BAB I
PENDAHULUAN
Cedera medulla spinalis akibat trauma tulang belakang merupakan salah satu
cidera yang memberikan siknifikan besar dalam kehidupan manusia, yakni dalam hal
mordibitas maupun mortalitas, perubahan aktifitas sehari-hari, dan biaya yang harus di
tanggung oleh pasien, keluarga, dan masyarakat. Tingkat mortalitas yang tinggi pada
cidera spinalis umumnya terjadi pada saat kondisi kecelakaan awal, sedangkan tingkat
mortalitas pada pasien yang masih hidup lalu dilarikan ke rumah sakit adalah 16%.
Pasien dengan cidera medulla spinallis memerlukan penyesuaian beberapa aspek,
antara lain masalah morbilitas yang terbatas, psikologis, urologis, pernafasan, kulit,
disfungsi seksual, dan ketidak mampuan untuk bekerja.1
Cedera medulla spinalis pertama kali tercatat dalam sejarah sekitar 1700 SM
pada papyrus Edwin Smith. Dan penyebab trauma medulla spinalis tersering adalah
kecelakaan lalu lintas (50%), jatuh (25%), cidera yang berhubungan denga olahraga
(10%) selain itu juga terdapat pada kekerasan dan kecelakaan kerja.
BAB II
PEMBAHASAN
1
Medula spinalis adalah suatu kumpulan jaringan syaraf yang panjang, tipis dan
berbentuk tubular, terletak di dalam kolumna vertebra dan membujur mulai dari otak
(bagian medulla oblongata). Medulla spinalis bersamaan dengan otak membentuk
susunan syaraf pusat (SSP). Sumsum tulang belakang mulai menjulur dari tulang
oksipital bagian tengkorak, turun ke bawah sepanjang tulang belakang hingga berada
di rongga antara tulang lumbar 1 dan 2. Panjang medulla spinalis berkisar antara 45 cm
pada pria, 43 cm pada wanita. Lebarnya sangat bervariasi mulai dari setengah inci pada
bagian servikal dan lumbar, dan seperempat inci pada bagian torakal. Struktur tulang
belakang sangat beradaptasi untuk melindungi medulla spinalis yang memiliki ukuran
lebih pendek dan kecil.
Fungsi utama dari medulla spinalis adalah mentransmisikan sinyal neural antara
otak dan anggota tubuh lainnya. Sinyal ini dapat bersifat motorik maupun sensorik.
Selain itu juga dapat berfungsi sebagai suatu komponen pusat dari refleks fisiologis.
2
mengandung cairan serebrospinal. (cerebrospinal fluid atau CSF). Piamater adalah
lapisan protektif terdalam, bersifat sangat melekat erat pada permukaan medulla
spinalis. Medulla spinalis disokong oleh jaringan ikat yang disebut ligamen
dentikulatum.
3
Gambar 2. Struktur dari Saraf Perifer Sekitar Medulla Spinalis
4
Gambar 3. Gambaran Dermatom
5
Gambar 4. Potongan Sagittal Vertebra dan Medulla Spinalis
6
Gambar 5. Segmen-Segmen Vertebra
Medulla spinalis selain mendapatkan suplai darah dari tiga arteri besar yang
berjalan secara longitudinal dari otak, juga mendapat dari arteri yang mengalir dari sisi
kolumna spinalis. Ketiga arteri besar tersebut adalah arteri anterior spinalis, arteri
posterior spinalis kiri dan kanan. Arteri-arteri ini berjalan di dalam ruang sub-araknoid
dan bercabang masuk ke dalam medulla spinalis.
7
Gambar 6. Vaskularisasi Medulla Spinalis
Kontribusi utama dari suplai darah pada medulla spinalis di bawah bagian
servikal berasal dari arteri radikular bagian anterior dan posterior. Kedua arteri ini
berjalan berdampingan dengan akar saraf dorsal dan ventral untuk kemudian
memperdarahi sumsum tulang belakang. Arteri radikular merupakan suatu
perpanjangan cabang dari aorta dan tidak berhubungan secara langsung dengan ketiga
arteri longitudinal. Arteri radikular terbesar pada manusia terletak di L1 dan L2,
disebut sebagai arteri anterior radikularis magna. Kelainan aliran darah pada arteri
magna ini, terutama dalam proses pembedahan aneurisma aorta, dapat menyebabkan
infark pada medulla spinalis dan mengakibatkan paraplegia.
Struktur somatosensori medulla spinalis dibagi menjadi 3, yaitu jaras lemniscus bagian
dorsal columna-medial (pengaturan sentuhan/proprioseptif/getaran), jaras
spinoserebelaris anterior posterior, dan sistem spinotalamikkus anterolateral
(pengaturan nyeri/temperatur). Ketiga jaras sensorik ini memiliki 3 neuron yang
8
berbeda untuk bekerja. Neuron-neuron ini terbagi menjadi neuron sensorik primer,
sekunder, dan tersier.
Pada jaras lemniscus bagian dorsal columna medial, akson neuron primernya
memasuki medulla spinalis dan menuju ke bagian dorsal dari kolumna. Akson-akson
pada medulla spinalis dibawah T6 akan memasuki jaras fasciculus grasilis, sebaliknya
bila akson terdapat setinggi T6 atau diatasnya, maka akan memasuki jaras fasciculus
cuneatus yang terletak di bagian lateral fasciculus grasilis.
Akson akan berjalan menuju anterior dan kemudian ke bagian medial setelah
meninggalkan nukleusnya, kumpulan akson yang serupa ini disebut sebagai fiber
internal arkuata. Persilangan jaras ke bagian kontralateral terdapat pada titik ini.
Setelah itu jaras terus naik ke bagian medial lemniskus kontralateral hingga pada
akhirnya berhenti di nukleus ventral posterolateral di bagian thalamus dan bersinaps
dengan neuron tersier. Dari situ neuron tersier naik menuju ke kapsula interna dan
berujung pada korteks sensorik primer. Perlu diingat bahwa jaras ini disebut juga jaras
kolumna posterior dan menghantarkan rasa getar, perubahan posisi, raba dan
diskriminasi.
9
Serebelum menerima input proprioseptif aferen dari semua regio tubuh;
kemudian, output eferen polisinaptiknya mempengaruhi tonus otot dan koordinasi
kerja otot-otot antagonis dan agonis yang berperan saat berdiri, berjalan, dan semua
gerakan lain. Proses ini berjalan tanpa disadari.
10
1.3 Traktus Spinoserebelaris
11
Gambar 9. Traktus Spinoserebelaris
Traktus ini berasal dari korteks motorik dan berjalan melalui substansia alba serebri
(korona radiata), krus posterius kapsula interna, bagian sentral pedunkulus serebri,
ponsm dan basal medula. Tempat traktus ini terlihat sebagai penonjolan kecil yang
disebut sebagai piramid. Piramid medula terdapat satu pada masing-masing sisi. Pada
bagian ujung bawah medulla, 80-85% serabut piramidal menyilang ke sisi lain di
dekusasio piramidum. Traktus yang menyilang ini disebut sebagai traktus
kortikospinalis lateralis. Serabut yang tidak menyilang disini berjalan menuruni
medula spinalis di funikulus anterior ipsilateral sebagai traktus kortikospinalis anterior;
serabut ini menyilang lebih di bawah melalui komisura anterior medula spinalis. Pada
tingkat servikal dan torakal, kemungkinan juga terdapat beberapa serabut yang tetap
12
tidak menyilang dan mempersarafi neuron motorik ipsilateral di kornu anterius,
sehingga otot-otot leher dan badan mendapatkan persarafan kortikal bilateral. Pada
akhir jaras, serabut traktus piramidalis bersinaps dengan interneuron, kemudian
menghantarkan impuls ke saraf perifer.
Beberapa serabut traktus piramidalis membentuk cabang dari massa utama traktus
ketika melewati otak tengah dan kemudian berjalan lebih ke dorsal menuju nuklei
nervi kranialis motorik. Serabut yang mempersarafi nuklei batang otak ini sebagian
menyilang dan sebagian lagi tidak menyilang. Nuklei yang menerima input traktus
13
piramidalis adalah nuklei yang memediasi gerakan volunter otot-otot kranial melalui
nervus kranialis V, nervus kranialis VII, nervus kranialis IX, X, dan XI, serta XII.
Traktus kortikomesensefalikus berjalan bersamaan dengan traktus
kortikonuklearis. Traktus ini memediasi gerakan mata konjugat yang terdiri dari nervus
kranialis III, IV, dan VI.
E. Etiologi4
Menurut Jones & Fix (2009) dan Brunner &Suddart (2001) ada beberapa penyebab
dari spinal cord injury (SCI), antara lain:
1. Trauma tumpul
2. Trauma tusuk
3. Spondilitis ankilosa
4. Artritis reumatoid
5. Abses spinal dan tumor, khususnya limfoma dan mieloma multipel.
6. Kecelakaan lalu lintas/jalan raya
7. Injuri atau jatuh dari ketinggian
F. Patofisiologi
Mekanisme trauma dan stabilitas fraktur
14
Mekanisme kerusakan primer
Sel neuron akan rusak dan kekacauan proses intraseluler akan turut berdampak pada
selubung mielin di dekatnya sehingga menipis; transmisi saraf terganggu, baik karena
efek trauma ataupun oleh efek massa akibat pembengkakan daerah sekitar luka.
Kerusakan substansia grisea akan ireversibel pada satu jam pertama setelah trauma,
sementara substansia alba akan mengalami kerusakan pada 72 jam setelah trauma.
Mekanisme kerusakan sekunder
Sel glia berfungsi menjaga proses homeostasis melalui regulasi asam amino eksitatorik
dan derajat keasaman (pH). Sel glia menghasilkan berbagai macam growth factor
untuk men- stabilkan kembali jaringan saraf yang rusak, serta sprouting atau
penyebaran ujung saraf; sel glia lain berfungsi menghilangkan debris atau sisa sel
melalui enzim lisosom. Leukosit mempunyai peran bifasik saat trauma, awal- nya
didapatkan predominasi in itrasi neutro l yang melepaskan enzim lisis yang akan
mengeksaserbasi kerusakan sel saraf, sel glia, dan vaskular, tahap berikutnya adalah
proses rekruitmen dan migrasi makrofag yang akan memfagositosis sel rusak.5,6
Proses rekrutmen sel imun pada lokasi trauma dimediasi oleh berbagai golongan
protein, seperti ICAM-1 (intercellular adhesion molecule-1). Protein ini akan
memodulasi infiltrasi neutro l pada lokasi trauma; penggunaan antibodi monoklonal
ICAM-1 pada percobaan dapat mensupresi mieloperoksidase, mengurangi edema
medula spinalis, dan meningkatkan aliran darah medula spinalis. Molekul protein
sejenis yang berfungsi mirip ICAM-1 antara lain P-selektin, sitokin interleukin-1,
interleukin-6, and tumor necrosis factor (TNF), sedangkan interleukin-10 mampu
15
mengurangi TNF yang akan menurunkan juga monosit dan sel imun lain pascatrauma.
Faktor lain yang masih perlu dipahami lebih lanjut adalah aktivasi faktor kappa-B;
faktor nuklear kappa-B merupakan kelompok gen yang meregulasi proses in amasi,
proliferasi, dan kematian sel. Proses modulasi respons imun pada trauma medula
spinalis merupakan sasaran target terapi kerusakan sekunder.
Apoptosis
Apoptosis dicetuskan banyak faktor, seperti sitokin, in amasi, radikal bebas, dan proses
eksitotoksik. Apoptosis mikroglia menyebabkan respons sekunder trauma, apoptosis
oligodendrosit mengakibatkan demielinisasi pascatrauma pada beberapa minggu
berikutnya, apoptosis neuron akan mengakibatkan hilangnya sel saraf. Proses apoptosis
melalui dua jalur, jalur pertama ekstrinsik yang dimediasi oleh ligan Fas dan reseptor
Fas dan inducible nitric oxide synthase (i-NOS) yang diproduksi makrofag, sedangkan
jalur intrinsik lewat aktivasi proenzim kaspase-3 oleh rusaknya mitokondria, sitokrom-
C, dan kaspase-9; studi menggunakan inhibitor kaspase dapat mencegah kematian sel.
Reseptor apoptosis dipengaruhi oleh tumor necrosis factor (TNF). Tumor necrosis
factor meningkat pasca- trauma dan mengaktifkan reseptor Fas di sel saraf, mikroglia,
dan oligodendrosit yang akan mengaktifkan pula beberapa kaspase, seperti kaspase-8
sebagai inducer, kaspase 3 dan 6 sebagai kaspase efektor. Produksi i-NOS
mengaktifkan kaspase dengan cara yang serupa dengan TNF.1
Beberapa peptida dan neurotransmiter terlibat pada kerusakan sekunder, antara lain
aktivasi reseptor dan opioid dapat memperlama proses eksitotoksik. Aktivasi
reseptor Kappa dapat berefek eksaserbasi penurunan aliran darah dan menginduksi
eksitotoksisitas. Kadar neurotransmiter tertentu, seperti asetilkolin dan serotonin, juga
akan meningkat dan memiliki efek vasokonstriksi, aktivasi trombosit, serta
peningkatan permeabilitas endotel.1
16
Gambar
1.
Skema
Skema 1. Patofisiologi kematian sel primer dan sekunder pada trauma medulla spinalis
G. Epidemiologi
17
Di Amerika Serikat, kasus trauma medulla spinalis mencapai 40 kasus baru per
sejuta penduduk setiap tahunnya atau diperkirakan sekitar 12.000 kasus baru per tahun.
Sampai tahun 2010 diperkirakan terdapat sekitar 183.000-230.000 pasien dengan
trauma medulla spinalis yang masih bertahan hidup di Amerika Serikat.
Trauma medulla spinalis umumnya terjadi pada laki-laki dewasa dengan usia
sekitar 28 tahun. Rasio laki-laki banding perempuan pada kejadian trauma medulla
spinalis ini adalah 4:1 karena resiko yang lebih tinggi terhadap kecelakaan lalu lintas,
kekerasan, jatuh dan cedera yang berhubungan dengan rekreasi.
18
Tabel 1. Klasifikasi Cedera Spinal Menurut ASIA
Brown-Sequard Trauma tembus, 1. Paresis UMN ipsilateral di bawah lesi dan LMN
Syndrome Kompresi setinggi lesi
2. Gangguan eksteroseptif (nyeri dan suhu)
kontralateral
3. Gangguan proprioseptif (raba dan tekan) ipsilateral
Sindroma Spinalis Cedera yang
1. Paresis LMN setinggi lesi, UMN dibawah lesi
Anterior menyebabkan 2. Dapat disertai disosiasi sensibilitas
HNP pada T4-6 3. Gangguan eksteroseptif, proprioseptif normal
4. Disfungsi spinkter
Sindroma Spinalis Hematomielia, 1. Paresis lengan > tungkai
Sentral Servikal Trauma spinal 2. Gangguan sensorik bervariasi di ujung distal lengan
3. Disosiasi sensibilitas
4. Disfungsi miksi, defekasi, dan seksual
Sindroma Spinalis Trauma, infark 1. Paresis ringan
Posterior arteri 2. Gangguan eksteroseptif punggung, leher, dan
spinalis
posterior bokong
3. Gangguan propioseptif bilateral
Sindroma Konus Trauma lower
1. Gangguan motorik ringan, simetris
Medullaris sacral cord 2. Gangguan sensorik, bilateral, disosiasi sensibilitas
3. Nyeri jarang, relative ringan, simetris, bilateral pada
perineum dan paha
4. Refleks Achilles -, patella +, bulbocavernosus -, anal
19
5. Disfungsi spinkter, ereksi, dan ejakulasi.
Sindroma Kauda Cedera akar
1. Gangguan motorik sedang sampai berat, asimetris
Equina saraf 2. Gangguan sensibilitas, asimetris, tidak ada disosiasi
lumbosakral sensibilitas
3. Nyeri sangat hebat, asimetris
4. Gangguan reflex bervariasi
5. Gangguan spinkter timbul lambat, ringan, jarang
terdapat disfungsi seksual
20
Gambar 11. Potongan Melintang Medulla Spinalis dengan Sindromanya
I. Komplikasi
Syok neurogenik
Syok neurogenik terjadi karena hipotensi berat dan bradikardia pada cedera servikal
karena penurunan tekanan darah dalam kaitannya dengan TMS (trauma medulla
spinalis) akut. Hipotensi didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik <90 mmHg dalam
posisi terlentang, dan karena volume intravaskular rendah (misalnya: kehilangan darah,
dehidrasi). Karena pengaruh parasimpatis melalui saraf vagus dan hilangnya tonus
simpatis karena gangguan dalam kontrol supraspinal, syok neurogenik terjadi sebagai
akibat dari ketidakseimbangan kontrol otonom. Tergantung pada tingkat keparahan dari
TMS, hipotensi yang berat dan berkepanjangan membutuhkan terapi vasopressive
dapat berlangsung hingga 5 minggu setelah cedera.
Penyakit kardiovaskular
Cedera pada sistem saraf otonom adalah penyebab dari banyak komplikasi
kardiovaskular setelah TMS. Disfungsi kardiovaskular pada pasien dengan cedera
TMS setinggi servikal dan toraks dapat mengancam kehidupan dan dapat
memperburuk gangguan neurologis karena cedera tulang belakang. Pasien memiliki
morbiditas yang lebih tinggi dan kematian sebagai akibat dari disfungsi otonom.
Pada fase akut banyak penyimpangan dari irama jantung dapat terjadi; bradikardia
sinus dan bradiaritmia termasuk irama jantung yang hilang, hipotensi ortostatik,
meningkatnya refleks vasovagal, vasodilatasi dan stasis.
Gangguan otonom umum setelah 4 sampai 5 minggu pasca-cedera adalah disrefleksia
otonom, hipotensi ortostatik, kurangnya refleks kardiovaskular (yang mengatur
tekanan darah, volume darah dan suhu tubuh) dan tidak adanya nyeri jantung.
Perubahan sekunder pada jantung pada pasien dengan tetraplegia, adalah hilangnya
massa otot di ventrikel kiri (karena adaptasi fisiologis untuk mengurangi beban
miokard) dan pseudo infark - kenaikan Troponin dengan atau tanpa perubahan pada
EKG.
Pengaturan suhu
Kontrol suhu abnormal adalah fenomena klinis lain yang terjadi setelah TMS, terutama
pada pasien dengan cedera setinggi servikal. Hal ini terutama disebabkan berkurangnya
masukan sensorik ke pusat-pusat pengaturan suhu dan hilangnya kontrol simpatik dari
suhu dan regulasi keringat di bawah tingkat cedera. Beberapa pasien memiliki
poikilothermia-ketidakmampuan untuk mempertahankan suhu inti konstan terlepas dari
suhu lingkungan. Cedera di atas Th8 sering dikaitkan dengan fluktuasi suhu,
hipotermia dan hipertermia.
Sekresi keringat
21
Kelenjar keringat sebagian besar dipersarafi secara simpatis di bagian atas tubuh dari
Th1 sampai TH5, dan di bagian bawah tubuh dari Th6 sampai L2. Kontrol supraspinal
ekskresi keringat terletak di daerah hipotalamus dan amigdala. Perubahan sekresi
keringat sering terjadi setelah TMS, dan keringat berlebihan (hiperhidrosis), tidak
adanya keringat (anhidrosis) dan berkeringat berkurang (hypohidrosis) mungkin
terjadi.
Keringat berlebihan adalah masalah umum pada orang dengan TMS. Dalam sebagian
besar individu, hiperhidrosis episodik biasanya berhubungan dengan disfungsi otonom
lainnya seperti disrefleksia otonom dan hipotensi ortostatik, atau dengan syringomyelia
pasca-trauma. Kebanyakan gejala umum yang minimal / tidak adanya keringat di
bawah tingkat cedera dan berkeringat banyak atas tingkat cedera. Hal ini disebabkan
peningkatan kompensasi dalam sekresi keringat di atas tingkat cedera akibat hilangnya
stimulasi simpatis di bawah tingkat cedera, yang mengakibatkan berkurangnya
produksi keringat. Berkeringat juga dapat terjadi secara eksklusif di bawah tingkat
cedera. Jenis keringat adalah berkeringat refleks, dan biasanya merupakan gejala dari
respon otonom besar yang terjadi terutama pada Th8-Th10.
Komplikasi pernapasan dan disfagia
Cedera servikal memiliki efek besar pada sistem paru, dan kesulitan pernapasan adalah
salah satu komplikasi utama dan sering menjadi penyebab kematian, baik pada fase
akut dan kronis setelah cedera.
Tromboemboli
Individu dengan TMS memiliki risiko lebih tinggi dari gangguan koagulasi dan stasis
vena akibat aktivitas fisik, perubahan hemostasis dengan aktivitas fibrinolitik
berkurang dan meningkatkan aktivitas faktor VIII. Oleh karena itu cenderung untuk
tromboemboli.
Ulkus dekubitus
Ulkus decubitus adalah komplikasi umum yang mengikuti TMS. Ulkus dekubitus
adalah komplikasi yang paling umum dan jangka panjang dari TMS. Pengawasan teliti
dalam fase akut dan dalam ruang perawatan untuk mencegah ulkus decubitus sangat
penting.
Komplikasi pada kandung kemih
TMS mengganggu kontrol kandung kemih. Segera setelah TMS, kandung kemih dan
sfingter sering hipotonik. Pada fase kronis disfungsi kandung kemih diklasifikasikan
baik sebagai sindrom neuron motorik atas maupun bawah.
Sindrom upper motor neuron (refleks kandung kemih) melibatkan hilangnya hambatan
kortikal dari busur refleks sakral karena gangguan traktus spinalis desenden, mengarah
ke hiperaktivitas detrusor sering dikombinasikan dengan disinergisnya sfingter
detrusor. Penghambatan refleks peregangan oleh pusat penyimpanan pontine
dihapuskan. Sejumlah kecil dari stretch akan memberikan kontraksi dinding kandung
kemih, uretra sfingter eksternal tidak memiliki kontrol sukarela, sehingga berulang,
berkemih spontan.
Komplikasi pada usus
22
Gejala yang paling sering adalah obstipasi, distensi dan nyeri perut. Gejala lainnya
adalah pendarahan anus, wasir, inkontinensia dan disrefleksia otonom. Syok spinal
menyebabkan hilangnya semua kegiatan usus, di bawah tingkat cedera, termasuk
fungsi otonom dan refleks.
Masalah psikologis
Segera setelah SCI, kebanyakan pasien terfokus pada perbaikan fisik. Namun, ketika
mereka berhasil menerima cedera mereka, berurusan dengan seksualitas merupakan
langkah penting dalam proses rehabilitasi fisik dan psikologis.
Banyak pasien dengan SCI mengalami stres psikologis. Pasien dengan kesehatan
mental yang baik biasanya mampu mengatasi stres, tetapi respon pasien dipengaruhi
oleh penyebab dan luasnya cedera, dan keadaan kehidupan pasien saat mengalami
cedera. Untuk mencegah atau meminimalkan masalah intervensi fisik, farmakologis
atau psikologis harus tersedia. Jika memungkinkan pasien harus memiliki akses ke
psikoterapi dan pengobatan farmakologis selama rehabilitasi mereka.
Cedera asosiasi
Banyak pasien dengan TMS telah dikaitkan cedera ke bagian tubuh lainnya serta
sistem organ, yang dapat secara negatif mempengaruhi hasil rehabilitasi. Cedera yang
paling sering dikaitkan termasuk fraktur ekstremitas (29,3%), kehilangan kesadaran
(28,2%), pneumohemothorax (17,8%), dan cedera otak traumatis mempengaruhi fungsi
kognitif atau emosional.
J. Penatalaksanaan Gawat Darurat
a) Evaluasi
Fase evaluasi meliputi observasi primer dan sekunder. Observasi primer terdiri atas:
A: Airway maintenance dengan kontrol pada vertebra spinal
B: Breathing dan ventilasi
C: Circulation dengan kontrol perdarahan
D: Disabilitas (status neurologis)
E: Exposure/environmental control
Klasifikasi trauma medula spinalis komplet atau inkomplet serta level trauma dapat
diketahui melalui pemeriksaan motorik dan sensorik. Pemeriksaan motorik dilakukan
secara cepat dengan meminta pasien menggenggam tangan pemeriksa dan melakukan
dorsofleksi. Fungsi autonom dinilai dengan melihat ada tidaknya retensi urin,
priapismus, atau hilang tidaknya tonus sfingter ani. Temperatur kulit yang hangat dan
adanya flushing menunjukkan hilangnya tonus vaskuler simpatis di bawah level trauma.
b) Stabilisasi vertebra
23
Instabilitas vertebra berisiko merusak saraf. Vertebra servikal dapat diimobilisasi
sementara menggunakan hard cervical collar dan meletakkan bantal pasir pada kedua
sisikepala. Bila terdapat abnormalitas struktur vertebra, tujuan penatalaksanaan adalah
realignment dan fiksasi segmen bersangkutan.Indikasi operasi meliputi fraktur tidak
stabil, fraktur yang tidak dapat direduksi dengan traksi, gross spinal misalignment,
kompresi medula spinalis pada trauma inkomplet, penurunan status neurologis, dan
instabilitas menetap pada manajemen konservatif.
Terapi kerusakan sekunder merupakan sasaran terapi berikutnya karena hal ini akan
memperburuk keluaran (outcome) apabila tidak dilakukan intervensi farmakologis
yang tepat mengingat patofisiologi yang sangat variatif.
Kortikosteroid
Steroid berfungsi menstabilkan membran, menghambat oksidasi lipid, mensupresi
edema vasogenik dengan memperbaiki sawar darah medula spinalis, menghambat
pelepasan endorfin dari hipofisis, dan menghambat respons radang. Penggunaannya
dimulai tahun 1960 sebagai antiinflamasi dan antiedema. Metilprednisolon menjadi
pilihan dibanding steroid lain karena kadar antioksidannya, dapat menembus
membrane sel saraf lebih cepat, lebih efektif menetralkan faktor komplemen yang
beredar, inhibisi peroksidasi lipid, prevensi iskemia pascatrauma, inhibisi degradasi
24
neurofi lamen, menetralkan penumpukan ion kalsium, serta inhibisi prostaglandin dan
tromboksan. Studi NASCIS I (The National Acute Spinal Cord Injury Study)
menyarankan dosis tinggi sebesar 30 mg/kgBB sebagai pencegahan peroksidasi lipid,
diberikan sesegera mungkin setelah trauma karena distribusi metilprednisolon akan
terhalang oleh kerusakan pembuluh darah medula spinalis pada mekanisme kerusakan
sekunder. Penelitian NASCIS II membandingkan metilprednisolon dosis 30 mg/kgBB
bolus IV selama 15 menit dilanjutkan dengan 5,4mg/kgBB/jam secara infus selama 23
jam berikutnya dengan nalokson (antireseptor opioid) 5,4 mg/kgBB bolus IV,
dilanjutkan dengan 4 mg/kgBB/ jam secara infus selama 23 jam. Hasilnya,
metilprednisolon lebih baik dan dapat digunakan sampai jeda 8 jam pascatrauma. Pada
NASCIS III, metilprednisolon dosis yang sama diberikan secara infus sampai 48 jam
ternyata memberikan keluaran lebih baik dibanding pemberian 24 jam. Selain itu,
dicoba pula tirilazad mesilat (TM), yakni inhibitor peroksidasi lipid nonglukokortikoid,
dan ternyata tidak lebih baik disbanding metilprednisolon. Terapi ini masih
kontroversial; studi terbaru mengatakan belum ada studi kelas 1 dan 2 yang mendasari
terapi ini, serta ditemukan efek samping berupa perdarahan lambung, infeksi, sepsis,
meningkatkan lama perawatan di intensive care unit (ICU), dan kematian.
25
endotel pembuluh darah, oleh karena itu dianggap dapat mencegah vasospasme dan
iskemi post trauma, dibuktikan dengan efeknya pada aliran darah di percobaan
laboratorium; namun klinis masih belum terbukti mampu meningkatkan keluaran pasca
trauma karena diduga ada keterlibatan kanal ion lain. Influks kalsium terjadi dalam
hitungan detik pascatrauma sehingga jendela terapeutiknya sempit; beberapa studi
menunjukkan bahwa peningkatan dosis justru malah memperjelek aliran darah regional
menyebabkan hipoperfusi dan iskemia. Karena itu, dosis terapeutiknya juga sempit dan
penggunaannya selektif.
K. Prognosis
Pasien dengan trauma medulla spinalis komplit mempunyai peluang sembuh
sekitar kurang dari 5 %. Jika paralisis bertahan lebih dari 72 jam setelah trauma maka
kesempatan untuk smebuh menjadi 0 %. Prognosis trauma tulang belakang inkomplit
lebih baik. Jika fungsi sensoris masih ada, peluang pasien untuk dapat berjalan kembali
> 50 %.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Cedera medula spinalis merupakan salah satu penyebab utama disabilitas neurologis
akibat trauma. Penyebab paling sering untuk terjadinya trauma medulla spinalis adalah
karena kecelakaan lalu lintas, dan lain-lain. Trauma medulla spinalis sendiri
diklasifikasikan menjadi trauma medulla spinalis komplit dan trauma medulla spinalis
inkomplit.
Gejala yang paling sering pada trauma medulla spinalis adalah, nyeri akut pada
belakang leher, paraplegia, paralisis sensorik motorik total, kehilangan kontrol
kandung kemih (retensi urine, distensi kandung kemih)m penurunan keringat dan tonus
vasomotor, penurunan fungsi pernapasan, gagal nafas.
26
Terapi cedera medula spinalis terutama ditujukan untuk meningkatkan dan
mempertahankan fungsi sensoris dan motoris. Terapi operatif kurang dianjurkan
kecuali jika pasien memiliki indikasi untuk dilakukannya operasi.
Cedera medula spinalis tidak komplit cenderung memiliki prognosis yang lebih baik
daripada trauma medulla spinalis komplit.
27
DAFTAR PUSTAKA
1. David WC,Michael GF.Spinal cord injury a systematic review of current
treatment options.Clin Orthop Relat Res. 2010;469:73241.
2. Lumbantobing, S.M., 2014. Neurologi klinik : Pemeriksaan fisik dan
mental. Jakarta: Balai penerbit FKUI.
3. Duus,Peter,2015;DiagnosisTopicNeurologiDUUS;edisi4,Goettingenand
Freiburg,Germany.
10. Gall A, Stokes LT.Chronic spinal cord injury: management of patients in acute
hospital settings.Clin Med. 2008;8:704.
12. Kanellopoulos GK. White matter injury in spinal cord ischemia: protection by
AMPA/kainate glutamate receptor antagonism. American Heart Association.
2000;31:194552.
13. Green B. Spinal cord injury, a system approach: prevention, emergency medical
service and emergency room management. Crit Care Clin. 2007;3:471-93.
14. Holtz A,Levi R.Spinal cord injury.New York: Oxford University Press; 2010.
15. Janneke A. Complication following spinal cord injury: occurrence and risk
factors in a longitudinal study during and after inpatient rehabilitation. J
Rehabil Med. 2007;39:3938.
16. James SH,Sharan A,Ratliff J. Central cord injury: pathophysiology,
management, and outcomes. The Spine Journal. 2006;6:198S206S.
17. Kanellopoulos GK. White matter injury in spinal cord ischemia: protection by
AMPA/kainate glutamate receptor antagonism. American Heart Association.
2000;31:194552.
18. Rimel RW. An educational training program for the care at the site of injury of
trauma to central nervous system. 2001;9:238.
28
29