Anda di halaman 1dari 12

HIGEIA 4 (3) (2020)

HIGEIA JOURNAL OF PUBLIC HEALTH


RESEARCH AND DEVELOPMENT
http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/higeia

Faktor Lingkungan dan Perilaku Pencegahan dengan Kejadian Leptospirosis di


Daerah Endemis

Ragil Andriani1, Dyah Mahendrasari Sukendra1

1
Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Univesitas Negeri Semarang, Indonesia

Info Artikel Abstrak


________________ ___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Puskesmas Bonang I merupakan salah satu puskesmas yang mandapat perhatian karena kasus
Diterima 7 April 2020 leptospirosis. Pada tahun 2018, IR Leptospirosis sebesar 28,17 per 100.000 penduduk. Tujuan
Disetujui 1 Juli 2020 penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan faktor lingkungan dan perilaku pencegahan
Dipublikasikan 22 Juli leptospirosis terhadap kejadian leptospirosis di daerah endemis leptospirosis Puskesmas Bonang I
2020 Kabupaten Demak. Jenis penelitian ini adalah analitik observasional dengan rancangan penelitian
________________ cross sectional. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2019 di wilayah kerja Puskesmas Bonang I.
Keywords: Sampel sebesar 68 rumah dengan teknik pengambilan sampel yaitu cluster sampling. Instrumen yang
Leptospirosis, Environment, digunakan adalah lembar observasi dan lembar kuesioner. Data dianalisis secara bivariat dengan
Preventive Behavior uji chi-square. Hasil penelitian ini menunjukkan jarak rumah dengan selokan (p=0,007), keberadaan
____________________ genangan air (p=0,004), riwayat kegiatan berisiko leptospirosis (p=0,011), jenis pekerjaan
DOI: (p=0,043) berhubungan dengan kejadian leptospirosis. Simpulan dari penelitian ini adalah ada
https://doi.org/10.15294 hubungan antara jarak rumah dengan selokan, keberadaan genangan air, riwayat kegiatan berisiko
/higeia/v4i3/33710 leptospirosis, dan jenis pekerjaan dengan kejadian leptospirosis.
____________________

Abstract
___________________________________________________________________
Primary Health Care Bonang I was one of the primary health care that got attention because of leptospirosis
cases. In 2018 IR leptospirosis amounted to 28.17 per 100,000 population. The aimed of this study was to
determine the association between environmental factors and leptospirosis prevention behavior toward the
incidence of leptospirosis in the endemic area. This research was an observational analytic cross sectional study
design. This research was conducted in July 2019 in Primary Health Care Bonang I. The sample of 68 houses
with the sampling technique was cluster sampling. Data were obtained from questionnaire instrument and
analyzed by chi square test. The results showed that the distance between the house and the sewer (p = 0.013),
the presence of puddle (p = 0.001), history of leptospirosis risky activities (p = 0.011), type of occupation (p =
0.002) were associated with the incidence of leptospirosis. This study concluded that there was association
between the presence of ponds, history of risky activities related to leptospirosis, and type of occupation toward
the incidence of leptospirosis.

© 2020 Universitas Negeri Semarang


Alamat korespondensi:
p ISSN 1475-362846
Gedung F5 Lantai 2 FIK Unnes
Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 e ISSN 1475-222656
E-mail: ragilandriani180497@gmail.com

471
Ragil, A., Dyah, M. S. / Faktor Lingkungan dan / HIGEIA 4 (3) (2020)

PENDAHULUAN Puskesmas. Berdasarkan Profil Kesehatan


Kabupaten Demak, wilayah dengan urutan
Leptospirosis merupakan penyakit angka kesakitan tertinggi di Kabupaten Demak
zoonosis yang termasuk reemerging disease. yaitu Puskesmas Bonang I (IR 28,17) ,
Menurut World Health Organization (WHO), Puskesmas Karangtengah (IR 18,95),
leptospirosis menjadi masalah dunia karena Puskesmas Bonang II (IR 18,65). Wilayah kerja
angka kejadian yang dilaporkan rendah di Puskesmas Bonang I merupakan wilayah
sebagian negara, yaitu kesulitan dalam dengan angka kesakitan yang tidak pernah
membedakan tanda klinis dari penyakit mencapai target nasional (IR ≤ 3 per 100.000
endemik lainnya, asimtomatis dan kurang penduduk) dari tahun 2014-2018. Berdasarkan
tersedia alat diagnosis. Hampir 15-40% data laporan kasus Puskesmas Bonang I, di
penderita terpapar infeksi tapi tidak bergejala tahun 2014 terdapat 5 kasus dengan IR sebesar
(Supraptono, 2011). 8,64 dan CFR 40% ; tahun 2015 terdapat 2
Di Indonesia, terdapat 6 provinsi yang kasus IR 3,45 dan CFR 0% ; tahun 2016
melaporkan adanya kasus leptospirosis, yaitu terdapat 1 kasus dengan IR 3,16 dan CFR 0% ;
DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI tahun 2017 terdapat 6 kasus dengan IR 13 dan
Yogyakarta, Jawa Timur, dan Banten. CFR 16,67% ; dan tahun 2018 terdapat 13 kasus
Peningkatan kasus leptospirosis secara dengan IR 28,17 dan CFR 18,6%.
signifikan terjadi di provinsi Jawa Tengah. Puskesmas Bonang I terletak di
Berdasarkan Profil Kesehatan Jawa Tengah, Kecamatan Bonang, Kabupaten Demak. Secara
tahun 2015 angka kesakitan leptospirosis adalah umum, luas wilayah kerja Puskesmas Bonang I
sebesar 0,43 per 100.000 penduduk, di tahun adalah 42,9 km2 terdiri dari 11 desa. Termasuk
2016 sebesar 0,47 per 100.000 penduduk, tahun dataran rendah dengan ketinggian 0,5-4 mdpl
2017 sebesar 0,92 per 100.000 penduduk , dan di (Profil Puskesmas Bonang I, 2018). Wilayah
tahun 2018 1,24 per 100.000 penduduk. Kasus kerja Puskesmas Bonang I termasuk daerah
leptospirosis di Jawa Tengah tersebar di 21 agraris. Sebagai daerah agraris, sebagian besar
Kabupaten/Kota. Wilayah di Jawa Tengah penduduknya bekerja bercocok tanam. Menurut
dengan urutan lima kasus leptospirosis tinggi Dian (2014) area agricultural seperti sawah,
yaitu Demak (IR 7,91), Klaten (IR 5,38), Kota sungai, semak-semak, dan lingkungan pantai
Semarang (IR 2,25), Pati (IR 1,91), dan memiliki potensi untuk menjadi habitat tikus
Banyumas (IR 1,79). yang memiliki peran dalam penularan
Kabupaten Demak merupakan salah satu leptospirosis.
daerah endemis leptospirosis di Jawa Tengah. Faktor-faktor yang mempengaruhi
Menurut data Dinas Kesehatan Kabupaten terjadinya suatu penyakit yaitu host, agent, dan
Demak, angka kesakitan leptospirosis tahun lingkungan. Penularan penyakit leptospirosis
2014 terdapat 30 kasus dengan Insidence Rate tidak hanya terjadi karena tingginya populasi
(IR) = 2,57 dan 5 kematian dengan Case Fatality tikus (rodent), akan tetapi buruknya sanitasi
Rate (CFR) = 16,67%, tahun 2015 terdapat 12 lingkungan. Menurut Ramadhani (2012) faktor
kasus dengan Insidence Rate (IR) = 1,03 dan 0 lingkungan sangat penting dalam mendukung
kematian, tahun 2016 terdapat 11 kasus dengan penularan leptospirosis. Di daerah endemis,
Insidence Rate (IR) 0,94 dan 5 kematian dengan faktor lingkungan sekitar rumah yang buruk
Case Fatality Rate (CFR) = 45,6%, tahun 2017 dapat meningkatkan ketersediaan makanan,
terdapat 34 kasus dengan Insidence Rate (IR) tempat berlindung, dan berkembang biak tikus
2,92 dan 6 kematian dengan Case Fatality Rate sebagai reservoir leptospirosis (Prihantoro,
(CFR) = 17,6% , dan tahun 2018 terdapat 92 2017). Penelitian yang dilakukan oleh
kasus IR 7,99 dan 24 kematian dengan Case Riyaningsih (2009), faktor lingkungan fisik yang
Fatality Rate (CFR) = 26,08%. Kasus mempengaruhi kejadian leptospirosis antara lain
leptospirosis di Kabupaten Demak tersebar di 24 keberadaan genangan air, dan kebiasaan

472
Ragil, A., Dyah, M. S. / Faktor Lingkungan dan / HIGEIA 4 (3) (2020)

mencuci/mandi di sungai. Adapun penelitian Upaya pengendalian penyakit lepto-


Dian (2014) menyebutkan bahwa keberadaan spirosis yang telah dilakukan di wilayah kerja
sungai, selokan, genangan air, dan jarak rumah Puskesmas Bonang I adalah program penyu-
dengan tempat pembuangan sementara ber- luhan kepada masyarakat, kaporitisasi oleh
hubungan secara bermakna dengan kejadian petugas kesehatan, Penyelidikan Epidemiologi
leptospirosis. Berdasarkan studi pendahuluan, (PE) bila ada kasus, serta pertemuan PFR
diperoleh hasil untuk karakteristik lingkungan (Pengendalian Faktor Risiko) yang merupakan
fisik bahwa 94% responden jarak rumah dengan program inovasi yang bekerja sama dengan
selokan < 2 m, 67% rumah terdapat sampah Dinas Kabupaten Demak. Pertemuan PFR ini
berserakan, adanya sampah di sekitar rumah merupakan program kerjasama lintas sektor
akan menjadi tempat yang disenangi tikus. antara Dinas Kesehatan, Puskesmas, dan Desa
Keberadaan sampah terutama sampah sisa-sisa dalam upaya pengendalian dan pencegahan
makanan yang diletakkan di tempat sampah leptospirosis di seluruh wilayah kerja Puskesmas
yang terbuka akan mengundang kehadiran tikus Bonang I. Keberhasilan program pengendalian
(Rakebsa, 2018). Selain itu, 67% rumah terdapat leptospirosis di Indonesia sangat dipengaruhi
genangan air, menurut Svirčev (2009) genangan oleh peran serta dan kesadaran masyarakat serta
air merupakan faktor risiko leptospirosis sebagai komitmen pemerintah dan sektor-sektor terkait
tempat hidup bakteri leptospira sp. di alam. (Marbawati, 2017).
Berdasarkan karakteristik lingkungan sosial, Tujuan penelitian ini adalah untuk
100% responden memiliki riwayat kegiatan mengetahui hubungan antara faktor lingkungan
sosial berisiko, dan 100% responden memiliki dan perilaku pencegahan terhadap kejadian
pekerjaan berisiko leptospirosis. leptospirosis di Puskesmas Bonang I, Kabupaten
Penyakit leptospirosis merupakan Demak. Perbedaan penelitian ini dengan
penyakit zoonosis yang termasuk reemerging penelitian sebelumnya adalah variabel bebas
disease. Angka kejadian yang dilaporkan di yang membedakan penelitian ini dengan
Puskesmas Bonang I rendah, tetapi penyakit penelitian terdahulu yaitu variabel jarak rumah
leptospirosis masih menjadi masalah kesehatan dengan selokan dalam penelitian ini diukur
masyarakat, untuk itu tindakan pencegahan dan menggunakan kriteria aktivitas bergerak tikus di
pengendalian penyakit leptospirosis perlu sekitar pemukiman manusia yaitu 700 meter
dilakukan untuk menekan kasus leptospirosis di dan variabel keberadaan tambak yang belum
wilayah kerja Puskesmas Bonang I. Penelitian pernah diteliti sebelumnya. Selain itu,
Hidayanti (2014) menyebutkan perilaku perbedaan tempat dan waktu penelitian yaitu di
pencegahan leptospirosis tidak berhubungan daerah endemis leptospirosis dengan angka
dengan kejadian leptospirosis. Berbeda dengan kesakitan yang tidak pernah mencapai target
penelitian Irmawati (2017) bahwa perilaku nasional (IR ≤ 3 per 100.000 penduduk yaitu
pencegahan leptospirosis berhubungan dengan Puskesmas Bonang I Kabupaten Demak tahun
kejadian leptospirosis. Menurut Pujiyanti 2019. Berdasarkan uraian latar belakang
(2015), di daerah endemis perilaku pencegahan tersebut, akan dilakukan penelitian tentang
leptospirosis masih rendah, karena masih ada hubungan faktor lingkungan dan perilaku
responden yang melakukan aktivitas di sungai, pencegahan terhadap kejadian leptospirosis di
tidak menggunakan alat pelindung diri, daerah endemis leptospirosis wilayah kerja
membuang bangkai tikus sembarangan, tidak Puskesmas Bonang I Kabupaten Demak.
memiliki tempat pem-buangan air limbah dan
tidak memiliki tempat sampah tertutup. Hal ini METODE
disebabkan kewaspadaan masyarakat terhadap
leptospirosis masih rendah karena adanya Metode penelitian dalam penelitian ini
persepsi leptospirosis tidak berbahaya dan adalah observasional analitik dengan studi cross
pengetahuan leptospirosis yang masih kurang. sectional yaitu studi dengan pendekatan,

473
Ragil, A., Dyah, M. S. / Faktor Lingkungan dan / HIGEIA 4 (3) (2020)

observasi, atau pengumpulan data sekaligus lingkungan fisik (jarak rumah dengan selokan,
pada suatu saat (point time approach) untuk keberadaan tambak, keberadaan sampah di
mengetahui hubungan antara faktor lingkungan sekitar rumah, dan keberadaan genangan air)
dan perilaku pencegahan leptospirosis dengan dan (2) lembar kuesioner, untuk mencatat hasil
kejadian leptospirosis di daerah endemis. Lokasi wawancara terkait lingkungan sosial (riwayat
penelitian di Puskesmas Bonang I Kabupaten peran serta kegiatan berisiko leptospirosis, jenis
Demak. Waktu penelitian ini dilakukan pada pekerjaan) dan perilaku pencegahan
bulan Juli 2019. leptospirosis.
Variabel terikat yang diteliti dalam Teknik pengambilan data dalam
penelitian ini adalah kejadian leptospirosis dan penelitian ini diantaranya (1) Observasi
variabel bebas yaitu jarak rumah dengan lapangan, untuk mengetahui karakteristik
selokan, keberadaan tambak, keberadaan lingkungan fisik berupa jarak rumah dengan
sampah di sekitar rumah, keberadaan genangan selokan, keberadaan tambak, keberadaan
air, riwayat peran serta kegiatan berisiko sampah di sekitar rumah, dan keberadaan
leptospirosis, jenis pekerjaan, dan perilaku genangan air, (2) Wawancara, untuk
pencegahan leptospirosis. Populasi dalam mengetahui karakteristik lingkungan sosial
penelitian ini adalah seluruh kepala keluarga di berupa riwayat peran serta kegiatan berisiko
wilayah kerja Puskesmas Bonang I sejumlah leptospirosis, jenis pekerjaan, dan karakteristik
15.263 KK. Sampel penelitian ini adalah rumah perilaku pencegahan leptospirosis pada sampel
masing-masing kepala keluarga di wilayah kerja penelitian. Prosedur penelitian yang dilakukan
Puskesmas Bonang I sejumlah 68 rumah. dalam penelitian ini meliputi tiga tahap yaitu
Teknik pengambilan sampel dilakukan tahap pra penelitian, tahap penelitian, dan tahap
secara cluster sampling. Sampel dalam penelitian pasca penelitian. Tahap pra penelitian meliputi
ini mempunyai beberapa kriteria inklusi, agar melakukan koordinasi dengan pihak Dinas
hasil yang diperoleh signifikan dan sesuai Kesehatan Kabupaten Demak dan Puskesmas
dengan tujuan penelitian. Adapun kriteria Bonang I, melakukan observasi awal lokasi
inklusi dalam penelitian ini adalah (1) Tidak untuk penelitian, serta mempersiapkan
mengalami kondisi rumah dari bulan Januari instrumen penelitian berupa lembar observasi
2019 hingga penelitian, (2) Bersedia dan lembar kuesioner. Tahap penelitian
diwawancarai. Kriteria eksklusi dalam meliputi mendatangi rumah sampel penelitian,
penelitian ini (1) Lebih dari satu KK dalam satu memberikan informed consent sebagai persetujuan
rumah , (2) Tidak bersedia menjadi subyek menjadi sampel penelitian, melakukan
penelitian. pengukuran jarak rumah dengan selokan,
Sumber data yang digunakan dalam melakukan wawancara kepada responden
penelitian ini ada dua, yaitu (1) data primer, dengan menggunakan panduan wawancara
antara lain data hasil observasi dan wawancara mengenai keberadaan tambak, peran serta
karakteristik lingkungan fisik (jarak rumah kegiatan berisiko leptospirosis, jenis pekerjaan
dengan selokan, keberadaan tambak, dan perilaku pencegahan leptospirosis pada
keberadaan sampah, keberadaan genangan air), sampel penelitian, melakukan observasi
lingkungan sosial (riwayat peran serta kegiatan mengenai karakteristik keberadaan sampah,
berisiko leptospirosis, jenis pekerjaan), dan keberadaan genangan air, dan perilaku
perilaku pencegahan leptospirosis. (2) data pencegahan leptospirosis pada sampel
sekunder, yaitu data laporan Dinas Kesehatan penelitian. Tahap pasca penelitian yaitu
Kabupaten Demak dan Puskesmas Bonang I melakukan pengolahan dan analisis data.
terkait kasus leptospirosis di wilayah kerja Data diolah dan dianalisis secara
Puskesmas Bonang I. univariat dan bivariat. Analisis univariat
Instrumen dalam penelitian ini adalah (1) dilakukan untuk mendeskripsikan karakteristik
lembar observasi, untuk mencatat karakteristik setiap variabel penelitian. Analisis bivariat

474
Ragil, A., Dyah, M. S. / Faktor Lingkungan dan / HIGEIA 4 (3) (2020)

dilakukan untuk mengetahui hubungan antara minimal 700 meter dalam semalam
kedua variabel (bebas dan terikat) menggunakan dibandingkan dengan reservoir leptospira
uji statistik chi-square. lainnya.
Terdapat hubungan antara jarak rumah
HASIL DAN PEMBAHASAN dengan selokan terhadap kejadian leptospirosis
dalam penelitian ini dikarenakan ada perbedaan
Berdasarkan analisis secara statistik berarti antara kelompok terpapar dan tidak
menunjukkan bahwa terdapat hubungan terpapar. Hal ini dapat dilihat dari prosentase
bermakna antara jarak rumah dengan selokan responden yang jarak rumah dengan selokan
terhadap kejadian leptospirosis. Berdasarkan dalam kategori rawan sebesar 66,7% lebih besar
hasil analisis risiko diperoleh nilai prevalence daripada kelompok tidak terpapar yaitu sebesar
ratio (RP) sebesar 2,690. Hal ini berarti 31,9%. Dari hasil tersebut dapat dilihat selisih
responden yang jarak rumah dengan selokan ≤ prosentase antara responden yang jarak rumah
700 meter memilik peluang 2,690 kali lebih dengan selokan ≤ 700 meter pada kelompok
berisiko mengalami kejadian leptospirosis terpapar dan tidak terpapar yaitu sebesar 32,1%.
daripada responden yang jarak rumah dengan Perbedaan prosentase tersebut bermakna secara
selokan > 700 meter. Penelitian ini sejalan signifikan p = 0,007 (p<0,05).
dengan penelitian Rakebsa (2018) di Yogyakarta Berdasarkan hasil observasi, sebanyak
dan Bantul yang menyatakan bahwa jarak 42,6 % responden jarak rumah dengan selokan ≤
rumah dengan saluran terbuka memiliki 700 meter serta kondisi selokan dalam keadaan
hubungan yang signifikan dengan kejadian terbuka, terdapat air menggenang, serta selokan
leptospirosis (p=0,02). lebih rendah dari rumah. Diketahui, ketika
Namun, penelitian ini tidak sejalan musim hujan air dapat meluap dan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Rejeki menggenangi halaman dan sekitar rumah.
(2013) di Bayumas menyatakan bahwa jarak Kondisi tersebut tentu akan berisiko apabila air
rumah dengan selokan tidak berhubungan tersebut terkontaminasi Leptospira sp. kemudian
dengan kejadian leptospirosis (p=0,516). didukung oleh jarak selokan sebagian besar ≤
Perbedaan hasil penelitian ini disebabkan oleh 700 meter. Jika jarak selokan terlalu dekat
tempat penelitian yang berbeda yaitu di dengan rumah, air selokan akan mudah masuk
Banyumas dan di Puskesmas Bonang I, ke dalam rumah. Menurut Nursitasari (2019)
Kabupaten Demak. Terdapat perbedaan dalam selokan yang baik yaitu bila aliran selokan
hasil penelitian ini, dikarenakan pada penelitian tertutup, aliran lancar, dan tidak menjadi jalan
Rejeki (2013), jarak rumah dengan selokan masuknya tikus ke rumah.
dikategorikan < 2 meter dan ≥ 2 meter dari Daerah pinggiran sungai/pantai/tambak
rumah sampel penelitian, sedangkan pada di wilayah dataran rendah memiliki kerentanan
penelitian ini kriteria pengukuran jarak rumah tinggi terhadap banjir saat musim hujan
dengan selokan dibagi menjadi 2 yaitu kategori (Mwachui, 2015). Berdasarkan analisis secara
rawan jika terdapat selokan dengan kriteria statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat
kondisi aliran selokan berhenti atau hubungan bermakna antara keberadaan tambak
menggenang, meluap saat ada hujan, dilewati terhadap kejadian leptospirosis (p value = 0,499
tikus, selokan lebih rendah dari rumah dan RP 1,365). Hal ini tidak sejalan dengan
berjarak dari rumah sampel penelitian. Kategori penelitian Robertson (2012) yang menyatakan
bagus jika tidak memenuhi kriteria tersebut atau terdapat korelasi positif antara jarak rumah
berjarak > 700 meter dari rumah sampel dengan badan air terhadap kejadian
penelitian. Menurut Rusmini, tikus dikate- leptospirosis. Terdapat perbedaan dalam hasil
gorikan sebagai reservoir bakteri leptospira yang penelitian ini, dikarenakan pada penelitian
sangat potensial, oleh karena itu memiliki Robertson (2012) kondisi geografis wilayah
kesempatan bergerak yang cukup luas yaitu penelitian yang berbeda yaitu di Sri Lanka

475
Ragil, A., Dyah, M. S. / Faktor Lingkungan dan / HIGEIA 4 (3) (2020)

sebagai wilayah pemukiman padat penduduk ini akan melindungi tanah agar tidak tergerus
dan di Kabupaten Demak sebagai daerah air laut.
agricultural. Rumah yang kurang bersih merupakan
Tidak adanya hubungan antara keber- merupakan faktor risiko terpapar leptospirosis
adaan tambak terhadap kejadian leptospirosis (Wongbutdee, 2016). Sisa makanan (sampah)
dalam penelitian ini dikarenakan tidak ada merupakan sumber pakan tikus sehingga
perbedaan berarti antara kelompok terpapar dan meningkatkan kontak tikus dengan penduduk
tidak terpapar. Hal ini dapat dilihat dari (Katulistiwa, 2011). Berdasarkan analisis
prosentase responden yang keberadaan tambak statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat
dalam kategori rawan sebesar 19% pada hubungan bermakna antara keberadaan sampah
kelompok terpapar dan pada kelompok tidak di sekitar rumah terhadap kejadian leptospirosis
terpapar sebesar 12,8%. Dari hasil tersebut (p value = 0,449 RP 1,417). Hasil penelitian ini
dapat dilihat prosentase antara responden yang sejalan dengan penelitian Ikawati (2010) di
keberadaan tambak kategori rawan pada Klaten yang menyatakan bahwa tidak ada
kelompok terpapar dan tidak terpapar sebesar hubungan antara keberadaan sampah di sekitar
6,2%. Perbedaan prosentase tersebut tidak rumah dengan kejadian leptospirosis (p value =
bermakna secara signifikan p=0,499 (p>0,05). 0,051). Hasil uji statistik responden yang
Berdasarkan hasil penelitian, sebagian terdapat sampah di sekitar rumahnya berisiko
besar rumah responden berjarak > 700 meter 1,32 kali mengalami kejadian leptospirosis
dari tambak (85,3%). Hal ini sudah sesuai daripada responden yang tidak terdapat sampah
dengan Peraturan Menteri Prasarana Umum di sekitar rumahnya.
Nomor 63 Tahun 2015 yang menyebutkan Penelitian ini juga sejalan dengan
bahwa sekurang-kurangnya berjarak 100 meter penelitian Ramadhani (2012) tentang kondisi
dan berfungsi sebagai lahan hijau. lingkungan pemukiman yang tidak sehat
Berdasarkan hasil observasi, kondisi berisiko terhadap kejadian leptospirosis di Kota
tambak dipenuhi sampah yang berpotensi Semarang. Hasil penelitian menunjukkan pada
sebagai habitat tikus dan ditumbuhi pohon variabel keberadaan timbunan sampah di sekitar
manggrove. rumah menghasilkan p value 0,141 (p>0,05). Hal
Tikus yang hidup di air akan membuat tersebut dapat disimpulkan tidak ada hubungan
sarang di lubang pohon yang tumbuh di tepi antara keberadaan timbunan sampah di sekitar
sungai (Wasiński, 2013). Lubang ini kemudian rumah dengan kejadian leptospirosis. Kesamaan
diisi rerumputan kering untuk melapisi dasar penelitian ini adalah keberadaan sampah di
sarang sebagai tempat yang kelak digunakan sekitar rumah lebih banyak pada responden
induk tikus ketika melahirkan anak-anaknya. yang mengalami kejadian leptospirosis,
Hal tersebut berpotensi membuat air tambak sehingga hasil penelitian berhubungan secara
terkontaminasi urin tikus yang mengandung signifikan.
bakteri leptospira. Tikus merupakan reservoir Tidak terdapat hubungan antara
penting bagi bakteri leptospira, karena sebesar > keberadaan sampah di sekitar rumah dengan
50% tikus dapat mengeluarkan bakteri kejadian leptospirosis dalam penelitian ini
leptospira secara masif (terus-menerus) melalui dikarenakan tidak ada perbedaan bermakna
urin selama hidupnya, tanpa menunjukkan antara kelompok terpapar dan tidak terpapar.
gejala sakit (Lau, 2010). Menurut Badan Riset Hal ini dapat dilihat dari prosentase responden
dan SDM Kelautan dan Perikanan, hutan yang terdapat sampah di sekitar rumah pada
mangrove dapat mencegah erosi sehingga bisa kelompok terpapar sebesar 81%, tidak beda jauh
menjadi salah satu tempat yang bisa menjaga dengan kelompok tidak terpapar yaitu 72,3%.
perbatasan antara kawasan darat dan laut. Dari hasil tersebut dapat dilihat selisih
Selain itu, dengan adanya hutan mangrove prosentase antara responden yang terdapat
secara ekologis tanah akan lebih padat sehingga sampah di sekitar rumah pada kelompok

476
Ragil, A., Dyah, M. S. / Faktor Lingkungan dan / HIGEIA 4 (3) (2020)

terpapar dan tidak terpapar yaitu sebesar 8,7%. berhubungan dengan kejadian leptospirosis di
Perbedaan tersebut tidak bermakna secara Kelurahan Sukahaji. Berdasarkan hasil
signifikan p=0,449 (p>0,05). observasi, sebanyak 41,2% rumah responden
Adanya kumpulan sampah dijadikan terdapat genangan air di sekitar rumahnya.
indikator kehadiran tikus (Wulansari, 2019). Diketahui, bahwa genangan air tersebut berasal
Menurut Nurhandoko (2018) sisa makanan dari air luapan sungai kecil, air bekas cucian
(sampah) merupakan sumber pakan tikus atau air luapan dari kamar mandi, serta
sehingga meningkatkan kontak tikus dengan dijumpai tikus berkeliaran di sekitar rumah.
penduduk. Berdasarkan hasil observasi, jenis Selain itu, sebagian besar letak kamar mandi
sampah yang berserakan di rumah responden responden terpisah dari rumah sehingga
yaitu berupa sampah anorganik (plastik). kemungkinan terkontaminasi lebih besar.
Penularan leptospirosis tidak hanya terjadi di Menurut Maisyaroh (2016) bahwa air yang
lingkungan rumah, tetapi terjadi di area tergenang di sekitar lingkungan rumah dapat
pertanian seperti sawah, tepi sungai, dan semak- menjadi sumber penularan tidak langsung
semak (Dian, 2014). Sawah merupakan tempat apabila air tersebut terkontaminasi oleh urin
ideal untuk perkembangan bakteri leptospira dari binatang infektif.
karena kepadatan tikus yang hidup di sawah Ada hubungan antara keberadaan
adalah tertinggi (Yuliadi, 2014). Hal ini juga genangan air dengan kejadian leptospirosis
didukung oleh penelitian Cosson (2014) di Asia dalam penelitian ini dikarenakan ada perbedaan
Tenggara bahwa beberapa spesies hewan bermakna antara kelompok terpapar dan
pengerat cenderung berada di daerah tadah kelompok tidak terpapar. Hal ini dapat dilihat
hujan. dari prosentase responden yang terdapat
Air merupakan tempat berkembangnya genangan air di rumah dalam kelompok
bakteri Leptospira sp.. Menurut Rusmini, bakteri terpapar sebesar 66,7%, lebih besar dari
ini bisa hidup berbulan-bulan dalam keadaan kelompok tidak terpapar yaitu 29,8%. Dari hasil
terbuka di daerah tanah becek, persawahan, tersebut, dapat dilihat selisih prosentase antara
daerah peternakan, di dalam air tawar, misalnya responden yang terdapat genangan air di rumah
kolam. Berdasarkan hasil penelitian pada kelompok terpapar dan tidak terpapar
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yaitu sebesar 36,9%. Perbedaan tersebut
bermakna antara keberadaan genangan air bermakna secara signifikan p=0,004 (p<0,05).
terhadap kejadian leptospirosis (p value = 0,004 Air merupakan tempat berkembangnya
RP 2,857). Penelitian ini sejalan dengan bakteri Leptospira sp.(Isnaini, 2017). Leptospira
penelitian yang dilakukan oleh Maniiah (2016) dapat hidup selama berbulan-bulan di
yang menyatakan bahwa ada hubungan antara lingkungan yang hangat (220C) dan pH relatif
keberadaan genangan air dengan kejadian netral (pH 6,2-8) (Nurhandoko, 2018). Ketika
leptospirosis di Kota Semarang (p=0,040). Hasil bakteri leptospira berada di air dan lumpur,
uji statistik menunjukkan bahwa responden lingkungan yang paling cocok untuk
yang terdapat genangan air di sekitar rumahnya berkembang adalah dalam pH antara 7,0-7,4
berisiko mengalami kejadian leptospirosis 3,385 dan suhu antara 280C-300C (Dian, 2014).
kali dibandingkan responden yang tidak Menurut WHO, bakteri Leptospira sp. yang
terdapat genangan air di sekitar rumahnya. berada pada genangan air dapat masuk ke tubuh
Hasil penelitian ini juga didukung dengan melalui luka atau pori-pori.
penelitian yang dilakukan Dian (2014) tentang Berdasarkan hasil penelitian menun-
hubungan antara faktor lingkungan fisik dengan jukkan bahwa terdapat hubungan antara riwayat
kejadian leptospirosis di Kelurahan Sukahaji. peran serta kegiatan berisiko leptospirosis
Hasil p value variabel keberadaan genangan air terhadap kejadian leptospirosis (p value = 0,011
yaitu 0,000 (0,000<0,05), sehingga dapat RP 4,245). Penelitian ini sejalan dengan
disimpulkan bahwa keberadaan genangan air penelitian yang dilakukan oleh Rejeki (2013)

477
Ragil, A., Dyah, M. S. / Faktor Lingkungan dan / HIGEIA 4 (3) (2020)

Tabel 1. Tabulasi Silang Antara Lingkungan Fisik Dengan Kejadian Leptospirosis


Kejadian Leptospirosis
Kategori Ya Tidak Total p-value
F % F % F %
Jarak Rumah Dengan Selokan
Dekat 14 66,7 15 31,9 29 42,6
Jauh 7 33,3 32 68,1 39 57,4 0,007
Jumlah 21 100 37 100 68 100
Keberadaan Tambak
Rawan 4 19 6 12,8 10 14,7
Bagus 17 81 41 87,2 58 85,3 0,499
Jumlah 21 100 47 100 68 100
Keberadaan Sampah di Sekitar Rumah
Ada sampah 17 81 34 72,3 51 75
Tidak ada sampah 4 19 13 27,7 17 25 0,449
Jumlah 21 100 47 100 68 100
Keberadaan Genangan Air
Ada genangan air 14 66,7 14 29,8 28 41,2
Tidak ada genangan
7 33,3 33 70,2 40 58,8 0,004
air
Jumlah 21 100 47 100 68 100

di Banyumas yang menyatakan ada hubungan serta kegiatan berisiko leptospirosis, dimana
antara riwayat peran serta dalam kegiatan sosial dalam penelitian Maisyaroh (2016) kriteria
berisiko dengan kejadian leptospirosis. Hasil riwayat peran serta kegiatan berisiko
penelitian tersebut menghasilkan p value variabel leptospirosis meliputi keikutsertaan dalam
riwayat peran serta dalam kegiatan sosial kegiatan kerja bakti.
berisiko yaitu 0,014 (0,014<0,05), yang artinya Terdapat hubungan antara riwayat peran
terdapat hubungan antara riwayat peran serta serta kegiatan sosial berisiko leptospirosis
dalam kegiatan sosial berisiko dengan kejadian dengan kejadian leptospirosis dalam penelitian
leptospirosis. Hasil uji statistik responden yang ini dikarenakan terdapat perbedaan signifikan
mempunyai riwayat melakukan kegiatan sosial antara kelompok terpapar dan tidak terpapar.
berisiko terhadap leptospirosis berisiko 12 kali Hal ini dilihat dari prosentase responden yang
lipat untuk terkena leptospirosis dibandingkan memiliki riwayat peran serta kegiatan berisiko
yang tidak mempunyai riwayat melakukan leptospirosis pada kelompok terpapar sebesar
kegiatan sosial berisiko. 90,5% dan kelompok tidak terpapar yaitu
Penelitian ini tidak sejalan dengan 59,6%. Dari hasil tersebut, dapat dilihat selisih
penelitian yang dilakukan oleh Maisyaroh prosentase antara responden yang memiliki
(2016) tentang faktor lingkungan yang berkaitan riwayat peran serta kegiatan berisiko
dengan kejadian leptospirosis di Kabupaten leptospirosis pada kelompok terpapar dan tidak
Pati. Nilai p value variabel riwayat peran serta terpapar sebesar 30,9%. Perbedaan tersebut
dalam kegiatan sosial yang berisiko terhadap bermakna secara signifikan p=0,011 (p<0,05).
leptospirosis yaitu 0,035 (0,035<0,05). Hal Adanya hubungan riwayat peran serta
tersebut menunjukkan bahwa riwayat peran kegiatan berisiko leptospirosis dalam penelitian
serta dalam kegiatan sosial berisiko terhadap ini dikarenakan kemungkinan terpapar tumbuh-
leptospirosis berhubungan secara bermakna tumbuhan, peralatan, sampah, tanah, lumpur,
dengan kejadian leptospirosis di Kabupaten air selokan, genangan air, dan berbagai bahan
Pati. Terdapat perbedaan dalam penelitian ini, infeksius yang berbahaya saat membersihkan
dikarenakan perbedaan kriteria riwayat peran lingkungan. Selain itu, diketahui responden

478
Ragil, A., Dyah, M. S. / Faktor Lingkungan dan / HIGEIA 4 (3) (2020)

tidak menggunakan alat pelindung diri seperti 0,002). Dari analisis risiko diperoleh nilai
sepatu boot dan sarung tangan. Menurut prevalence ratio (PR) sebesar 2,471. Hal ini berarti
Sofiyani (2018) seseorang yang tidak seseorang yang memiliki jenis pekerjaan
menggunakan APD saat melakukan aktivitas berisiko memiliki peluang 3,4 kali mengalami
berisiko leptospirosis memiliki peluang 2,8 kali kejadian leptospirosis dibandingkan seseorang
lebih besar untuk terkena leptospirosis yang memiliki pekerjaan tidak berisiko.
dibandingkan menggunakan APD. Penelitian ini sejalan dengan penelitian
Menurut Kemenkes memakai alas kaki yang dilakukan oleh Raharjo (2015) yang
dapat menghindari kontak dengan bakteri menyatakan bahwa jenis pekerjaan
Leptospira terutama saat beraktifitas di tempat berhubungan dengan kejadian leptospirosis.
yang basah dan berair. Hal ini didukung oleh Selain itu, juga didukung oleh penelitian
penelitian Mirasa (2017) dan Bharwaj (2013) Rakebsa (2018) di Yogyakarta dan Bantul
yang menyatakan dari beberapa daerah, bahwa jenis pekerjaan berhubungan dengan
khususnya Yogyakarta, Demak, Semarang, kejadian leptospirosis. Penelitian yang
Jakarta, dan Madura (Pulau Jawa), dapat dilakukan Erviana (2014) juga menyebutkan
diketahui salah satu penyebab kontak urin bahwa penderita leptospirosis memiliki riwayat
dengan bakteri Leptospira yaitu perilaku tidak pekerjaan berisiko yang berhubungan dengan
menggunakan alat pelindung diri saat hewan atau air.
beraktivitas di tempat yang basah dan berair. Sebagian besar memiliki pekerjaan
Menurut WHO salah satu faktor risiko sebagai nelayan dan petani. Nelayan berisiko
leptospirosis berasal dari pekerjaan. Kelompok terkena air yang terkontaminasi bakteri
pekerja yang bekerja sebagai dokter hewan, leptospira. Petani berisiko kontak dengan sawah
peternak, tukang potong daging, pekerja yang terkontaminasi leptospira dari urin/kotor-
pengendali jumlah tikus, petani padi dan tebu, an tikus. Risiko semakin diperbesar dengan
pekerja tambang, nelayan, tentara yang sering kebiasaan para petani untuk tidak memakai alas
kontak langsung dengan hewan merupakan kaki di sawah. Namun, lingkung-an sawah
kelompok yang berisiko terhadap kejadian tempat mereka bekerja tidak mendukung untuk
leptospirosis (Widjajanti, 2018). Hal ini terkait pemakaian APD karena lumpur di sawah
dengan penularan langsung, dimana pekerja tersebut terlalu dalam melampaui sepatu boot
tersebut memiliki kemungkinan yang besar para petani, sehingga petani lebih memilih
bersentuhan dengan cairan tubuh atau urin dari telanjang kaki saat bekerja di sawah.
hewan yang terinfeksi leptospirosis. Berdasarkan analisis secara statistik
Dalam penelitian ini, hasil uji Chi-square menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan
menunjukkan ada hubungan antara jenis peker- antara perilaku pencegahan leptospirosis
jaan dengan kejadian leptospirosis (p value = terhadap kejadian leptospirosis. Dari analisis

Tabel 2. Tabulasi Silang Antara Lingkungan Sosial Dengan Kejadian Leptospirosis


Kejadian Leptospirosis
Kategori Ya Tidak Total p-value
F % F % F %
Riwayat Peran Serta Kegiatan Berisiko Leptospirosis
Ya 19 90,5 28 59,6 47 69,1
Tidak 2 9,5 19 40,4 21 30,9 0,011
Jumlah 21 100 47 100 68 100
Pekerjaan Berisiko
Berisiko 17 81,0 26 55,3 43 63,2
Tidak Berisiko 4 19,0 21 44,7 25 36,8 0,043
Jumlah 21 100 47 100 68 100

479
Ragil, A., Dyah, M. S. / Faktor Lingkungan dan / HIGEIA 4 (3) (2020)

Tabel 3. Tabulasi Silang Antara Perilaku Pencegahan Leptospirosis Dengan Kejadian Leptospirosis
Kejadian Leptospirosis
Kategori Ya Tidak Total p-value
F % F % F %
Tidak Mendukung 12 57,1 31 66 43 63,2
Mendukung 9 42,9 16 34 25 36,8 0,486
Jumlah 21 100 47 100 68 100

risiko diperoleh nilai prevalence ratio (PR) sebesar PENUTUP


0,775. Hal ini berarti seseorang yang tidak
mendukung perilaku pencegahan leptospirosis Berdasarkan hasil penelitian tentang
memiliki peluang 0,775 kali mengalami faktor lingkungan dan perilaku pencegahan
kejadian leptospirosis daripada responden yang leptospirosis terhadap kejadian leptospirosis di
mendukung perilaku pencegahan leptospirosis. wilayah kerja Puskesmas Bonang I Kabupaten
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Demak, maka diperoleh kesimpulan bahwa
yang dilakukan oleh Hidayanti (2014) yang secara statistik ada hubungan antara jarak
menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara rumah dengan selokan, keberadaan genangan
praktik pencegahan leptospirosis dengan air, riwayat peran serta kegiatan berisiko
kejadian leptospirosis (p=0,146). Namun, hal ini leptospirosis, dan jenis pekerjaan terhadap
tidak sejalan dengan penelitian Irmawati (2017) kejadian leptospirosis di daerah endemis
yang menyebutkan bahwa perilaku pencegahan wilayah kerja Puskesmas Bonang I Kabupaten
berhubungan dengan kejadian leptospirosis. Hal Demak. Sedangkan variabel yang tidak
ini juga didukung oleh Illahi (2014) bahwa berhubungan dalam penelitian ini antara lain
kegiatan pencegahan dianggap murah, aman, keberadaan tambak, keberadaan sampah di
mudah dan memiliki tingkat keberhasilan yang sekitar rumah, dan perilaku pencegahan
tinggi apabila dilakukan secara rutin dan leptospirosis.
serentak. Keterbatasan penelitian ini adalah
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui informasi data yang diperoleh berdasarkan
63,2% responden tidak mendukung perilaku kejujuran dari responden, faktor lingkungan
pencegahan leptospirosis. Menurut yang diteliti hanya lingkungan fisik dan
Notoatmodjo perilaku kesehatan dipengaruhi lingkungan sosial. Bagi peneliti selanjutnya,
salah satunya oleh faktor predisposisi meliputi, diharapkan ada penelitian lebih lanjut dari
pengetahuan, keyakinan, nilai-nilai, dan penelitian seperti meneliti variabel-variabel lain
persepsi seseorang yang menjadi dasar motivasi untuk mengetahui faktor lain yang berhubungan
untuk bertindak. Lawrence Green menyebutkan seperti lingkungan biologi, persepsi terhadap
ada pengaruh kuat dari tingkat pengetahuan penyakit leptospirosis, serta dapat meneliti
terhadap perilaku. Pengetahuan dapat diperoleh terhadap sasaran yang berisiko terkena
dari proses belajar yang membentuk keyakinan leptospirosis seperti pekerja pengumpul sampah,
tertentu, sehingga seseorang berperilaku sesuai pekerja kebersihan kota.
dengan keyakinan yang diperoleh.
Menurut Irmawati (2017), pendidikan DAFTAR PUSTAKA
mempengaruhi cara pandang seseorang
terhadap informasi yang diterimanya. Maka Bharwaj. 2013. A Case Control Study to Explore the
dapat dikatakan semakin tinggi pendidikannya, Risk Factors for Acquisition of Leptospirosis
semakin mudah seseorang menerima informasi in Surat City After Flood. Med Science, 62(11):
yang didapatnya. Hal ini didukung oleh latar 431-438.
Cosson. 2014. Epidemiology of Leptospira
belakang pendidikan responden yang sebagian
Transmitted by Rodents in Southeast Asia.
besar yaitu SD/MI (52,9%).
PLoS Neglected Tropical Diseases, 8(6): 1-10.

480
Ragil, A., Dyah, M. S. / Faktor Lingkungan dan / HIGEIA 4 (3) (2020)

Dian. 2014. The Correlation Between Physical Higeia Journal Of Public Health Research and
Environmental Factors and The Occurrence Development, 2(3): 498–509.
of Leptospirosis. Kemas, 13(3): 304–313. Nursitasari. 2019. Analisis Perilaku Dan Kondisi
Erviana. 2014. Studi Epidemiologi Kejadian Leptospirosis Rumah Ratproofing Terhadap Kejadian
Pada Saat Banjir Di Kecamatan Cengkareng Leptospirosis Di Kabupaten Ponorogo. Jurnal
Periode Januari-Februari 2014. Skripsi. Jakarta: Kesehatan Lingkungan, 11(3): 198-207.
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Prihantoro. 2017. Karakteristik Dan Kondisi
Hidayanti. 2014. Hubungan Antara Kondisi Lingkungan Lingkungan Rumah Penderita Leptospirosis
dengan Praktik Pencegahan dengan Kejadian di Wilayah Kerja Puskesmas Pegandan. Jurnal
Leptospirosis di Kota Semarang. Artikel of Health Education, 2(1): 66–72.
Penelitian. Semarang: Universitas Dian Pujiyanti. 2015. Determinan Perilaku Pada Kejadian
Nuswantoro. Leptospirosis Di Kabupaten Demak, Jawa
Ikawati. 2010. Analisis Faktor Risiko Kejadian Tengah Tahun 2008. Media Penelitian Dan
Leptospirosis di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Pengembangan Kesehatan, 24(3): 111–116.
Laporan Akhir Penelitian. Semarang: Jawa Raharjo. 2015. Faktor Risiko Host pada Kejadian
Tengah. Leptospirosis di Kabupaten Demak. Jurnal
Illahi. 2014. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Litbang Pengendalian Penyakit Bersumber
Dengan Perilaku Pencegahan Penyakit Binatang Banjarnegara, 11(2): 105–110.
Leptospirosis di Kota Semarang. Unnes Rakebsa. 2018. Epidemiologi leptospirosis di
Journal of Public Health, 3(1): 1–10. Yogyakarta dan Bantul. Berita Kedokteran
Irmawati. 2017. Upaya Pencegahan Infeksi Masyarakat, 34(4): 153–158.
Leptospirosis Di Daerah Cempaka Putih Ramadhani. 2012. Kondisi Lingkungan Pemukiman
Jakarta Pusat. Prosiding Seminar Nasional Yang Tidak Sehat Berisiko Terhadap
Penelitian Dan PKM Kesehatan, 55–61. Kejadian Leptospirosis (Studi Kasus di Kota
Isnaini. 2011. Leptospirosis Dalam Pandangan Semarang). Media of Health Research and
Masyarakat Daerah Endemis. BALABA. Development, 46–54.
7(01): 16–19. Rejeki. 2013. Pemetaan dan Analisis Faktor Risiko
Lau. 2010. Climate change, flooding, urbanisation Leptospirosis. Kesmas: National Public Health
and leptospirosis: Fuelling the fire? Elsevier, Journal, 8(4): 179-186.
104(10): 631–638. Riyaningsih. 2009. Faktor Risiko Lingkungan
Maisyaroh. 2016. Faktor Lingkungan Yang Berkaitan Terhadap Kejadian Leptospirosis Di Jawa
Dengan Kejadian Leptospirosis di Kabupaten Tengah (Studi Kasus di Kota Semarang,
Pati Jawa Tengah. Jurnal Kesehatan Kabupaten Demak dan Pati). Jurnal Kesehatan
Lingkungan Indonesia, 13(2): 51–57. Lingkungan Indonesia, 11(1): 1–140.
Maniiah. 2016. Faktor Lingkungan yang Robertson. 2012. Spatial Epidemiology Of Suspected
Berhubungan dengan Kejadian Leptospirosis Clinical Leptospirosis in Sri Lanka.
di Kota Semarang. Jurnal Kesehatan Epidemiology and Infection, 140(4):741–743.
Masyarakat, 4(3): 792–798. Sofiyani. 2018. Risk Factors of Leptospirosis in
Marbawati. 2017. Leptospirosis di Provinsi Jawa Klaten, Central Java. Journal of Epidemiology
Tengah. Semnas BAPPEDA Provinsi Jawa and Public Health, 3(1): 11-24.
Tengah. Banjarnegara: Balai Penelitian dan Supraptono. 2011. Interaksi 13 Faktor Risiko
Pengembangan Pengendalian Penyakit Leptospirosis. Berita Kedokteran Masyarakat,
Bersumber Binatang. 27(2): 55–65.
Mirasa. 2017. Study of Risk Factor and Svircev. 2009. Leptospirosis Distribution Related to
Epidemiology Surveillance System of Freshwater Habitats in The Vojvodina Region
Leptospirosis. Dama International Journal of (Republic of Serbia). Science in China, Series C:
Researchers (DIJR), 2(7): 12–23. Life Sciences, 52(10): 965–971.
Mwachui. 2015. Environmental and Behavioural Wasinski. 2013. Leptospirosis - Current Risk Factors
Determinants of Leptospirosis Transmission: Connected With Human Activity and The
A Systematic Review. PLoS Neglected Tropical Environment. Annals of Agricultural and
Diseases, 9(9): 1–15. Environmental Medicine, 20(2): 239–244.
Nurhandoko. 2018. Zona Kerentanan Kejadian Widjajanti. 2018. Aspek Sosio Demografi dan
Leptospirosis Ditinjau Dari Sisi Lingkungan. Kondisi Lingkungan Kaitannya dengan

481
Ragil, A., Dyah, M. S. / Faktor Lingkungan dan / HIGEIA 4 (3) (2020)

Kejadian Leptospirosis di Kabupaten Klaten Wulansari. 2019. Faktor Lingkungan dan Perilaku
Provinsi Jawa Tengah Tahun 2016. Media Masyarakat Dengan Kejadian Leptospirosis di
Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan, 28(1): Wilayah Kerja Puskesmas Kedungmundu Kota
25–32. Semarang. Artikel Penelitian. Semarang:
Wongbutdee. 2016. Perceptions and Risky Behaviors Universitas Dian Nuswantoro.
Associated With Leptospirosis in an Endemic Yuliadi. 2014. Distribusi Spasial Leptospirosis Di
Area In A Village Of Ubon Ratchathani Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2002-
Province, Thailand. African Health Sciences. 2012. Vektora, 5(2): 65–70.
16(1): 170–176.

482

Anda mungkin juga menyukai