam resistensi, yaitu resistensi bawaan dan resistensi
dapatan. Resistensi Bawaan

Pada dasarnya ada sekelompok serangga yang resisten terhadap suatu insektisida dan
sifat tersebut diturunkan kepada generasi berikutnya. Sifat tersebut terjadi karena perubahan gen
yang menimbulkan mutasi, sehingga serangga bersifat resisten. Berdasarkan mekanismenya
resistensi bawaan dibagi menjadi dua, yaitu resistensi fisiologis bawaan dan resistensi perilaku
bawaan.

Resistensi fisiologis bawaan disebabkan beberapa faktor, yaitu daya absorbsi insektisida
yang sangat lambat, daya penyimpanan insektisida dalam lemak sehingga organ target tidak
terkena, daya ekskresi insektisida yang cepat, detoksifikasi insektisida oleh enzim dalam tubuh
serangga.
D.Resistensi “Dapatan” (Acquired Resistance)

Dalam suatu populasi, ada serangga yang dapat menyesuaikan diri terhadap insektisida
sehingga tidak mati dan membentuk populasi baru yang resisten. Ada beberapa macam resistensi
yang didapatkan, yaitu: (1) Resistensi fisiologis “dapatan”

disebabkan timbulnya toleransi karena dosis subletal; (2) Resistensi perilaku “dapatan”,
yaitu serangga dapat menghindar akibat dosis subletal; (3) Resistensi silang (cross resistance),
yaitu satu spesies serangga resisten terhadap dua macam insektisida yang segolongan dan (4)
Resistensi ganda (double resistance), yaitu satu spesies resisten terhadap dua macam insektisida
dari dua golongan.

Deteksi resistensi dapat dilakukan melalui tiga metode yaitu secara konvensional
menggunakan WHO susceptibility test, secara biokimia (metode ELISA) dan secara molekuler
dengan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR).

E.Desain Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif multicenter dengan pendekatan potong
lintang sehingga dapat menggambarkan status resistensi vektor DBD terhadap insektisida
organofosfat dan piretroid di seluruh wilayah Indonesia pada satuan waktu yang sama

G.Mekanisme resistensi

Mekanisme resistensi merupakan suatu proses biologi yang digunakan oleh serangga
untuk menghindar dari pengaruh mematian insektisida. Serangga menggunakan berbagai
mekanisme untuk menghindari pengaruh paparan insektisida dan resistensi lebih mudah terjadi
bila serangga menggunakan lebih dari satu mekanisme pada waktu yang sama.

 Mekanisme resistensi secara umum dibedakan menjadi 4, yaitu :


1) Resistensi metabolik atau enzimatis (detoxification enzyme based resistance)

Mekanisme ini paling umum terjadi pada serangga, dengan menggunakan enzim yang
dimiliki oleh semua serangga untuk membantu mendetoksifikasi insektisida secara alami. Tiga
jenis enzim yang berperan dalam proses detoksifikasi insektisida yaitu esterase, monooksigenase
dan glutation-s- tranferase.
Sistem enzim ini meningkatkan resistensi serangga dengan cara memecah insektisida
sebelum menimbulkan efek membunuh. Mekanisme resistensi metabolik yang paling umum
adalah penigkatan enzim esterase, yang berfungsi menghidrolisa ikatan ester pada insektisida.
Mekanisme resistensi ini telah diidentifikasi pada serangga terjadi pada semua kelas insektisida.

2) Resistensi Pada Tempat Aksi

Insektisida mempunyai tempat ikatan spesifik (target site) pada susunan syaraf serangga.
Pada mekanisme ini target site tersebut diubah pada serangga sehingga insektisida tidak dapat
berikatan, sehingga insektisida tidak efektif lagi. Target site insektisida kelas organofosfat dan
karbamat adalah asetilkolin esterase (AChE) pada sinaps sel syaraf yang akan memecah
neurotransmitter asetilkolin. Beberapa bentuk perubahan dikenal mutasi AChE adalah MACE
(modified asetilkolin esterase).

Voltage gate sodium channel (VGSC) serangga merupakan target site dari insektisida
DDT dan pyrethroid. Mutasi pada pada susunan protein VGSC dikenal dengan mutasi gen
knockdown resistance (kdr).

3) Reduksi Penetrasi

Resistensi terjadi karena kemampuan serangga memodifikasi kutikula atau lapisan


saluran pencernaannya sehingga mencegah/memperlambat absorbsi insektisida.

4) Resistensi Bawaan

Mekanisme ini berupa kemampuan menghindar serangga dari efek mematikan insektisida
dengan perubahan perilaku dalam merespons adanya penyemprotan insektisida. Resistensi
bawaan ini sifatnya turun-temurun sehingga terjadinya populasi yang resisten seluruhnya.

 Menurut Pakar Entomologi, ada 3 tipe resistensi pada serangga yaitu :


Toleransi vigour
o Merupakan tipe resistensi yang dengan mudah dapat menjadi rentan dan bersifat
musiman. Hal ini dapat terjadi karena adanya keanekaragaman morfofisiologi.
Resistensi ini tidak spesifik karena tidak ada gen spesifik yang mengaturnya.
Resistensi fisiologi

Merupakan resistensi yang bersifat genetik dan permanen karena ada satu atau beberapa
gen spesifik yang mengatur mekanismenya secara fisiologis.

Resistensi perilaku

Merupakan kemampuan populasi nyamuk untuk menghindar dari pengaruh insektisida,


berdasarkan perilaku alami yang dimiliki nyamuk. Misalnya nyamuk akan selalu menghindari
dinding yang disemprot insektisida sehingga terhindar dari dosis letal yang dapat mematikannya.

 Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya resistensi :27

Frekuensi aplikasi, yaitu frekuensi penggunaan insektisida, dimana resistensi dalam suatu
populasi serangga akan terjadi lebih cepat bila presentase individu lemah (lower fitness cost)

Dosis dan persistensi, formulasi dan lama aplikasi akan mempengaruhi resistensi. Sehingga
dianjurkan mengikuti regulasi yang telah diatur pabrik insektisida atau WHO saat menggunakan
insektisida

Percepatan reproduksi serangga, serangga yang mempunyai siklus hidup yang pendek
akan mempunyai percepatan reproduksi yang tinggi sehingga akan lebih cepat terjadi resistensi
dibandingkan serangga yang tingkat reproduksinya lambat. Nyamuk merupakan serangga dengan
siklus hidup pendek.
BAB III

METODE PENELITIAN

A.Sumber Data

Sekunder

Metode pengumpulan data sekunder sering disebut juga dengan metode penggunaan
bahan dokumen. Karena dalam hal ini, peneliti tidak secara langsung mengambil data sendiri tapi
meneliti dan memanfaatkan data yang dihasilkan oleh pihak-pihak lain. Data merupakan suatu
fakta atau gambaran yang dikumpulkan dan nantinya akan diolah sehingga menghasilkan
informasi yang berguna bagi suatu penelitian. Informasi inilah yang akan digunakan sebagai alat
pengambilan keputusan.

B.Tempat dan Waktu Penelitian

Barat pada bulan Juli - Agustus. Kolonisasi nyamuk uji dilakukan di Balai Litbang
P2B2 Donggala pada bulan Juli - Oktober. Uji insektisida nyamuk dewasa dan pradewasa
dilakukan di Instalasi Laboratorium Entomologi Balai Litbang P2B2 Donggala pada bulan
September sampai dengan Oktober 2015

C.Alat Penelitian

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1) Microplates sebagai tempat untuk mencampurkan homogenat nyamuk dengan bahan


pereaksi lainnya
2) Micropipet untuk mengambil larutan substrat dan reagen dalam jumlah mikroliter dan
untuk memindahkan homogenat kedalam microplates
3) Homogenisator sebagai alat untuk menggerus nyamuk sehingga homogenat
4) ELISA Reader (BIO-RAD) alat yang digunakan untuk mengukur secara kuantitatif
dengan pembacaan Absorbance Value (AV) hasil dari reaksi uji biokimia
5) Pipet ukur, pipet tetes, beker glass dan labu ukur digunakan sebagai tempat membuat
reagen
D.Analisa Data

Pada penelitian ini meliputi :

1) Univariat

Dilakukan analisis univariat untuk mengetahui nilai tendensi sentral (mean, median dan
mode) dan untuk mengetahui distribusi frekuensi data masing-masing variabel.

2) Bivariat

Analisa bivariat digunakan untuk menguji hubungan antara variabel bebas dengan
variabel terikat.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A.PEMBAHASAN

Penelitian ini merupakan penelitian sekunder dengan . Sampel penelitian ini adalah larva
nyamuk Aedes aegypti yang dikumpulkan langsung dari beberapa provinsi yang ada di
indonesia.Larva yang dikumpulkan ialah larva stadium instar III-IV. Pengambilan larva
dilakukan dengan menggunakan wadah penampungan yang berisi air bersih sebagai tempat
perindukan larva nyamuk. Pengambilan larva nyamuk Aedes aegypti langsung dari tempat
perindukannya, bertujuan untuk menghindari larva nyamuk tidak berasal dari satu indukan yang
sama, sehingga tidak mempunyai sifat resistensi yang sama terhadap insektisida. Identifikasi
larva nyamuk Aedes aegypti dilakukan di Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.

Penelitian ini menggunakan larva nyamuk Aedes aegypti yang dikumpulkan dari
beberapa rumah di beberapa provinsi di indonesia yang merupakan salah satu daerah yang
endemik demam berdarah dengue di indonesia. Penelitian tentang status resistensi larva
nyamuk Aedes aegypti di beberapa provinsi belum pernah di teliti sebelumnya. Hal ini dapat
dijadikan data dasar bagi peneliti lainnya menjadi bahan pembanding dengan melihat status
resistensi larva nyamuk Aedes aegypti terhadap insektisida golongan organofosfat. Berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan pada 276 larva nyamuk, diketahui bahwa sebesar 33.7% larva
nyamuk Aedes aegypti toleran (resistensi sedang) terhadap insektisida golongan organofosfat.

Terjadinya resistensi terhadap insektisida pada serangga dipengaruhi beberapa faktor.


Faktor genetik yaitu berupa gen-gen yang menyandi pembentukan enzim esterase, yang dapat
menyebabkan resistensi serangga terhadap insektisida. Faktor biologis yang meliputi biotik
(adanya perkawinan monogami atau poligami, pergantian generasi dan pada waktu berakhirnya
perkembangan setiap generasi pada serangga alam), perilaku serangga seperti migrasi, isolasi,
monofagi atau polifagi serta kemampuan serangga melakukan perlindungan terhadap bahaya
atau perubahan tingkah laku. Faktor operasional, meliputi bahan kimia yang digunakan dalam
pengendalian vektor serta aplikasi insektisida berupa cara aplikasi, frekuensi dan lama
penggunaan.
Resistensi dapat terjadi dengan mekanisme penurunan sensitivitas pada sistem saraf dan
aktivitas enzim asetilkolinesterase dalam tubuh serangga. Adanya resistensi juga dapat
disebabkan oleh resistensi silang dengan sesama insektisida dengan sisi target yang sama yaitu
asetilkolinesterase. Resistensi terjadi karena kemampuan serangga memodifikasi kutikula atau
lapisan saluran pencernaannya sehingga mencegah/memperlambat absorbsi insektisida. Selain
itu adanya kemampuan serangga untuk menghindar dari efek mematikan insektisida dengan
perubahan perilaku dalam merespon adanya penyemprotan insektisida.19,25

Insektisida organofosfat bekerja terhadap enzim asetilkolinesterase yang berfungsi


mengendalikan hidrolisis dari asetilkolin, yaitu neurotransmitter yang dihasilkan di vesikel
akson. Asetilkolin oleh enzim asetilkolinesterase akan dihidrolisis menjadi kolin dan asam asetat
setelah impuls diteruskan. Ketika asetilkolinesterase tidak terdapat, asetilkolin yang dihasilkan
akan berakumulasi sehingga terjadi gangguan transmisi impuls yang bisa menyebabkan turunnya
koordinasi otot-otot, konvulsi dan kematian. Apabila terjadi mekanisme penurunan sensitivitas
dari enzim asetilkolinesterase maka terjadi pula penurunan sensitivitas serangga terhadap
insektisida sehingga nantinya serangga akan menjadi resisten terhadap insektisida.11

Berdasarkan penelitian tentang resistensi Aedes aegypti terhadap insektisida golongan


organofosfat, menyebutkan bahwa penggunaan insektisida organofosfat dalam jangka waktu
lama dan dengan dosis subletal akan menginduksi terjadinya resistensi terhadap bahan aktifnya. 13
Secara umum mekanisme terjadinya resistensi adalah atas dasar fisiologi dan genetik melalui
penebalan kutikula, mekanisme metabolik dan perubahan sisi target. Dari keseluruhan
mekanisme tersebut mekanisme metabolik merupakan mekanisme utama resistensi Aedes
aegypti terhadap organofosfat. Dimana terjadi peningkatan aktivitas enzim esterase yang akan
menghidrolisis organofosfat sebelum mencapai sisi target pada asetilkolinesterase
BAB V

PENUTUP

A.KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian tentang resistensi Aedes aegypti terhadap insektisida golongan


organofosfat, menyebutkan bahwa penggunaan insektisida organofosfat dalam jangka waktu
lama dan dengan dosis subletal akan menginduksi terjadinya resistensi terhadap bahan aktifnya. 13
Secara umum mekanisme terjadinya resistensi adalah atas dasar fisiologi dan genetik melalui
penebalan kutikula, mekanisme metabolik dan perubahan sisi target. Dari keseluruhan
mekanisme tersebut mekanisme metabolik merupakan mekanisme utama resistensi Aedes
aegypti terhadap organofosfat. Dimana terjadi peningkatan aktivitas enzim esterase yang akan
menghidrolisis organofosfat sebelum mencapai sisi target pada asetilkolinesteras.

B.SARAN
Setelah dilakukannya penelitian tentang uji resistensi larva nyamuk Aedes aegypti
terhadap insektisida golongan organofosfat di Kecamatan Medan Selayang, maka peneliti
memberikan beberapa saran antara lain :

a) Dapat bermamfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan: diperolehnya peta


kerentanan vektor DBD di Indonesia yang dapat digunakan sebagai informasi dalam
pengembangan ilmu pengetahuan
b) Dapat berManfaat untuk masyarakat: hasil penelitian ini diharapkan dapat
meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam penggunaan insektisida.
c) Dapat dijadikan Sebagai sumber pengembangan ilmu pengetahuan yang telah
ada sebelumnya dan juga dapat menjadi bahan kajian untuk penelitian
berikutnya.
d) Dapat juga Sebagai sarana meningkatkan pengetahuan, wawasan penelitian
dalam melaksanakan sebuah penelitian, sebagai pengalaman yang berharga
serta sebagai penerapan ilmu yang telah didapat pada saat perkuliahan.
e) Semoga Masyarat lebih mengetahui bahaya nyamuk aedes aegepty ini dan
lebih waspada agar tidak terjangkit penyakit dbd
DAFTAR PUSTAKA

Djunaedi D. Demam Berdarah Dengue (DBD) Epidemiologi, Imunopatologi, Patogenesis,


Diagnosis dan Penatalaksanaanya. Malang : UMM Press. 2006.

CDC. Dengue home page entomology & ecology. 2014 (diunduh 29 November 2014).
Tersedia dari: http:// www. cdc. gov/ dengue/ entomology Ecology/ m_lifecycle.html.

Hadi UK, Soviana S. Ektoparasit: Pengenalan, Identifikasi dan Pengendaliannya. Bogor (ID):
IPB Press. 2010.

Anda mungkin juga menyukai