Anda di halaman 1dari 29

Tinjauan Pustaka

BAB I

PENDAHULUAN

Cedera medulla spinalis akibat trauma tulang belakang merupakan salah satu
cidera yang memberikan siknifikan besar dalam kehidupan manusia, yakni dalam hal
mordibitas maupun mortalitas, perubahan aktifitas sehari-hari, dan biaya yang harus di
tanggung oleh pasien, keluarga, dan masyarakat. Tingkat mortalitas yang tinggi pada
cidera spinalis umumnya terjadi pada saat kondisi kecelakaan awal, sedangkan tingkat
mortalitas pada pasien yang masih hidup lalu dilarikan ke rumah sakit adalah 16%.
Pasien dengan cidera medulla spinallis memerlukan penyesuaian beberapa aspek,
antara lain masalah morbilitas yang terbatas, psikologis, urologis, pernafasan, kulit,
disfungsi seksual, dan ketidak mampuan untuk bekerja.1

Cedera medulla spinalis adalah trauma pada tulang belakang yang


menyebabkan lesi pada medulla spinalis sehingga terjadi gangguan neurologic,
tergantung letak kerusakan saraf spinalis dan jaringan saraf yang rusak. Gejala-gejala
dapat bervariasi mulai dari nyeri, paralisis, sampai terjadinya inkontinensia. Kerusakan
medulla spinalis dapat dijelaskan dari tingkat inkomplit dengan gejala-gejala yang
tidak berefek pada psien sampai tingkat komplit dimana pasien mengalami kegagalan
fungsi total.1,2

Cedera medulla spinalis pertama kali tercatat dalam sejarah sekitar 1700 SM
pada papyrus Edwin Smith. Dan penyebab trauma medulla spinalis tersering adalah
kecelakaan lalu lintas (50%), jatuh (25%), cidera yang berhubungan denga olahraga
(10%) selain itu juga terdapat pada kekerasan dan kecelakaan kerja.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Anatomi Medulla Spinalis2

1
Medula spinalis adalah suatu kumpulan jaringan syaraf yang panjang, tipis dan
berbentuk tubular, terletak di dalam kolumna vertebra dan membujur mulai dari otak
(bagian medulla oblongata). Medulla spinalis bersamaan dengan otak membentuk
susunan syaraf pusat (SSP). Sumsum tulang belakang mulai menjulur dari tulang
oksipital bagian tengkorak, turun ke bawah sepanjang tulang belakang hingga berada
di rongga antara tulang lumbar 1 dan 2. Panjang medulla spinalis berkisar antara 45 cm
pada pria, 43 cm pada wanita. Lebarnya sangat bervariasi mulai dari setengah inci pada
bagian servikal dan lumbar, dan seperempat inci pada bagian torakal. Struktur tulang
belakang sangat beradaptasi untuk melindungi medulla spinalis yang memiliki ukuran
lebih pendek dan kecil.
Fungsi utama dari medulla spinalis adalah mentransmisikan sinyal neural antara
otak dan anggota tubuh lainnya. Sinyal ini dapat bersifat motorik maupun sensorik.
Selain itu juga dapat berfungsi sebagai suatu komponen pusat dari refleks fisiologis.

B. Struktur Medulla Spinalis


Medulla spinalis adalah jaras utama yang menghubungkan otak dengan neuron
perifer. Ukuran medulla spinalis lebih pendek dibandingkan dengan panjangnya tulang
belakang. Hal ini yang membuat medulla spinalis membujur mulai dari foramen
magnum, turun dan membentuk konus medullaris di dekat tulang vertebra lumbal
kedua.
Panjang medulla spinalis dapat mencapai 45 cm pada pria dan 43 cm pada
wanita, namun bervariasi seukuran dengan tinggi manusia. Bentuk sumsum berupa
ovoid, dengan diameter yang lebih lebar di bagian servikal dan lumbar. Pelebaran
medulla spinalis di daerah servikal terletak di C3 hingga T2, dimana terdapat pleksus
brachialis yang berfungsi sebagai input dan sensoris dan output motoris dari kedua
lengan. Pelebaran di daerah lumbar berlokasi di L1 hingga L3 dimana terdapat cabang
pleksus lumbosakralis.
Medulla spinalis dilindungi oleh 3 lapisan jaringan yang disebut selaput spinal
(spinal meninges). Lapisan ini menyelubungi kanal dengan urutan dari luar berturut-
turut adalah duramater, araknoidmater, dan piamater. Duramater tersusun dari serat
yang amat tangguh dan berfungsi sebagai pelindung. Diantara duramater dan tulang
belakang terdapat ruangan yang disebut ruang epidural. Ruang ini dipenuhi oleh
jaringan adiposa dan mengandung banyak pembuluh darah. Lapisan araknoidmater
terletak di tengah dan memiliki gambaran seperti jaring laba-laba. Terdapat ruang
diantara araknoid dengan piamater, ruangan ini disebut ruang subaraknoid yang

2
mengandung cairan serebrospinal. (cerebrospinal fluid atau CSF). Piamater adalah
lapisan protektif terdalam, bersifat sangat melekat erat pada permukaan medulla
spinalis. Medulla spinalis disokong oleh jaringan ikat yang disebut ligamen
dentikulatum.

Gambar 1. Potongan Melintang Medulla Spinalis

Pada potongan melintang, daerah perifer dari medulla spinalis mengandung


banyak serabut saraf sensorik dan motorik sehingga memiliki warna putih dan disebut
sebagai substansia alba. Sedangkan bagian dalamnya mengandung banyak badan sel
saraf sehingga berwarna abu-abu dan disebut substansia grisea yang berbentuk seperti
kupu-kupu. Struktur ini diselubungi oleh kanal sentral, yang secara anatomis
merupakan perpanjangan dari sistem ventrikel pada otak, sehingga mengandung cairan
serebrospinal.
Bentuk dari medulla spinalis adalah ovoid, dengan bagian dorsal dan ventralnya
memiliki cekungan yang dinamakan posterior median sulcus di bagian dorsal dan
anterior median fissure di bagian ventral.

C. Segmen-Segmen Medulla Spinalis


Medula spinalis manusia terbagi atas 31 segmen yang berbeda. Pada setiap
segmennya terdiri dari pasangan neuron sensorik dan motorik yang berada di bagian
kiri dan kanannya. Sekitar enam hingga delapan akar saraf kecil(radiks) bercabang dari
medulla spinalis dengan urutan yang sangat rapi. Radiks ini kemudian bergabung
menjadi suatu akar saraf. Saraf sensoris selalu berjalan dari bagian dorsal dan saraf
motoris berjalan dari bagian ventral. Kedua akar saraf ini kemudian bergabung lagi
menjadi saraf spinal (ramus) yang mana bagian sensorik dan motoriknya berjalan
bersamaan. Yang disebut susunan syaraf pusat hanyalah sebatas medulla spinalis. Akar-
akar syaraf ini sudah termasuk sebagai syaraf perifer.

3
Gambar 2. Struktur dari Saraf Perifer Sekitar Medulla Spinalis

Serabut masing-masing radiks terdistribusi ulang menjadi beberapa saraf


perifer setelah keluar dari tulang belakang, dan masing-masing saraf mengandung
serabut dari beberapa segmen radikular yang berdekatan. Namun, serabut masing-
masing segmen radikular kembali tergabung membentuk kelompokan di bagian perifer
untuk mempersarafi area segmental kulit tertentu yang disebut sebagai dermatom.
Masing-masing dermatom mewakili sebuah segmen radikular, yang dengan demikian
mewakili juga sebuah segmen medula spinalis.

4
Gambar 3. Gambaran Dermatom

Medulla spinalis berakhir sebagai konus medulla di daerah lumbar 1 atau


lumbar 2. Disebut konus karena bentuknya yang menguncup merupai kerucut. Setelah
medulla spinalis berakhir, lapisan piamater mengalami pemanjangan hingga mencapai
bagian koksigeus, disebut sebagai filum terminalis. Serabut syaraf yang terletak di
bawah konus medullaris kemudian membentuk kauda equina (buntut kuda) dan
meneruskan jarasnya menuju ke ekstremitas bagian bawah. Kauda equina terbentuk
dari kenyataan bahwa medulla spinalis berhenti bertambah panjang sejak umur 4
tahun, namun demikian tulang vertebra terus bertambah panjang hingga usia remaja.

5
Gambar 4. Potongan Sagittal Vertebra dan Medulla Spinalis

Terdapat 33 segmen dari medulla spinalis manusia, kesemuanya memiliki nama


sesuai dengan tulang vertebranya. Pembagian segmennya yaitu 8 segmen servikal, 12
segmen torakal, 5 segmen lumbar, dan 5 segmen sakral. Semua serabut syaraf, kecuali
syaraf C1 dan C2, keluar dari kolumna spinalis melewati intravertebral foramen di
vertebranya. Tulang belakang C1 disebut sebagai tulang atlas, dan C2 disebut tulang
aksis.

6
Gambar 5. Segmen-Segmen Vertebra

D. Vaskularisasi Medulla Spinalis

Medulla spinalis selain mendapatkan suplai darah dari tiga arteri besar yang
berjalan secara longitudinal dari otak, juga mendapat dari arteri yang mengalir dari sisi
kolumna spinalis. Ketiga arteri besar tersebut adalah arteri anterior spinalis, arteri
posterior spinalis kiri dan kanan. Arteri-arteri ini berjalan di dalam ruang sub-araknoid
dan bercabang masuk ke dalam medulla spinalis.

7
Gambar 6. Vaskularisasi Medulla Spinalis

Kontribusi utama dari suplai darah pada medulla spinalis di bawah bagian
servikal berasal dari arteri radikular bagian anterior dan posterior. Kedua arteri ini
berjalan berdampingan dengan akar saraf dorsal dan ventral untuk kemudian
memperdarahi sumsum tulang belakang. Arteri radikular merupakan suatu
perpanjangan cabang dari aorta dan tidak berhubungan secara langsung dengan ketiga
arteri longitudinal. Arteri radikular terbesar pada manusia terletak di L1 dan L2,
disebut sebagai arteri anterior radikularis magna. Kelainan aliran darah pada arteri
magna ini, terutama dalam proses pembedahan aneurisma aorta, dapat menyebabkan
infark pada medulla spinalis dan mengakibatkan paraplegia.

1. Traktus Somatosensorik Medulla Spinalis

Struktur somatosensori medulla spinalis dibagi menjadi 3, yaitu jaras lemniscus bagian
dorsal columna-medial (pengaturan sentuhan/proprioseptif/getaran), jaras
spinoserebelaris anterior posterior, dan sistem spinotalamikkus anterolateral
(pengaturan nyeri/temperatur). Ketiga jaras sensorik ini memiliki 3 neuron yang

8
berbeda untuk bekerja. Neuron-neuron ini terbagi menjadi neuron sensorik primer,
sekunder, dan tersier.

1.1 Traktus Lemniskus Dorsal Columna Medial

Pada jaras lemniscus bagian dorsal columna medial, akson neuron primernya
memasuki medulla spinalis dan menuju ke bagian dorsal dari kolumna. Akson-akson
pada medulla spinalis dibawah T6 akan memasuki jaras fasciculus grasilis, sebaliknya
bila akson terdapat setinggi T6 atau diatasnya, maka akan memasuki jaras fasciculus
cuneatus yang terletak di bagian lateral fasciculus grasilis.

Gambar 7. Ringkasan Traktus Medulla Spinalis

Setelah mencapai jaras masing-masing, akson primer menaiki medulla spinalis


hingga mencapai bagian bawah dari medulla oblongata, setelah itu mencapai
meninggalkan fasciculus dan bersinaps dengan neuron sekunder pada salah satu dari
nuclei kolumna dorsalis; antara nukleus gracilis atau nukleus cuneatus.

Akson akan berjalan menuju anterior dan kemudian ke bagian medial setelah
meninggalkan nukleusnya, kumpulan akson yang serupa ini disebut sebagai fiber
internal arkuata. Persilangan jaras ke bagian kontralateral terdapat pada titik ini.
Setelah itu jaras terus naik ke bagian medial lemniskus kontralateral hingga pada
akhirnya berhenti di nukleus ventral posterolateral di bagian thalamus dan bersinaps
dengan neuron tersier. Dari situ neuron tersier naik menuju ke kapsula interna dan
berujung pada korteks sensorik primer. Perlu diingat bahwa jaras ini disebut juga jaras
kolumna posterior dan menghantarkan rasa getar, perubahan posisi, raba dan
diskriminasi.

9
Serebelum menerima input proprioseptif aferen dari semua regio tubuh;
kemudian, output eferen polisinaptiknya mempengaruhi tonus otot dan koordinasi
kerja otot-otot antagonis dan agonis yang berperan saat berdiri, berjalan, dan semua
gerakan lain. Proses ini berjalan tanpa disadari.

1.2 Traktus Spinotalamikus

Jaras sensorik selanjutnya adalah jaras spinotalamikus yang merupakan jalur


untuk penghantaran beberapa jenis impuls lainnya. Stimulus nyeri dan suhu akan
melewati jaras spinotalamikus lateral, sedangkan sisanya (persepsi raba kasar dan
tekan) melewati jaras spinotalamikus anterior. Jaras ini juga memiliki 3 neuron. Urutan
perjalanannya dimulai dari reseptor perifer bersinaps dengan neuron sensorik pertama
yang melewati dorsal ganglion dan menuju medulla spinalis. Setelah mencapai medulla
spinalis, jaras bersinaps dengan neuron kedua dan kemudian bersilang ke sisi
sebelahnya dan memasuki traktur spinothalamikus bagian anterior atau lateral. Jaras
menaiki medulla spinalis hingga mencapai thalamus dan kemudian bersinaps dengan
neuron ketiga dan kemudian menuju korteks sensorik.

Gambar 8. Traktus Kolumna Dorsalis dan Spinotalamikus Anterolateral

10
1.3 Traktus Spinoserebelaris

Traktus yang ketiga yang mengatur sistem somatosensorik adalah traktus


spinoserebelaris posterior dan anterior. Beberapa impuls aferen yang timbul di organ
sistem muskuloskeletal (otot, tendon dan sendi) berjalan melalui traktus
spinoserebelaris ke organ keseimbangan dan koordinasi, serebelum. Ada dua traktus
pada setiap sisi medulla spinalis, satu di bagian anterior dan satu lagi di bagian
posterior.

Pada traktus spinoserebelaris posterior, neuron primer menghantarkan impuls


dari spindel otot dan organ tendon. Setelah memasuki medulla spinalis, beberapa
serabut kolateral ini langsung membuat sinaps dengan neuron motorik yang besar di
kornu anterius medulla spinalis. Serabut kolateral lain yang muncul setingkat vertebra
torakal, lumbal, dan sakral berakhir di nukleus berbentuk tabung yang terdapat di dasar
kornu posterius setinggi vertebra C8-L2, dan memiliki nama yang bervariasi, antara
lain kolumna sel intermediolateralis, nukleus torasikus, kolumna Clarke, dan nukleus
Stilling. Neuron pasca-sinaps kedua dengan badan sel yang terletak di nukleus ini
merupakan asal traktus spinoserebelaris posterior. Traktus spinoserebelaris posterior
berjalan ke atas di dalam medulla spinalis sisi ipsilateral di bagian posterior funikulus
laterlis dan kemudian berjalan melalui pedunkulus serebelaris inferior ke vermis
cereberi. Serabut aferen yang muncul setingkat servikal berjalan di dalam fasikulus
kuneatus untuk membuat sinaps dengan neuron kedua yang sesuai di nukleus kuneatus
dan kemudian berjalan naik ke serebelum.

Traktus spinoserebelaris anterior memiliki serabut aferen primer yang


memasuki medula spinalis membentuk sinaps dengan neuron funikularis di kornu
posterius dan di bagian sentral substansia grisea medula spinalis. Neuron kedua ini,
yang ditemukan setingkat segmen vertebra lumbalis bawah, merupakan sel asal traktus
spinosereblaris anterior, yang berjalan naik di dalam medula spinalis baik di sisi
ipsilateral maupun kontralateral dan berakhir di serebelum. Kebalikan dengan traktus
spinoserebelaris posterior, traktus ini menyilang di dasar ventrikel ke empat ke otak
tengah dan kemudian berbelok ke arah posterior untuk mencapai vermis cerebeli.

11
Gambar 9. Traktus Spinoserebelaris

2. Traktus Motorik Medulla Spinalis

2.1 Traktus Kortikospinalis (traktus piramidalis)

Traktus ini berasal dari korteks motorik dan berjalan melalui substansia alba serebri
(korona radiata), krus posterius kapsula interna, bagian sentral pedunkulus serebri,
ponsm dan basal medula. Tempat traktus ini terlihat sebagai penonjolan kecil yang
disebut sebagai piramid. Piramid medula terdapat satu pada masing-masing sisi. Pada
bagian ujung bawah medulla, 80-85% serabut piramidal menyilang ke sisi lain di
dekusasio piramidum. Traktus yang menyilang ini disebut sebagai traktus
kortikospinalis lateralis. Serabut yang tidak menyilang disini berjalan menuruni
medula spinalis di funikulus anterior ipsilateral sebagai traktus kortikospinalis anterior;
serabut ini menyilang lebih di bawah melalui komisura anterior medula spinalis. Pada
tingkat servikal dan torakal, kemungkinan juga terdapat beberapa serabut yang tetap

12
tidak menyilang dan mempersarafi neuron motorik ipsilateral di kornu anterius,
sehingga otot-otot leher dan badan mendapatkan persarafan kortikal bilateral. Pada
akhir jaras, serabut traktus piramidalis bersinaps dengan interneuron, kemudian
menghantarkan impuls ke saraf perifer.

Gambar 10. Traktus Motorik Medulla Spinalis

2.2 Traktus Kortikonuklearis (Traktus Kortikobulbaris)

Beberapa serabut traktus piramidalis membentuk cabang dari massa utama traktus
ketika melewati otak tengah dan kemudian berjalan lebih ke dorsal menuju nuklei
nervi kranialis motorik. Serabut yang mempersarafi nuklei batang otak ini sebagian
menyilang dan sebagian lagi tidak menyilang. Nuklei yang menerima input traktus

13
piramidalis adalah nuklei yang memediasi gerakan volunter otot-otot kranial melalui
nervus kranialis V, nervus kranialis VII, nervus kranialis IX, X, dan XI, serta XII.
Traktus kortikomesensefalikus berjalan bersamaan dengan traktus
kortikonuklearis. Traktus ini memediasi gerakan mata konjugat yang terdiri dari nervus
kranialis III, IV, dan VI.

E. Etiologi4
Menurut Jones & Fix (2009) dan Brunner &Suddart (2001) ada beberapa penyebab
dari spinal cord injury (SCI), antara lain:
1. Trauma tumpul
2. Trauma tusuk
3. Spondilitis ankilosa
4. Artritis reumatoid
5. Abses spinal dan tumor, khususnya limfoma dan mieloma multipel.
6. Kecelakaan lalu lintas/jalan raya
7. Injuri atau jatuh dari ketinggian

F. Patofisiologi
Mekanisme trauma dan stabilitas fraktur

Trauma medula spinalis dapat menyebabkan komosio, kontusio, laserasi, atau


kompresi medula spinalis. Patomekanika lesi medula spinalis berupa rusaknya traktus
pada medula spinalis, baik asenden ataupun desenden. Petekie tersebar pada substansia
grisea, membesar, lalu menyatu dalam waktu satu jam setelah trauma. Selanjutnya
terjadi nekrosis hemoragik dalam 24-36 jam. Pada substansia alba, dapat ditemukan
petekie dalam waktu 3-4 jam setelah trauma. Kelainan serabut mielin dan traktus
panjang menunjukkan adanya kerusakan struktural luas.5,6

Medula spinalis dan radiks dapat rusak melalui 4 mekanisme berikut:

1. Kompresi oleh tulang, ligamen, herniasi diskus intervertebralis, dan hematoma.


Yang paling berat adalah kerusakan akibat kompresi tulang dan kompresi oleh korpus
vertebra yang mengalami dislokasi ke posterior dan trauma hiperekstensi.
2. Regangan jaringan berlebihan. Toleransi medula spinalis terhadap regangan akan
menurun dengan bertambahnya usia.
3. Edema medula spinalis yang timbul segera setelah trauma mengganggu aliran darah
kapiler dan vena.
4. Gangguan sirkulasi atau sistem arteri spinalis anterior dan posterior akibat kompresi
tulang.

14
Mekanisme kerusakan primer

Ada setidaknya 4 mekanisme penyebab kerusakan primer:


(1) gaya impact dan kompresi persisten
(2) gaya impact tanpa kompresi
(3) tarikan medula spinalis
(4) laserasi dan medula spinalis terpotong akibat trauma.

Sel neuron akan rusak dan kekacauan proses intraseluler akan turut berdampak pada
selubung mielin di dekatnya sehingga menipis; transmisi saraf terganggu, baik karena
efek trauma ataupun oleh efek massa akibat pembengkakan daerah sekitar luka.
Kerusakan substansia grisea akan ireversibel pada satu jam pertama setelah trauma,
sementara substansia alba akan mengalami kerusakan pada 72 jam setelah trauma.
Mekanisme kerusakan sekunder

Kerusakan primer merupakan sebuah titik awal terjadinya kerusakan sekunder.


Kerusakan sekunder disebabkan, antara lain, oleh syok neurogenik, proses vaskular,
seperti perdarahan dan iskemia, eksitotoksisitas, lesi sekunder yang dimediasi kalsium,
gangguan elektrolit, kerusakan karena proses imunologi, apoptosis, gangguan pada
mitokondria, dan proses lain.

Proses imunologi pada kerusakan sekunder

Sel glia berfungsi menjaga proses homeostasis melalui regulasi asam amino eksitatorik
dan derajat keasaman (pH). Sel glia menghasilkan berbagai macam growth factor
untuk men- stabilkan kembali jaringan saraf yang rusak, serta sprouting atau
penyebaran ujung saraf; sel glia lain berfungsi menghilangkan debris atau sisa sel
melalui enzim lisosom. Leukosit mempunyai peran bifasik saat trauma, awal- nya
didapatkan predominasi in itrasi neutro l yang melepaskan enzim lisis yang akan
mengeksaserbasi kerusakan sel saraf, sel glia, dan vaskular, tahap berikutnya adalah
proses rekruitmen dan migrasi makrofag yang akan memfagositosis sel rusak.5,6
Proses rekrutmen sel imun pada lokasi trauma dimediasi oleh berbagai golongan
protein, seperti ICAM-1 (intercellular adhesion molecule-1). Protein ini akan
memodulasi infiltrasi neutro l pada lokasi trauma; penggunaan antibodi monoklonal
ICAM-1 pada percobaan dapat mensupresi mieloperoksidase, mengurangi edema
medula spinalis, dan meningkatkan aliran darah medula spinalis. Molekul protein
sejenis yang berfungsi mirip ICAM-1 antara lain P-selektin, sitokin interleukin-1,
interleukin-6, and tumor necrosis factor (TNF), sedangkan interleukin-10 mampu

15
mengurangi TNF yang akan menurunkan juga monosit dan sel imun lain pascatrauma.
Faktor lain yang masih perlu dipahami lebih lanjut adalah aktivasi faktor kappa-B;
faktor nuklear kappa-B merupakan kelompok gen yang meregulasi proses in amasi,
proliferasi, dan kematian sel. Proses modulasi respons imun pada trauma medula
spinalis merupakan sasaran target terapi kerusakan sekunder.

Apoptosis

Apoptosis dicetuskan banyak faktor, seperti sitokin, in amasi, radikal bebas, dan proses
eksitotoksik. Apoptosis mikroglia menyebabkan respons sekunder trauma, apoptosis
oligodendrosit mengakibatkan demielinisasi pascatrauma pada beberapa minggu
berikutnya, apoptosis neuron akan mengakibatkan hilangnya sel saraf. Proses apoptosis
melalui dua jalur, jalur pertama ekstrinsik yang dimediasi oleh ligan Fas dan reseptor
Fas dan inducible nitric oxide synthase (i-NOS) yang diproduksi makrofag, sedangkan
jalur intrinsik lewat aktivasi proenzim kaspase-3 oleh rusaknya mitokondria, sitokrom-
C, dan kaspase-9; studi menggunakan inhibitor kaspase dapat mencegah kematian sel.
Reseptor apoptosis dipengaruhi oleh tumor necrosis factor (TNF). Tumor necrosis
factor meningkat pasca- trauma dan mengaktifkan reseptor Fas di sel saraf, mikroglia,
dan oligodendrosit yang akan mengaktifkan pula beberapa kaspase, seperti kaspase-8
sebagai inducer, kaspase 3 dan 6 sebagai kaspase efektor. Produksi i-NOS
mengaktifkan kaspase dengan cara yang serupa dengan TNF.1

Faktor lain yang berkontribusi pada kerusakan sekunder

Beberapa peptida dan neurotransmiter terlibat pada kerusakan sekunder, antara lain
aktivasi reseptor dan opioid dapat memperlama proses eksitotoksik. Aktivasi
reseptor Kappa dapat berefek eksaserbasi penurunan aliran darah dan menginduksi
eksitotoksisitas. Kadar neurotransmiter tertentu, seperti asetilkolin dan serotonin, juga
akan meningkat dan memiliki efek vasokonstriksi, aktivasi trombosit, serta
peningkatan permeabilitas endotel.1

16
Gambar
1.
Skema

Skema 1. Patofisiologi kematian sel primer dan sekunder pada trauma medulla spinalis

Tulang belakang yang mengalami gangguan trauma dapat menyebabkan


kerusakan pada medulla spinalis, tetapi lesi traumatic pada medulla spinalis tidak
selalu terjadi karena fraktur dan dislokasi. Efek trauma yang tidak langsung
bersangkutan tetapi dapat menimbulkan lesi pada medulla spinalis disebut
whiplash/trauma indirek. Whiplash adalah gerakan dorsofleksi dan anterofleksi
berlebihan dari tulang belakang secara cepat dan mendadak.

Trauma whiplash terjadi pada tulang belakang bagian servikalis bawah


maupun torakalis bawah misalnya pada waktu duduk dikendaraan yang sedang cepat
berjalan kemudian berhenti secara mendadak. Atau pada waktu terjun dari jarak tinggi
menyelam dan masuk air.

G. Epidemiologi

17
Di Amerika Serikat, kasus trauma medulla spinalis mencapai 40 kasus baru per
sejuta penduduk setiap tahunnya atau diperkirakan sekitar 12.000 kasus baru per tahun.
Sampai tahun 2010 diperkirakan terdapat sekitar 183.000-230.000 pasien dengan
trauma medulla spinalis yang masih bertahan hidup di Amerika Serikat.
Trauma medulla spinalis umumnya terjadi pada laki-laki dewasa dengan usia
sekitar 28 tahun. Rasio laki-laki banding perempuan pada kejadian trauma medulla
spinalis ini adalah 4:1 karena resiko yang lebih tinggi terhadap kecelakaan lalu lintas,
kekerasan, jatuh dan cedera yang berhubungan dengan rekreasi.

H. Klasifikasi dan manifestasi klinis


Klasifikasi dari trauma medulla spinalis terbagi atas 2 kategori, yaitu
berdasarkan skala impairment scale, dan berdasarkan tipe/lokasi trauma.

a. Klasifikasi Impairment Scale


Menurut American Spinal Injury Association, trauma medulla spinalis
dikategorikan dalam 5 tingkatan yaitu tingkat A, B, C, D, dan E. Pembagiannya adalah
sebagai berikut :

Grade Tipe Gangguan Medulla Spinalis

A Komplit Tidak ada fungsi motorik dan sensorik sampai


S4-S5

B Inkomplit Fungsi sensorik masih baik tapi motorik


terganggu sampai segmen S4-S5

C Inkomplit Fungsi motorik terganggu dibawah level, tapi


otot-otot motorik utama masih memiliki
kekuatan <3

D Inkomplit Fungsi motorik terganggu dibawah level, otot-


otot motorik utama memiliki kekuatan >=3

E Normal Fungsi motorik dan sensorik normal

18
Tabel 1. Klasifikasi Cedera Spinal Menurut ASIA

b. Klasifikasi Tipe dan Lokasi Trauma


Terdapat beberapa pembagian untuk klasifikasi ini, diantaranya sebagai berikut :
i) Complete spinal cord injury (Grade A)
- Unilevel
- Multilevel

ii) Incomplete spinal cord injury (Grade B, C, D)

Sindroma Kausa Utama Gejala Klinis

Brown-Sequard Trauma tembus, 1. Paresis UMN ipsilateral di bawah lesi dan LMN
Syndrome Kompresi setinggi lesi
2. Gangguan eksteroseptif (nyeri dan suhu)
kontralateral
3. Gangguan proprioseptif (raba dan tekan) ipsilateral
Sindroma Spinalis Cedera yang
1. Paresis LMN setinggi lesi, UMN dibawah lesi
Anterior menyebabkan 2. Dapat disertai disosiasi sensibilitas
HNP pada T4-6 3. Gangguan eksteroseptif, proprioseptif normal
4. Disfungsi spinkter
Sindroma Spinalis Hematomielia, 1. Paresis lengan > tungkai
Sentral Servikal Trauma spinal 2. Gangguan sensorik bervariasi di ujung distal lengan
3. Disosiasi sensibilitas
4. Disfungsi miksi, defekasi, dan seksual
Sindroma Spinalis Trauma, infark 1. Paresis ringan
Posterior arteri 2. Gangguan eksteroseptif punggung, leher, dan
spinalis
posterior bokong
3. Gangguan propioseptif bilateral
Sindroma Konus Trauma lower
1. Gangguan motorik ringan, simetris
Medullaris sacral cord 2. Gangguan sensorik, bilateral, disosiasi sensibilitas
3. Nyeri jarang, relative ringan, simetris, bilateral pada
perineum dan paha
4. Refleks Achilles -, patella +, bulbocavernosus -, anal

19
5. Disfungsi spinkter, ereksi, dan ejakulasi.
Sindroma Kauda Cedera akar
1. Gangguan motorik sedang sampai berat, asimetris
Equina saraf 2. Gangguan sensibilitas, asimetris, tidak ada disosiasi
lumbosakral sensibilitas
3. Nyeri sangat hebat, asimetris
4. Gangguan reflex bervariasi
5. Gangguan spinkter timbul lambat, ringan, jarang
terdapat disfungsi seksual

Tabel 2. Klasifikasi Menurut Tipe dan Lokasi Trauma

20
Gambar 11. Potongan Melintang Medulla Spinalis dengan Sindromanya

I. Komplikasi

Syok neurogenik

Syok neurogenik terjadi karena hipotensi berat dan bradikardia pada cedera servikal
karena penurunan tekanan darah dalam kaitannya dengan TMS (trauma medulla
spinalis) akut. Hipotensi didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik <90 mmHg dalam
posisi terlentang, dan karena volume intravaskular rendah (misalnya: kehilangan darah,
dehidrasi). Karena pengaruh parasimpatis melalui saraf vagus dan hilangnya tonus
simpatis karena gangguan dalam kontrol supraspinal, syok neurogenik terjadi sebagai
akibat dari ketidakseimbangan kontrol otonom. Tergantung pada tingkat keparahan dari
TMS, hipotensi yang berat dan berkepanjangan membutuhkan terapi vasopressive
dapat berlangsung hingga 5 minggu setelah cedera.
Penyakit kardiovaskular

Cedera pada sistem saraf otonom adalah penyebab dari banyak komplikasi
kardiovaskular setelah TMS. Disfungsi kardiovaskular pada pasien dengan cedera
TMS setinggi servikal dan toraks dapat mengancam kehidupan dan dapat
memperburuk gangguan neurologis karena cedera tulang belakang. Pasien memiliki
morbiditas yang lebih tinggi dan kematian sebagai akibat dari disfungsi otonom.
Pada fase akut banyak penyimpangan dari irama jantung dapat terjadi; bradikardia
sinus dan bradiaritmia termasuk irama jantung yang hilang, hipotensi ortostatik,
meningkatnya refleks vasovagal, vasodilatasi dan stasis.
Gangguan otonom umum setelah 4 sampai 5 minggu pasca-cedera adalah disrefleksia
otonom, hipotensi ortostatik, kurangnya refleks kardiovaskular (yang mengatur
tekanan darah, volume darah dan suhu tubuh) dan tidak adanya nyeri jantung.
Perubahan sekunder pada jantung pada pasien dengan tetraplegia, adalah hilangnya
massa otot di ventrikel kiri (karena adaptasi fisiologis untuk mengurangi beban
miokard) dan pseudo infark - kenaikan Troponin dengan atau tanpa perubahan pada
EKG.
Pengaturan suhu

Kontrol suhu abnormal adalah fenomena klinis lain yang terjadi setelah TMS, terutama
pada pasien dengan cedera setinggi servikal. Hal ini terutama disebabkan berkurangnya
masukan sensorik ke pusat-pusat pengaturan suhu dan hilangnya kontrol simpatik dari
suhu dan regulasi keringat di bawah tingkat cedera. Beberapa pasien memiliki
poikilothermia-ketidakmampuan untuk mempertahankan suhu inti konstan terlepas dari
suhu lingkungan. Cedera di atas Th8 sering dikaitkan dengan fluktuasi suhu,
hipotermia dan hipertermia.
Sekresi keringat

21
Kelenjar keringat sebagian besar dipersarafi secara simpatis di bagian atas tubuh dari
Th1 sampai TH5, dan di bagian bawah tubuh dari Th6 sampai L2. Kontrol supraspinal
ekskresi keringat terletak di daerah hipotalamus dan amigdala. Perubahan sekresi
keringat sering terjadi setelah TMS, dan keringat berlebihan (hiperhidrosis), tidak
adanya keringat (anhidrosis) dan berkeringat berkurang (hypohidrosis) mungkin
terjadi.
Keringat berlebihan adalah masalah umum pada orang dengan TMS. Dalam sebagian
besar individu, hiperhidrosis episodik biasanya berhubungan dengan disfungsi otonom
lainnya seperti disrefleksia otonom dan hipotensi ortostatik, atau dengan syringomyelia
pasca-trauma. Kebanyakan gejala umum yang minimal / tidak adanya keringat di
bawah tingkat cedera dan berkeringat banyak atas tingkat cedera. Hal ini disebabkan
peningkatan kompensasi dalam sekresi keringat di atas tingkat cedera akibat hilangnya
stimulasi simpatis di bawah tingkat cedera, yang mengakibatkan berkurangnya
produksi keringat. Berkeringat juga dapat terjadi secara eksklusif di bawah tingkat
cedera. Jenis keringat adalah berkeringat refleks, dan biasanya merupakan gejala dari
respon otonom besar yang terjadi terutama pada Th8-Th10.
Komplikasi pernapasan dan disfagia

Cedera servikal memiliki efek besar pada sistem paru, dan kesulitan pernapasan adalah
salah satu komplikasi utama dan sering menjadi penyebab kematian, baik pada fase
akut dan kronis setelah cedera.
Tromboemboli

Individu dengan TMS memiliki risiko lebih tinggi dari gangguan koagulasi dan stasis
vena akibat aktivitas fisik, perubahan hemostasis dengan aktivitas fibrinolitik
berkurang dan meningkatkan aktivitas faktor VIII. Oleh karena itu cenderung untuk
tromboemboli.
Ulkus dekubitus

Ulkus decubitus adalah komplikasi umum yang mengikuti TMS. Ulkus dekubitus
adalah komplikasi yang paling umum dan jangka panjang dari TMS. Pengawasan teliti
dalam fase akut dan dalam ruang perawatan untuk mencegah ulkus decubitus sangat
penting.
Komplikasi pada kandung kemih

TMS mengganggu kontrol kandung kemih. Segera setelah TMS, kandung kemih dan
sfingter sering hipotonik. Pada fase kronis disfungsi kandung kemih diklasifikasikan
baik sebagai sindrom neuron motorik atas maupun bawah.
Sindrom upper motor neuron (refleks kandung kemih) melibatkan hilangnya hambatan
kortikal dari busur refleks sakral karena gangguan traktus spinalis desenden, mengarah
ke hiperaktivitas detrusor sering dikombinasikan dengan disinergisnya sfingter
detrusor. Penghambatan refleks peregangan oleh pusat penyimpanan pontine
dihapuskan. Sejumlah kecil dari stretch akan memberikan kontraksi dinding kandung
kemih, uretra sfingter eksternal tidak memiliki kontrol sukarela, sehingga berulang,
berkemih spontan.
Komplikasi pada usus

22
Gejala yang paling sering adalah obstipasi, distensi dan nyeri perut. Gejala lainnya
adalah pendarahan anus, wasir, inkontinensia dan disrefleksia otonom. Syok spinal
menyebabkan hilangnya semua kegiatan usus, di bawah tingkat cedera, termasuk
fungsi otonom dan refleks.
Masalah psikologis

Segera setelah SCI, kebanyakan pasien terfokus pada perbaikan fisik. Namun, ketika
mereka berhasil menerima cedera mereka, berurusan dengan seksualitas merupakan
langkah penting dalam proses rehabilitasi fisik dan psikologis.
Banyak pasien dengan SCI mengalami stres psikologis. Pasien dengan kesehatan
mental yang baik biasanya mampu mengatasi stres, tetapi respon pasien dipengaruhi
oleh penyebab dan luasnya cedera, dan keadaan kehidupan pasien saat mengalami
cedera. Untuk mencegah atau meminimalkan masalah intervensi fisik, farmakologis
atau psikologis harus tersedia. Jika memungkinkan pasien harus memiliki akses ke
psikoterapi dan pengobatan farmakologis selama rehabilitasi mereka.
Cedera asosiasi

Banyak pasien dengan TMS telah dikaitkan cedera ke bagian tubuh lainnya serta
sistem organ, yang dapat secara negatif mempengaruhi hasil rehabilitasi. Cedera yang
paling sering dikaitkan termasuk fraktur ekstremitas (29,3%), kehilangan kesadaran
(28,2%), pneumohemothorax (17,8%), dan cedera otak traumatis mempengaruhi fungsi
kognitif atau emosional.
J. Penatalaksanaan Gawat Darurat
a) Evaluasi
Fase evaluasi meliputi observasi primer dan sekunder. Observasi primer terdiri atas:
A: Airway maintenance dengan kontrol pada vertebra spinal
B: Breathing dan ventilasi
C: Circulation dengan kontrol perdarahan
D: Disabilitas (status neurologis)
E: Exposure/environmental control

Klasifikasi trauma medula spinalis komplet atau inkomplet serta level trauma dapat
diketahui melalui pemeriksaan motorik dan sensorik. Pemeriksaan motorik dilakukan
secara cepat dengan meminta pasien menggenggam tangan pemeriksa dan melakukan
dorsofleksi. Fungsi autonom dinilai dengan melihat ada tidaknya retensi urin,
priapismus, atau hilang tidaknya tonus sfingter ani. Temperatur kulit yang hangat dan
adanya flushing menunjukkan hilangnya tonus vaskuler simpatis di bawah level trauma.

b) Stabilisasi vertebra

23
Instabilitas vertebra berisiko merusak saraf. Vertebra servikal dapat diimobilisasi
sementara menggunakan hard cervical collar dan meletakkan bantal pasir pada kedua
sisikepala. Bila terdapat abnormalitas struktur vertebra, tujuan penatalaksanaan adalah
realignment dan fiksasi segmen bersangkutan.Indikasi operasi meliputi fraktur tidak
stabil, fraktur yang tidak dapat direduksi dengan traksi, gross spinal misalignment,
kompresi medula spinalis pada trauma inkomplet, penurunan status neurologis, dan
instabilitas menetap pada manajemen konservatif.

c) Terapi kerusakan primer


Trauma medula spinalis paling sering menimbulkan syok neurogenik yang
berhubungan dengan beratnya trauma dan level kerusakan yang terjadi. Pada awalnya,
akan terjadi peningkatan tekanan darah, detak jantung serta nadi, dan kadar
katekolamin yang tinggi, diikuti oleh hipotensi serta bradikardia. Terapi lebih ditujukan
untuk mencegah hipoperfusi sistemik yang akan memperparah kerusakan medula
spinalis menggunakan vasopresor; namun, penggunaan vasopresor ini harus diimbangi
dengan pemantauan status cairan karena penggunaan vasopresor yang berlebihan justru
akan membuat vasokonstriksi perifer yang akan menurunkan aliran darah ke perifer.

Terapi kerusakan sekunder merupakan sasaran terapi berikutnya karena hal ini akan
memperburuk keluaran (outcome) apabila tidak dilakukan intervensi farmakologis
yang tepat mengingat patofisiologi yang sangat variatif.

d) Terapi kerusakan sekunder


Merupakan sasaran terapi berikutnya karenahal ini akan memperburuk keluaran
(outcome) apabila tidak dilakukan intervensi farmakologis yang tepat mengingat
patofisiologi yang sangat variatif.

Kortikosteroid
Steroid berfungsi menstabilkan membran, menghambat oksidasi lipid, mensupresi
edema vasogenik dengan memperbaiki sawar darah medula spinalis, menghambat
pelepasan endorfin dari hipofisis, dan menghambat respons radang. Penggunaannya
dimulai tahun 1960 sebagai antiinflamasi dan antiedema. Metilprednisolon menjadi
pilihan dibanding steroid lain karena kadar antioksidannya, dapat menembus
membrane sel saraf lebih cepat, lebih efektif menetralkan faktor komplemen yang
beredar, inhibisi peroksidasi lipid, prevensi iskemia pascatrauma, inhibisi degradasi

24
neurofi lamen, menetralkan penumpukan ion kalsium, serta inhibisi prostaglandin dan
tromboksan. Studi NASCIS I (The National Acute Spinal Cord Injury Study)
menyarankan dosis tinggi sebesar 30 mg/kgBB sebagai pencegahan peroksidasi lipid,
diberikan sesegera mungkin setelah trauma karena distribusi metilprednisolon akan
terhalang oleh kerusakan pembuluh darah medula spinalis pada mekanisme kerusakan
sekunder. Penelitian NASCIS II membandingkan metilprednisolon dosis 30 mg/kgBB
bolus IV selama 15 menit dilanjutkan dengan 5,4mg/kgBB/jam secara infus selama 23
jam berikutnya dengan nalokson (antireseptor opioid) 5,4 mg/kgBB bolus IV,
dilanjutkan dengan 4 mg/kgBB/ jam secara infus selama 23 jam. Hasilnya,
metilprednisolon lebih baik dan dapat digunakan sampai jeda 8 jam pascatrauma. Pada
NASCIS III, metilprednisolon dosis yang sama diberikan secara infus sampai 48 jam
ternyata memberikan keluaran lebih baik dibanding pemberian 24 jam. Selain itu,
dicoba pula tirilazad mesilat (TM), yakni inhibitor peroksidasi lipid nonglukokortikoid,
dan ternyata tidak lebih baik disbanding metilprednisolon. Terapi ini masih
kontroversial; studi terbaru mengatakan belum ada studi kelas 1 dan 2 yang mendasari
terapi ini, serta ditemukan efek samping berupa perdarahan lambung, infeksi, sepsis,
meningkatkan lama perawatan di intensive care unit (ICU), dan kematian.

Thyrotropin-Releasing Hormone (TRH) dan Analog TRH


Thyrotropin-releasing hormone (TRH) adalah tripeptida yang mempunyai fungsi
melawan faktor-faktor pengganggu, seperti opioid endogen, platelet activating factor,
peptidoleukotrien, dan asam amino eksitatorik, sehingga akan menguatkan aliran darah
spinalis, memperbaiki keseimbangan elektrolit dan mencegah degradasi lipid.
Pemberian thyrotropin-releasing hormone intravena bolus 0,2 mg/kgBB diikuti 0,2
mg/kgBB/jam infus sampai 6 jam, dikatakan memberikan hasil baik, terutama
perbaikan motorik dan sensorik sampai 4 bulan setelah trauma.

Penyekat Kanal Kalsium


Peranan kalsium pada kematian sel melalui mekanisme efek neurotoksik, vasospasme
arteri, blokade kanal natrium serta NMDA dan AMPA; obat yang dipakai adalah
nimodipin, golongan lainnya adalah benzamil dan bepridil merupakan antagonis ion
kalsium dan natrium. Nimodipin adalah golongan penyekat kanal kalsium
dihidropiridin, sering dipakai pada kasus stroke, memiliki fungsi blokade kanal ion
kalsium sehingga mencegah akumulasi ion kalsium intrasel terutama pada dinding sel

25
endotel pembuluh darah, oleh karena itu dianggap dapat mencegah vasospasme dan
iskemi post trauma, dibuktikan dengan efeknya pada aliran darah di percobaan
laboratorium; namun klinis masih belum terbukti mampu meningkatkan keluaran pasca
trauma karena diduga ada keterlibatan kanal ion lain. Influks kalsium terjadi dalam
hitungan detik pascatrauma sehingga jendela terapeutiknya sempit; beberapa studi
menunjukkan bahwa peningkatan dosis justru malah memperjelek aliran darah regional
menyebabkan hipoperfusi dan iskemia. Karena itu, dosis terapeutiknya juga sempit dan
penggunaannya selektif.

K. Prognosis
Pasien dengan trauma medulla spinalis komplit mempunyai peluang sembuh
sekitar kurang dari 5 %. Jika paralisis bertahan lebih dari 72 jam setelah trauma maka
kesempatan untuk smebuh menjadi 0 %. Prognosis trauma tulang belakang inkomplit
lebih baik. Jika fungsi sensoris masih ada, peluang pasien untuk dapat berjalan kembali
> 50 %.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Cedera medula spinalis merupakan salah satu penyebab utama disabilitas neurologis
akibat trauma. Penyebab paling sering untuk terjadinya trauma medulla spinalis adalah
karena kecelakaan lalu lintas, dan lain-lain. Trauma medulla spinalis sendiri
diklasifikasikan menjadi trauma medulla spinalis komplit dan trauma medulla spinalis
inkomplit.

Gejala yang paling sering pada trauma medulla spinalis adalah, nyeri akut pada
belakang leher, paraplegia, paralisis sensorik motorik total, kehilangan kontrol
kandung kemih (retensi urine, distensi kandung kemih)m penurunan keringat dan tonus
vasomotor, penurunan fungsi pernapasan, gagal nafas.

26
Terapi cedera medula spinalis terutama ditujukan untuk meningkatkan dan
mempertahankan fungsi sensoris dan motoris. Terapi operatif kurang dianjurkan
kecuali jika pasien memiliki indikasi untuk dilakukannya operasi.

Cedera medula spinalis tidak komplit cenderung memiliki prognosis yang lebih baik
daripada trauma medulla spinalis komplit.

27
DAFTAR PUSTAKA
1. David WC,Michael GF.Spinal cord injury a systematic review of current
treatment options.Clin Orthop Relat Res. 2010;469:73241.
2. Lumbantobing, S.M., 2014. Neurologi klinik : Pemeriksaan fisik dan
mental. Jakarta: Balai penerbit FKUI.
3. Duus,Peter,2015;DiagnosisTopicNeurologiDUUS;edisi4,Goettingenand
Freiburg,Germany.

4. Ball PA.Critical care of spinal cord injury. Spine. 2001;26:S27S30.


5. Randall JD. Acute spinal cord injury, part I&II: pathophysiologic mechanisms,
clinical neuropharmacology.Clin. Neuropharmacol. 2001;24:25464.

6. James SH,Sharan A,Ratli J. Central cord injury: pathophysiology, management,


and outcomes. The Spine Journal. 2006;6:198S206S.

7. Ellen-Hegen,Acute Complication of Spinal Cord Injuries. World journal of


orthopedics . 6(1): 1723.

8. Gondowardaja Y, Purwata TE, Trauma Medula Spinalis: Patobiologi dan Tata


Laksana Medikamentosa. Staf Pengajar Bagian/SMF Neurologi Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah.

9. Wahjoepramono EJ. Medula spinalis dan tulang belakang. Jakarta: Suburmitra


Grafi stama; 2007.

10. Gall A, Stokes LT.Chronic spinal cord injury: management of patients in acute
hospital settings.Clin Med. 2008;8:704.

11. James SH,Sharan A,Ratliff J. Central cord injury: pathophysiology,


management, and outcomes. The Spine Journal. 2006;6:198S206S.

12. Kanellopoulos GK. White matter injury in spinal cord ischemia: protection by
AMPA/kainate glutamate receptor antagonism. American Heart Association.
2000;31:194552.

13. Green B. Spinal cord injury, a system approach: prevention, emergency medical
service and emergency room management. Crit Care Clin. 2007;3:471-93.
14. Holtz A,Levi R.Spinal cord injury.New York: Oxford University Press; 2010.
15. Janneke A. Complication following spinal cord injury: occurrence and risk
factors in a longitudinal study during and after inpatient rehabilitation. J
Rehabil Med. 2007;39:3938.
16. James SH,Sharan A,Ratliff J. Central cord injury: pathophysiology,
management, and outcomes. The Spine Journal. 2006;6:198S206S.
17. Kanellopoulos GK. White matter injury in spinal cord ischemia: protection by
AMPA/kainate glutamate receptor antagonism. American Heart Association.
2000;31:194552.
18. Rimel RW. An educational training program for the care at the site of injury of
trauma to central nervous system. 2001;9:238.

28
29

Anda mungkin juga menyukai