Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

LEPTOSPIROSIS

DISUSUN OLEH :

Kelompok 3

Rossi Raturoma (2019081024045)

Rifqah Tiara Nabilah (2019081024059)

Yetry Monika U. Dengen (2019081024019)

Ancelina Batlayeri (2019081024044)

Selvi Rante Damai (2019081024054)

Marti Heluka (2019081024001)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS CENDERAWASIH
JAYAPURA
TAHUN 2020/2021
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha Esa, kami panjatkan puja dan puji syukur atas
kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat dan berkat-Nya kepada kami, sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah tentang “Leptospirosis”.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu membuat makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang “Leptospirosis” ini dapat memberikan
manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

Jayapura, 25 Februari 2021


DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ………………………………………………………………………………...


B. Tujuan ……………………………………………………………………………………........
C. Manfaat ………………………………………………………………………………………..

BAB II TINJAUAN TEORI

A. Definisi ………………………………………………………………………………………...
B. Etiologi ………………………………………………………………………………………...
C. Manifestasi Klinis ……………………………………………………………………………..
D. Pemeriksaan Penunjang ……………………………………………………………………….
E. Komplikasi …………………………………………………………………………………….
F. Pathway ………………………………………………………………………………………..
G. Penatalaksanaan Medis ………………………………………………………………………..
H. Terapi penunjang ……………………………………………………………………………...
I. Diagnosis dan Diagnosis Banding …………………………………………………………….
J. Pencegahan ……………………………………………………………………………………

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian ……………………………………………………………………………………..
B. Diagnosa Keperawatan ………………………………………………………………………
C. Rencana Keperawatan …………………………………………………………………………

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ……………………………………………………………………………………
B. Saran …………………………………………………………………………………………..

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang terabaikan / Neglected Infectious


Diseases (NIDs) yaitu penyakit infeksi yang endemis pada masyarakat miskin atau populasi
petani dan pekerja yang berhubungan dengan air dan tanah di negara berkembang.
Leptospirosis umumnya terjadi pada petani dan peternak serta para pekerja yang
berhubungan dengan hutan dan air, namun dengan meningkatnya populasi global, frekuensi
perjalanan dan mudahnya transportasi domestik maupun mancanegara, perubahan teknologi
kesehatan dan produksi makanan, perubahan pola hidup dan tingkah laku manusia,
pengembangan daerah baru sebagai hunian manusia, maka pola penyebaran leptospirosis
dapat lebih luas (Rusmini, 2011).

Leptospirosis merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia khususnya


di negara-negara yang beriklim tropis dan subtropis serta memiliki curah hujan yang tinggi.
Tingginya angka prevalensi leptospirosis di daerah yang memiliki iklim tropis dan subtropis,
dapat dihubungkan dengan kondisi lingkungan yang kurang baik sehingga memungkinkan
lingkungan tersebut menjadi tempat yang baik atau cocok untuk hidup dan berkembang
biaknya bakteri leptospira (WHO, 2003). Angka kejadian leptospirosis di seluruh dunia
belum diketahui secara pasti. Di daerah tropis, angka kejadian leptospirosis berkisar antara
10-100 per 100.000 penduduk per tahun. Sedangkan di daerah subtropis, angka kejadian
berkisar antara 0,1-1 per 100.000 penduduk per tahun (Hadisaputro, 2009).

International Leptospirosis Society (2001) menyatakan bahwa Indonesia merupakan


negara dengan kejadian leptospirosis tinggi dan menempati peringkat ke 3 di dunia untuk
mortalitas (16,7 %) setelah Uruguay dan India (Ernawati, 2008). Sejak tahun 2007, kasus
leptospirosis di Indonesia selalu tinggi.
Penyakit leptospirosis secara epidemologi dipengaruhi oleh 3 faktor pokok yaitu
faktor agent penyakit yang berkaitan dengan penyebab termasuk jumlah virulensi,
patogenitas bakteri leptospira, faktor kedua yang berkaitan dengan faktor host (pejamu/tuan
rumah/penderita) termasuk didalamnya keadaan kebersihan perorangan, keadaan gizi, usia,
taraf pendidikan, faktor ketiga yaitu environment, yang termasuk lingkungan fisik, biologik,
sosial-ekonomi, budaya. Pada kejadian leptospirosis ini faktor 2 lingkungan sangat
berpengaruh seperti adanya genangan air dan sanitasi lingkungan yang buruk (Notoatmodjo,
2007).

B. Tujuan

Mengetahui faktor perilaku dan faktor lingkungan fisik yang berhubungan dengan
kejadian leptospirosis, mengetahui hubungan kebiasaan menyimpan alat makan terhadap
kejadian leptospirosis, mengetahui hubungan kebiasaan menyimpan makanan secara tertutup
terhadap kejadian leptospirosis, mengetahui hubungan kebiasaan merawat luka terhadap
kejadian leptospirosis, mengetahui hubungan kebisaan cuci tangan/kaki menggunakan sabun
terhadap kejadian leptospirosis, mengetahui hubungan keberadaan selokan terhadap kejadian
leptospirosis, mengetahui hubungan keberadaan genangan air terhadap kejadian
leptospirosis, mengetahui hubungan keberadaan sampah terhadap kejadian leptospirosis,
mengetahui hubungan jarak rumah dari tempat kotor (sampah, selokan, kandang ternak)
terhadap kejadian leptospirosis.

C. Manfaat

- Sebagai bahan informasi yang berkaitan dengan faktor perilaku dan lingkungan fisik
yang berhubungan dengan kejadian leptospirosis sehingga dapat dimanfaatkan sebagai
bahan pertimbangan untuk menetapkan kebijakan dan perencanaan dalam rangka
program pencegahan dan pengendalian leptospirosis.
- Sebagai pertimbangan untuk penelitian lebih lanjut tentang faktor perilaku dan
lingkungan fisik dengan rancangan penelitian lain.
- Sebagai informasi untuk mengetahui gambaran faktor perilaku dan lingkungan fisik yang
mempengaruhi kejadian penyakit leptospirosis.
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Definisi

Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh infeksi Leptospira


interrogans semuaserotipe. Leptospirosis juga dikenal dengan nama flood fever atau demam
banjir karena sering menyebabkan terjadinyawabah pada saat banjir. Diantara genus
leptospira, hanya spesies interogan yang patogen untuk binatang dan manusia. Sekurang-
kurangnya terdapat 180 serotipe dan 18 serogrup. Satu jenis serotipe dapat menimbulkan
gambaran klinis yang berbeda, sebaliknya, suatu gambaran klinis, misalnya meningitis
aseptik, dapat disebabkan oleh berbagai serotipe. Leptospirosis memiliki manifestasi klinis
yang luas dan bervariasi. Pada leptospirosis ringan dapat terjadi gejala seperti influenza
dengan nuerikepala dan mialgia. Leptospirosis berat ditandai oleh ikterus, gangguan
ginjal,dan perdarahan, dikenal sebagai sindrom Weil.

Penyakit ini paling sering ditularkan dari hewan ke manusia ketika orang dengan
luka terbuka di kulit melakukan kontak dengan air atau tanah yang telah terkontaminasi air
kencing hewan. Bakteri juga dapat memasuki tubuh melalui mata atau selaput lendir. Hewan
yang umum menularkan infeksi kepada manusia adalah tikus, musang, opossum, rubah,
musang kerbau, sapi atau binatang lainnya. Karena sebagian besar di Indonesia Penyakit ini
ditularkan melalui kencing Tikus, Leptospirosis popular disebut penyakit kencing tikus.
Menurut Widoyono (2008) manusia dapat terinfeksi melalui beberapa cara berikut ini:

- Kontak dengan air, tanah dan lumpur yang terancam bakteri.

- Kontak dengan organ, darah, dan urin hewan terinfeksi.

- Mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi.


Leptospirosis tidak menular langsung dari pasien ke pasien. Masa inkubasi
leptospirosis adalah dua hingga 26 hari. Sekali berada di aliran darah, bakteri ini bisa
menyebar ke seluruh tubuh dan mengakibatkan gangguan khususnya hati dan ginjal.
Penularan tidak langsung terjadi melalui genangan air, sungai, danau, selokan saluran air dan
lumpur yang tercemar urin hewan seperti tikus, umumnya terjadi saat banjir.

Wabah leptospirosis dapat juga terjadi pada musim kemarau karena sumber air yang
sama dipakai oleh manusia dan hewan. Sedangkan untuk penularan secara langsung dapat
terjadi pada seorang yang senantiasa kontak dengan hewan (peternak, dokter hewan).
Penularan juga dapat terjadi melalui air susu, plasenta, hubungan seksual, percikan darah
manusia penderita leptospira meski kejadian ini jarang ditemukan. Manusia jarang
menginfeksi manusia lain, tetapi mungkin melakukannya selama hubungan seksual atau
menyusui.

B. Etiologi

Leptospirosis disebabkan oleh bakteri dari genus Leptospira dari famili


Leptospiraceae, ordo Spirochaetales. Leptospira tumbuh baik pada kondisi aerobik di suhu
28°C - 30°C. Genus Leptospira terdiri dari dua spesies yaitu L. interrogans (bersifat patogen)
dan L. biflexa (bersifat saprofit / non-patogen). Leptospira pathogen terpelihara dalam
tubulus ginjal hewan tertentu. Leptospira saprofit ditemukan di lingkungan basah atau
lembab mulai dari air permukaan, tanah lembab, serta air keran.

Spesies L. interrogans dibagi dalam beberapa serogrup yang terbagi lagi menjadi
lebih 250 serovar berdasarkan komposisi antigennya. Beberapa serovar L. interrogans yang
patogenpada manusia antara lain L. icterohaemorrhagiae, L. canicola, L. pomona, L.
grippothyphosa, L. javanica, L. celledoni, L. ballum, L. pyrogenes, L. bataviae, dan L.
hardjo. Berbagai spesies hewan, terutama mamalia, dapat bertindak sebagai sumber infeksi
manusia, diantaranya ialah:

1. Spesies mamalia kecil, seperti tikus liar (termasuk mencit), bajing, landak.
2. Hewan domestic (sapi, babi, anjing, domba, kambing, kuda, kerbau).
3. Hewan penghasil bulu (rubah perak) di penangkaran.
4. Reptil dan amfibi mungkin juga membawa leptospira.

C. Manifestasi Klinis

Karakteristik perjalanan penyakit leptospirosis ialah bifasik. Masa inkubasi


leptospirosis berkisar 2 - 26 hari, dengan rata-rata 10 hari. Leptospirosis mempunyai dua fase
penyakit yang khas yaitu:

1. Fase leptospiremia : leptospira dapat dijumpai dalam darah. Gejala ditandai dengan nyeri
kepala daerah frontal, nyeri otot betis, paha, pinggang terutama saat ditekan. Gejala ini
diikuti hiperestesi kulit, demam tinggi, menggigil, mual, diare, bahkan penurunan
kesadaran. Pada sakit berat dapat ditemui bradikardia dan ikterus (50%). Pada sebagian
penderita dapat ditemui foto fobia, rash, urtikaria kulit, splenomegali, hepatomegali, dan
limfadenopati. Gejala ini terjadi saat hari ke 4 - 7. Jika pasien ditangani secara baik, suhu
tubuh akan kembali normal dan organ-organ yang terlibat akan membaik. Manifestasi
klinik akan berkurang bersamaan dengan berhentinya proliferasi organisme di dalam
darah. Fungsi organ-organ ini akan pulih 3 - 6 minggu setelah perawatan. Pada keadaan
sakit lebih berat, demam turun setelah hari ke-7 di ikuti fase bebas demam 1 - 3 hari, lalu
demam kembali. Keadaan ini disebut sebagai fase kedua atau fase imun.
2. Fase imun : berlangsung 4 - 30 hari, ditandai dengan peningkatan titer antibodi, demam
hingga 40°C disertai mengigil dan kelemahan umum. Pada leher, perut, dan otot kaki
dijumpai rasa nyeri. Perdarahan paling jelas saat fase ikterik dimana dapat ditemukan
purpura, petekie, epistaksis, dan perdarahan gusi. Conjungtival injection dan conjungtival
suffusion denganikterus merupakan tanda patognomonik untuk leptospirosis. Meningitis,
gangguan hati dan ginjal akan mencapai puncaknya pada fase ini. Pada fase ini juga
terjadi leptospiuria yang dapat berlangsung 1 minggu sampai 1 bulan.

Secara garis besar, manifestasi klinis leptospirosis dapat dibagi menjadi leptospirosis
anikterik pada sekitar 85% - 90% kasus dan leptospirosis ikterik (sindroma Weil) pada
kurang lebih 10% kasus.
D. Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopik, juga dengan


pembiakan leptospira. Sampel klinis yang harus dikumpulkan untuk pemeriksaan tergantung
pada fase infeksi. Spesimen berasal dari darah dan cairan serebrospinal (minggu pertama
masa sakit) dan urin (sesudah minggu pertama sampai hari ke-40). Spesimen tersebut
ditanam pada media Fletcher’s atau media EMJH dikombinasikan dengan neomisin atau 5
fluorouracil. Pada media ini, pertumbuhan akan terlihat dalam beberapa hari sampai 4
minggu. Adanya leptospira pada media ini dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop
lapangan gelap atau menggunakan mikroskop fluoresen (fluorerescent antibody stain).
Pemeriksaan uji imunoserologik juga penting untuk diagnosis leptospirosis. Pada umumnya
antibodi baru ditemukan setelah hari ke-7 atau ke -10. Titernya akan meningkat dan akan
mencapai puncaknya pada minggu ke-3 atau ke-4 masa sakit. Uji imunoserologi yang
biasadigunakan ialah: Microscopic Agglutination Test, Enzyme-linked immunosorbent assay
(ELISA), polymerase chain reaction (PCR) dan dipstick assays, serta Antigen spesifik
leptospira, yaitu lipoprotein rLipl32 yang dapat menjadi gold standard diagnosis. Sampel
yang bermanfaatdan yang paling sering dikumpulkan yaitu:

1. Darah dengan heparin untuk kultur dalam 10 hari pertama.


2. Darah atau serum beku untuk pemeriksaan serologi diambil pada fase septikemia.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan serokonversi antibodi 4 kali lipat antara akut dan
konvalesens. Hasil serologi negatif pada fase awal penyakit tidak menyingkirkan
diagnosis leptospirosis.
3. Urine untuk kultur diambil pada fase imun.
4. Sampel post mortem. Penting untuk mengumpulkan spesimen dari sebanyak mungkin
organuntukserologi. Sampel post mortem harus dikumpulkan aseptik dan di inokulasi ke
dalam media kultur sesegera mungkin setelah kematian. Sampel harus disimpan dan
diangkut pada suhu 4°C. Selain itu, pewarnaan perak, immunostaining,ndan imunohisto
kimia mungkin membantu.
5. CSS dan di alisat untuk kultur di ambil pada fase septikemia. Pada kasus leptospirosisan-
ikterik dapat dijumpai jumlah leukosit normal dengan neutrofilia, peningkatan laju endap
darah (LED) dan protein dalam CSS.

E. Komplikasi

Meningitis aseptik merupakan komplikasi yang paling sering ditemukan, namun dapat pula
terjadi ensefalitis, mielitis, radikulitis, neuritis perifer (tidak biasa) pada minggu kedua
karena terjadinya reaksi hipersensitivitas. Komplikasi berat pada penderita leptospirosis berat
dapat berupa syok, perdarahan masif dan ARDS yang merupakan penyebab utama kematian
leptospirosis berat. Syok terjadi akibat perubahan homeostasis tubuh yang berperan pada
timbulnya kerusakan jaringan. Gagal ginjal, kerusakan hati, perdarahan paru, vaskulitis dan
ganguan jantung berupa miokarditis, perikarditis dan aritmia jarang ditemukan walaupun
umumnya sebagai penyebab kematian. Meskipun jarang dapat ditemukan uveitis setelah 2
tahun timbul gejala leptospira.
F. Pathway

G.

Penatalaksanaan Medis

Pengobatan dengan antibiotik yang efektif harus dimulai segera setelah diduga
diagnosis leptospirosis, sebaiknya sebelum hari ke-5 setelah onset penyakit. Umumnya
dokter mengobati dengan antibiotik tanpa menunggu timbulnya penyakit. Ujiserologik tidak
menjadi positif sampai sekitar seminggu setelah onset penyakit, dan kultur tidak dapat
menjadi positif selama beberapa minggu.

Kesulitan melihat hasil pengobatan ialah bahwa umumnya leptospira merupakan


penyakit self limiting dengan prognosis yang cukup baik. Kasus leptospirosis berat harus
diberikan penisilin dosis tinggi IV (benzylpenicillin IV 30 mg/kg, maksimal 1,2 g, per 6 jam
selama 5 - 7 hari). Kasus yang lebih ringan dapat diobati dengan antibiotik oral seperti
amoksisilin, ampisilin, doksisiklin (2 mg/kg, maksimal 100 mg, setiap 12 jam selama 5 - 7
hari), atau eritromisin. Sefalosporin generasi ketiga, seperti ceftriaxone dan cefotaxime, dan
kuinolon juga efektif. Reaksi Jarisch Herxheimer dapat terjadi setelah pengobatan penisilin.
Kularatne et al. Di Sri Langka melaporkan bahwa pemberian metal prednisolon 500 mg IV
selama 3 hari pada pasien leptospirosis berat dengan angka kematian 16 orang dari total 149
orang (10,7%) dibandingkan tanpa pemberian metil prednisolon dengan angka kematian
17/78 (21,8%) dengan P<0,025.

H. Terapi Penunjang
 Cairan dan elektrolit: pasien dipastikan bahwa tubuhnya cukup hidrasi, elektrolitnya
seimbang, dan bilamana terjadi koagulopati, dikoreksi.
 Bantuan ventilasi: pasien yang menderita gangguan paru, dengan atau tanpa
perdarahan, mungkin membutuhkan ventilasi secara mekanik.
 Dialisis: pasien yang mengalami gagal ginjal akut mungkin perlu menjalani dialisis
pada kasus penyakit yang berat, seperti terjadinya kelebihan cairan, asidosis, dan
hiperkalemia.
 Monitoring jantung: untuk deteksi dini timbulnya aritmia sekunder.
 Transfusi darah: penderita dengan sindrom Weil, mungkin memerlukan transfusi
darah dengan jenis whole blood, trombosit, atau keduanya.
 Tetes Mata: tetes mata kortikosteroid telah digunakan untuk mengurangi inflamasi
pada mata.
 Plasma exchange: pernah dilaporkan adanya perbaikan cepat akan bilirubin, fungsi
jantung, dan paru, pada penderita leptospirosis dengan sepsis berat, yang juga
mengalami kerusakan/kegagalan multi organ.

I. Diagnosis dan Diagnosis Banding


1. Diagnosis

Salah satu kendala penanganan leptospirosis ialah kesulitan dalam menegakkan


diagnosis awal. Biasanya pasien datang dengan berbagai macam keluhan dari berbagai
sistem organ sehingga sering didiagnosis dengan meningitis, hepatitis, nefritis, fever of
unknown origin (FUO), influenza, sindrom Kawasaki, sindrom syok toksik, dan penyakit
Legionela.

Pada anamnesis, penting untuk menanyakan identitas pasien, misalnya pekerjaan dan
tempat tinggal untuk menunjukkan apakah pasien termasuk orang berisiko tinggi atau
tidak kontak dengan binatang atau tanah / air yang terkontaminasi urin hewan. Gejala
demam, nyeri kepala frontal, nyeri otot, mual, muntah, dan fotofobia dapat dicurigai ke
arah leptospi rosis. Pada pemeriksaan fisik dijumpai demam, bradikardia, nyeri tekan
otot, hepatomegali, dan lain-lain.

2. Diagnosis Banding

Terdapat beberapa diagnosis banding untuk leptospirosis, yaitu: influenza, demam


dengue dan demam berdarah dengue, yellow fever, rickettsiosis, malaria, pielonefritis,
meningitis aseptik, demam tifoid, hepatitis virus, sertatoksoplasmosis.

J. Pencegahan

Pemberian doksisiklin 200 mg/minggu dapat memberikan pencegahan sekitar 95%


pada orang dewasa yang berisiko tinggi, namun profilaksis pada anak belum ditemukan.
Pengontrolan lingkunganrumahdan penggunaan alat pelindung diri terutama di daerah
endemik dapat memberikanpencegahan pada penduduk berisiko tinggi walaupun hanya
sedikit manfaatnya. Imunisasi hanya memberikan sedikit perlindungan karena terdapat
serotipe kuman yang berbeda.

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Identitas

Keadaan umum klien seperti umur dan imunisasi., laki dan perempuan tingkat
kejadiannya sama.

2. Keluhan utama

Demam yang mendadak

Timbul gejala demam yang disertai sakit kepala, mialgia dan nyeri tekan (frontal) mata
merah, fotofobia, keluahan gastrointestinal. Demam disertai mual, muntah, diare, batuk,
sakit dada, hemoptosis, penurunan kesadaran dan injeksi konjunctiva. Demam ini
berlangsung 1-3 hari.

3. Riwayat keperawatan
a. Imunisasi, riwayat imunisasi perlu untuk peningkatan daya tahan tubuh
b. Riwayat penyakit, influenza, hapatitis, bruselosis, pneuma atipik, DBD, penyakit
susunan saraf akut, fever of unknown origin.
c. Riwayat pekerjaan klien apakah termasuk kelompok orang resiko tinggi seperti
bepergian di hutan belantara, rawa, sungai atau petani.
d. Pemeriksaan dan observasi
 Pemeriksaan fisik

Keadaan umum, penurunan kesadaran, lemah, aktvivitas menurun


Review of sistem :
1) Sistem pernafasan
Epitaksis, penumonitis hemoragik di paru, batuk, sakit dada.
2) Sistem cardiovaskuler
Perdarahan, anemia, demam, bradikardia.
3) Sistem persyrafan
Penuruanan kesadaran, sakit kepala terutama dibagian frontal, mata merah, fotofobia,
injeksi konjunctiva, iridosiklitis.
4) Sistem perkemihan
Oligoria, azometmia, perdarahan adrenal.
5) Sistem pencernaan
Hepatomegali, splenomegali, hemoptosis, melenana.
6) Sistem muskoloskletal
Kulit dengan ruam berbentuk macular / makulopapular / urtikaria yang teresebar pada
badan, pretibial.
 Laboratorium
1) Leukositosis normal, sedikit menurun.
2) Neurtrofilia dan laju endap darah (LED) yang meninggiu.
3) Proteinuria, leukositoria.
4) Sedimen sel torak.
5) BUN, ureum dan kreatinin meningkat.
6) SGOT meninggi tetapi tidak melebihi 5 x normal.
7) Bilirubin meninggi samapai 40 %.
8) Trombositopenia.
9) Hiporptrombinemia.
10) Leukosit dalam cairan serebrospinal 10-100/mm3.
11) Glukosa dalam CSS Normal atau menurun.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan metabolisme tubuh, proses penyakit.
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen biologis (proses penyakit).
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d ketidakmampuan untuk
mengabsorbsi zat-zat bergizi karena faktor bilogis, proses penyakit.

C. Rencana Keperawatan

No. Tujuan dan Criteria Hasil


Diagnosa Keperawatan Intervensi (NIC)
(NOC)

1. Hipertermia NOC : Thermoregulation NIC :


berhubungan dengan Kriteria Hasil :  Fever treatment :
peningkatan - Suhu tubuh dalam - Monitor suhu sesering
metabolisme tubuh, rentang normal. mungkin.
proses penyakit. - Nadi dan RR dalam -  Monitor IWL.
rentang normal. -  Monitor warna dan suhu
- Tidak ada perubahan kulit.
warna kulit dan tidak - Monitor tekanan darah, nadi
ada pusing, merasa dan RR.
nyaman. - Monitor penurunan tingkat
kesadaran.
- Monitor WBC, Hb, dan Hct.
- Monitor intake dan output.
- Berikan anti piretik.
- Berikan pengobatan untuk
mengatasi penyebab demam.
- Selimuti pasien.
- Lakukan tapid sponge.
- Berikan cairan intravena.
-  Kompres pasien pada lipat
paha dan aksila.
-   Tingkatkan sirkulasi udara.
-  Berikan pengobatan untuk
mencegah terjadinya
menggigil.

 Temperature regulation :
-  Monitor suhu minimal tiap 2
jam.
- Rencanakan monitoring suhu
secara kontinyu.
-  Monitor TD, nadi, dan RR.
-  Monitor warna dan suhu kulit.
-  Monitor tanda-tanda
hipertermi dan hipotermi.
-  Tingkatkan intake cairan dan
nutrisi.
-  Selimuti pasien untuk
mencegah hilangnya
kehangatan tubuh.
-  Ajarkan pada pasien cara
mencegah keletihan akibat
panas.
-  Diskusikan tentang pentingnya
pengaturan suhu dan
kemungkinan efek negatif
dari kedinginan.
-  Beritahukan tentang indikasi
terjadinya keletihan dan
penanganan emergency yang
diperlukan.
-  Ajarkan indikasi dari
hipotermi dan penanganan
yang diperlukan.
-  Berikan anti piretik jika perlu.
2. Nyeri akut NOC : NIC :
berhubungan dengan - Pain Level  Pain Management :
agen biologis (proses - Pain control - Lakukan pengkajian nyeri
penyakit). - Comfort level secara komprehensif termasuk
Kriteria Hasil : lokasi, karakteristik, durasi,
- Mampu mengontrol frekuensi, kualitas dan faktor
nyeri (tahu penyebab presipitasi.
nyeri, mampu - Observasi reaksi nonverbal
menggunakan tehnik dari ketidaknyamanan.
nonfarmakologi untuk - Gunakan teknik komunikasi
mengurangi nyeri, terapeutik untuk mengetahui
mencari bantuan). pengalaman nyeri pasien.
-  Melaporkan bahwa - Kaji kultur yang
nyeri berkurang dengan mempengaruhi respon nyeri.
menggunakan - Evaluasi pengalaman nyeri
manajemen nyeri. masa lampau.
-  Mampu mengenali - Evaluasi bersama pasien dan
nyeri (skala, intensitas, tim kesehatan lain tentang
frekuensi dan tanda ketidakefektifan kontrol nyeri
nyeri). masa lampau.
- Menyatakan rasa - Bantu pasien dan keluarga
nyaman setelah nyeri untuk mencari dan
berkurang. menemukan dukungan.
- Tanda vital dalam -  Kontrol lingkungan yang
rentang normal. dapat mempengaruhi nyeri
seperti suhu ruangan,
pencahayaan dan kebisingan.
- Kurangi faktor presipitasi
nyeri.
- Pilih dan lakukan penanganan
nyeri (farmakologi, non
farmakologi dan inter
personal).
-  Kaji tipe dan sumber nyeri
untuk menentukan intervensi.
-  Ajarkan tentang teknik non
farmakologi.
-  Berikan analgetik untuk
mengurangi nyeri.
- Evaluasi keefektifan kontrol
nyeri
-  Tingkatkan istirahat.
- Kolaborasikan dengan dokter
jika ada keluhan dan tindakan
nyeri tidak berhasil.
- Monitor penerimaan pasien
tentang manajemen nyeri.

 Analgesic Administration :
- Tentukan lokasi, karakteristik,
kualitas, dan derajat nyeri
sebelum pemberian obat.
- Cek instruksi dokter tentang
jenis obat, dosis, dan
frekuensi.
- Cek riwayat alergi.
- Pilih analgesik yang
diperlukan atau kombinasi
dari analgesik ketika
pemberian lebih dari satu.
- Tentukan pilihan analgesik
tergantung tipe dan beratnya
nyeri.
- Tentukan analgesik pilihan,
rute pemberian, dan dosis
optimal.
- Pilih rute pemberian secara
IV, IM untuk pengobatan
nyeri secara teratur.
- Monitor vital sign sebelum
dan sesudah pemberian
analgesik pertama kali.
- Berikan analgesik tepat waktu
terutama saat nyeri hebat.
- Evaluasi efektivitas analgesik,
tanda dan gejala (efek
samping).

3. Ketidakseimbangan NOC : NIC :


nutrisi kurang dari - Nutritional Status : food  Nutrition Management :
kebutuhan tubuh b.db and Fluid Intake. - Kaji adanya alergi makanan.
ketidakmampuan - Nutritional Status : - Kolaborasi dengan ahli gizi
untuk mengabsorbsi nutrient Intake. untuk menentukan jumlah
zat-zat bergizi karena - Weight control. kalori dan nutrisi yang
faktor bilogis, proses Kriteria Hasil : dibutuhkan pasien.
penyakit. - Adanya peningkatan - Anjurkan pasien untuk
berat badan sesuai meningkatkan intake Fe.
dengan tujuan. - Anjurkan pasien untuk
- Berat badan ideal sesuai meningkatkan protein dan
dengan tinggi badan. vitamin C.
- Mampumengidentifikasi - Berikan substansi gula.
kebutuhan nutrisi. - Yakinkan diet yang dimakan
- Tidak ada tanda tanda mengandung tinggi serat
malnutrisi. untuk mencegah konstipasi.
- Menunjukkan - Berikan makanan yang
peningkatan fungsi terpilih ( sudah
pengecapan dari dikonsultasikan dengan ahli
menelan. gizi).
- Tidak terjadi penurunan - Ajarkan pasien bagaimana
berat badan yang berarti. membuat catatan makanan
harian.
- Monitor jumlah nutrisi dan
kandungan kalori.
- Berikan informasi tentang
kebutuhan nutrisi.
- Kaji kemampuan pasien untuk
mendapatkan nutrisi yang
dibutuhkan.
 Nutrition Monitoring :
- BB pasien dalam batas
normal.
- Monitor adanya penurunan
berat badan.
- Monitor tipe dan jumlah
aktivitas yang biasa
dilakukan.
- Monitor interaksi anak atau
orangtua selama makan.
- Monitor lingkungan selama
makan.
- Jadwalkan pengobatan  dan
tindakan tidak selama jam
makan.
- Monitor kulit kering dan
perubahan pigmentasi.
- Monitor turgor kulit.
- Monitor kekeringan, rambut
kusam, dan mudah patah.
- Monitor mual dan muntah.
- Monitor kadar albumin, total
protein, Hb, dan kadar Ht.
- Monitor makanan kesukaan.
- Monitor pertumbuhan dan
perkembangan.
- Monitor pucat, kemerahan,
dan kekeringan jaringan
konjungtiva.
- Monitor kalori dan intake
nuntrisi.
- Catat adanya edema,
hiperemik, hipertonik papila
lidah dan cavitas oral.
- Catat jika lidah berwarna
magenta, scarlet.

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Leptospirosis terjadi secara insidental dan umumnya ditularkan melalui kencing tikus
saat terjadi banjir. Manifestasi leptospirosis yaitu dari self limited, gejala ringan hingga berat
bahkan kematian bila terlambat mendapat pengobatan. Pemeriksaan baku emas leptospirosis
dengan microscopic agglutination test. Diagnosis dini dan penatalaksanaan yang cepat akan
mencegah perjalanan penyakit yang berat. Terapi diberikan medika mentosa dengan
antibiotik dan suportif. Prognosis umumnya baik namun bisa terjadi gejala sisa. Pencegahan
dini terhadap yang memiliki faktor resiko terinfeksi, diharapkan dapat melindungi dari
serangan leptospirosis.

B. Saran

Diharapkan bagi masyarakat dapat menggunakan video pencegahan dan


pengendalian leptospirosis sebagai media untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan
tindakan/praktik pencegahan dan pengendalian leptospirosis.

Bagi Puskesmas Puskesmas dapat menggunakan video pencegahan dan pengendalian


leptospirosis sebagai media penyuluhan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan
tindakan/praktik pencegahan dan pengendalian leptospirosis.

DAFTAR PUSTAKA

Terpstra WJ, Adler B, Ananyina B, Andre-Fontaine G, Ansdell V, Ashford DA, et al.


Human leptospirosis: guidance for diagnosis, surveillance and control. Geneva;
World Health Organization/International Leptospirosis Society,2003; p.1-9; 21-3.

Setadi B, Setiawan A, Effendi D.Leptospirosis. Sari pediatri. 2013;15:163-7

Siswandari. Diagnosis leptospirosis.Mandala of Health.2006;2:33-45.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Leptospirosis: Kenali dan waspada. [cited 2016
Jan2]. Availablefrom:
4 Skripsi BAB II Adib Nurochman P07133214001.pdf (poltekkesjogja.ac.id)
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/biomedik/article/download/14148/13722

Anda mungkin juga menyukai