Anda di halaman 1dari 11

GAMBARAN FAKTOR LINGKUNGAN SUSPEK LEPTOSPIROSIS

DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TEMPE KABUPATEN WAJO

Description of Environmental Factors of Suspek Leptospirosis


in Work Puskesmas Area Tempe District of Wajo

Beby Prima Amaliyah, Syamsuar, Erniwati Ibrahim


Departemen Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin
(bebyamaliyah@gmail.com, syamsuar.m@unhas.ac.id, erwin_kael@yahoo.com,
085394033838)

ABSTRAK
Penyakit Leptospirosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Leptospira sp.
Manusia dapat terinfeksi bakteri Leptospira melalui kulit yang terluka atau adanya kontak dengan air
atau tanah yang telah terkontaminasi oleh urin dari hewan yang telah terinfeksi bakteri Leptospira.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran faktor lingkungan penderita suspek
Leptospirosis pada daerah rawan banjir di wilayah kerja Puskesmas Tempe Kabupaten Wajo. Jenis
penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Teknik
pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik Purposive sampling,
sampel berjumlah 60 responden Analisis yang dilakukan menggunakan analisis univariat. Hasil
penelitian didapatkan bahwa pemeriksaan darah menggunakan metode Rapid Diagnostic Test
sebanyak 100% responden negatif Leptospirosis.. Gambaran faktor lingkungan didaerah
penelitian menunjukkan 100% responden mengalami banjir di lingkungan rumah mereka setiap tahun,
30% memiliki sampah yang berserakan di dalam/sekitar rumahnya, 70,6% memiliki selokan yang
tidak mengalir secara lancar, dan 78,3% responden mengatakan terdapat tikus di dalam atau sekitar
rumah mereka. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa faktor lingkungan sebagian besar
responden tidak memenuhi syarat dan berpotensi sebagai media penularan penyakit Leptospirosis.
Oleh sebab itu diharapkan masyarakat lebih peduli dengan keadaan lingkungan dan senantiasa
menjaga kebersihannya untuk mencegah berkembangnya tikus sebagai media penyebaran penyakit
Leptospirosis.
Kata kunci: Leptospirosis, faktor lingkungan, rapid diagnostic test

ABSTRACT
Leptospirosis is a disease caused by leptospira sp. Human can be infected by Leptospira
through injured skin or by having direct contact with water or dirt which has been contaminated by
the urine of animals with leptospira sp. The purpose of this study is to understand the description of
environmental factors of leptospirosis suspect patient in Puskesmas Tempe working area in District of
Wajo. The type of this study is descriptive with cross-sectional approach. Sampling are done with
purposive sampling method with the total of the samples are 60. Univariat analysis are used to find
out frequency of each variable. Results show that blood examination using Rapid Diagnostic Test
indicates that 100% of the samples is negative for leptospirosis. The description of environmental
factors show that 100% of the samples’ neighborhood are exposed by flood every year, 30% of the
samples have a littered house environment, 70.6% of the samples have jammed ditch, and 78.3% of
the samples say that they can find rat around their house. The conclusion of this study is that the
environmental factor of most of the samples are not qualified enough and potentially vulnerable to be
the media for leptospirosis transmission. Therefore, the society are expected to care more about their
environment, especially in their own neighborhood, by keeping it always in clean and
healthy condition.
Keywords: Leptospirosis, environmental factor, rapid diagnostic test
PENDAHULUAN
Penyakit Leptospirosis saat ini menjadi salah satu masalah kesehatan yang dialami seluruh
dunia khususnya negara-negara yang memiliki iklim tropis dan subtropis dengan curah hujan yang
cukup tinggi. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Leptospira sp.1 Bakteri Leptospira berbentuk spiral
dan memiliki pilinan yang rapat dan ujung yang bengkok. Hewan yang menjadi reservoir utama
dalam penularan penyakit Leptospirosis adalah rodensia dan mamalia seperti sapi, babi, anjing, dan
kucing2.
Leptospirosis dapat menyerang orang yang dalam pekerjaanya terjadi kontak tubuh dengan
lingkungan atau tempat berair/tergenang, adanya luka di tubuh serta kurangnya perawatan ataupun
perlindungan terhadap luka berpotensi besar terinfeksi/menderita Leptospirosis3. Kondisi lingkungan
yang buruk juga dapat dijadikan indikator adanya penularan Leptospirosis seperti adanya genangan
air, kodisi selokan yang buruk, keberadaan sampah yang berserakan, kondisi tempat pengumpulan
sampah yang buruk, keberadaan tikus dan hewan peliharaan merupakan faktor risiko kejadian
Leptospirosis4.
Leptospirosis di Indonesia memiliki fenomena yang hanya tampak sedikit di permukaan,
namun jika kita melakukan pencarian yang intensif di wilayah endemis maka jumlah kasusnya akan
jauh meningkat5. Sebagai contoh di Kota Semarang pada tahun 2007 hanya tercatat 9 penderita, dan
dengan pencarian yang intensif pada tahun 2008 ditemukan 131 pasien positif Leptospirosis6. Kasus
lain Leptospirosis di Indonesia juga terjadi di daerah DKI Jakarta pada tahun 2002, dilaporkan lebih
dari 100 kasus Leptospirosis dengan 20 kematian. Kasus Leptospirosis juga terjadi di daerah Demak,
Jawa Tengah dengan jumlah kasus pada tahun 2013 sebanyak 13 kasus dengan 2 kematian7.
Kabupaten Wajo merupakan daerah yang terletak di Provinsi Sulawesi Selatan. Berdasarkan
data BPBD Kab. Wajo merupakan daerah yang rawan terjadinya bencana terutama bencana banjir.
Hal tersebut terjadi karena di daerah tersebut merupakan pertemuan air dari sejumlah daerah tetangga
seperti Kab. Soppeng, Sidrap, dan daerah lainnya8. Daerah yang rawan banjir akan meningkatkan
resiko penyakit Leptospirosis melalui kontaminasi banjir atau migrasi populasi tikus akibar terjadinya
banjir9. Selain itu, banjir dan bencana alam lainnya dapat meningkatkan risiko penyakit menular
seperti Leptospirosis karena menyebabkan terganggunya pelayanan kesehatan masyarakat dan
infrastruktur, air dan sanitasi yang kotor, rumah rusak, dan meningkatkan paparan lingkungan menjadi
patogen10.
Menurut data BPBD Kab. Wajo daerah yang rawan banjir terdapat di 4 Kecamatan yakni
Kecamatan Tempe, Pammana, Sabbangparu, dan Takkalalla. Puskesmas Tempe terlentak di
Kecamatan Tempe, Kab. Wajo dengan wilayah kerja mencakup Kelurahan Mattirotappareng,
Bulupabbulu, Tempe, Wattalipue, Laelo, dan Salomenraleng. Menurut data BPPD Kabupaten Wajo,
diketahui bahwa Kelurahan Laelo dan Kelurahan Salomenraleng merupakan wilayah yang menjadi
langganan banjir karena letaknya yang berdekatan dengan sungai. Berdasarkan data tersebut diketahui
bahwa wilayah kerja Puskesmas ini termasuk dalam daerah yang berpotensi terkena Leptospirosis
karena berada dalam wilayah rawan banjir. Untuk itu, penelitian ini dilakukan bertujuan untuk
mengonfirmasi penyakit Leptospirosis pada manusia dan mengetahui gambaran penyakit
Leptospirosis pada suspek penderita di wilayah kerja Puskesmas Tempe Kabupaten Wajo.

BAHAN DAN METODE


Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan
cross sectional. Cross sectional adalah penelitian yang dilakukan untuk mempelajari dinamika
korelasi antar faktor-faktor resiko dengan efek, dengan cara pendekatan observasi atau pengumpulan
data sekaligus pada suatu saat11. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Wajo di wilayah Kerja
Puskesmas Tempe. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret-April 2018. Populasi dari peneltian ini
adalah seluruh warga yang berkunjung di Puskesmas Tempe Kabupaten Wajo selama masa penelitian
dari bulan Maret 2018. Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan teknik Purposive sampling dan besaran sampel berjumlah 60 orang.
Adapun tahapan pengumpulan data dengan melakukan, pengambilan sampel darah untuk
pemeriksaan Leptospirosis menggunakan metode RDT pada pasien suspek Leptospirosis yang
menunjukkan gejala demam diatas 38° C selama lebih dari 3 hari. Tahapan untuk mengetahui
gambaran dari faktor lingkungan yang dimiliki oleh responden dilakukan dengan melalukan survey
langsung ke lingkungan rumah responden serta melakukan wawancara menggunakan kusioner.
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis univariat yang dilakukan
terhadap tiap variabel dari hasil penelitian dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi sehingga
menghasilkan distribusi dan persentase setiap variabel penelitian Hasil dari analisis univariat
kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan narasi untuk membahas hasil penelitian.

HASIL
Penelitian ini dilaksanakan dari tanggal 26 Maret-18 April 2018. Pengumpulan data dilakukan
melalui wawancara menggunakan kusioner dan pemeriksaan darah secara langsung dengan
menggunakan metode Rapid Diagnostic Test Leptospirosis, alat yang digunakan bernama Leptotek
Lateral Flow. Pemeriksaan ini dilakukan dengan mengambil darah pasien menggunakan mikropipet
sebanyak 10 µl, kemudian diteteskan pada lubang A di Lepto Tek Lateral flow. Selanjutnya lubang B
diteteskan buffer sebanyak 5 tetes. Kemudian ditunggu sampai 15 menit dan dibaca hasilnya. Sampel
darah dinyatakan positif mengandung bakteri Leptospira, jika muncul garis merah pada kontrol (C)
dan pada garis IgM dan/atau IgG. Bila hanya muncul satu garis merah pada kontrol (C) maka
dinyatakan negatif.
Mekanisme awal pemilihan responden dilakukan dengan menunggu pasien yang datang ke
Puskesmas Tempe, Kabupaten Wajo dan mengalami sakit demam selama lebih dari 3 hari serta
menunjukkan gejala Leptospirosis lainnya. Namun dikarenakan kurangnya masyarakat yang
memeriksakan dirinya ke Puskesmas saat mengalami demam, peneliti melakukan mekanisme door to
door untuk mencari masyarakat yang sedang sakit demam selama lebih dari 3 hari dengan bantuan
dari perawat atau petugas Puskesmas Tempe. Setelah penelitian dilakukan hampir selama 1 bulan
didapatkan responden sebanyak 60 orang. Hasil dari penelitian ini untuk memeriksa penyakit
Leptospirosis menggunakan Leptotek Lateral Flow didapatkan bahwa sebanyak 60 responden
mendapatkan hasil negatif Leptospirosis.
Karakteristik umum responden berdasarkan kelompok umur didapatkan hasil 60 responden
sebagian besar berada pada kelompok umur 36 – 45 tahun (30%). Dan distribusi responden
berdasarkan jenis kelamin didapatkan hasil berjenis kelamin perempuan sebanyak 35 orang (58,3%)
dan laki-laki berjumlah 25 orang (41,7%). Mayoritas pekerjaan responden yakni merupakan Ibu
Rumah Tangga sebanyak 26 orang (43,3%). Sementara yang paling sedikit merupakan anak sekolah
berjumlah 1 orang (1,7%).
Gejala yang paling banyak dialami oleh responden ialah demam lebih dari 3 hari yang dimana
paling banyak dialami oleh perempuan (35 orang). Selain gejala demam yang merupakan persyaratan
awal untuk dijadikan responden, gejala lain yang mayoritas dialami oleh responden adalah nyeri otot
dan keadaan cepat lelah yakni sebanyak 58 dan 52 orang, dimana paling banyak dialami oleh
perempuan sebanyak 35 orang untuk gejala nyeri otot dan 31 orang untuk gejala mudah kelelahan.
Gejala yang paling sedikit dialami oleh responden adalah gejala mata merah dan bintik-bintik pada
kulit yaitu masing-masing sebanyak 5 orang.
Kondisi banjir yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keadaan banjir yang terjadi setahun
terakhir dan ketinggian rata-rata banjir yang dialami oleh responden. Hasil wawancara dengan 60
responden didapatkan hasil bahwa keseluruhan responden mengalami banjir di daerah sekitar
rumahnya setahun sekali dengan ketinggian yang berbeda-beda. Tabel 1 menunjukkan bahwa bahwa
rata-rata ketinggian banjir yang paling banyak dialami responden adalah >2 meter sebanyak 53,3%.
Sedangkan yang paling rendah adalah <1 meter yaitu sebanyak 16,7%.
Hasil dari wawancara yang dilakukan dapat dilihat pada tabel 2 yang menunjukkan bahwa
dari 60 responden mayoritas tidak memiliki sampah di pekarangan rumahnya yakni sebanyak 32
orang (70%). Sedangkan sebanyak 18 orang (30%) memiliki sampah yang berserakan di sekitar
rumahnya. Keberadaan sampah di pekarangan rumah dapat dipengaruhi oleh adanya tempat sampah
dirumah tersebut jika terdapat tempat sampah tentu sampah tidak akan berserakan. Selain keberadaan
tempat sampah, jenis tempat sampah yang dimiliki juga berpengaruh dalam kejadian Leptospirosis.
Jenis tempat sampah yang paling banyak dimiliki oleh responden dapat dilihat pada tabel 3
yang menunjukkan bahwa responden yang memiliki tempat sampah semi permanen terbuka sebanyak
48 orang (80%). Sementara yang memiliki tempat sampah yang memenuhi standar yakni
menggunakan tempat sampah semi permanen yang tertutup hanya 6 orang (10%). Jenis tempat
sampah yang paling sedikit dimiliki oleh responden adalah menggunakan kantong plastik yakni hanya
sebanyak 4 orang (6,7%). Sedangkan 2 responden lainnya tidak memiliki tempat sampah dan
membuang sampahnya di pekarangan atau di sawah dekat rumah atau mengumpulkan dalam suatu
lubang kemudian membakarnya.
Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa sebanyak 51warga memiliki selokan
dipekarangan rumahnya dan 9 orang lainnya tidak memiliki selokan. Kondisi selokan di daerah Kec.
Tempe, Kab. Wajo terdapat sampah sebanyak 35,3%. Selain itu kondisi selokan yang tidak mengalir
secara lancar juga cukup tinggi mencapai 70,6%. Berdasarkan tabel 4 juga diketahui bahwa sebagian
warga pernah menjumpai tikus mati/hidup di selokan rumah mereka yakni sebanyak 15,7%.
Keberadaan tikus dapat ditandai dengan beberapa ciri seperti, ditemukan kotoran tikus,
adanya bau dari urin tikus, dan lain sebagainya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 78,3%
responden mengatakan bahwa terdapat tikus di dalam atau sekitar rumah mereka. Sedangkan 21,7%
mengatakan tidak menemukan tikus di dalam atau sekitar rumahnya. Pada tabel 5 diuraikan tentang
distribusi responden berdasarkan ciri/tanda keberadaan tikus dan di dapatkan hasil bahwa ciri/tanda
keberadaan tikus yang paling banyak dialami oleh responden ialah terdapat kotoran tikus yakni
sebanyak 49 orang (68,3%). Ciri kedua yang umum dialami oleh responden adalah terdengar suara
tikus sebanyak 40 orang responden (66,7%). Sedangkan ciri/tanda keberadaan tikus yang paling
sedikit dialami warga adalah “keberadaan lubang tikus di dalam maupun di luar rumah” yakni hanya
dialami oleh 13 orang responden (21,7%).

PEMBAHASAN
Hasil pemeriksaan yang dilakukan untuk pemeriksaan darah menggunakan Leptotek Lateral
Flow dari total 60 pasien yang menunjukkan gejala khas Leptospirosis seluruhnya mendapatkan hasil
negatif. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh12, yang menyatakan bahwa dari 90
tersangka penderita Leptospirosis yang di diambil darahnya dan diperiksa menggunakan Leptotek
Lateral Flow seluruhnya dinyatakan negatif. Sementara pemeriksaan lanjutan dengan metode PCR
(Polymerase Chain Reaction) didapatkan hasil 2 responden dinyatakan positif.
Perbedaan hasil saat pemeriksaan PCR dan Leptotek Lateral Flow dapat disebabkan karena
pada kasus pemeriksaan yang positif PCR menunjukkan bahwa kasus yang sedang mengalami fase
bakterimia yang kisaran waktunya tidak lebih dari 10 hari sejak bakteri masuk ke dalam tubuh. Pada
rentang waktu tersebut, kemungkinan antibodi anti Leptospira belum dibentuk oleh tubuh, atau
terbentuk namun dalam konsentrasi yang masih sangat rendah sehingga tidak dapat dideteksi.
Berdasarkan hal itulah maka saat pembacaan menggunakan Leptotek Lateral Flow didapatkan hasil
yang negative12. Berdasarkan hal tersebut diketahui bahwa deteksi dini Leptospirosis menggunakan
Leptotek lateral flow menunjukkan sensitivitas rendah sehingga perlu dilakukan pemeriksaan sampel
darah dan urin menggunakan metode PCR untuk mendukung upaya penemuan kasus sejak dini.
Kecamatan Tempe, Kab. Wajo berdasarkan hasil wawancara dengan warga selalu menjadi
langganan banjir setiap tahunnya. Hasil analisis data juga menunjukkan bahwa seluruh responden
(100%) mengalami banjir di lingkungan rumah mereka setiap tahun dengan 56 responden (93,3%)
menjawab rumahnya ikut terendam banjir. Ketinggian banjir yang dialami juga bervariasi dimana
16,7% memiliki ketinggian <1 meter, ketinggian 1 – 2 meter sebanyak 30%, dan ketinggian air >2
meter sebanyak 53,3%.
Hasil wawancara dengan warga juga didapatkan fakta bahwa air baru akan surut setelah
berbulan-bulan sehingga mengharuskan beberapa warga untuk mengungsi. Namun berdasarkan hasil
wawancara tidak sedikit pula warga yang bertahan dirumah mereka saat terjadi banjir. Banjir yang
terjadi setiap tahun dengan tinggi diatas 2 meter tentu akan sangat berbahaya karena ketinggian banjir
akan menyebabkan air semakin lama surut dan bakteri.
Variabel keberadaan tempat sampah didapatkan hasil bahwa responden yang memiliki
sampah di sekitar rumahnya sebanyak 18 orang (30%). Sedangkan sebanyak 70% responden tidak
terdapat sampah. Keberadaan sampah pada penelitian ini dilihat berdasarkan ada tidaknya sampah di
sekitar rumah dan jenis tempat sampah yang dimiliki memenuhi standar atau tidak.
Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar rumah responden tidak memiliki sampah yang
berserakan dan hampir semua rumah mempunyai tempat pembuangan sampah. Namun berdasarkan
data dapat diketahui tempat pembuangan sampah yang dimiliki warga masih belum memenuhi standar
karena hanya memiliki tempat sampah semi permanen dengan kondisi yang tidak tertutup dan tidak
kedap air. Hal tersebut tentu dapat menjadi tempat perkembangbiakan tikus karena sampah terutama
sisa-sisa makanan yang diletakkan di tempat sampah yang tidak tertutup akan mengundang kehadiran
tikus yang menjadi vektor penyakit Leptospirosis13.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan di Kabupaten Klaten didapatkan hasil bahwa tidak ada
hubungan antara keberadaan sampah dengan kejadian Leptospirosis di Kabupaten Klaten dengan nilai
p (0,098) > a (0,05), OR = 0,45214. Hasil ini mungkin disebabkan karena kejadian Leptospirosis
dipengaruhi oleh faktor kebersihan perseorangan dan kebersihan tempat sampah. Keberadaan tempat
sampah di dalam dan diluar rumah juga harus didukung dengan kondisinya apakah dalam kondisi baik
atau dalam kondisi buruk. Dikatakan baik apabila tempat sampah tertutup, tidak berserakan, tidak
meluap saat hujan turun, mudah dibersihkan setiap saat dan tidak menjadi tempat bersarangnya vektor
penyakit dan dikatakan buruk apabila tempat sampah tidak mempunyai tutup, berserakan, meluap saat
hujan turun, susah dibersihkan dan menjadi tempat bersarangnya vektor penyakit15.
Selokan sering menjadi tempat tinggal tikus sehingga dapat menjadi salah satu jalur untuk
penularan penyakit Leptospirosis. Peran selokan sebagai jalur penularan penyakit Leptospirosis terjadi
ketika air selokan terkontaminasi oleh urin tikus atau hewan peliharaan yang terinfeksi bakteri
leptospira dan aliran air selokan tidak lancar atau tergenang sehingga meluap ke lingkungan sekitar
rumah16.
Analisis univariat yang dilakukan didapatkan hasil bahwa sebagian besar warga memiliki
selokan. Namun selokan yang dimiliki masih jauh dari kondisi selokan yang ideal. Hasil yang
didapatkan menunjukkan bahwa 35,3% responden terdapat sampah pada selokannya, 70,6% memiliki
selokan yang tidak mengalir secara lancar, dan sebanyak 15,7% pernah menemukan tikus di sekitar
selokan rumahnya.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan di Kabupaten Boyolali didapatkan hasil bahwa 50%
rumah responden terdapat selokan. Kondisi selokan dari 10 rumah tersebut yaitu 40% terdapat
genangan air, 70% kondisi selokan terbuka, 20% air meluap ketika musim hujan, 70% jarak selokan
dengan rumah kurang dari 2 meter dan 80% terdapat sampah di dalam selokan17. Penelitian lainnya
yang dilakukan oleh16, menyatakan bahwa kondisi selokan yang buruk mempunyai risiko 5,58 kali
lebih besar untuk terjadinya Leptospirosis berat dibandingkan kondisi selokan yang baik (OR=5,58;
95%CI: 1,55-20,01; p=0.008). Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa kondisi selokan
yang buruk sehingga menyebabkan adanya genangan air di sekitar rumah merupakan faktor risiko
kejadian Leptospirosis karena vektor perantara bakteri leptospira dapat bertahan hidup selama
berbulan-bulan pada air yang menggenang.
Infeksi bakteri Leptospira terjadi karena kondisi lingkungan perumahan yang banyak
dijumpai tikus sehingga bila terjadi kontaminasi oleh urin tikus yang mengandung bakteri dapat
dengan mudah terjangkit penyakit Leptospirosis3. Bakteri Leptospira yang menginfeksi tikus pada
dasarnya tidak akan bertahan lama diluar dari tubuh inangnya, bakteri Leptospira mampu bertahan
hidup di luar tubuh tikus selama 7 – 12 jam tergantung media tempat bakteri berada18. Spesies tikus
yang telah dikonfirmasi sebagai inang reservoir Leptospirosis adalah Rattus tanezumi (tikus rumah),
Rattus norvegicus (tikus got), dan Mus musculus (mencit rumah).
Penelitian yang dilakukan didapatkan hasil bahwa 78,3% responden mengatakan terdapat
tikus di dalam atau sekitar rumah mereka. Sedangkan 21,7% mengatakan tidak menemukan tikus di
dalam atau sekitar rumahnya. Banyaknya tikus yang ditemukan di daerah sekitar rumah responden
dapat terjadi karena kondisi lingkungan rumah responden padat dan kumuh serta berdekatan dengan
sungai dan persawahan yang merupakan tempat berkembangbiaknya tikus. Menurut WHO,
keberadaan tikus di sekitar rumah ditentukan oleh 2 faktor utama yaitu, ketersediaan pakan dan
tempat berlindung/bersarang. Keberadaan tikus di lingkungan tempat tinggal manusia berpotensi
terjadinya penularan penyakit bersumber tikus ke manusia, termasuk Leptospirosis10.

KESIMPULAN DAN SARAN


Pemeriksaan sampel menggunakan Leptotek Lateral Flow diketahui bahwa 60 responden
dinyatakan negatif sehingga perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan dengan menggunakan metode PCR
untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat. Hasil observasi dan wawancara untuk melihat faktor
lingkungan yang dimiliki oleh responden di dapatkan bahwa variabel seperti kondisi banjir,
keberadaan tempat sampah, kondisi selokan/SPAL, dan keberadaan tikus di dalam/di luar rumah
sebagian besar masih belum memenuhi standar sehingga berpotensi menjadi faktor risiko terkena
penyakit Leptospirosis. Untuk itu diharapkan agar masyarakat lebih peduli dengan keadaan
lingkungan dan senantiasa menjaga kebersihannya untuk mencegah berkembangnya tikus sebagai
media penyebaran penyakit Leptospirosis.

DAFTAR PUSTAKA

1. WHO. Human Leptospirosis: Guidance for Diagnosis, Surveillance and Control. WHO
Library. 2003; 45(5): 1–109. Available at: http://www.who.int.
2. Rahmawati. Analisis Spasial Kejadian Luar Biasa (KLB) Kasus Leptospirosis Di
Kabupaten Kulonprogo Tahun 2011. Balaba. 2013;9(2):53–7.
3. Rejeki DSS. Faktor Risiko Lingkungan yang Berpengaruh terhadap Kejadian
Leptospirosis Berat. Universitas Diponegoro Semarang. 2005;1–129.
4. Riyaningsih, Hadisaputro S, Suhartono. Faktor Risiko Lingkungan Kejadian
Leptospirosis di Jawa Tengah (Studi Kasus di Kota Semarang , Kabupaten Demak dan
Pati). Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia. 2012;11(1):87–94.
5. Hariastuti NI. Diagnosis Leptospirosis dan Karakterisasi Leptospira secara Molekuler.
Balaba [Online Journal]. 2011;7(2):59–61. [Diakses pada tanggal 20 Desember 2017].
Available at http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index .php/blb/article/view/3318.
6. Isnani T, Ikawati B. Leptospirosis dalam Pandangan Masyarakat Daerah Endemis.
Balaba [Online Journal]. 2011;7(1):16–9. [Diakses pada tanggal 20 Desember 2017].
Available at http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/blb /article/view/1195.
7. Raharjo J, Hadisaputro S, Winarto. Faktor Risiko Host pada Kejadian Leptospirosis di
Kabupaten Demak. Balaba [Online Journal].. 2015;11(2):105–10. Available at
http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/blb/article/view/4451. [Diakses pada
tanggal 20 Desember 2017].
8. Nurdin J. BPBD Wajo Lansir Empat Kecamatan Rawan Banjir : Okezone News
[Internet]. 23 Desember 2013. 2013 [cited 2018 Feb 28]. Available from:
https://news.okezone.com/read/2013/12/23/340/915996/bpbd-wajo-lansir-empat-
kecamatan-rawan-banjir
9. Wibisono FJ, Yanestria SM. Outbreak Leptospirosis dengan Vektor Tikus pada Daerah
Rawan Banjir di Surabaya. 2016;4(2):1–9.
10. Nuraini S, Saraswati LD, Adi MS, S HS. Gambaran Epidemiologi Kasus Leptospirosis
di Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Kesehatan Masyarakat.
2017;5(1):226–34.
11. Notoatmodjo S. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: rineka cipta; 2010.
12. Widiastuti D, Djati AP. Deteksi Leptospira Patogen Pada Tersangka Penderita
Leptospirosis di Kabupaten Ponorogo. Spirakel. 2015;7(1):7–13.
13. Ningsih R. Faktor Risiko Lingkungan Terhadap Kejadian di Jawa Tengah (Studi Kasus
di Kota Semarang, Kabupaten Demak , dan Pati). Universitas Diponegoro; 2009.
14. Handayani F. Hubungan Antara Faktor Perilaku dan Lingkungan Fisik dengan
Kejadian Leptospirosis di Kabupaten Klaten [Skripsi]. Surakarta: Universitas
Muhammadiyah Surakarta; 2014.
15. Sofiyani M, Mawardi MI, Purnomo PS, Adnani H. Hubungan Kondisi Lingkungan
Pemukiman dengan Risiko Leptospirosis di Kabupaten Sleman. Journal of Health
Science and Prevention. 2017;1(2):85–92.
16. Suratman. Analisis Faktor Risiko Lingkungan dan Perilaku yang Berpengaruh
Terhadap Kejadian Leptospirosis Berat di Kota Semarang (Studi Kasus Leptospirosis
yang Dirawat di Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang). Universitas Diponegoro; 2006.
17. Royanialita W, Adi MS, Yuliawati. S. Gambaran Faktor Risiko Kejadian Leptospirosis
di Kabupaten Boyolali. Jurnal Kesehatan Masyarakat [Online]. 2017;5:1–5. Available
from: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jkm%0AGAMBARAN
18. Tunissea A. Analisis Spasial Faktor Risiko Lingkungan Pada Kejadian Leptospirosis
Di Kota Semarang (Sebagai Sistem Kewaspadaan Dini). Tesis. Semarang: Universitas
Diponegoro; 2011.
19. Ramadhani T, Yunianto B. Kondisi Lingkungan Pemukiman yang Tidak Sehat
Berisiko terhadap Kejadian Leptospirosis (Studi Kasus di Kota Semarang). Suplemen
Media Penelit dan Pengemb Kesehat. 2010;XX:46–54.
LAMPIRAN

Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Ketinggian Banjir yang Dialami di Wilayah


Kerja Puskesmas Tempe, Kec. Tempe Kab. Wajo
Ketinggian Banjir Frekuensi Persentase (%)
<1 Meter 10 16,7
1 – 2 Meter 18 30
>2 Meter 32 53,3
Total 60 100
Sumber: Data Primer, 2018

Tabel 2. Distribusi Responden Berdasarkan Keberadaan Sampah di Pekarangan


Rumah
Keberadaan
Frekuensi Persentase (%)
Sampah
Ya 18 30
Tidak 32 70
Total 60 100
Sumber: Data Primer, 2018

Tabel 3. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Tempat Sampah yang Dimiliki


Jenis Tempat
Frekuensi Persentase (%)
Sampah
Semi Permanen
6 10
Tertutup
Semi Permanen
48 80
Terbuka
Kantong Plastik 4 6,7
Tidak Memiliki 2 3,3
Total 60 100
Sumber: Data Primer, 2018
Tabel 4. Distribusi Responden Berdasarkan Kondisi Selokannya di Wilayah Kerja
Puskesmas Tempe Kec. Tempe Kab. Wajo
Persentase
Kondisi Selokan Frekuensi
(%)
Terdapat Sampah
Ya 18 35,3
Tidak 33 64,7
Total 51 100
Mengalir Dengan Lancar
Ya 15 29,4
Tidak 36 70,6
Total 51 100
Pernah Melihat Tikus di Selokan
Ya 8 15,7
Tidak 43 84,3
Total 51 100
Sumber: Data Primer, 2018

Tabel 5. Distribusi Responden Berdasarkan Tanda Keberadaan Tikus yang Dialami di


Kec. Tempe Kab. Wajo
Persentase
Tanda Keberadaan Tikus Frekuensi
(%)
Terdapat Kotoran Tikus
Ya 41 68,3
Tidak 19 31,7
Total 60 100
Terdengar Suara Tikus
Ya 40 66,7
Tidak 20 33,3
Total 60 100
Bau Kotoran Tikus/Bau Tikus
Ya 30 50
Tidak 30 50
Total 60 100
Ditemukan Tikus Hidup/Mati
Ya 20 33,3
Tidak 40 66,7
Total 60 100
Ada Bekas Makanan yang Digigit Tikus
Ya 15 25
Tidak 45 75
Total 60 100
Terdapat Lubang di Dalam Maupun di Luar Rumah
Ya 13 21,7
Tidak 47 78,3
Total 60 100
Sumber: Data Primer, 2018

Anda mungkin juga menyukai