Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN KULIAH LAPANGAN EKOLOGI HEWAN

PENANGKARAN PENYU DI UPTD PUSAT KONSERVASI PENYU DESA APAR


PARIAMAN

DOSEN PENGAMPU:Drs. Elijonnahdi,M.Si

DISUSUN OLEH:

FRIMA GITA OKTAFIA 1910007771007

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI

JURUSAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

STKIP ABDI PENDIDIKAN PAYAKUMBUH

2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat
dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Laporan Kuliah Lapangan Ekologi Hewan
dengan judul: konservasi Penyu Di UPTD Pusat Konservasi Penyu Desa Apar Pariaman.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada bapak Drs. Elijonnahdi,M.Si selaku dosen
pengampuh mata kuliah Ekologi Hewan yang telah membimbing penulis selama masa
perkuliahan dan kepada rekan-rekan satu angkatan yang turut membantu penulis selama
perkuliahan.

Meskipun penulis berharap isi dari Makalah ini bebas dari kekurangan dan kesalahan,
namun selalu ada yang kurang. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi.

Akhir kata penulis berharap agar Makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca

Payakumbuh, Januari 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................... i  

DAFTAR ISI...................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.................................................................. 1
B. Rumusan Masalah.............................................................. 1
C. Tujuan................................................................................ 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Taksonomi Penyu Belimbing (Dermochelis coriaceae)............. 3

2.2 Taksonomi Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea)................... 3

2.3Taksonomi  Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata)................... 3

2.4Taksonomi Penyu hijau (Chelonia mydas)............................... 4

2.5Siklus penyu................................................................................. 5

2.6Karakteristik Biofisik Tempat Peneluran Penyu........................ 5

2.7Peraturan Mengenai Pengelolaan Penyu.................................... 9

BAB III ALAT DAN BAHAN

3.1. Tempat Dan Waktu Percobaan................................................... 11

3.2. Alat Dan Bahan ......................................................................... 11

3.3. Monitoring ................................................................................ 11

3.4. Relokasi............................................................................ 11

BAB IV PEMBAHASAN

Pembahasan................................................................................ 13

ii
BAB V PENUTUP

Kesimpulan................................................................................ 14

Saran………………………………………............................... 14

DAFTAR PUSTAKA……………………................................................. 15

DOKUMEN ..................................................................................... ........... 16

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Penyu merupakan salah satu jenis satwa yg dilindungi, baik berdasarkan hukum
Nasional maupun ketentuan hukum Internasional, karena keberadaannya terancam punah.
Siklus bertelur penyu berjangka waktu 2-8 tahun sekali.

Jumlah penyu di dunia menurun yg disebabkan oleh:

Penangkapan penyu secara ilegal dan dengan sengaja, penangkapan tdk sengaja
(tertangkap oleh jaring ikan, kerusakan habitat, dan pengambilan telur yg illegal untuk
diperdagangkan dan dikonsumsi.

Dari sekian banyak telur penyu yg menetas kemudian menjadi tukik belum tentu
semuanya dapat kembali dan bertahan hidup hingga dewasa.

Penyu juga telah terbukti sebagai hewan yang sangat rumit untuk dikelola. Hal ini
diantaranya disebabkan oleh pertumbuhannya yang lambat, lambatnya usia matang kelamin,
perbiakan yang tidak terjadi setiap tahun, tingkat kematian yang tinggi pada penyu muda,
penyebaran tukik di laut, migrasi yang jauh antara tempat mencari makan dan tempat
peneluran, kebiasaan untuk bertelur di lokasi yang sama, serta ketergantungan perbiakan
terhadap suhu tertentu (Limpus, 1997).

Ada tujuh spesies penyu yang masih hidup sampai saat ini: penyu Belimbing
(Dermochelys coriacea), penyu Hijau (Chelonia mydas), penyu Sisik (Eretmochelys
imbricata), penyu Tempayan (Caretta caretta), penyu Pipih (Natator depressus), penyu
Lekang (Lepidochelys olivacea), dan penyu Kemp’s Ridley (Lepidochelys kempi) (Harless
dan Morlock, 1979). Namun hanya enam spesies yang disebut pertama yang ditemukan di
perairan Indonesia. Spesies yang paling banyak ditemukan di perairan Indonesia khususnya
Sumatra Barat adalah penyu Hijau (Chelonia mydas), penyu Belimbing (Dermochelys
coriacea), penyu Sisik (Eretmochelys imbricata) , dan penyu Lekang (Lepidochelys olivacea)
yang banyak tinggal di habitat terumbu karang (Tomascik dkk., 1997). Berikut akan dibahas
mengenai Ekologi penyu di Pariaman.

1
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah dari Laporan ini adalah” Bagaimana
penangkaran pelestarian penyu di UPTD Pusat Konservasi Penyu Pariaman?”.

C. Tujuan Praktek Kerja Lapangan

Adapun tujuan dari Praktek Kerja lapangan   di UPTD Pusat Konservasi Penyu
Pariaman yaitu sebagai berikut :

1.3.1 Melengkapi tugas mata kuliah Ekologi Hewan

1.3.2 Mengetahui teknik pelestarian penyu di UPTD Pusat Konservasi Penyu


Pariaman .

1.3.3. Mengetahui masalah-masalah serta hambatan yang dihadapi dalam kegiatan


pelestarian penyu di UPTD Pusat Konservasi Penyu desa apar Pariaman.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Penyu merupakan reptil yang hidup di laut serta mampu bermigrasi dalam jarak yang
jauh. Keberadaannya telah lama terancam, baik dari alam maupun kegiatan manusia yang
membahayakan populasinya secara langsung maupun tidak langsung (DKP, 2009).

Sama juga halnya dengan hewan lain,untu melestarikan jenis nya maka penyu juga
akan kawain dengan lawan jenisnya pada masa berusia 25 tahun.pada saat di lapngan kami
juga mengukur ph air tempat dimana penyu hidup.penyu tersebut hidup pad air yang ph nya 8
atau netral.

2.1 Taksonomi  Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata)

Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata

Subphylum : Vertebrata

Class : Sauropsida

Order : Testudines

Suborder : Cryptodira

Superfamily : Chelonioidea

Family : Cheloniidae

3
Genus : Eretmochelys

Spesies : Eretmochelys imbricata

2.2 Taksonomi Penyu Belimbing (Dermochelis coriaceae)

Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata

Subphylum : Vertebrata

Class : Sauropsida

Order : Testudines

Suborder : Cryptodira

Superfamily : Chelonioidea

Family : Dermochelyidae

Genus : Dermochelis

Spesies : Dermochelis coriaceae

Penyu Belimbing (Dermochelis coriaceae)

Memiliki karapaksnya yang berbentuk seperti garis-garis pada buah belimbing berwarna
gelap

Memiliki karapaks yang tidak ditutupi oleh tulang, namun hanya ditutupi oleh kulit dan
daging berminyak

Berat dapat mencapai 700 kg dengan panjang dapat mencapai lebih dari 305 cm

2.5. Siklus penyu

4
Seluruh spesies penyu memiliki siklus hidup yang sama dengan penyu lainnya. Secara
umum siklus hidup penyu terbagi atas pantai peneluran, ruaya pakan dan ruaya kawin. Dalam
mencapai dewasa kelamin penyu mempunyai pertumbuhan yang sangat lambat dan
memerlukan waktu berpuluh-puluh tahun untuk mencapai usia produktifnya. Penyu dewasa
hidup bertahun-tahun di satu tempat sebelum bermigrasi untuk kawin dengan menempuh
jarak yang jauh, yaitu bisa mencapai hingga 3000 km dari ruaya pakan ke pantai peneluran.
Pada umur sekitar 20-50 tahun, penyu jantan dan betina bermigrasi ke daerah peneluran di
sekitar daerah kelahirannya. Perkawinan penyu dewasa terjadi di lepas pantai satu atau dua
bulan sebelum peneluran pertama di musim tersebut (Pedoman Teknis Konservasi Penyu,
2009).

Moll (1979) dalam Nuitja (1985) menjelaskan bahwa, oviposisi berlangsung mulai


dari sekali hingga beberapa kali dalam periode setahun. Hal ini bergantung pada beberapa
faktor seperti letak lintang (latitude), jenis umur (besar) dan sumber serta kualitas makanan
yang dimakannya. Pada umumnya penyu hijau bertelur lebih dari satu kali dalam satu musim
bertelur (3-4 kali), dengan interval internesting kira-kira 2 minggu. Setelah selesai bertelur,
penyu dewasa akan meninggalkan sarang dan telur-telurnya untuk kembali beruaya mencari
makanan untuk kemudian melangsungkan kembali siklus hidupnya di laut.

Tukik yang baru menetas dan keluar dari sarangnya akan langsung bergerak menuju
kelaut, karena proses alaminya yang ada berkaitan dengan medan magnet cahaya. Setelah
mencapai laut, tukik-tukik itu menuju ke laut lepas hingga mencapai arus samudra dengan
cadangan makanan kuning telur yang ada ditubuhnya. Fase awal berkelana ini sering disebut
sebagai “tahun yang hilang”, yang lamanya bervariasi sesuai dengan jenis dan populasinya
(Dermawan 2009). 

2.3 Taksonomi Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea)

Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata

Subphylum : Vertebrata

Class : Sauropsida

Ordo : Testudines

5
Subordo : Cryptodira

Superfamily : Chelonioidea

Family : Cheloniidae

Genus : Lepidochelys

Spesies : Lepidochelys olivacea

Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea)

Penyu lekang termasuk di antara jenis penyu terkecil, dengan berat 31-43 kg

Memiliki warna karapasnya abu-abu kehijauan,

Bersifat vegetarian atau pemakan lamun

2.4. Taksonomi Penyu hijau (Chelonia mydas)

Disaat niat baik Dansatgas dalam melaksanakan program sasaran tambahan dalam
penangkaran penyu hijau ini, justru mendapatkan apresiasi yang baik dari Sumarli, penangkar
penyu hijau di Kecamatan Tanggunggunung, Kabupaten Tulungagung.

Bahkan kedatangan para satgas ke tempatnya untuk menyampaikan perintah dari


Dansatgas, Sumarli menyambut baik kedatangan para satgas TMMD 108 KOdim
0807/Tulungagung dan ia mulai menerangkan cara untuk penangkaran penyu hijau.”

“Saya sangat mendukung sekali apa yang akan direncanakan oleh Dansatgas TMMD
108 Kodim 0807/Tulungagung ini dalam rangka ikut serta melesatarikan populasi penyu agar
tidak punah,” kata Sumarli, Minggu (5/7/20).

Iapun menerangkan bagaimana penangkaran penyu tersebut, diantaranya:


1. Telur penyu diambil dari pantai kemudian ditetaskan di rumah dan diletakkan dalam tong
berpasir, karena kalau dibiarkan di pantai rawan akan dimakan biawak.
2. Untuk menetasnya paling cepat 53 hari tergantung cuaca. Dari menetas hingga siap dilepas
ke laut lagi, pemeliharaannya membutuhkan waktu selama 1 bulan.
Sementara itu, Serma Bandi akan segera melaporkan apa yang di dapat dari keeterangan
Sumarli kepada Dansatgas TMMD 108 agar segera ditindak lanjuti sehingga dalam
pelaksanaan program tambahan mengenai penangkaran penyu hijau ini dapat terealisasi.

Penyu hijau yang termasuk jenis hewan di lindungi di Indonesia, kini keberadaannya sudah
mulai langka dan sulit dijumpai, karena populasinya saat ini sudah menurun drastis. Penyu hijau
tergolong dalam famili Cheloniidae. Menurut Hirth (1971) dalam Prihanta (2007),

6
Chelonia mydas Linn merupakan nama ilmiah yang paling umum dipergunakan  bagi
penyu hijau. salah satu anonimnya adalah Testudo mydas linnaeus, dan dalam dunia
internasional spesies ini lebih dikenal sebagai  green turtle berdasarkan warna lemak pada
jaringan tubuhnya (Hirth, 1971) dalam Prihanta (2007).

2.6. Karakteristik Biofisik Tempat Peneluran Penyu

Penangkaran penyu sangat efektif untuk menjaga kelestarian penyu, terutama jenis
penyu yang hampir punah.

Ini adalah tempat penangkaran penyu,agar dia dapat menetas dan tidak terganggu oleh
pemangsa lainnya.

2.6.1. Kemiringan Pantai

Menurut Dharmadi dan Wiadnyana (2008) penyu menyukai daerah dengan


kemiringan 30º untuk bertelur. Kemiringan Pantai Pangumbahan dalam Segara (2008) pada
Musim Timur dan Musim Barat masih berada pada kisaran normal, sesuai dengan kesesuaian
tempat peneluran penyu pada umumnya. Kemiringan pantai sangat berpengaruh pada
aksesbilitas penyu untuk mencapai daerah yang sesuai untuk bertelur. Semakin curam pantai
maka akan semakin besar pula energi penyu yang diperlukan untuk naik dan bertelur.

Kemiringan pantai sangat berpengaruh pada jumlah penyu yang akan mendarat dan
membuat sarang, karena kondisi pantai yang landai dan memiliki pasir yang halus dapat
memudahkan penyu menuju daratan untuk mencari lokasi dan membuat lubang sebagai
tempat peneluran. Habitat untuk bertelur penyu adalah daratan luas dan landai dengan rata-

7
rata kemiringan 30°, karena semakin curam pantai akan semakin menyulitkan bagi penyu
untuk melihat obyek yang lebih jauh di depan karena mata penyu hanya mampu melihat
dengan baik pada sudut 150° ke bawah (Dharmadi dan Wiadnyana 2008).  Selain itu penyu
biasa meletakkan sarangnya berjarak 30 sampai 80 meter diatas pasang terjauh (Nuitja 1992).

2.6.2. Besar Butir Pasir

Pasir merupakan tempat yang mutlak diperlukan untuk penyu bertelur. Semua jenis
penyu, termasuk yang hidup di perairan Indonesia, akan memilih daerah tempat bertelur yang
khas. Tekstur pasir berhubungan dengan tingkat kemudahan dalam menggali sarang. Pasir,
liat dan debu merupakan hasil dari proses pecahan secara alami terhadap batu-batu karang.
Penyu hijau pada umumnya memilih pantai yang landai untuk tempat penelurannya dengan
susunan sedimen tidak kurang dari 90% berupa pasir dan sisanya adalah debu maupun liat,
dengan diameter butiran pasir halus dan sedang (Nuitja 1992).

Umumnya tempat pilihan bertelur merupakan pantai yang luas dan landai serta
terletak di bagian atas pantai atau di atas garis pasang tertinggi. Menurut Bustard (1972),
pantai berpasir tebal dan berhutan pandan lebat memberikan naluri pada penyu hijau untuk
bertelur. Keberadaan vegetasi naungan akan melindungi sarang dari sinar matahari langsung
sehingga mengurangi penguapan.

2.6.3. Suhu Pasir

Suhu pasir sangat berpengaruh terhadap proses peneluran dan penetasan penyu, suhu
pasir yang terlalu tinggi (>35°C) akan menyulitkan penyu untuk membuat sarang, sedangkan
apabila suhu terlalu rendah (<25°C) akan berpengaruh terhadap masa inkubasi dan tingkat
keberhasilan penyu menetas (Dharmadi dan Wiadnyana 2008). Pertumbuhan embrio penyu
sangat dipengaruhi oleh suhu. Embrio akan tumbuh optimal pada kisaran suhu 24-33°C dan
akan mati apabila diluar kisaran suhu tersebut (Direktorat Konservasi dan Taman Nasional
Laut 2009). Semakin tinggi suhu pasir, maka telur akan cepat menetas.

2.6.4. Pasang Surut

Pasang surut laut adalah gelombang yang dibangkitkan oleh adanya interaksi antara
laut, matahari dan bulan. Puncak gelombang disebut pasang tinggi dan lembah gelombang
disebut pasang rendah. Perbedaan vertikal antara pasang tinggi dan pasang rendah disebut
rentang pasang surut (tidal range). Kisaran pasang surut adalah perbedaan tinggi air pada saat

8
pasang maksimum dengan tinggi air pada saat surut minimum, rata-rata berkisar antara 1 m
hingga 3 m (Nontji, 1987). Periode pasang surut adalah waktu antara puncak atau lembah
gelombang ke puncak atau lembah gelombang berikutnya. Nilai periode pasang  surut
bervariasi antara 12 jam 25 menit hingga 24 jam 50 menit (Musrifin 2011).

2.6.5. Cuaca

Cuaca adalah keadaan udara pada suatu daerah yang sempit dalam waktu yang relatif
singkat. Unsur-unsur dari cuaca meliputi suhu udara, radiasi, tekanan udara, kelembapan
udara, keadaan awan, dan curah hujan. Cuaca dan laut memiliki interaksi yang erat karena
perubahan cuaca dapat mempengaruhi kondisi laut. Angin sangat menentukan terjadinya
gelombang dan arus di perrnukaan laut, sedangkan curah hujan dapat menentukan salinitas
air laut. Sebaliknya proses fisis di laut seperti terjadinya air naik (upwelling) dapat
mempengaruhi keadaan cuaca setempat (Nontji 1987). 

Tingkah laku bertelur penyu sangat berkaitan dengan faktor cuaca. Pada musim barat
angin bertiup kencang dan kadang kala disertai dengan badai yang sangat besar. Angin yang
kencang menyebabkan ombak menjadi besar dan menerbangkan butiran-butiran pasir dan
benda-benda ringan lainnya di sepanjang pantai. Dalam periode itu daerah peneluran akan
lebih keras dan lebih sulit untuk digali akibat curah hujan yang tinggi. Kesulitan penggalian
dan hujan yang jatuh terus-menerus memberikan pengalaman bagi penyu untuk menunda
proses bertelurnya. Dapat disimpulkan bahwa unsur cuaca yang paling berpengaruh terhadap
pendaratan penyu adalah curah hujan yang turun di sekitar pantai peneluran penyu (Nuitja
1992).

2.6.6. Upaya Konservasi

Kawasan konservasi adalah bagian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang
mempunyai ciri khas tertentu sebagai satu kesatuan ekosistem yang dilindungi, melestarikan
atau dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk mewujudkan pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil secara berkelanjutan.  Tujuan ditetapkannya konservasi wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil yaitu untuk memberi acuan atau pedoman dalam melindungi, melestarikan
dan memanfaatkan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta ekosistemnya Konservasi
penyu merupakan upaya yang sangat penting untuk menjamin keberlangsungan populasi
penyu tersebut (Pedoman Pengelolaan Konservasi Penyu dan Habitatnya, 2003).

9
Upaya pelestarian dan restocking penyu sudah mulai dirintis sejak masa penjajahan
Belanda, dan dasar–dasar peraturan yang telah ada masih digunakan sampai sekarang.
Dewasa ini, kegiatan pelestarian lebih konkrit, bukan hanya pelarangan pemanfaatan penyu,
tapi juga menyangkut pembinaan terhadap individu yang dilindungi baik dalam kaitannya
dengan habitat ataupun dengan peri kehidupannya. Tujuannya, agar terjaga keberadaan
populasi penyu yang ada (Pedoman Pengelolaan Konservasi Penyu dan Habitatnya, 2003).

Untuk mewujudkan hal tersebut maka dilakukan beberapa langkah dalam upaya
pengelolaan kelestarian penyu, antara lain: Pengelolaan dan monitoring sarang penyu yang
meliputi sarang alami dan sarang semi alami, pengelolaan hatchery, penampungan telur dan
tukik, pengelolaan tukik dan pelepasan tukik. Secara tekhnis dalam upaya pengelolaan penyu
ada beberapa hal yang harus diperhatikan menurut (Pedoman Pengelolaan Konservasi Penyu
dan Habitatnya, 2003) menyangkut keberhasilan program pengelolaan antara lain:

Perlindungan habitat lain selain perbiakan sangat diperlukan

Badan atau organisasi yang memiliki kemampuan di bidang kewenangan serta


organisasi sangat disarankan untuk dapat mengembangkan suatu proyek konservasi dan
pembangunan terpadu (Integrated Conservation and Development Project–ICDP) di lokasi
peneluran utama. Menghindari pelaksanaan penangkaran yang dikelola secara sembarangan,
karena hal tersebut justrul akan lebih banyak menimbulkan dampak negatif dibanding
manfaatnya terhadap populasi.

Pengumpulan individu untuk percobaan dapat digunakan untuk mendukung


pemanfaatan, pendidikan dan pariwisata.

Di lokasi yang sepenuhnya dilindungi tidak diperlukan adanya penangkaran. Telur–


telur hendaknya dapat ditetaskan secara alami, sehingga anakan penyu atau tukik dapat
menuju kepantai dan menandai lokasi pembiakannya. Hal ini akan memungkinkan tukik
kembali lagi ke tempat tersebut pada saat setelah tumbuh dewasa dan siap untuk berkembang
biak.

2.7. Peraturan Mengenai Pengelolaan Penyu

Ada banyak peraturan perundangan yang terkait dengan upaya pengelolaan penyu
sisik, diantaranya adalah :

1. Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 

10
2. 2.      Undang-undang No. 41 tahun 1944 tentang ketentuan-ketentuan
pokok   Kehutanan: 
3. Keputusan Presiden RI Nomor 43 tahun 1978 tanggal 15 Desember 1978 tentang
ratifikasi CITES. 
4. Undang-undang RI No. 9 tahun 1985 tentang Perikanan,
5. Undang-undang RI Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan
Ekosistemnya 
6. Undang-undang RI Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
sebagai pengganti undang-undang RI Nomor 4 tahun 1982 tentang ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup 
7. Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan
satwa 
8. Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan
Satwa liar 
9. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 327/Kpts/Um/10/1978 tentang Beberapa
Jenis Binatang Liar yang Dilindungi 
10. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 716/Kpts/Um/10/1980 tentang Penetapan
Beberapa Jenis Binatang Liar yang Dilindungi 
11. Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 771/Kpts-II/1996 tentang Pemanfaatan
Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar dari alam maupun dari hasil penangkaran 
12. Penyu hijau (Chelonia Mydas) dilindungi berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan
No. 882/Kpts-II/1992. 

MOU on ASEAN Sea turtle conservation and protection menekankan kerjasama


dalam perlindungan dan pelestarian penyu lingkup negara-negara ASEAN. MOU ini ditanda
tangani oleh perwakilan masing-masing negara ASEAN pada bulan September 1997 di
Thailand. 

11
BAB III

METODELOGI

3.1.1Waktu dan Tempat

Praktek Kerja Lapangan dilaksanakan pada:

Hari/ tanggal: 11 Januari 2022

Tempat: UPTD Pusat Konservasi Penyu Pariaman

Waktu : 13.00 s/d selesai WIB

3.2.1 Alat dan Bahan

Alat tulis

Kamera

3.3.1Jenis Kegiatan Praktek Kerja Lapangan

Monitoring

Sebelum melakukan Pratik di lapangan kamu diberi penjelasan terlebih dahulu


dengan melakukan monitoring.

Monitoring merupakan salah satu kegiatan yang bertujuan untuk mengetahui setiap
kejadian pada suatu lokasi. Dalam hal ini kegiatan monitoring di UPTD Pusat Konservasi
Penyu Pariaman bertujuan untuk memantau setiapinformasi mengenai penyu .

12
 Langkah langkah penetasan telur penyu

Berikut ini langkah langkah penetasan telur penyu:

1. Pencarian posisi sarang telur peyu dalam timbunan pasir. Untuk mendapatkan posisi
telur bukan hal yang mudah, butuh keterampilan khusus untuk mendapatkannya,
contohnya saat menusuk lubang sarang dengan mengunakan stik
2. Setelah posisi sarang ditemukan kemudian digali dengan hati hati.
3. Setelah telur penyu kelihatan diangkat secara perlahan lahan agar tidak pecah/rusak
dan dimasukkan kedalam wadah secara perlahan lahan
4. Kemudian menggali lubang dalam kawasan ingkubasi untuk tempat memasukkan
telur penyu yang akan dipindahkan. Ukuran dan bentuk sarang juga dibuat
menyerupai ukuran dan bentuk sarang yang aslinya dengan kedalam antara 30-40 cm
dengan lebar 20 cm
5. Setelah itu telur penyu disusun kedalam galian lubang tersebut secara teliti agar tidak
pecah
6. Sebelum telur penyu tersebut ditimbun diberi identitas dengan menggunakan pita
berisi informasi yang terdiri dari tanggal relokasi jumlah telur, relokasi dari sector
kesektor dan relokator.
7. Tunggu hingga 50-60 hari baru tukik akan menetas.
8. Tukik tersebut setelah menetas akan lngsung mencari laut berdasarkan instingnya
sendiri.

13
BAB IV

PEMBAHASAN

Dari hasil kuliah lapangan terdapat tiga jenis penyu yang dilindungi di pariaman yaitu
penyu Hijau (Chelonia mydas), penyu Sisik (Eretmochelys imbricata) , dan penyu Lekang
(Lepidochelys olivacea). Penyu- penyu tersebut akan bertelur pada pantai yang landai  dan
luas.

Penyu yang bertelur disekitaran daerah pantai Pariaman akan diadopsi oleh kawasan
UPTD Pusat Konservasi Penyu Pariaman untuk dapat bantu penetasannya. Telur penyu
tersebut akan dibawa kedalam kawasan ingkubasi dimana dalam kawasan tersebut akan
dibuat lobang sedalam 30-40 cm dengan lebar 20 cm. Kemudian telur tukik tersebut akan
dimasukan kedalam lubang tersebut lalu ditimbun kembali. Beri label tanggal ingkubasi ,
jumlah telur serta jenis telurnya.

Setelah itu telur-telur penyu tersebut akan dijaga dan diawasi sampai telur-telur
tersebut menetas.yaitu sekitar 60 hari atau sekitar 2 bulan.dan apabila tempat penyu tersebut
tidak sengaja di injak,maka besar kemungkinan telur penyu tersebut pecah,ini di pengaruhi
oleh tekanan dari tanah yang di injak tadi.

Setelah tukik menetas akan dilakukan percobaaan pelepasan tukik kedalam laut
buatan atau laut mini terlebih dahulu sebelum nantinya akan dilepas ke Laut asli. Ketika
tukik masih dipenangkaran akan diberi makan ikan dan dilakukan setiap pagi dan sore.
Makanan diberikan sebanyak 10 % dari ukuran tubuh tukik tersebut. Selain itu dilakukan
pembersihan setiap hari dipagi hari agar cangkang tukik tidak berlumut.

Beberapa jenis penyu tersebut ada yang terjangkit penyakit dari kecil,seperti ada
jamur yang tumbuh di cangkang penyu tersebut,.

Penyu juga dapat melestarikan jenisnya,mereka akan kawin dengan lawan jenis pada
usia sekitar 25 tahun.

Selain itu alat kelamin penyu tidak ditentukan dari induk tetapi dari pengaruh suhu
pada masa telur penyu.,Jenis kelamin penyu dapat dibedakan dari bentuk ekornya. Penyu
jantang memiliki ekor yang panjang sedangkan penyu betina memiliki ekor yang pendek.

14
Dari Pratikum kuliah lapangan diketahui bahwa tingkat mortalitas penyu sangat
tinggi, sebab penyu dapat menjadi hewan kanibal yang memakan sesama jenisnya. Dilaut
bebas penyu merupakan makana bagi burung, paus, buaya dan lainnya. Diketahui bahwa dari
1000 tukik yang dilepaskan dari UPTD Pusat Konservasi Penyu Pariaman kemungkinan
hidupnya hanya 1%. Hal ini terjadi karna besarnya tingkat mortalitas penyu ttersebut..

15
BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Penyu merupakan salah satu jenis satwa yg dilindungi, baik berdasarkan hukum
Nasional maupun ketentuan hukum Internasional, karena keberadaannya terancam punah.
Siklus bertelur penyu berjangka waktu 2-8 tahun sekali.

Ada tujuh spesies penyu yang masih hidup sampai saat ini: penyu Belimbing
(Dermochelys coriacea), penyu Hijau (Chelonia mydas), penyu Sisik (Eretmochelys
imbricata), penyu Tempayan (Caretta caretta), penyu Pipih (Natator depressus), penyu
Lekang (Lepidochelys olivacea), dan penyu Kemp’s Ridley (Lepidochelys kempi) (Harless
dan Morlock, 1979). Namun hanya enam spesies yang disebut pertama yang ditemukan di
perairan Indonesia. Spesies yang paling banyak ditemukan di perairan Indonesia khususnya
Sumatra Barat adalah penyu Hijau (Chelonia mydas), penyu Belimbing (Dermochelys
coriacea), penyu Sisik (Eretmochelys imbricata) , dan penyu Lekang (Lepidochelys olivacea)

Dari hasil kuliah lapangan diatas dapat diperoleh informasi bawa di UPTD Pusat
Konservasi Penyu Pariaman terdapat tiga jenis penyu yang dilindungi yaitu penyu Hijau
(Chelonia mydas), penyu Sisik (Eretmochelys imbricata) , dan penyu Lekang (Lepidochelys
olivacea).

B. SARAN

Semoga dengan dilakukannya praktek kuliah lapangan ini dapat meningkatkan kesadaran
masyarakat mengenai keberadaan penyu. Saya menyadari bahwa hasil praktikum ini masih
jauh dari sempurna, oleh karena itu perlu dilakukan riset atau kajian lanjutan dari praktikum
yang dilakukan ini. 

16
DAFTAR PUSTAKA

Syahril, Muhammad. 2017. http://mynewsms15.blogspot.com/2017/05/laporan-praktek-kerja-


lapangan-teknik.html. Diakses pada 14 Januari 2022.

https://kkp.go.id/djprl/lpsplsorong/page/1915-penyu

17
DOKUMEN

18
19
20

Anda mungkin juga menyukai