Anda di halaman 1dari 4

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

Semua kasus leptospirosis ( orang) menyatakan bahwa di lingkungannya


dijumpai tikus, baik di tempat tinggal maupun di tempat bekerja. Kasus
leptospirosis yang beraktivitas di dalam gedung secara signifikan berbeda
bermakna tertular leptospirosis daripada di antara kasus leptospirosis yang
beraktivitas di luar rumah di Kecamatan Tembalang. Serovar Leptospira yang
virulen bagi manusia dan ditemukan pada tikus dalam penelitian ini adalah
Icterohaemorragie dan Autumnalis. Tikus merupakan inang reservoir bagi kedua
serovar tersebut (Brook dkk., 2001).
Serovar Canicola dan Bataviae juga ditemukan dalam penelitian ini. Serovar
Canicola dilaporkan banyak menginfeksi hewan piaraan.Inang reservoir serovar
Canicola adalah anjing (WHO, 2011). Di inang reservoir Leptospira telah
beradaptasi dan tidak menimbukan kerugian apapun terhadap inangnya tersebut.
Inang reservoir terutama tikus merupakan pencemar Leptospira di lingkungan dan
jadi sumber penular leptospirosis.
Menurut Yvon (2008), banyaknya genangan air di sekitar pemukiman
berpotensi dalam menyebarkan Leptospira antar tikus dan tikus ke manusia,
sehingga penduduk yang beraktivitas dengan air berisiko tertular leptospirosis dari
genangan air yang terkontaminasi urin tikus infektif bakteri leptospira. Sedangkan
hasil penelitian Mulyono dkk. (2013) di Kota Semarang, Jawa Tengah
menunjukkan bahwa tempat tinggal kasus leptospirosis pada umumnya terdapat
genangangenangan air baik, dari limbah rumah tangga maupun air hujan atau
saluran air yang menggenang.
Distribusi kasus leptospirosis di Semarang cenderung mengelompok di daerah
Tembalang. Menurut (Cole dan Raja, 1968 di Lo.Yeung, 2002) distribusi kasus
dalam kelompok yang disebut cluster kategori. Distribusi kasus leptospirosis yang
membentuk cluster disebabkan oleh faktor-faktor risiko lingkungan seperti
pemukiman kumuh, sanitasi yang buruk (pembuangan limbah) dan kemacetan air
yang buruk.
Kecamatan Tembalang merupakan kecamatan yang terdiri dari 12 kelurahan,
dengan ketinggian 350 m diatas permukaan laut, suhu udara sekitar 25-30C dan
bentuk wilayah datar sampai bergelombang 30 %.5 Jumlah penduduk pada
tahun 2009 sejumlah 55.779 kepala keluarga (KK), terdiri dari 65.786 laki-laki
dan 64.512 perempuan. Kecamatan Tembalang mempunyai 2 puskesmas yaitu
Puskesmas Kedungmundu dan Rowosari. Kelurahan Sambiroto dan
Kedungmundu dipilih sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan kelurahan
tersebut merupakan wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu yang merupakan
daerah endemis leptospirosis.
Risiko leptospirosis dalam lingkungan daerah dataran tinggi seperti
Tembalang mungkin berasal dari sekitar rumah. Risiko penularan leptospirosis di
sekitar rumah seperti kehadiran tikus waduk di rumah seorang leptospirosis positif
dapat mencemari air di bak mandi, pada laras atau bahkan melalui makanan siap
konsumsi atau makanan disiapkan. Hal ini didukung oleh kehadiran tikus di
rumah adalah tinggi di atas ambang batas normal rata-rata 7% keberhasilan
perangkap.
Tikus yang terinfeksi leptospirosis di daerah Tembalang tinggi, sukses
perangkap di dalam rumah adalah 10% - 20%. Ada beberapa spesies hewan
pengerat terjebak seperti tikus rumah (R. tanezumi): 60%, saluran pembuangan
tikus (R.norvegicus): 30%, dan spesies mamalia lainnya (M.musculus, S.murinus,
Bandicota indica): 10% .
Transmisi Leptospirosis di Tembalang yang meningkat di musim kemarau
antara bulan Juli dan Agustus merupakan fenomena baru yang perlu disadari.
Sejauh ini, konsep dan pemahaman tentang penyakit leptospirosis masih
berorientasi bahwa penyakit selalu berhubungan dengan banjir, sebenarnya
leptospirosis dapat juga ditularkan di Tembalang yang bukan daerah banjir.
Pengendalian leptospirosis terdiri dari pencegahan primer dan pencegahan
sekunder. Pencegahan primer adalah bagaimana agar orang sehat sebagai sasaran
bisa terhindar dari leptospirosis, sehingga kegiatannya bersifat promotif, termasuk
disini proteksi spesifik dengan cara vaksinasi. Sedangkan pencegahan sekunder
yang sasarannya adalah orang yang sudah sakit leptospirosis, dicegah agar orang
tersebut terhindar dari komplikasi yang nantinya dapat menyebabkan kematian.
(Andani, 2014)
Prinsip kerja dari pencegahan primer adalah mengendalikan agar tidak terjadi
kontak leptospira dengan manusia, yang meliputi:
a. Pencegahan hubungan dengan air atau tanah yang terkontaminasi Para pekerja
yang mempunyai risiko tinggi terinfeksi leptospira, misalnya pekerja irigasi,
petani, pekerja laboratorium, dokter hewan, harus memakai pakaian khusus
yang dapat melindungi kontak dengan air atau tanah yang terkontaminasi
leptospira. Misalnya dengan menggunakan sepatu bot, masker, sarung tangan.

b. Melindungi sanitasi air minum penduduk. Dalam hal ini dilakukan


pengelolaan air minum yang baik, dilakukan filtrasi dan deklorinai untuk
mencegah invasi leptospira.

c. Pemberian vaksin. Vaksinasi diberikan sesuai dengan leptospira di tempat


tersebut, akan memberikan manfaat cukup poten dan aman sebagai
pencegahan bagi pekerja risiko tinggi. Pencegahan dengan serum imun
spesifik telah terbukti melindungi pekerja laboratorium. Vaksinasi terhadap
hewan peliharaan efektif untuk mencegah leptospirosis.

d. Pencegahan dengan antibiotik kemoprofilaksis

e. Pengendalian hospes perantara leptospira. Roden yang diduga paling poten


sebagai karier leptospira adalah tikus. Untuk itu dapat dilakukan beberapa cara
seperti penggunaan racun tikus, pemasangan jebakan, penggunaan bahan
rodentisida, dan menggunakan predator roden

f. Usaha promotif, untuk menghindari leptospirosis dilakukan dengan cara


edukasi, dimana antara daerah satu dengan daerah yang lain mempunyai
serovar dan epidemi leptospirosis yang berbeda. Untuk mendukung usaha
promotif ini diperlukan peningkatan kerja antar sektor yang dikoordinasikan
oleh tim penyuluhan kesehatan masyarakat Dinas Kesehatan setempat.

Pokok- pokok cara pengendalian leptospirosis juga memperhatikan hasil studi


faktor risiko terjadinya leptospirosis, antara lain usia, jenis kelamin, higiene
perorangan seperti kebiasaan mandi, riwayat ada luka, keadaan lingkungan yang
tidak bersih, disamping pekerjaan, sosial ekonomi, populasi tikus, dan lain-lain.
Perlu diperhatikan bahwa leptospirosis lebih sering terjadi pada laki-laki dewasa,
mungkin disebabkan oleh paparan pekerjaan dan kegiatan sehari-hari (Andani,
2014)

Pencegahan sekunder leptospirosis berupa pengobatan terhadap pasien yang


didiagnosis menderita leptospirosis. Salah satu hal yang menguntungkan dalam
pengobatan ini ialah pengobatan kausal tidak tergantung pada subgrup maupun
serotipe leptospira. Untuk pengobatan Leptospirosis ringan (mild illness/ suspect
case) dapat menggunakan Doxycycline (kapsul) 100 mg 2x/ hari selama 7 hari;
atau Amoxicillin atau Ampicillin (kapsul) 2 gr/ hari selama 7 hari. Sedangkan
untuk Leptospirosis berat (severe case/ probable case) dapat menggunakan Injeksi
Penicillin G 2 juta unit IV / 6 jam selama 7 hari; Injeksi Ceftrioxine 1 gr IV/ hari
selama 7 hari.3,24 Pengelolaan secara umum penderita leptospirosis sama dengan
penyakit sistemik akut yang lain. Rasa sakit diobati dengan analgetika, gelisah,
dan cemas dikendalikan dengan sedatif, demam diberi antipiretik, jika terjadi
kejang pemberian sesuai dengan keparahan penyakit dan komplikasi yang timbul
(Soeharyo, 2002)

Anda mungkin juga menyukai