Semua kasus leptospirosis ( orang) menyatakan bahwa di lingkungannya
dijumpai tikus, baik di tempat tinggal maupun di tempat bekerja. Kasus leptospirosis yang beraktivitas di dalam gedung secara signifikan berbeda bermakna tertular leptospirosis daripada di antara kasus leptospirosis yang beraktivitas di luar rumah di Kecamatan Tembalang. Serovar Leptospira yang virulen bagi manusia dan ditemukan pada tikus dalam penelitian ini adalah Icterohaemorragie dan Autumnalis. Tikus merupakan inang reservoir bagi kedua serovar tersebut (Brook dkk., 2001). Serovar Canicola dan Bataviae juga ditemukan dalam penelitian ini. Serovar Canicola dilaporkan banyak menginfeksi hewan piaraan.Inang reservoir serovar Canicola adalah anjing (WHO, 2011). Di inang reservoir Leptospira telah beradaptasi dan tidak menimbukan kerugian apapun terhadap inangnya tersebut. Inang reservoir terutama tikus merupakan pencemar Leptospira di lingkungan dan jadi sumber penular leptospirosis. Menurut Yvon (2008), banyaknya genangan air di sekitar pemukiman berpotensi dalam menyebarkan Leptospira antar tikus dan tikus ke manusia, sehingga penduduk yang beraktivitas dengan air berisiko tertular leptospirosis dari genangan air yang terkontaminasi urin tikus infektif bakteri leptospira. Sedangkan hasil penelitian Mulyono dkk. (2013) di Kota Semarang, Jawa Tengah menunjukkan bahwa tempat tinggal kasus leptospirosis pada umumnya terdapat genangangenangan air baik, dari limbah rumah tangga maupun air hujan atau saluran air yang menggenang. Distribusi kasus leptospirosis di Semarang cenderung mengelompok di daerah Tembalang. Menurut (Cole dan Raja, 1968 di Lo.Yeung, 2002) distribusi kasus dalam kelompok yang disebut cluster kategori. Distribusi kasus leptospirosis yang membentuk cluster disebabkan oleh faktor-faktor risiko lingkungan seperti pemukiman kumuh, sanitasi yang buruk (pembuangan limbah) dan kemacetan air yang buruk. Kecamatan Tembalang merupakan kecamatan yang terdiri dari 12 kelurahan, dengan ketinggian 350 m diatas permukaan laut, suhu udara sekitar 25-30C dan bentuk wilayah datar sampai bergelombang 30 %.5 Jumlah penduduk pada tahun 2009 sejumlah 55.779 kepala keluarga (KK), terdiri dari 65.786 laki-laki dan 64.512 perempuan. Kecamatan Tembalang mempunyai 2 puskesmas yaitu Puskesmas Kedungmundu dan Rowosari. Kelurahan Sambiroto dan Kedungmundu dipilih sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan kelurahan tersebut merupakan wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu yang merupakan daerah endemis leptospirosis. Risiko leptospirosis dalam lingkungan daerah dataran tinggi seperti Tembalang mungkin berasal dari sekitar rumah. Risiko penularan leptospirosis di sekitar rumah seperti kehadiran tikus waduk di rumah seorang leptospirosis positif dapat mencemari air di bak mandi, pada laras atau bahkan melalui makanan siap konsumsi atau makanan disiapkan. Hal ini didukung oleh kehadiran tikus di rumah adalah tinggi di atas ambang batas normal rata-rata 7% keberhasilan perangkap. Tikus yang terinfeksi leptospirosis di daerah Tembalang tinggi, sukses perangkap di dalam rumah adalah 10% - 20%. Ada beberapa spesies hewan pengerat terjebak seperti tikus rumah (R. tanezumi): 60%, saluran pembuangan tikus (R.norvegicus): 30%, dan spesies mamalia lainnya (M.musculus, S.murinus, Bandicota indica): 10% . Transmisi Leptospirosis di Tembalang yang meningkat di musim kemarau antara bulan Juli dan Agustus merupakan fenomena baru yang perlu disadari. Sejauh ini, konsep dan pemahaman tentang penyakit leptospirosis masih berorientasi bahwa penyakit selalu berhubungan dengan banjir, sebenarnya leptospirosis dapat juga ditularkan di Tembalang yang bukan daerah banjir. Pengendalian leptospirosis terdiri dari pencegahan primer dan pencegahan sekunder. Pencegahan primer adalah bagaimana agar orang sehat sebagai sasaran bisa terhindar dari leptospirosis, sehingga kegiatannya bersifat promotif, termasuk disini proteksi spesifik dengan cara vaksinasi. Sedangkan pencegahan sekunder yang sasarannya adalah orang yang sudah sakit leptospirosis, dicegah agar orang tersebut terhindar dari komplikasi yang nantinya dapat menyebabkan kematian. (Andani, 2014) Prinsip kerja dari pencegahan primer adalah mengendalikan agar tidak terjadi kontak leptospira dengan manusia, yang meliputi: a. Pencegahan hubungan dengan air atau tanah yang terkontaminasi Para pekerja yang mempunyai risiko tinggi terinfeksi leptospira, misalnya pekerja irigasi, petani, pekerja laboratorium, dokter hewan, harus memakai pakaian khusus yang dapat melindungi kontak dengan air atau tanah yang terkontaminasi leptospira. Misalnya dengan menggunakan sepatu bot, masker, sarung tangan.
b. Melindungi sanitasi air minum penduduk. Dalam hal ini dilakukan
pengelolaan air minum yang baik, dilakukan filtrasi dan deklorinai untuk mencegah invasi leptospira.
c. Pemberian vaksin. Vaksinasi diberikan sesuai dengan leptospira di tempat
tersebut, akan memberikan manfaat cukup poten dan aman sebagai pencegahan bagi pekerja risiko tinggi. Pencegahan dengan serum imun spesifik telah terbukti melindungi pekerja laboratorium. Vaksinasi terhadap hewan peliharaan efektif untuk mencegah leptospirosis.
d. Pencegahan dengan antibiotik kemoprofilaksis
e. Pengendalian hospes perantara leptospira. Roden yang diduga paling poten
sebagai karier leptospira adalah tikus. Untuk itu dapat dilakukan beberapa cara seperti penggunaan racun tikus, pemasangan jebakan, penggunaan bahan rodentisida, dan menggunakan predator roden
f. Usaha promotif, untuk menghindari leptospirosis dilakukan dengan cara
edukasi, dimana antara daerah satu dengan daerah yang lain mempunyai serovar dan epidemi leptospirosis yang berbeda. Untuk mendukung usaha promotif ini diperlukan peningkatan kerja antar sektor yang dikoordinasikan oleh tim penyuluhan kesehatan masyarakat Dinas Kesehatan setempat.
Pokok- pokok cara pengendalian leptospirosis juga memperhatikan hasil studi
faktor risiko terjadinya leptospirosis, antara lain usia, jenis kelamin, higiene perorangan seperti kebiasaan mandi, riwayat ada luka, keadaan lingkungan yang tidak bersih, disamping pekerjaan, sosial ekonomi, populasi tikus, dan lain-lain. Perlu diperhatikan bahwa leptospirosis lebih sering terjadi pada laki-laki dewasa, mungkin disebabkan oleh paparan pekerjaan dan kegiatan sehari-hari (Andani, 2014)
Pencegahan sekunder leptospirosis berupa pengobatan terhadap pasien yang
didiagnosis menderita leptospirosis. Salah satu hal yang menguntungkan dalam pengobatan ini ialah pengobatan kausal tidak tergantung pada subgrup maupun serotipe leptospira. Untuk pengobatan Leptospirosis ringan (mild illness/ suspect case) dapat menggunakan Doxycycline (kapsul) 100 mg 2x/ hari selama 7 hari; atau Amoxicillin atau Ampicillin (kapsul) 2 gr/ hari selama 7 hari. Sedangkan untuk Leptospirosis berat (severe case/ probable case) dapat menggunakan Injeksi Penicillin G 2 juta unit IV / 6 jam selama 7 hari; Injeksi Ceftrioxine 1 gr IV/ hari selama 7 hari.3,24 Pengelolaan secara umum penderita leptospirosis sama dengan penyakit sistemik akut yang lain. Rasa sakit diobati dengan analgetika, gelisah, dan cemas dikendalikan dengan sedatif, demam diberi antipiretik, jika terjadi kejang pemberian sesuai dengan keparahan penyakit dan komplikasi yang timbul (Soeharyo, 2002)