Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Leptospirosis

1. Definisi Leptospirosis

Menurut WHO (2003), leptospirosis merupakan penyakit menular yang

disebabkan oleh bakteri patogen Spirochetes dari genus Leptospira, yang

ditularkan secara langsung maupun tidak langsung dari hewan ke manusia,

sehingga penyakit ini digolongkan dalam zoonosis. Direct zoonosis (host to host

transmission) merupakan cara transmisi leptospirosis sebab penularannya hanya

memerlukan satu vertebrata saja (Ditjen P2-PL, 2014). Roden merupakan

reservoir utama dalam penularan leptospirosis pada manusia. Bakteri Leptospira

sp hidup pada ginjal penjamu dan dikeluarkan melalui urin (Ramadhani &

Yuninanto, 2011).

2. Penyebab Leptospirosis

Menurut Rampegan (2016), penyebab leptospirosis berasal dari infeksi bakteri

yang bergenus Leptospira dari famili Trepanometacae yang berordo

Spirocheatales. Bakteri Leptospira sp memiliki bentuk spiral dengan panjang 5

µm – 15 µm dan lebar 0,1 µm – 2 µm. Bakteri ini bersifat lentur, fleksibel, tipis,

salah satu ujungnya membengkok membentuk kait dan bergerak sangat aktif

serta bakteri ini merupakan bakteri gram negatif (Rusmini, 2011, h. 13). Bakteri

tersebut dapat bertahan hidup dalam ginjal hewan yang terinfeksi.

8
9

Gambar 2.1 Bakteri Leptospira sp


(E, Melnick, & Adelberg, 2016)

3. Gejala Leptospirosis

Menurut Mandal et al (2008), penyakit leptospirosis mengikuti pola bifasik

dengan fase pertama berlangsung selama 4 – 5 hari dan menunjukkan

leptospiremia. Pada fase ini ditandai dengan gejala sebagai berikut.

a. Onset mendadak demam tinggi, nyeri kepala, dan kaku otot.

b. Nyeri perut, mual dan muntah, batuk, nyeri pada dada, ruam makulopapular,

dan hemoptisis.

Pada beberapa pasien penyakit ini dapat berlanjut ke fase kedua dengan

ditandai gejala sebagai berikut.

a. Rekurensi demam setelah 2 – 3 hari,

b. Konjungtiva berair,

c. Meningitis aseptik (demam Canicola) dengan CSS limfositik, protein normal

atau bahkan meningkat,

d. Ikterus berat, gangguan ginjal, dan proteinuria (penyakit Weil), dan

e. Ruam eritematosa yang tinggi pada daerah pretibia (demam Fort Bragg).

4. Mekanisme Penularan Leptospirosis

Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2007), penularan

leptospirosis dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung.


10

a. Penularan Langsung (Direct Transmission)

Bakteri Leptospira sp masuk ke dalam tubuh manusia melalui

membran mukosa, hidung, kulit yang terluka, mata, atau makanan yang

telah terkontaminasi oleh urin hewan yang terinfeksi.

b. Penularan Tidak Langsung (Indrect Transmission)

Penularan tidak langsung dapat terjadi ketika terjadi kontak dengan

air, tanah, atau tanaman yang telah terkontaminasi oleh hewan yang sudah

terinfeksi oleh bakteri Leptospira sp.

Pajanan biasanya terjadi akibat pekerjaan (misalnya pekerja perkebunan atau

petani, petugas kebersihan, dokter hewan, maupun nelayan) dan aktivitas

rekreasi (misalnya olahraga air dan out bond) (Mandal et al, 2008, hal 280).

5. Masa Inkubasi Penyakit Leptospirosis

Pada masa inkubasi Leptospira sp terjadi selama 2 – 26 hari namun rata –

rata 10 hari (Mandal et al, 2008, hal 280). Selang waktu yang berlangsung

antara pajanan terhadap patogen merupakan waktu yang diperlukan oleh

patogen untuk berlipat ganda hingga dapat menimbulkan gejala pada inangnya.

B. Epidemiologi Leptospirosis

Studi pendekatan epidemiologi bertujuan untuk menggambarkan masalah

yang terdapat dimasyarakat dengan menentukan frekuensi, distribusi, dan

determinan penyakit berdasarkan atribut dan variabel menurut sebagai berikut.

1. Waktu

Leptospirosis akan muncul dimusim hujan maupun kering dan didaerah

pertanian atau industri, namun KLB Leptospirosis sering terjadi setelah banjir

dan angin topan (WHO, 2003 dalam Aulia 2018, h. 18). Penyakit ini sifatnya

musiman. Di negara beriklim sedang puncak kasus cenderung terjadi pada

musim panas dan musim gugur karena temperatur, sementara pada negara

tropis insidens tertinggi terjadi selama musim hujan (Kemenkes RI, 2011).
11

2. Tempat

Leptospirosis termasuk penyakit musiman yang menyerang negara dengan

iklim tropis dan sub tropis karena bakteri Leptospira sp cocok pada kondisi iklim

yang hangat dan lembab, sehingga kejadian kasus leptospirosis pada wilayah

beriklim tropis lebih tinggi (Widoyono, 2011). Menurut Tiffani (2011),

leptospirosis biasanya terjadi di daerah perkotaan maupun pedesaan. Pada

penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Annisa dan Yudhastuti (2013),

berdasarkan pengukuran ketinggian tempat rumah penderita Leptospirosis di

Kabupaten Sampang pada ketinggian tempat di bawah 47 mdpl merupakan

daerah rawan banjir (Sunaryo, 2009). Hal tersebut terbukti dengan sebaran

kejadian Leptospirosis tertinggi di Kecamatan Sampang sebanyak 103 kasus

(Rahim & Yudhastuti, 2013).

3. Orang

Penularan leptospirosis pada manusia terjadi melalui paparan pekerjaan,

rekreasi, hobi, dan bencana alam. Kontak langsung manusia dengan hewan

terinfeksi di areal pertanian, peternakan, tempat pemotongan hewan, petugas

laboratorium yang menangani tikus, pengawasan hewan pengerat, sedangkan

kontak tidak langsung penting bagi pekerja pembersih selokan, buruh tambang,

prajurit, pembersih septictank, peternakan ikan, pengawas binatang buruan,

pekerja kanal, petani kebun dan pemotongan gula tebu (Kemenkes RI, 2011).

C. Faktor Risiko Kejadian Leptospirosis

Menurut John Gordon tiga faktor dasar epidemiologi yang disebut triangulasi

epidemiologi mempengaruhi terjadinya penyebaran penyakit karena adanya interaksi

tiga faktor tersebut yaitu agent, host, dan environment. Jika ketiga faktor dalam

keadaan tidak seimbang maka akan mengakibatkan naik atau turunnya kejadian

penyakit (Sri Rejeki, 2005).


12

1. Faktor Agent

Leptospirosis merupakan zoonis yang disebabkan oleh bakteri bergenus

Leptospira. Genus Leptospira terbagi menjadi dua spesies yaitu patogenik (L.

interrogans) dan hidup bebas (L. biflexa) (Mandal et al, 2008, hal. 280).

Leptospirosa sp peka terhadap asam dan dapat hidup air tawar selama lebih

kurang satu bulan, tetapi akan cepat mati pada air laut, air selokan, dan air

kemih yang tidak diencerkan (Sunaryo et al, 2012).

2. Faktor Host

Menurut Mandal et al (2008), reservoar alami bakteri Leptospira sp yaitu

lembu, babi, kuda, binatang pengerat, dan hewan liar. Host terbagi menjadi dua,

yaitu host tetap (maintenance host) dan host insidental. Inang tetap didefinisikan

sebagai spesies pada infeksi yang bersifat endemik dan ditularkan melalui

kontak langsung karena dari hewan yang satu ke hewan yang lain sedangkan

penularan yang terjadi pada manusia terjadi secara tidak lansung (Sunaryo et al,

2012).

3. Faktor Lingkungan

Lingkungan dalam penularan penyakit leptospirosis berperan sebagai tempat

interaksi antara agent dan host. Tingginya angka prevalensi leptospirosis dapat

diakibatkan karena kondisi lingkungan yang kurang baik sehingga

memungkinkan untuk tempat hidup dan berkembangnya bakteri Leptospira sp

(Rahayu, S. A, & D. S, 2017). Menurut Sunaryo et al (2008), faktor lingkungan

merupakan faktor pendukung terjadinya suatu kejadian penyakit. Faktor

lingkungan dan manusia harus memiliki keseimbangan agar tidak menimbulkan

berbagai macam penyakit. Lingkungan dapat dikategorikan menjadi lingkungan

fisik, kimia, biologi, dan sosial-budaya (Sri Rejeki, 2005).

Lingkungan fisik seperti ketinggian tempat dari permukaan laut dapat

mempengaruhi intensitas curah hujan di suatu wilayah karena dapat

meningkatkan terjadinya penularan leptospirosis. Penelitian sebelumnya yang


13

dilakukan oleh Annisa dan Yudhastuti (2013), berdasarkan pengukuran

ketinggian tempat kejadian leptospirosis terjadi pada daerah rawan banjir

(Sunaryo, 2009). Menurut Rahayu, S.A (2017) yang melakukan penelitian

sebelumnya kasus leptospirosis di Kabupaten Demak terjadi pada ketinggian

<47 mdpl atau daerah rawan banjir.

D. Dinamika Penularan Penyakit Leptospirosis

1. Pengertian Dinamika Penularan Penyakit

Dinamika penularan penyakit merupakan proses perpindahan penyakit dari

sumber penular ke manusia dengan didukung adanya agen sebagai pembawa

penyakit dan lingkungan (Andika, 2012). Dinamika penularan penyakit

menggunakan kerangka model SEIR (Susceptible, Exposed, Infection, dan

Recovered) yang memberi gambaran perbedaan keadaan dalam perkembangan

penyakit pada populasi: proporsi individu yang rentan infeksi (S); proporsi

masyarakat terpapar infeksi namun belum menderita penyakit (E); proporsi

masyarakat terinfeksi (I); dan mereka yang berpindah dari populasi (R), juga

pulih serta mereka yang imun atau mati. Kerangka model SEIR menggambarkan

fakta jika dinamika penularan penyakit dipengaruhi oleh banyak faktor dari

populasi (Susanna, 2010).

2. Prosedur Dinamika Penularan Penyakit

Kejadian penyakit menurut Achmadi (2008) dapat diuraikan dalam empat

simpul yaitu simpul 1 untuk sumber penyakit, simpul 2 untuk komponen

lingkungan sebagai media transmisi penyakit, simpul 3 penduduk dengan

berbagai variabel kependudukan, dan simpul 4 untuk penduduk dalam keadaan

sehat atau sakit setelah mengalami interaksi atau terpapar dengan komponen

lingkungan yang mengandung agent penyakit (Achmadi U. F., 2019).


14

a. Simpul 1 : Sumber Penyakit

Sumber penyakit leptospirosis yaitu urin yang mengandung bakteri

Leptospira sp yang masuk ke dalam tubuh penjamu (Niza, 2019).

b. Simpul 2 : Media Transmisi Penyakit

Media penularan leptospirosis yaitu air tergenang, makanan dan urin

binatang yang mengandung bakteri Leptospira sp. Reservoar alami penyakit

leptospirosis yaitu tikus, tetapi hewan ternak seperti babi, kerbau, dan sapi

juga dapat menjadi reservoar penyakit leptospirosis (Niza, 2019).

c. Simpul 3 : Perilaku Pemajanan

Perilaku pemajanan merupakan cara kontak antara manusia dengan

komponen lingkungan yang berpotensi menularkan agent penyakit pada

manusia. Perilaku pemajan dapat dipengaruhi oleh pendidikan,

pengetahuan, atau pengalaman. Pengukuran simpul 3 dapat diukur dengan

cara mengidentifikasi alur masuk agent ke dalam tubuh manusia maupun

dengan tanda – tanda biomarker atau tanda biologi atau dengan mengukur

kandungan agent penyakit yang bersangkutan pada tubuh manusia

(Purnomo, 2010).

d. Simpul 4

Kejadian penyakit merupakan hasil dari interaksi antara penduduk

dengan lingkungan yang memiliki potensi membahayakan kesehatan.

Seseorang dapat dikatan sakit apabila salah satu maupun bersama

mengalami kelainanan dibandingkan rata – rata penduduk lainnya

(Purnomo, 2010).

3. Model Dinamika Penularan Penyakit

Model penularan penyakit leptospirosis berdasarkan daya jelajah harian atau

home range dan migrasi tikus dapat dibedakan menjadi dua model yaitu :
15

a. Cluster (Berkelompok)

Model penularan cluster atau berkelompok membentuk pola sebaran

dalam satu kawasan dengan jarak rumah penderita pertama antar penderita

lainnya yaitu ≤ 500m. Model penularan cluster biasanya terjadi pada musim

penghujan karena reservoar penyakit akan mencari makanan dan tempat

berlindung yang aman untuk kelangsungan hidupnya, sehingga

menyebabkan tikus hidup dan berkembang biak di dalam rumah. Reservoar

yang terinfeksi akan menularkan bakteri Leptospira sp melalui air tergenang

dan bahan makanan yang tidak disimpan dengan baik (Niza, 2019).

b. Separated (Tersebar)

Model penularan separated atau tersebar membentuk pola sebaran

dalam satu kawasan dengan jarak rumah penderita pertama antar penderita

lainnya yaitu ≥ 500m. Model penularan separated biasanya terjadi pada

musim kemarau karena daya dukung di wilayah habitat asal tikus tidak

menjamin mobilitas tikus dalam mencari makan, minum, mencari pasangan

kawin maupun aktvitas orientasi kawasan. Mobilitas yang tinggi

menyebabkan tikus mampu melakukan migrasi di luar daya jelajah harian

(home range) (Niza, 2019).

E. Analisis Spasial

Analisis spasial merupakan salah satu metode manajemen penularan

penyakit berbasis wilayah yang mencermati variabel spasial seperti keadaan

topografi, wilayah industri, maupun wilayah pedesaan. Analisis spasial dapat berisi

uraian data penyakit secara geografi dan analisa hubungan antar variabel (Achmadi

U. , 2009).
16

1. Pengertian Data Spasial

Data spasial merupakan salah satu item dari informasi, di dalamnya terdapat

informasi mengenai bumi termasuk permukaan bumi, dibawah permukaan bumi,

perairan, kelautan dan bawah atmosfer. Data spasial dan informasi turunannya

digunakan dalam menentukan posisi dari identifikasi suatu elemen di permukaan

bumi. Pentingnya posisi lokasi dalam data spasial antara lain :

a. Sebagai pengetahuan mengenai suatu lokasi dari aktivitas atau

elemen yang satu dengan yang lain berada dalam lokasi yang sama atau

berdekatan.

b. Lokasi memungkinkan untuk perhitungan jarak, pembuatan peta,

pemberian arahan dalam membuat keputusan spasial yang bersifat

kompleks.

Perkembangan tekonologi dalam pengambilan data spasial telah membuat

perekaman terhadap data perubah menjadi bentuk digital seperti teknologi

penginderaan jauh dan Global Positioning System (GPS). Setelah dilakukan

pengambilan data, data tersebut akan dianalisis secara spasial sebagai bagian

dari manajemen penyakit berbasis wilayah yang merupakan suatu analisis dan

uraian mengenai data penyakit secara geografi yang berkenaan dengan

kependudukan, persebaran, lingkungan, kasus kejadian penyakit, dan hubungan

antar variabel (Tunissea, 2008).

2. Sumber Data Spasial

Data spasial dapat dihasilkan melalui berbagai sumber antara lain :

a. Citra Satelit

Data ini menggunakan bantuan satelit yang menggunakan sensor

agar dapat merekam gambaran dari permukaan bumi. Data yang

dihasilkan dari citra satelit akan diturunkan menjadi data tematik dan

disimpan dalam bentuk absis data yang dapat digunakan di berbagai

macam aplikasi (Syahreza, 2013).


17

b. Peta Analog

Data ini merupakan versi awal dari data spasial yang ditampilkan

dalam bentuk kertas atau film, namun dengan adanya perkembangan

teknologi saat ini peta analog dapat di scan menjadi format digital yang

dapat disimpan menjadi berbasis data (Syahreza, 2013).

c. Foto Udara

Data ini merupakan data yang diambil menggunakan pesawat udara

menggunakan kamera sebagai alat perekam yang data hasilnya dapat

langsung disimpan dalam basis data. Untuk data lama atau format foto film

harus dilakukan konversi menggunakan scanner data agar dihasilkan foto

dalam format digital (Syahreza, 2013).

d. Data Tabular

Data ini merupakan atribut untuk data spasial, pada umumnya

berbetuk tabel yang kemudian akan direlasikan dengan data spasial untuk

menghasilkan tema data tertentu. Salah satu contoh data ini yaitu data

sensus penduduk, data sosial, dan data ekonomi (Syahreza, 2013).

e. Data Survei

Data survei didapat melalui hasil survei atau pengamatan di lapangan

seperti pengukuran persil lahan menggunakan metode tertentu (Syahreza,

2013).

F. Sistem Informasi Geografis (SIG)

1. Pengertian Sistem Informasi Geografis (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan perangkat alat untuk

mengumpulkan, menyimpan, merubah, dan menampilkan data spasial dari dunia

nyata untuk tujuan tertentu. Dinamisasi SIG memungkinkan untuk menerima dan

memproses data dengan jumlah besar dalam waktu yang singkat. Menurut

Danoedoro (1996), dalam memasukkan data ada tiga cara yaitu pelarikan

(scanning), digitasi, dan tabulasi. Manipulasi dan analisis data dapat


18

menghasilkan informasi baru dalam bentuk peta, tabel, hasil cetak dan data

tabuler, serta dalam bentuk elektronik. Salah satu aplikasi sistem informasi

geografis dalam bidang kesehatan sebagai penyedia data atribut spasial yang

menggambarkan distribusi atau pola spasial penderita suatu penyakit, penderita

suatu penyakit, dan distribusi pelayanan pelayanan kesehatan (Prahasta, 2010).

Ada lima cara untuk memperoleh data atau informasi geografi yaitu sebagai

berikut :

a. Survei lapangan

Pengumpulan data survei lapangan didapat dengan melakukan

pengukuran fisik (land marks), pengambilan sampel, dan pengumpulan data

non – fisik (data sosial, politik, ekonomi, dan budaya).

b. Sensus

Pengumpulan data menggunakan sensus didapat dengan melakukan

pendekatan kuisioner, wawancara dan pengamatan, pengumpulan data

secara nasional dan periodik (sensus jumlah penduduk, sensus kepemilikan

tanah).

c. Statistik

Statistik merupakan metode pengumpulan data periodik pada stasiun

pengamatan dan analisis data geografi tersebut, misalnya data curah hujan.

d. Pelacakan (Tracking)

Statistik merupakan cara pengumpulan data dalam periode tertentu

untuk tujuan pemantauan atau pengamatan perubahan, misalnya kebakaran

hutan, gunung meletus, debit air sungai.

e. Penginderaan jarak jauh (Inderaja)

Inderaja merupakan ilmu dan seni untuk mendapatkan informasi suatu

obyek, wilayah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dari

sensor pengamat tanpa harus kontak langsung dengan obyek, wilayah atau

fenomena yang diamati (Husein, 2010).


19

Kemampuan analisis berdasarkan aspek spasial yang dapat dilakukan oleh

SIG sebagai berikut :

a. Klasifikasi

Klasifikasi merupakan mengelompokkan data keruangan (spasial)

menjadi data keruangan (spasial) yang berarti. Contohnya yaitu

mengklasifikasikan tata-guna lahan untuk permukiman, pertanian,

perkebunan atau hutan berdasarkan analisis data kemiringan kemiringan atau

data ketinggian (peta topografi) yang menghasilkan peta tata-guna lahan.

b. Overlay

Overlay merupakan analisis dan integrasi dua atau lebih data

keruangan yang berbeda. Contohnya yaitu menganalisis daerah rawan erosi

dengan menumpang susunkan data ketinggian, jenis tanah dan kadar air.

c. Networking

Networking merupakan analisis yang bertitik tolak pada jaringan yang

terdiri dari garis – garis dan titik – titik yang saling terhubung. Analisis ini

sering dipakai dalam berbagai bidang misaInya, sistem jaringan telepon kabel

listrik, pipa minyak atau gas, pipa air minum atau saluran pembuangan.

d. Buffering

Buffering merupakan analisis yang akan menghasilkan

buffer/peyangga yang bisa berbentuk lingkaran atau poligon yang melingkupi

suatu objek sebagai pusatnya, sehingga kita bisa mengetahui berapa

parameter objek dan luas wilayahnya. Buffering misalnya dapat digunakan

untuk menentukan jalur hijau di perkotaan, menggambarkan Zona Ekonomi

Eklusif (ZEE) yang dimiliki suatu negara, mengetahui luas daerah yang

mengalami tumpahan minyak di laut, atau untuk menentukan lokasi pasar,

toko atau outlet dengan memperhatikan lokasi konsumen termasuk

memperhatikan lokasi toko atau outlet yang dianggap pesaing.


20

e. Tiga Dimensi

Tiga dimensi merupakan analisis yang digunakan untuk memudahkan

pemahaman, karena data divisualisasikan dalam bentuk tiga dimensi.

Misainya digunakan untuk menganalisis daerah yang akan terkena aliran lava

jika gunung api diprediksi akan meletus (Analisis Spasial Dalam SIG, 2018).

2. Global Position System (GPS) Receiver

GPS merupakan sistem navigasi yang didesain agar dapat menyediakan

posisi dengan cepat dalam bentuk garis lintang dan garis bujur. Untuk

menghitung posisi (X,Y,Z) dan waktu (T) minimal diperlukan empat satelit.

Posisi, kecepatan dan waktu koordinat X,Y,Z dikonversikan ke garis lintang,

bujur dan ketinggian dari permukaan laut. Kecepatan proses untuk mendapatkan

hasil dihitung berdasarkan perubahan posisi. Carrier Phase Tracking mengukur

L1 dan L2 untuk menentukan posisi berbagai survey dengan hasil akurasi tinggi

(Syahreza, 2013).
21

G. Kerangka Teori

Leptospirosis

Sebaran Data
Leptospirosis

Dinamika
Aplikasi Penentuan Penularan
OruxMaps Titik Penyakit
Donate Koordinat

Indeks
Kasus

Sistem
Informasi Determinan
Geografis Penyakit

Model
Penularan
Sebaran Penyakit
Peta
Kasus

Wilayah
Kerja
Puskesmas Separated Cluster

Buffering

Gambar 2. 2 Kerangka Teori

Anda mungkin juga menyukai