Anda di halaman 1dari 9

Leptospira

Definisi
Menurut WHO (2003), leptospirosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
bakteri patogen Spirochetes dari genus Leptospira, yang ditularkan secara langsung maupun
tidak langsung dari hewan ke manusia, sehingga penyakit ini digolongkan dalam zoonosis.
Beberapa ciri umum penyakit leptospirosis (Chin, 2000), diantaranya terjadinya demam
dengan serangan tiba-tiba, sakit kepala, menggigil, nyeri otot berat terutama pada betis dan
kaki dan merah pada conjunctiva (selaput mata) ini.1
Langkah Awal setelah Penerimaan Laporan
Sebagai dokter Puskesmas langkah awal yang harus dilakukan setelah menerima laporan
adanya kasus leptospirosis adalah sebagai berikut.2
a. Melakukan konfirmasi atau penegakkan diagnosis.
b. Melakukan penanggulangan terhadap penyakit jika diagnosis sudah ditegakkan.
Lakukan pengobatan terhadap pasien berupa tatalaksana pencegahan dehidrasi dan
pemberian antibiotika secara selektif sesuai dengan etiologi.
c. Memastikan adanya suatu Kejadian Luar Biasa (KLB) yang dibandingkan dengan
periode sebelumnya.
d. Memastikan surveilans berjalan baik, informasi vektor, lingkungan, dan perilaku
penduduk.
e. Melaporkan langsung ke DinKes Kab/Kota dan koordinasi dengan Dinkes Propinsi.
Cara Penularan
Menurut Zein (2009), Leptospirosis pada hakikatnya adalah infeksi hewan. Infeksi pada
manusia terjadi akibat kontak dengan air atau zat-zat lain yang terkontaminasi dengan tinja
dan air kemih hewan. Leptospira bisa terdapat pada hewan piaraan seperti anjing, babi,
lembu, kuda, kucing, marmut atau hewan-hewan pengerat lainnya seperti tupai, musang,
kelelawar, dan lain sebagainya. Vektor utama dari Icterohaemorrhagiae penyebab
leptospirosis pada manusia adalah tikus. Di dalam tubuh tikus, leptospira menetap dan
membentuk koloni sertaberkembang biak di dalam epitel tubulus ginjal tikus dan terus
menerus ikut mengalir dalam filtrat urin. 1
Sementara menurut Depkes RI (2008), leptospirosis disebut juga direct zoonoses (host to host
transmission), karena penularannya hanya memerlukan satu vertebrata saja. Penyakit tersebut
berkembang bebas di alam di antara hewan liar maupun domestik, sedangkan manusia
merupakan terminal atau dead end, sehingga leptospirosis disebut juga sebagai anthrop
ozoonoses. 3

Kejadian Luar Biasa4,5


Penanggulangan KLB leptospirosis ditujukan pada upaya penemuan dini serta pengobatan
penderita untuk mencegah kematian. Intervensi lingkungan untuk mencegah munculnya
sarang-sarang atau tempat persembunyaian tikus. Vaksinasi hewan peliharaan terhadap
leptospira.
Penyelidikan Epidemiologi
Penyelidikan epidemiologi dilakukan terhadap setiap laporan kasus dari rumah sakit atau
laporan puskesmas. Penyelidikan kasus Leptospirosis lain di sekitar tempat tinggal penderita,
tempat kerja, tempat jajan atau daerah banjir. Penyelidikan Epidemiologi dilakukan terhadap :
Terhadap manusianya :
Penemuan penderita dengan melaksanakan pengamatan aktif. Di desa/ kelurahan yang ada
kasus Leptospirosis pencarian penderita baru berdasarkan gejala/tanda klinis setiap hari dari
rumah ke rumah.Bila ditemukan suspek dapat dilakukan pengambilan darah sebanyak 3-5 ml,
kemudian darah tersebut diproses untuk mendapatkan serumnya guna pemeriksaan serologis
di laboratorium. Serum dibawa dari lapangan dengan menggunakan termos berisi es, setelah
sampai di sarana kesehatan disimpan di freezer 4 C sebelum dikirim ke Bagian
Laboratorium Mikrobiologi RSU Dr. Kariadi Fakultas Kedokteran Undip Semarang untuk
dilakukan pemeriksaan uji MAT (Microscopic Agglutination Test) untuk mengetahui jenis
strainya.
Rodent dan hewan lainnya.
Di desa/kelurahan yang ada kasus, secara bersamaan waktunya dengan pencarian penderita
baru dilakukan penangkapan tikus hidup (trapping). Spesimen serum tikus yang terkumpul di
kirim ke BBvet Bogor untuk diperiksa secara serologis. Pemasangan perangkap dilakukan di
dalam rumah maupun di luar rumah selama minimal 5 hari berturut-turut. Setiap perangkap
(metal live traps) harus diberi label/nomor. Pemasangan perangkap dengan umpan dipasang
pada sore hari dan pengumpulan perangkap tikus keesokan harinya pagi-pagi sekali. Tikus
dibawa ke laboratorium lapangan dan pengambilan darah/ serum dan organ dengan member
label dan nomer untuk diidentifikasi kemudian dikirim ke Balai Besar Veteriner (BBvet) di
Bogor untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Laporan penyelidikan epidemiologi sebaiknya dapat menjelaskan :
1. diagnosis KLB leptospirosis
2. penyebaran kasus menurut waktu (minggu), wilayah geografi (RT/RW, desa dan
Kecamatan), umur dan faktor lainnya yang diperlukan, misalnya sekolah, tempat
kerja, dan sebagainya.
3. Peta wilayah berdasarkan faktor risiko antara lain, daerah banjir, pasar, sanitasi
lingkungan, dan sebagainya.

4. Status KLB pada saat penyelidikan epidemiologi dilaksanakan serta perkiraan


peningkatan dan penyebaran KLB. Serta rencana upaya penanggulangannya
Penegakan diagnosis kasus dapati dilakukan dengan Rapid Test Diagnostic Test (RDT)
dengan mengambil serum darah penderita untuk pemeriksaan serologi, jenis RDT diantaranya
:
1. Lepto Dipstick Assay : RDT ini dapat mendeteksi Imunoglobulin M spesifik kuman
Leptospira dalam serum. Hasil evaluasi multi sentrum pemeriksaan Leptodipstick di
22 negara termasuk Indonesia, menunjukkan sensitifitas Dipstick mencapai 92,1%.
Metode relatif praktis dan cepat karena hanya memerlukan waktu 2,5 3 jam.
2. Leptotek Dridot: Berdasarkan aglutinasi partikel lateks, lebih cepat karena hasilnya
bisa dilihat dalam waktu 30 detik. Test ini untuk mendeteksi antibodi aglutinasi
seperti pada MAT. Pemeriksaan dilakukan dengan meneteskan 10 mL serum (dengan
pipet semiotomatik) pada kartu aglutinasi dan dicampur dengan reagen. Hasil dibaca
setelah 30 detik dan dinyatakan positif bila ada aglutinasi. Metode ini mempunyai
sensitifitas 72,3% dan spesifitas 93,9% pada serum yang dikumpulkan dalam waktu
10 hari pertama mulai sakit.
3. Leptotek Lateral Flow : Pemeriksaan dilakukan dengan dengan memasukan 5 mL
serum atau10 mL darah, dan 130 mL larutan dapar, hasil dibaca setelah 10 menit.
Leptotek Lateral Flow cukup cepat, mendeteksi IgM yang menandakan infeksi baru,
relatif mudah, tidak memerlukan almari pendingin untuk menyimpan reagen, namun
memerlukan pipet semiotomatik, dan pemusing bila memakai serum. Alat ini
mempunyai sensitifitas 85,8% dan spesifitas 93,6%.
KLB Leptospirosis ditetapkan apabila memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut :
1. Peningkatan kejadian kesakitan terus menerus selama 3 (tiga) kurun waktu dalam jam,
hari atau minggu berturut-turut menurut di suatu wilayah desa.
2. Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan dengan periode
sebelumnya dalam kurun waktu jam, hari atau minggu di wilayah desa c. Jumlah
penderita baru dalam periode waktu 1 (satu) bulan menunjukkan kenaikan dua kali
atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata per bulan dalam tahun sebelumnya di
suatu wilayah desa.
3. Munculnya kesakitan leptospirosis di suatu wilayah kecamatan yang selama 1 tahun
terakhir tidak ada kasus
Cara Penanggulangan4,5
Penyediaan logistik di sarana kesehatan, koordinasi dengan pemangku kepentingan dan
sektor terkait, penemuan dini penderita dan pelayanan pengobatan yang tepat di puskesmas
dan rumah sakit melalui penyuluhan masyarakat tentang tanda-tanda penyakit, resiko
kematian serta tatacara pencarian pertolongan.

Upaya pencegahan terhadap penyakit Leptospirosis dengan cara sebagai berikut :


1. Melakukan kebersihan individu dan sanitasi lingkungan antara lain mencuci kaki,
tangan dan bagian tubuh lainnya setelah bekerja di sawah.
2. Pembersihan tem pat penyimpanan air dan kolam renang.
3. Pendidikan kesehatan tentang bahaya, cara penularan penyakit dengan melindungi
pekerja beresiko tinggi dengan penggunaan sepatu bot dan sarung tangan, vaksinasi
terhadap hewan peliharaan dan hewan ternak.
4. Pemeliharaan hewan yang baik untuk menghindari urine hewan-hewan tersebut
terhadap masyarakat.
5. Sanitasi lingkungan dengan membersihkan tempat-tempat habitat sarang tikus.
6. Pemberantasan rodent bila kondisi memungkinkan.
Surveilans Ketat Pada KLB
1. Pengamatan perkembangan jumlah kasus dan kematian leptospirosis menurut lokasi
geografis dengan melakukan surveillans aktif berupa data kunjungan berobat, baik
register rawat jalan dan rawat inap dari unit pelayanan termasuk laporan masyarakat
yang kemudian disajikan dalam bentuk grafik untuk melihat kecenderungan KLB.
2. Memantau perubahan faktor risiko lingkungan yang menyebabkan terjadinya
perubahan habitat rodent (banjir, kebakaran, tempat penampungan pengungsi, daerah
rawa dan gambut).
Sistem Kewaspadaan Dini KLB
1. Pemantauan terhadap kesakitan dan kematian leptospirosis.
2. Pemantauan terhadap distribusi rodent serta perubahan habitatnya, banjir
3. Pemantauan kolompok risiko lainnya, seperti petani, pekerja perkebunan, pekerja
pertambangan dan selokan, pekerja rumah potong hewan, dan militer
Hubungan Epidemiologi6
Leptospirosis tersebar luas diseluruh dunia, antara lain : Rusia, Argentina, Brasilia, Australia,
Israel, Spanyol, Afghanistan, Malaysia, Amerika Serikat, Indonesia , dan sebagainya.
Di Indonesia sejak tahun 1936 telah dilaporkan leptospirosis dengan mengisolasi serovar
leptospira, baik dari hewan liar maupun hewan peliharaan. Secara klinis leptospirosis pada
manusia telah dikenal sejak tahun 1892 di Jakarta oleh Van der Scheer. Namun isolasi baru
berhasil dilakukan oleh Vervoort pada tahun 1922.

Pada tahun 1970 an, kejadian pada manusia dilaporkan Fresh, di Sumatera Selatan, Pulau
Bangka serta beberapa rumah sakit di Jakarta. Tahun 1986, juga dilaporkan hasil
penyelidikan epidemiologi di Kuala Ci naku Riau, ditem u kan serovar pyrogenes, semara
nga, rachmati, icterohaemorrhagiae, hardjo, javanica, ballum dan tarasovi.
Pada Tahun 2010 baru 7 provinsi yang melaporkan kasus suspek Leptospirosis yaitu Provinsi
DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Bengkulu, Kepulauan Riau dan
Sulawesi Selatan.
Situasi Leptospirosis di Indonesia dari Tahun 2004 sampai tahun 2011 cenderung meningkat,
tahun 2011 terjadi 690 kasus Leptospirosis dengan 62 orang meninggal (CFR 9%),
mengalami kenaikan yang tajam bila dibandingkan 7 (tujuh) tahun sebelumnya, hal tersebut
dikarenakan terjadi KLB di Provinsi Yogyakarta (Kabupaten Bantul dan Kulon Progo). Kasus
terbanyak dilaporkan Provinsi DI.Yogyakarta yaitu 539 kasus dengan 40 kematian (CFR
7,42%) dan Provinsi Jawa Tengah dengan 143 kasus dengan 20 kematian (CFR 10,6%).
Umumnya menyerang petani, pekerja perkebunan, pekerja tambang / selokan, pekerja rumah
potong hewan dan militer. Daerah yang rawan banjir, pasang surut dan areal persawahan,
perkebunan, peternakan memerlukan pengamatan intensif untuk mengontrol kejadian
Leptospirosis di masyarakat.
Teknik Pencarian Kasus1
Pencarian kasus dilakukan untuk mengatasi suatu wabah. Pencarian kasus terdiri dari dua
teknik yaitu:
a. Active case finding
Pencarian kasus secara aktif biasanya dilakukan dengan screening. Hanya mencari
yang dicurigai sakit. Dibagi menjadi dua yaitu backward tracking (mencari sumber
penularan) dan forward tracking (mencari kasus baru).
b. Passive Case Finding
Pencarian kasus secara pasif yaitu dengan cara mencari data dari pasien yang datang
berobat ke fasilitas kesehatan dan mengandalkan laporan yang ada.
Lakukan surveilans terhadap orang yang minum dan mengkonsumsi makanan yang sama
dengan penderita kolera, selama 5 hari setelah kontak terakhir. Jika terbukti kemungkinan
adanya penularan sekunder didalam rumah tangga, anggota rumah tangga sebaiknya di beri
pengobatan kemoprofilaksis. Kemoprofilaksis masal untuk semua anggota masyarakat tidak
pernah di lakukan karena dapat menyebabkan resistensi terhadap antibiotika. Imunisasi
terhadap kontak tidak dianjurkan. Lakukan investigasi terhadap kemungkinan sumber infeksi
berasal dari air minum dan makanan yang terkontaminasi. Makanan yang dikonsumsi 5 hari

sebelum sakit harus di tanyakan. Pencarian dengan cara mengkultur tinja untuk kasus-kasus
yang tidak dilaporan hanya disarankan dilakukan terhadap anggota rumah tangga atau
terhadap orang-orang yang kemungkinan terpajan dengan satu sumber (Common source)
didaerah yang sebelumnya tidak terinfeksi.
Kegiatan Penyuluhan7
Isi penyuluhan leptospirosis yang harus dijelaskan adalah sebagai berikut:
o Pengertian penyakit leptospirosis
o Penyebab leptospirosis dan cara penularannya
o Tanda dan gejala
o Cara pencegahan
Peran kader dalam kesehatan dapat dilihat sebagai berikut :
o Pengobatan ringan / sederhana, pemberian obat cacing, pengobatan terhadap
diare dan pemberian larutan gula garam, obat obatan sederhana dan lain
lain.
o Penimbangan dan penyuluhan gizi.
o Pemberantasan penyakit menular, pencarian kasus, pelaporan vaksinasi,
pemberian distribusi obat / alat kontrasepsi KB penyuluhan dalam upaya
menamakan NKKBS.
o Penyediaan dan distribusi obat / alat kontrasepsi KB penyuluhan dalam upaya
menamakan NKKBS.
o Penyuluhan kesehatan dan bimbingan upaya keberhasilan lingkugan,
oembuatan jamban keluarga dan saran air sederhana
Pada penyelenggaraan pelatihan kader posyandu meliputi tahap persiapan,
pelaksanaan serta pemantauan, penilaian dan pelaporan.
o Persiapan pelatihan
Paling sedikit 2 minggu sebelum penylenggaraan pelatihan, panitia
penyelenggara sudah harus menyiapkan hal hal berikut :
Penggandaan makalah dan bahan bahan lainnya
Menghubungi dan memanggil peserta pelatihan
Menghubungi dan memberitahuan pelatih / fasilitator
Pengiriman jadwal dan paket pelatihan kepada pelatih dan

meminta bahan bahan yang perlu digandakan.


Menyiapkan tempat pelatihan, akomodasi, perlengkapan dan

alat alat yang diperlukan


Memberitahukan pihak pihak yang berwenang dan terkait

dengan penyelenggaraan pelatihan


Menyelesaikan izin pelatihan kader yang diperlukan

Selama seminggu sebelum penatalaksanaan pelatihan, dilakukan


kegiatan

dan

pembahasan

dengan

segenap

anggota

Panitia

Penyelenggara dan Tim Pelatih / fasilitator, meliputi :


Peninjauan persiapan pelatihan dalam melakukan perubahan
dan penyempurnaan apabila diperlukan
Persiapan bahan dan alat / media yang diperlukan
Pengecekan kesiapan bahan dan alat / media yang diperlukan.
o Pelaksanaan pelatihan
Kegiatan pelatihan teori dan praktek dalam kelas dilaksanakan sesuai
dengan jadwal yang sudah disusun. Namun dapat disesuaikan dengan
keadaa. Keberhasilan kegiatan ini banyak ditentukan oleh penyediaan
bahan bahan, kesiapan pelatih / fasilitator dan peserta pada waktu

yang tepat.
Sehari sebelum pelatihan dimulai, diadakan pendaftaran calon peserta
pelatihan. Pada saat pendaftaran, calon peserta pelatihan diminta
mengisi formulir, biodata, dan menyerahkan pasfoto 4x6 berwarna

sebanyak 3 lembar
Hari hari selanjutnya diselanggarakan pelatihan mencakup upacara
pembukaan, bina suasana, penyajian materi materi pelatihan,
evaluasi, rencana tindak lanjut, dan pembukaan ppelatihan serta

uoacara penutupan.
o Pemantauan, penilaian, dan pelaporan
Pemantauan
Panitia penyelenggara harus melaksanakan pemantauan terus menerus terhadap seleuruh
proses pelatihan. Apabila ada permasalahan harus dicari jalan pemeceahannya seawal
mungkin.
Program Pemerintah dalam menangani Leptospirosis
Pendidikan kesehatan mengenai bahaya serta cara menular penyakit, berperan dalam
upaya pencegahan penyakit leptospirosis
Usaha-usaha lain yang dapat dianjurkan antara lain mencuci kaki, tangan serta bagian
tubuh lainnya dengan sabun setelah bekerja di sawah
Pembersihan tempat-tempat air dan kolam-kolam renang sangat membantu dalam
usaha mencegah penyakit leptospirosis
Melindungi pekerja-pekerja yang dalam pekerjaannya mempunyai resiko yang tinggi
terhadap Leptospirosis dengan penggunaan sepatu bot dan sarung tangan

Vaksinasi terhadap hewan-hewan peliharaan dan hewan ternak dengan vaskin strain
lokal
Mengisolasi hewan-hewan sakit guna melindungi masyarakat, rumah-rumah
penduduk serta daerah-daerah wisata dari urine hewan-hewan tersebut
Pengamatan terhadap hewan rodent yang ada disekitar penduduk, terutama di desa
dengan melakukan penangkapan tikus untuk diperiksa terhadap kuman Leptospirosis
Kewaspadaan terhadap leptospirosis pada keadaan banjir
Pemberantasan rodent (tikus) dengan peracunan atau cara-cara lain

Untuk memperkecil angka kematian sebaiknya semua suspect (tersangka) penderita


Leptospirosis segera dibawa ke Puskesmas/rumah sakit yang terdekat untuk segera
mendapati pengobatan.
Alur Pelaporan Kasus
Dilakukan oleh Puskesmas dan Rumah Sakit melalui SP2TP (LB), SPRS (RL), STP dan
rekapitulasi leptospirosis. Karena leptospirosis termasuk penyakit yang dapat menimbulkan
wabah maka perlu dibuat laporan mingguan (W2). Untuk dapat membuat laporan rutin perlu
pencatatan setiap hari (register) penderita kolera yang datang ke sarana kesehatan, posyandu
atau kader agar dapat dideteksi tandatanda akan terjadinya KLB/wabah sehingga dapat
segera dilakukan tindakan penanggulangan secepatnya. Laporan rutin ini dikompilasi oleh
petugas RR/Diare di Puskesmas kemudian dilaporkan ke Tingkat Kabupaten/Kota melalui
laporan bulanan (LB) dan STP setiap bulan.Petugas/Pengelola Diare Kabupaten/Kota
membuat rekapitulasi dari masing-masing Puskesmas dan secara rutin (bulanan) dikirim ke
tingkat Propinsi dengan menggunakan formulir rekapitulasi diare. Dari tingkat Propinsi
direkap berdasarkan kabupaten/kota secara rutin (bulanan) dan dikirim ke Pusat.1
Prevalensi, Insidensi, Attack Rate
Kejadian leptospirosis untuk negara subtropis adalah berkisar antara 0,1-1 kejadian tiap
100 000 penduduk per tahun, sedangkan di negara tropis berkisar antara 10-100 kejadian tiap
100 000 penduduk per tahun (WHO 2009). Tingginya angka prevalensi leptospirosis di
daerah yang memiliki iklim tropis dan subtropis, dapat dihubungkan dengan kondisi
lingkungan yang kurang baik sehingga memungkinkan lingkungan tersebut menjadi tempat
yang baik atau cocok untuk hidup dan berkembangbiaknya bakteri Leptospira (Febrian
2013). Insiden penyakit leptospirosis tertinggi di wilayah Afrika (95.5 per 100 000 penduduk)
diikuti oleh Pasifik Barat (66.4), Amerika (12.5), Asia Tenggara (4.8) dan Eropa (0.5).
Sebagian besar kasus yang dilaporkan memiliki manifestasi parah dengan angka kematian

lebih besar dari 10%. Costa et al. (2015) memperkirakan wabah leptospirosis telah
menyebabkan 1.03 juta kasus dan 58 900 kematian setiap tahunnya. Morbiditas dan
mortalitas paling banyak terjadi di negara miskin atau wilayah yang tidak rutin melakukan
survailens.
Di Indonesia penyakit leptospirosis sering dilaporkan terjadi di daerah Jawa Tengah
seperti Semarang, Klaten, Demak, atau Boyolali. Beberapa tahun terakhir di derah rawan
banjir seperti Jakarta dan Tangerang juga dilaporkan terjadinya penyakit ini. Selain itu kasus
leptospira juga banyak ditemukan di daerah pesisir pasang surut seperti Riau, Jambi, dan
Kalimantan. Angka kematian leptospirosis di Indonesia termasuk tinggi yaitu mencapai 2.516.45% (Anies et al. 2009). Oleh karena itu penyakit ini penting untuk diketahui secara
lengkap oleh masyarakat di Indonesia serta harus mendapatkan prioritas dalam pengendalian
dan pemberantasannya terutama menjelang musim hujan tiba dan khususnya pada wilayahwilayah rawan terjadi banjir.
Daftar Pustaka
1. Diagnosis, Surveillance And Control; Zein. 2009. Leptospirosis dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam; ILS. 2001. ILS Worldwide Survei 1998, 1999, 2000; Faine, S.
1982.
2. Kepmenkes, 2008. Cakupan Penemuan dan Penanganan Penderita Penyakit. Jakarta,
Departemen kesehatan dan Kesos.
3. Refference, antara lain : Depkes RI. 2008. Pedoman Diagnosa dan Penatalaksanaan
Penanggulangan kasus Leptopsirosis di Indonesia; Chin, J., 2000. Manual
4. Bres, P.,Tindakan Darurat Kesehatan Masyarakat Pada Kejadian Luar Biasa Petunjuk
Praktis, Gajah Mada University Press, Cetakan pertama, 1995, Yogjakarta.
5. Ditjen PPM-PL, Depkes RI, Petunjuk Teknis Pelaksanaan SKD-KLB Penyakit
Menular dan Keracunan, 1995, Jakarta.
6. Informal Expert Consultation on Surveillans, Diagnosis and Risk Reduction of
Leptospirosis, Chennai,17- 18 September 2009
7. Rumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti Saroso, Pedoman Tatalaksana Kasus dan
Pemeriksaan Laboratorium Leptospirosis di Rumah Sakit, Departemen kesehatan RI,
2003.

Anda mungkin juga menyukai