Anda di halaman 1dari 19

RESUME

PENDIDIKAN INKLUSI

MODIFIKASI KURIKULUM

DOSEN PENGAMPU:

RUMANTI REGINA SIMBOLON, S.Pd, M. Pd

DISUSUN OLEH:

FRIMA GITA OKTAFIA (1910007771007)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI

JURUSAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

STKIP ABDI PENDIDIKANPAYAKUMBUH


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan rahmat dan petunjuk-Nya sehingga resume Pendidikan inklusi ini dapat
terselesaikan tepat pada waktunya. Resume ini dibuat untuk memenuhi tugas dari
dosen pengampu mata kuliah pendidikan inklusi Rumanti Regina Simbolon, S.Pd, M.
Pd

Resume ini disusun berdasarkan berbagai sumber yang relevan dengan materi
yang disajikan dalam resume ini.Penulis menyadari bahwa resume ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat
konstruktif sangat penulis harapkan guna kesempurnaan makalah ini.Akhir kata
penulis ucapkan terima kasih, semoga resume ini bermanfaat bagi penulis maupun
bagi para pembaca.

Payakumbuh, 24 April 2022

Penyusun
PEMBAHASAN

MODIFIKASI KURIKULUM

A. Modifikasi Kurikulum / Pembelajaran

Modifikasi kurikulum yakni kurikulum siswa rata-rata atau regular disesuaikan


dengan kebutuhan dan kemampuan atau potensi ABK. Modifikasi kurikulum ke
bawah diberikan kepada peserta didik tunagrahita dan modifikasi kurikulum ke
atas untuk peserta didik gifted and talented. Modifikasi kurikulum ini dilakukan
terhadap alokasi waktu, isi atau materi kurikulum, proses belajar-mengajar,
sarana prasarana, lingkungan belajar, dan pengelolaan kelas.

Dalam pendidikan inklusif, kurikulum yang digunakan adalah kurikulum


sekolah regular atau kurikulum nasional yang dimodifikasi sesuai dengan tahap
perkembangan anak berkebutuhan khusus, dengan mempertimbangkan
karakteristik (ciri-ciri) dan tingkat kecerdasannya. Kurikulum nasional terdiri
dari 3 model yaitu model kurikulum regular, model kurikulum regular dengan
modifikasi dan model kurikulum Program Pembelajaran Individual (PPI).

Dalam melakukan modifikasi atau pengembangan kurikulum, tidak serta merta


sesuka hati untuk melakukannya. Namun terdapat landasan – landasan dalam
pengembangan dan implementasi kurikulum dalam program inklusif, antara lain
yaitu:

1 Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional


khususnya pada pasal 5 ayat (1), (2), (3) dan (4), pasal 6 ayat (1), pasal 12
ayat (1.b), pasal 36 ayat (2) dan penjelasan pasal 15
2 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan, khususnya pada Pasal 1 ayat (13) dan (15) dan pasal 17 ayat (1) .
3 Peraturan Mendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tanggal 23 Mei 2006 tentang
Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
4 Peraturan Mendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tanggal 23 Mei 2006 tentang
Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
5 Peraturan Mendiknas Nomor 24 Tahun 2006 tanggal 2 Juni 2006 tentang
Pelaksanaan Peraturan Mendiknas Nomor 22 dan Nomor 23 Tahun 2006

B. Prinsip pembelajaran inklusif

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) prinsip merupakan


kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak, dan sebagainya.
Menurut Toto Asmara prinsip adalah hal yang secara fundamental menjadi
martabat diri atau dengan kata lain, prinsip adalah bagian paling hakiki dari harga
diri. Sementara menurut Udo Yamin Efendi Majdi prinsip adalah pedoman
berprilaku yang terbukti mempunyai nilai yang langgeng dan permanen. Dalam
bukunya Sugandi, dkk (2004:9) menyatakan bahwa pembelajaran terjemahan
dari kata “instruction” yang berarti self instruction (dari internal) dan eksternal
instructions (dari eksternal). Pembelajaran yang bersifat eksternal antara lain
datang dari guru yang disebut theacing atau pengajaran. Dalam pembelajaran
yang bersifat eksternal prinsip-prinsip belajar dengan sendirinya akan menjadi
prinsip-prinsip pembelajaran.

Prinsip dikatakan juga landasan. Prinsip pembelajaran menurut Larsen dan


Freeman (1986 dalam Supani dkk. 1997/1998) adalah represent the theoretical
framework of the method. Prinsip pembelajaran adalah kerangka teoretis sebuah
metode pembelajaran. Kerangka teoretis adalah teori-teori yang mengarahkan
harus bagaimana sebuah metode dilihat dari segi 1) bahan yang akan
dibelajarkan, 2) prosedur pembelajaran (bagaimana siswa belajar dan bagaimana
guru mengajarkan bahan), 3) gurunya, dan 4) siswanya.
 Prinsip Pembelajaran inklusif secara umum :
1. Prinsip motivasi

Dalam pelaksanaan pembelajaran guru harus senantiasa memberikan


motivasi kepada siswa agar tetap memiliki gairah dan semangat dalam
melakukan pembelajaran.

2. Prinsip latar/konteks

Guru harus mengenal dan mngetahui latar belakang siswa secara lebih
mendalam, dalam proses pembelajaran penggunaan contoh-contoh,
memanfaatkan sumber belajar yang ada di lingkungan sekitar, serta
menghindari pengulangan yang tidak diperlukan jika anak sudah mampu
memahami sesuatu yang dipelajari.

3. Prinsip keterarahan

Sebelum melakukan pembelajaran guru diharuskan untuk merumuskan


lalu menjelaskan tujuan yang akan dicapai setelah pembelajaran selesai
dilakukan, kemudian menyiapkan bahan dan alat yang sesuai dengan materi
yang diberikan serta menggunakan strategi pembelajaran yang dapat
mempermudah siswa dalam memahami materi yang diberikan.

4. Prinsip hubungan sosial

Interaksi antar guru dengan siswa, siswa dengan siswa, siswa dengan
lingkungan dan seterusnya sangat dibutuhkan dalam mengoptimalkan
pembelajaran yang diberikan sehingga tercapai tujuan yang diharapkan.

5. Prinsip belajar sambil bekerja

Dalam melakukan pembelajaran siswa harus banyak diberikan


kesempatan untuk melakukan percobaan atau praktek sesuai dengan materi
yang ada, siswa diharapkan dapat menemukan pengertiannya dalam psoses
pembelajaran sehingga hasil belajar yang dicapai dapat lebih bermakna.

6. Prinsip Individualisasi

Kemampuan guru dalam mengenali dan memahami siswa secara


individu baik kelebihan ataupu kelemahan siswa dapat diketahui oleh
guru,sehingga dalam melakukan pembelajaran guru tidak menyamakan
kemampuan siswa sehingga masing-masing siswa mendapatkan perhatian dan
perlakuan yang sesuai dengan kemampuannya.

7. Prinsip menemukan

Guru diharuskan mampu mengembangkan strategi pembelajaran yang


mampu memancing dan melibatkan siswa untuk aktif, baik secara fisik,
mental, sosial, dan emosional.

8. Prinsip pemecahan masalah

Hendaknya pembelajaran yang dilakukan mengandung unsur


pemecahan masalah sehingga siswa dilatih untuk berfikir, merumuskan,
mengumpulkan data dan menganalisis serta menyelesaikan permasalahan
yang ada.

9. Prinsip kasih sayang

Pembelajaran yang dilakukan hendaknya tidak mengesampingkan


prinsip kasih sayang sehingga siswa merasakan ketenangan dan kenyamanan
dalam belajar, tanpa merasa takut dan tertekan.
C. Prinsip Pendidikan Inklusif dalam Pembelajaran

Dalam tataran praktis pembelajaran, inklusi merupakan suatu perubahan


yang dapat menguntungkan tidak hanya anak berkebutuhan khusus akan tetapi
juga anak pada umumnya dalam kelas. Prinsip paling mendasar dalam
pendidikan inklusif adalah bagaimana agar peserta didik dapat belajar bersama,
belajar untuk dapat hidup bersama. Johnsen dan Miriam Skojen (2003)
menjabarkan dalam tiga prinsip, yaitu (1) bahwa setiap anak termasuk dalam
komunitas setempat dan dalam suatu kelas atau kelompok, (2) bahwa hari
sekolah diatur penuh dengan tugas-tugas pembelajaran koopertif dengan
perbedaan pendidikan dan fleksibilitas dalam memilih dengan sepuas hati, dan
(3) guru bekerja bersama dan mendapat pengetahuan pendidikan umum, khusus
dan teknik belajar individu serta keperluan-keperluan pelatihan dan bagaimana
mengapresiasikan keanekaragaman dan perbedaan individu dalam
pengorganisasin kelas.

Sementara itu, Mulyono dalam Sri Wahyu Ambarwati (2005)


mengidentifikasikan prinsip pendidikan inklusif ke dalam sembilan elemen dasar
yang memungkinkan pendidikan inklusif dapat dilaksanakan.

1. Sikap Guru Yang Positif Terhadap Kebhinekaan

Elemen paling penting dalam pendidikan inklusif adalah sikap guru


terhadap siswa yang membutuhkan layanan pendidikan khusus. Sikap guru
tidak hanya berpengaruh terhadapclassroom setting tetapi juga dalam
pemilihan strategi pembelajaran.

Sikap positif guru terhadap keragaman kebutuhan siswa dapat


ditingkatkan dengan cara memberikan informasi yang akurat tentang siswa
dan cara penanganannya (Johnson & Johnson, 1984 dalam Whayu Sri
Ambarwati, 2005).
2. Interaksi promotif

Penyelenggaraan pendidikan inklusif menuntut adanya interaksi


promotif antara siswa. Yang dimaksud interaksi promotif adalah upaya untuk
saling menolong dan saling memberi motivasi dalam belajar. Interaksi
promotif hanya dimungkinkan jika terdapat rasa saling menghargai dan saling
memberikan urunan dalam meraih keberhasilan belajar bersama. Interaksi
promotif pada hakekatnya sama dengan interaksi transpersonal, yaitu interaksi
yang didasarkan atas rasa saling menghormati, tidak hanya terhadap sesama
manusia tetapi juga sesama makluk ciptaan Tuhan. Interaksi promotif hanya
di mungkinkan jika guru menciptakan suasana belajar kooperatif. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa dalam suasana belajar kooperatif, siswa
cenderung memperoleh prestasi belajar matematika lebih tinggi dari pada
dalam suasana belajar kompetitif (Mulyono, 1994).

Dalam pendidikan inklusif, suasana belajar kooperatif harus dominan


sedangkan suasanabelajar kompetitif hanya untuk bersenang-senang atau
untuk selingan atau untuk materi belajar yang membosankan. Hasil penelitian
Johnson & Johnson (Wahyu Sri Ambarwati, 2005) menunjukkan bahwa
suasana belajar kompetitif dapat menimbulkan perasaan rendah diri bagi siswa
yang memiliki kemampuan kurang.

Lebih lanjut hasil penelitian Mulyono (1994) menunjukkan bahwa


para guru umumnya lebih menyukai pembelajaran kompetitif dan tidak
memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai dalam
penyelenggaraan pembelajaran kooperatif. Padahal, pembelajaran kompetitif
dalam kelompok heterogen dapat menghancurkan rasa harga diri siswa yang
berkekurangan dan merasa bosan terhadap siswa yang memiliki keunggulan.
Perasaan rendah diri dan perasaan bosan merupakan elemen yang merusak
untuk membangun kehidupan bersama yang lebih baik. Kompetisi bukan tidak
bermanfaat tetapi hanya untuk kelompok yang homogen yang memungkinkan
semua anggota berkompetisi memiliki peluang yang relatif sama untuk
menang dan kalah. Menguatkan pembahasan ini, sekali lagi hasil penelitian
Mulyono (1994) menunjukkan bahwa interaksi kompetitif yang efektif untuk
mencapai tujuan pembelajaran adalah kompetisi antar siswa yang mempunyai
kemampuan seimbang, kompetisi dengan standar nilai minimum, dan yang
terbaik adalah kompetisi dengan diri sendiri.

3. Pencapaian kompetensi akademik dan sosial

Pendidikan inklusif tidak hanya menekankan pencapaian tujuan dalam


bentuk kompetensi akademik tetapi juga kompetensi sosial. Oleh sebab itu,
perencanaan pembelajaran harus melibatkan tidak hanya pencapaian tujuan
akademik (academic objectives) tetapi juga tujuan keterampilan bekerjasama
(collaborative skills objectives). Tujuan keterampilan bekerjasama mencakup
keterampilan memimpin, memahami perasaan orang lain, menghargai pikiran
orang lain, dan tenggang rasa.

4. Pembelajaran adaptif

Ciri khas dari pendidikan inklusif adalah tersedianya program


pembelajaran yang adaftif atau program pembelajaran individual
(individualized instructional programs). Program pembelajaran adaptif tidak
hanya ditujukan kepada peserta didik dengan problema belajar tetapi juga
untuk peserta didik yang dikaruniai keunggulan. Penyusunan program
pembelajaran adaptif menuntut keterlibatan tidak hanya guru kelas atau guru
bidang studi tetapi juga guru PLB, orangtua, guru BK, dan ahli-ahli lain yang
terkait.
5. Konsultasi kolaboratif

Konsultasi kolaboratif (collaborative consultation) adalah saling tukar


informasi antar profesional dari semua disiplin yang terkait untuk memperoleh
keputusan legal dan instruksional yang berhubungan dengan siswa yang
membutuhkan layanan pendidikan khusus. Yang dimaksud dengan profesional
dalam hal ini adalah guru PLB, guru kelas atau guru bidang studi, konselor,
psikolog, dan atau ahli-ahli lain yang terkait. Beberapa ahli telah
mengembangkan model konsultasi kolaboratif untuk melakukan tindakan
pencegahan dan rahabilitasi siswa yang membutuhkan layanan pendidikan
khusus di kelas reguler. Berdasarkan model yang mereka buat guru PLB dan
guru reguler bersama anggota tim lainnya melakukan diskusi untuk
menentukan sifat dan ukuran-ukuraaan yang dipergunakan untuk menentukan
masalah siswa, memilih dan merekomendasikan tindakan, merencanakan
danmengimplementasikan program pembelajaran, dan melakukan evaluasi
hasil intervensi serta melakukan perencanaan ulang jika diperlukan.

6. Hidup dan belajar dalam masyarakat

Dalam pendidikan inklusif kelas harus merupakan bentuk mini dari


suatu kehidupan masyarakat yang diidealkan. Di dalam kelas diciptakan
suasana yang silih asah, silih asih, dan silih asuh. Dengan kata lain, suasana
belajar yang kooperatif harus diciptakan sehingga di antara siswa terjalin
hubungan yang saling menghargai. Semua siswa tidak peduli betapapun
perbedaannya, harus dipandang sebagai individu unik yang memiliki potensi
kemanusiaan yang harus dikembangkan dan diaktualisasikan dalam
kehidupan.
7. Hubungan kemitraan antara sekolah dengan keluarga.

Keluarga merupakan fondasi tempat anak-anak belajar dan


berkembang. Begitu pula dengan sekolah, juga tempat anak belajar dan
berkembang. Keduanya memiliki fungsi yang sama. Perbedaannya,
pendidikan dalam keluarga tidak terprogram dan terukur sedangkan di sekolah
pendidikan lebih banyak dilakukan secara terprogram dan terukur atau yang
biasa disebut dengan pembelajaran. Karena kedua lembaga tersebut
hakekatnya mempunyai fungsi yang sama, maka keduanya harus menjalin
hubungan kemitraan yang erat dalam upaya memberdayakan semua potensi
kemanusiaan siswa agar dapat berkembang optimal dan terintegrasi. Keluarga
memiliki informasi yang lebih akurat mengenai keunikan, kekuatan, dan
minat anak, sedangkan sekolah memiliki informasi yang lebih akurat
mengenai prestasi akademik siswa. Informasi mengenai anak yang dimiliki
oleh keluarga merupakan landasan penting bagi penyelenggaraan pendidikan
inklusif.

8. Belajar dan berfikir independen.

Dalam pendidikan inklusif guru mendorong agar siswa mencapai


perkembangan kognitif taraf tinggi dan kreatif agar mampu berfikir
independen. Berkenaan dengan semakin majunya ilmu dan teknologi,
pendidikan inklusif sangat menekankan agar siswa memiliki keterampilan
belajar dan berpikir. Guru hendaknya juga mengetahui bahwa hasil-hasil
penelitian mengenai anak-anak kesulitan belajar (students with learning
difficulties) menunjukkan bahwa mereka umumnya pasif dalam belajar,
kurang mampu melakukan control diri, cenderung bergantung
(dependent),dan kurang memiliki strategi untuk belajar. Sehubungan dengan
karakteristik siswa berkesulitan belajar semacam itu maka guru perlu
memiliki kemampuan untuk memberikan dorongan atau motivasi dengan
menerapkan berbagai teknik, terutama yang berkenaan dengan manajemen
perilaku atau memodifikasi perilaku.

9. Belajar sepanjang hayat

Pendidikan inklusif memandang pendidikan di sekolah sebagai bagian


dari perjalanan panjang hidup seorang manusia; dan manusia belajar
sepanjang hidupnya (lifelong learning). Belajar sepanjang hayat memiliki
makna yang melampaui sekedar menguasai berbagai kompetensi yang
menjadi tuntutan kurikulum dan upaya untuk naik kelas. Belajar sepanjang
hayat pada hakekatnya adalah belajar untuk berfikir kritis dan belajar untuk
menyelesaikan berbagai masalah kehidupan. Oleh karena itu, pendidikan
inklusif menekankan pada pengalaman belajar yang bermanfaat bagi
kelangsungan proses belajar peserta didik dalam kehidupan masyarakat

D. Strategi Pembelajaran Bagi Anak Berkebutuhan Khusus

Anak berkebutuhan khusus (ABK) ini ada dua kelompok, yaitu: ABK
temporer (sementara) dan permanen (tetap). Adapun yang termasuk kategori
ABK temporer meliputi: anak-anak yang berada di lapisan strata sosial ekonomi
yang paling bawah, anak-anak jalanan (anjal), anak-anak korban bencana alam,
anak-anak di daerah perbatasan dan di pulau terpencil, serta anak-anak yang
menjadi korban HIV-AIDS. Sedangkan yang termasuk kategori ABK permanen
adalah anak-anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, Autis,
ADHD (Attention Deficiency and Hiperactivity Disorders), Anak Berkesulitan
Belajar, Anak berbakat dan sangat cerdas (Gifted), dan lain-lain.

Untuk menangani ABK tersebut dalam setting pendidikan inklusif di


Indonesia, tentu memerlukan strategi khusus. Pendidikan inklusi mempunyai
pengertian yang beragam. Stainback dan Stainback (1990) mengemukakan
bahwa: sekolah inklusi[13] adalah sekolah yang menampung semua siswa di
kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak,
menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa,
maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-
anak berhasil. Lebih dari itu, sekolah inklusi juga merupakan tempat setiap anak
dapat diterima, menjadi bagian dari kelas tersebut, dan saling membantu dengan
guru dan teman sebayanya, maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan
individualnya dapat terpenuhi. Selanjutnya, Staub dan Peck (1995) menyatakan
bahwa: pendidikan inklusi[14] adalah penempatan anak berkelainan tingkat
ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas reguler. Hal ini menunjukkan
bahwa kelas reguler merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak
berkelainan, apapun jenis kelainannya dan bagaimanapun gradasinya. Sementara
itu, Sapon-Shevin (O’Neil, 1995) menyatakan bahwa pendidikan inklusi sebagai
sistem layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak berkelainan
dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman
seusianya. Oleh karena itu, ditekankan adanya perombakan sekolah, sehingga
menjadi komunitas yang mendukung pemenuhan kebutuhan khusus setiap anak,
sehingga sumber belajar menjadi memadai dan mendapat dukungan dari semua
pihak, yaitu para siswa, guru, orang tua, dan masyarakat sekitarnya.

Melalui pendidikan inklusi, anak berkelainan dididik bersama-sama anak


lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya (Freiberg,
1995). Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat
anak normal dan anak berkelainan yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu
komunitas.

Dalam hal ini, ada empat strategi pokok yang diterapkan pemerintah,
yaitu: peraturan perundang-undangan yang menyatakan jaminan kepada setiap
warga negara Indonesia (termasuk ABK temporer dan permanen) untuk
memperoleh pelayanan pendidikan, memasukkan aspek fleksibilitas dan
aksesibilitas ke dalam sistem pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan
informal. Selain itu, menerapkan pendidikan berbasis teknologi informasi dan
komunikasi (TIK) dan mengoptimalkan peranan guru.

Di bawah ini beberapa strategi pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus:

1. Strategi pembelajaran bagi anak tunanetra

Strategi pembelajaran pada dasarnya adalah pendayagunaan secara tepat dan


optimal dari semua komponen yang terlibat dalam proses pembelajaran yang
meliputi tujuan, materi pelajaran, media, metode, siswa, guru, lingkungan
belajar dan evaluasi sehingga proses pembelajaran berjalan dengan efektif dan
efesien. Beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam
menentukan strategi pembelajaran , antara lain:

1) Berdasarkan pengolahan pesan terdapat dua strategi yaitu strategi


pembelajaran deduktif dan induktf.
2) Berdasarkan pihak pengolah pesan yaitu strategi pembelajaran ekspositorik
dan heuristic.
3) Berdasarkan pengaturan guru yaitu strategi pembelajaran dengan seorang guru
dan beregu.
4) Berdasarkan jumlah siswa yaitu strategi klasikal, kelompok kecil dan
individual.
5) Beradsarkan interaksi guru dan siswa yaitu strategi tatap muka, dan melalui
media.

Selain strategi yang telah disebutkan di atas, ada strategi lain yang
dapat diterapkan yaitu strategi individualisasi, kooperatif dan modifikasi
perilaku.
2. Strategi pembelajaran bagi anak berbakat

Strategi pembelajaran yang sesuai denagan kebutuhan anak berbakat


akan mendorong anak tersebut untuk berprestasi. Hal-hal yang harus
diperhatikan dalam meneentukan strategi pembelajaran adalah :

1) Pembelajaran harus diwarnai dengan kecepatan dan tingkat kompleksitas.


2) Tidak hanya mengembangkan kecerdasan intelektual semata tetapi juga
mengembangkan kecerdasan emosional.
3) Berorientasi pada modifikasi proses, content dan produk.

Model-model layanan yang bias diberikan pada anak berbakat yaitu


model layanan perkembangan kognitif-afektif, nilai, moral, kreativitas dan
bidang khusus.

3. Strategi pembelajaran bagi anak tunagrahita

Strtegi pembelajaran anak tunagrahita ringan yang belajar di sekolah umum


akan berbeda dengan strategi anak tunagrahita yang belajar di sekolah luar
biasa. Strategi yang dapat digunakan dalam mengajar anak tunagrahita antara
lain;

1. Strategi pembelajaran yang diindividualisasikan


2. Strategi kooperatif
3. Strategi modifikasi tingkah laku
4. Strategi pembelajaran bagi anak tunadaksa

Strategi yang bias diterapkan bagi anak tunadaksa yaitu melalui


pengorganisasian tempat pendidikan, sebagai berikut:

1. Pendidikan integrasi (terpadu)


2. Pendidikan segresi (terpisah)
3. Penataan lingkungan belajar
5. Strategi pembelajaran bagi anak tunalaras

Untuk memberikan layanan kepada anak tunalaras, Kauffman (1985)


mengemukakan model-model pendekatan sebagai berikut;

1. Model biogenetic
2. Model behavioral/tingkah laku
3. Model psikodinamika
4. Model ekologis

6. Strategi pembelajaran bagi anak dengan kesulitan belajar

1) Anak berkesulitan belajar membaca yaitu melalui program delivery dan


remedial teaching
2) Anak berkesulitan belajar menulis yaitu melalui remedial sesuai dengan
tingkat kesalahan.
3) Anak berkesulitan belajar berhitung yaitu melalui program remidi yang
sistematis sesuai dengan urutan dari tingkat konkret, semi konkret dan tingkat
abstrak.

7. Strategi pembelajaran bagi anak tunarungu

Strategi yang biasa digunakan untuk anak tunarungu antara lain: strategi
deduktif, induktif, heuristic, ekspositorik, klasikal, kelompok, individual,
kooperatif dan modifikasi perilaku
PENUTUP

A. Kesimpulan

Modifikasi kurikulum yakni kurikulum siswa rata-rata atau regular


disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan atau potensi ABK dengan
mempertimbangkan karakteristik (ciri-ciri) dan tingkat kecerdasannya.

Prinsip pembelajaran menurut Larsen dan Freeman (1986 dalam Supani


dkk. 1997/1998) adalah represent the theoretical framework of the method.
Prinsip pembelajaran adalah kerangka teoretis sebuah metode pembelajaran.
Kerangka teoretis adalah teori-teori yang mengarahkan harus bagaimana sebuah
metode dilihat dari segi 1) bahan yang akan dibelajarkan, 2) prosedur
pembelajaran (bagaimana siswa belajar dan bagaimana guru mengajarkan
bahan), 3) gurunya, dan 4) siswanya.

Prinsip Pembelajaran inklusif secara umum :

1. Prinsip motivasi
2. Prinsip latar/konteks
3. Prinsip keterarahan
4. Prinsip Hubungan Sosial
5. Prinsip belajar sambil bekerja
6. Prinsip individualisasi
7. Prinsip menemukan
8. Prinsip pemecahan masalah

B. Saran

Bagi para pendidik maupun calon pendidik, hendaknya dapat melakukan


modifikasi pembelajaran sesuai dengan kebutuhan anak dengan
mempertimbangkan karakteristik (ciri – ciri) dan tingkat kecerdasannya,
khususnya untuk Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) pada pendidikan inklusif
agar ABK agar mereka tidak mengalami hambatan dalam pembelajaran yang
dilaksanakan di pendidikan inklusif.
DAFTAR PUSTAKA

Delphie, Bandi. 2006. Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus. Bandung: Refika Aditama.

Rosalinda dewi, Rinita , “prinsip-prinsip pembelajaran inklusif”


http://rinitarosalinda.blogspot.com/2015/10/prinsip-prinsip-pembelajaran-
inklusif.html, diakses pada 25 april 2022, pukul 14.35

Anda mungkin juga menyukai